Share

BAB 6 ROMEO YANG TERSAKITI

Satu jam berlalu. Masih terdengar teriakan, dan juga suara keras dari balik pintu di tempat Alaska duduk. Ia ingin menekan bel tamu, namun ternyata nyalinya tak senekat itu. 

Mau ditunggu sampai kapan perdebatan itu usai. Hingga akhirnya, Alaska memutuskan untuk meninggalkan rumah Yesa, dan memilih untuk kembali ke rumah. 

“Den, masih belum dibuka ya pintunya?”

Suara itu membuat Alaska kaget, dan sontak menoleh ke belakang. 

“Eh, Kang? Belom. Kayaknya, Alaska pulang dulu aja kali ya? Soalnya di dalam juga kayaknya ada masalah, gak enak,” tukas Alaska pada kang kebun yang menatap nanar anak muda yang berada di hadapannya itu. 

“Biasa Den, cekcok antara suami istri. Kalo gitu, ya udah den Alaska pulang dulu. Besok pagi, ke sini lagi,” 

“Okey kang, makasih banyak ya. Alaska pamit pulang dulu,” pamit pria itu seraya membungkukkan tubuhnya pada kang kebun yang tersenyum salut melihatnya. 

“Hati-hati Den,"

Alaska memilih untuk bergegas mengendarai motornya, setelah beberapa jam berharap Yesa keluar menemuinya, tapi harapan hanyalah sekedar harapan. 

***

Pagi itu Alaska hanya menghela napasnya, dan berjalan melalui koridor kampus yang kali ini tampak ramai oleh mahasiswa yang datang atau pun pulang.

Rasanya, ada yang mengganjal dalam hati dan pikiran Alaska. Yah mengenai Yesa yang sampai saat ini pun tak memberinya kabar sama sekali, padahal kemaren ia telah menemui gadis itu. Alaska yang kemudian memilih untuk duduk di taman kampus di temani tanaman dan pepohonan rindang yang tumbuh, di mana ia jadikan sebagai tempat sandarannya di kala lelah seperti saat ini. 

Otaknya masih berfikir, apa kah yang di lakukan olehnya terhadap Yesa adalah sebuah kesalahan?

'Apa yang harus gue lakuin biar bisa ketemu Yesa? Apa gue emang lembek sebagai lelaki?'

Begitulah pertanyaan yang selalu berkecamuk dalam benak pria itu.

Hingga ia tak sadar, jika kali ini ia tengah tertidur di bawah rindangnya pohon taman kampus ini.

"Weh, Alaska! Alaska! Bangun yaelah lo pakai tidur segala! Lang ayok ikut gue sini!" Bangun Azka yang berbicara setengah berbisik pada Alaska.

"Ada apa?"

"Sssttt pokoknya jangan berisik, dan jangan banyak tanya okey! Lo ikut gue sekarang!" titah Azka dengan wajah setengah panik yang kemudian berjalan lebih dulu seakan ia menunjukkan suatu hal pada Alaska yang semakin penasaran dibuatnya.

"Eeeett,, berhenti! Itu Yesa bukan?" tanya Azka lagi.

Yah tepat di ujung koridor, di mana kampus yang kini kian sepi tampak sepasang anak manusia tengah berada di sana. Berpelukan, dan terlihat begitu mesra, namun kemesraan itu akhirnya berakhir dengan ciuman.

“Apa-apaan sih ini! Gue gak bisa biarin,” geramnya lalu berjalan cepat ke arah yang ditunjuk oleh Azka.

"Alaska, lo mau kemana woy? Eh! Tahan Alaska! Duh!” teriak Azka panik ketika melihat Alaska yang sudah berjalan dulu ke arah Yesa dan pria yang tak dikenal itu.

Emosi? Yah pasti! Siapa yang gak bakalan emosi liat pasangannya kiss lips sama orang lain yang jelas di depan mata.

Bruk!

"Alaska! Apa-apaan sih!" teriak Yesa. Tapi Alaska tak peduli dan menghajar pria itu habis-habisan.

"Alaska berhenti," teriak Yesa lagi, dan berusaha untuk menahan Alaska tapi kekuatannya tak sekuat pria itu, yang ia sendiri tak mampu untuk menahannya.

