Share

17. Perpisahan

Author: Rumi Cr
last update Last Updated: 2025-08-18 09:48:00

Tak ada pesta tanpa akhir

Tak ada pertemuan tanpa perpisahan 

Mengapa harus menyesali perpisahan 

Jika hati telah menyatu

Dan jiwa sudah bersama 

Tertautkan kenangan indah 

~~♡~~

Siang itu terdengar kegaduhan dari rumah Om Mefi tempat tinggal Amalia di Batumawira.

"Ada pembantaian lagi, Bu Alia. Kata Om Mefi, ada hajatan di keluarga Simarmata." Aldory memberitahu dengan anggukan kepala mengarah ke rumah depan.

"Oh, begitu." Amalia mengangguk paham. Sudah hal biasa bagi mereka bertiga, mendengar lengkingan anjing yang dibunuh dengan cara dipukul kepalanya.

Daging anjing dan babi menjadi hidangan wajib bagi hajatan di sana. Apalagi pesta pernikahan. Kebetulan besok, sepupu David Simarmata menikah. Jadi, pihak keluarga mereka memesan daging anjing tiga ekor kepada Om Mefi.

"Semalam mama Marta bilang, besok akan mengadakan pesta di gereja. Sejenis kirim doa untuk kepulangan kita nanti. Enggak terasa seminggu lagi kita meninggalkan tempat ini." Amalia menerawang menatap birunya langit dari teras rumah Batumawira.

Aldory menghela napas, bangkit dari tempat duduknya. Berjalan mendekati Amalia yang bersandar di daun pintu.

"Kita jalan-jalan yuk, Bu Alia. Rasanya ingin menyapa warga sekitar sore ini." Aldory mengajak rekannya itu.

"Ayolah. Aku ganti jilbab dulu, Dor."

"Oke. Tak tunggu dibawah sana ya, Bu Alia." Aldory menuruni tangga teras rumah, seraya memasukkan kedua tangan pada saku celananya.

🌹🌹🌹

"Bu Alia, terima kasih ya, atas perhatiannya selama ini pada saya. Jujur, seandainya tidak bertugas bersama kalian. Mungkin aku sudah tidak betah. Padahal dibanding cerita teman-teman kemarin. Situasi kita di sini. Cukup, lumayan nyaman dan harusnya disyukuri."

"Mungkin serasa berat karena niat awal untuk menghindari pernikahan. Coba ngomong belum siap, menikah. Kurasa ibumu akan mengerti. Bukan mengatas namakan tugas dari kampus. Padahal kita ikut program ini atas kemauan sendiri. Dan itupun melalui seleksi pemilihan juga."

"Iya benar. Malu rasanya kalau ingat itu. Makanya sempat berandai-andai waktu awal merasakan terasing di tempat ini. Untuk salat Jumat yang wajib kita lakukan. Harus menempuh jarak 2 jam. Tapi, ya lama-lama bisa dinikmati juga." Aldory bercerita dengan menatap ke jalan lurus di depannya. Amalia mendengarkan dengan seksama.

"Woy ... tunggu!" panggil Agus berlari mengejar mereka berdua. Amalia dan Aldory memutar badannya mematung menunggu rekan mereka itu.

"Jalan-jalan enggak ajak. Katanya seiya sekata," protes Agus melengos wajahnya.

"Heleh, gosah ndrama. Kalau mau ikut jalan ayo, orang belum jauh juga dari rumah ini jalannya." Amalia menabok bahu Agus dengan gemas.

"Besok kita berdoa di gereja, gaess. Bilangnya mama Marta mau mengadakan kirim doa untuk kepulangan kita." Agus mulai bercerita.

"Ya, kita hadir saja. Menghormati mereka yang membuat acara untuk kita." Amalia memberikan pendapatnya.

"Iya sih, benar juga. Bu Alia, benaran enggak mau balik ke sini lagi," goda Agus menyenggol bahu perempuan itu.

"Ih, apa sih, Pak Agus ini."

"Patah hati deh, tuan muda Simarmata."

"Enggak juga. Yakin deh, akan bertemu jodohnya juga di sini nanti dianya," tukas Amalia kemudian.

Kemudian mereka memutuskan untuk duduk bersila menikmati sore yang indah itu di hamparan padang rumput.

"Ingat enggak, Dor. Pertama kali kita pergi salat Jumat ke pelabuhan. Saat kita enggan balik lagi kemari."

"Awal-awal kita tinggal di sini. Memang penuh perjuangan, semua kek salah dimata tuan rumah waktu itu. Memasang selang air pun jadi masalah," sambung Aldory terkekeh.

"Ya namanya adaptasi. Sebenarnya saat itu, aku dapat wejangan dari sesepuh di kampung muslim pelabuhan."

"What the wejangan?" Aldory menyipitkan sebelah matanya.