"Azka stop! Kita udah putus!" teriak Yesa untuk kesekian kalinya, yang sontak membuat Alaska menghentikan pukulannya lalu menatap pada Yesa lamat dan dengan tatapan tajam.

"Siapa dia? Kenapa harus sekarang lakuin itu? Kenapa bukan sama aku?" ujar Alaska yang kembali melontarkan pertanyaan pada Yesa, dengan susah ia menahan tangis karena suaranya serak.

"Kamu bisa kasih aku apa hah?" tutur Yesa tak kalah kerasnya dari Alaska yang amarahnya sudah sampai di klimaks.

"Aku emang gak tajir, tapi aku punya perasaan cinta dan sayang yang besar buat kamu! Kalo uang bisa dicari, tapi ketulusan dan setia itu gak ada harga jual beli," tutur Alaska dengan nada bicara yang melemah.

Tapi Yesa tak lagi menghiraukannya, dia memilih pria yang terkapar karena dipukuli Langit habis-habisan itu.

Jantung Alaska lagi-lagi bak dihujan duri yang semakin parah. Hancur berkeping-keping.

Ternyata kalimat yang ia lontarkan malam itu, bukan sekedar kalimat, tapi memang nyata. 

Argh! 

Kini pria itu mengepal kuat tangannya dan memukul pohon yang berada di sampingnya dengan emosi yang semakin membuncah. 

Seakan tak ingin terlihat lemah, Langit menyeka air matanya yang ternyata tak kuasa tertahan. Azka yang menatap dari kejauhan juga tak kuasa menahan tangisnya, seakan ia menempatkan dirinya sebagai Alaska kali ini. Ada rasa kecewa juga yang menyeruak dalam dada Azka.

“You are nothing short of like a bitch!" umpat Azka juga pada Yesa, seraya menunjukkan jari tengahnya.

“Gue gak butuh cinta! Emang lo bisa beliin gue sesuatu pake cinta lo!" ketus Yesa pada Alaska dan sontak mendorong bahu Alaska dan kemudian berlalu dengan pria yang wajahnya sudah membiru karena tonjokan Alaska yang penuh emosi tadi.

"Aaargggghh! Gue benci hidup gue! Gue benci gak bisa jadi yang pacar gue pengen," teriak Alaska yang tampak tak kuasa menahan sesak di dadanya, ia berlutut di atas tanah. Kecewa terberat adalah, ketika kita terlalu menaruh harapan besar terhadap orang yang tak mencintai kita sama sekali.

Melihat Alaska yang tengah gundah, Azka sontak menghampirinya dan meminta Alaska untuk bangkit dari simpuhnya.

"Alaska, ayok kita pulang, ayok jangan di sini," ajak Azka.

Alaska hanya menangis dan tak menggubris apapun pembicaraan Azka. Ia lebih memilih diam, dan berkali-kali meluapkan emosinya pada batang pohon yang berada di sampingnya.

Andai pohon itu bisa bicara, mungkin dia sudah meminta ampun pada Alaska.

"Alaska, gue bisa ngerasain gimana posisi lo. Tapi gue minta tolong Ka, jangan kegini. Ayok pulang, tenangin pikiran lo nanti kita cari solusinya sama-sama," ajak Azka lagi dengan sangat hati-hati karena di balik carenya, dia juga takut ditonjok Alaska.

“Solusi apa? Gue sama Yesa udah kelar! Udah gak bareng lagi, solusi apa yang lo mau cariin bangsat!” 

“I-iya, t-tapi lo pulang dulu!” 

Alaska lelah dengan perdebatan. 

Emosi telah menguras energinya.

Hingga akhirnya, Alaska menuruti Azka untuk kembali ke kostnya, yah meskipun hati tak sesuai dengan apa yang harus ia lihat kan dalam sesak dan lukanya yang kini menganga lebar, bahkan keluhnya pun tak lagi dapat ia rasakan.

Luka yang kali ini, tak dapat untuk di bicarakan lagi. Tak bisa untuk diobati, Yesa is the Queen in Alaska's heart.

-Jangan sampai mengecewakan seseorang, karena suatu saat semua akan berbalik-

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status