"Ya, serupa dan sejenis nasehatlah." 

"Oalah, nasehat ... Tapi, suer aku enggak ingat, Pak Agus. Sesepuh yang mana, nasehatnya apa?"

"Yaelaah ... ini bocah memang parah, Bu Alia daya ingatnya." Agus menggelengkan kepala sedangkan Amalia terkekeh seraya memegangi perutnya.

"Kita dulu, berjumpa dengan sesepuh di kampung moslem. Namanya Pak Mukhlis. Beliau yang ngajar ngaji anak-anak di sore hari, dan seminggu tiga kali di malam hari untuk orang tua di sana.

Nah, saat kita galau enggan pulang itu. Pak Mukhlis ini tanya sama kita. Asal dari mana, ke Tagulandang dalam rangka apa?

Kujawablah waktu itu, kami bertiga peserta SM-3T, Pak Mukhis. Terus beliau tanya lagi, SM-3T itu apa? Terus kegiatannya apa saja.

Lalu kujawab lagi, itu singkatan dari Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal. Kegiatannya banyak Bapak, semacam pengabdian di bidang pendidikan dan bidang kemasyarakatan.

Terus beliau bilang begini, 'Jadi intinya pengabdian ya, Nak. Kalau kalian benar-benar mengabdi kuncinya harus ikhlas, Nak. Pengabdian tanpa keikhlasan itu tak ada. Mengabdi itu bukan karena ini dan itu, melainkan karena benar-benar berniat tulus untuk membantu. Jika kita ikhlas, yakinlah dimanapun dan sampai kapanpun kita tak pernah bosan untuk melakukan sesuatu dengan penuh rasa tanggung jawab.'

MasyaAllah beneran waktu itu, kayak ada yang tercekat di kerongkonganku ini, Masak kamu enggak ingat sih, Dor?" Agus menabok bahu Aldory, karena pemuda itu begitu serius menyimak ceritanya.

"Lha, aku baru dengar wejangan seperti itu, hari ini. Makanya, dari tadi mana ada kita menyela ya, Bu Alia." Aldory merengut seraya mengusap bahu yang ditabok oleh Agus barusan.

"Memang nyata alias fakta, Pak Agus. Pengabdian tanpa keikhlasan itu tak ada," ucap Amalia tersenyum kepada mereka berdua.

Hening sesaat, meresapi cerita dari Agus Widodo barusan. Hingga ketiganya menerawang melihat lengkung langit di kawasan bukit, bertabur awan merah tembaga. Semburat cahaya matahari senja menyapu lembut hamparan lembah yang terbaring melingkari perbukitan.

"Benar ya, sudahkah kita ikhlas menjalani hari-hari di sini kemarin. Semoga kita benar-benar melaksanakan pengabdian dalam arti yang sebenarnya. Setidaknya ada yang membekas di hati anak didik kita di sini." Pungkas Amalia seraya mengusap jejak keharuan di kedua pipinya. Sedangkan Agus dan Aldory menyembunyikan mata yang berkaca dengan mengalihkan pandangan ke arah yang berlawanan.

🌹🌹🌹

Tanpa terasa seminggu berlalu begitu cepat. Masa pengabdian sebagai guru SM-3T di Tagulandang sudah usai. Semalam mama Marta mengadakan perpisahan lagi. Terhitung dari acara di gereja, perpisahan di sekolah dan semalam. Tiga kali diadakan perpisahan untuk Amalia bertiga rekannya.

Ketiganya benar-benar terharu mendapati sambutan yang begitu tulus dari warga sekitar rumah Batumawira dan sekolah tempat ketiganya mengajar.

Dua hari sebelumnya di aula SD, pihak sekolah mengadakan perpisahan untuk ketiganya. Tidak sedikit wali murid yang membawakan oleh-oleh khas dari daerah itu. Bahkan mereka juga mendapatkan uang saku dari pihak sekolah sebagai tanda terima kasih atas upaya ketiganya mendidik murid SMP di Tagulandang itu. Keharuan menyelimuti suasana di aula ketika para siswa menyanyikan lagu 'Hymne Guru' dan 'Tuhan Allah Beserta Engkau'.

Kedua lagu dipersembahkan oleh para murid sebagai lagu perpisahan untuk mereka bertiga. Agus dan Aldory menengadahkan muka untuk mencegah jatuhnya air mata mereka. Jangan ditanya bagaimana rasa haru menyelimuti hati Amalia, saat kedua rekannya berusaha menampilkan sisi tegarnya sebagai pria. Hati Amalia tidak bisa memungkiri ketulusan dari semua yang hadir di aula.

Semua siswi menangis tersedu saat bergantian memeluk erat Amalia. Dan tangis itu semakin deras saat ia menyematkan pin di atas saku seragam siswinya satu per satu. Pin yang dipesan khusus saat Amalia pulang ke Jawa, bulan April lalu.

Serangkaian perpisahan ditutup oleh pesta semalam di rumah Batumawira. Pesta sangat meriah sekali. Mama Marta mengundang tetangga sekitar rumah serta saudara yang kenal baik dengan Amalia dan kedua rekannya. Mereka bernyanyi dan berdendang hingga larut malam. 

"Aku antar kalian," ujar David Simarmata keluar dari mobil yang dikemudikannya.

"Terimakasih, Bang." Amalia mengangguk sungkan. Namun semua barang bawaan milik mereka bertiga sudah ditata dengan rapi oleh Agus dan Aldory di mobil David.

"Cie, Abang Simarmata rapi sekali." Goda para pemuda yang turut menyaksikan kepergian Amalia dan rekannya.

David hanya menyunggingkan senyuman. Ia pun membukakan pintu depan, mengisyaratkan kepada Amalia untuk menemani di bangku depan. Diliriknya Agus dan Aldory yang sudah duduk di jok belakang.

"Terimakasih, Bang." Amalia pun masuk ke dalam mobil menemani David yang nantinya membawa mobil mengantar mereka menuju pelabuhan Tagulandang.

Begitu sampai di pelabuhan. Mereka menunggu kapal dari Siau, yang mana teman-teman yang bertugas di Kabupaten Sitaro sudah berada di kapal itu. 

Saat kapal menepi ke dermaga. Keempatnya dikagetkan oleh teriak dari arah belakang. Dua Otto melaju beriringan dengan sorak-sorai memanggil nama ketiganya. Rupanya para guru dan murid di sekolah menyewa Otto untuk mengangkut mereka menuju ke pelabuhan. Demikian juga mama Marta dan tetangga rumah Batumawira juga menyewa Otto untuk mengantar kepergian mereka dari Tagulandang.

Rasa haru tak dapat terbilang oleh kata. Hanya tangis yang membanjiri mata ketiganya saat lambaikan tangan mereka yang ditinggalkan semakin terlihat menjauh dan mengecil karena kapal mulai berlayar menuju Menado.

Next ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   60. Menjaga Cinta

    Satria membiarkan Kanaya kembali berbaring santai setelah menandaskan tiga potong kue dan satu gelas jus jeruk. Ia menyalakan ponselnya lagi, memeriksa rentetan pesan masuk yang didominasi ancaman Kanzu dan deretan pertanyaan dari Daffa, berselang-seling dengan notifikasi panggilan tak terjawab dari Ghea.Satria berlalu ke ruang duduk, menatap layar ponselnya. Foto tangannya dan Kanaya, serta cincin kawin mereka berdua.Bunda Syaiba calling...Satria membiarkan panggilan itu berhenti berdering, lalu menyandarkan punggung dan mendongak menatap langit-langit artistik dengan cahaya lembut yang menenangkan. Ia tidak ingin membawa Kanaya kembali, namun terus memaksakan keadaan pun terasa menyakitkan.Satria memejamkan mata, menarik dan mengembuskan napas berulang kali hingga merasa siap menghadapi sisa permasalahan yang menunggunya nanti.Terdengar suara ponsel berdering kembali. Satria memeriksa, ternyata Fran yang menghubungi.“Halo...” sapa Satria pelan, menempelkan ponsel ke telinga ag

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   59. Dia Pintar

    “Mas Kanzu tahu kondisi Kanaya sekarang.”“Tapi kalau aku nyerah, pasti makin susah untuk bisa sama-sama seperti sebelumnya,” kata Satria. Ia tahu benar arah pembicaraan itu.“Makanya menyerahnya bukan sekadar menyerah,” ujar Ghea sambil menunduk. “Minta maaf, perbaiki, dan kalau perlu menangislah.”“Apa?” seru Daffa, kaget. “Bby, kamu tahu, Kanaya juga melakukan beberapa hal yang—”“Dia pintar, ingat? Mustahil dia enggak melakukan apa-apa sementara kamu selalu seenaknya,” potong Ghea santai. “Dia harus bisa bertahan di segala keadaan, makanya ngajak cerai itu ide paling tolol, Mas!”“Apa ingatannya udah pulih sepenuhnya?” tanya Satria.Ghea menggeleng. “Belum. Dokter bilang Kanaya kadang masih kewalahan dengan beberapa potongan dan kilas balik ingatan. Dia juga berkomitmen meminimalisasi penggunaan obat, jadi fokusnya sekarang cuma terapi dan relaksasi.”“Kalau ingatannya utuh, dia pasti tahu aku enggak serius sama rencana cerai itu.”Daffa menyipitkan mata. “Bukannya kalau ingatanny

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   58. Beri Kesempatan

    "Pak…” ucap Fran, menghentikan mobil di area lobi rumah sakit. “Pak Satria menunggu di Suite Room lantai delapan.” Kanzu menipiskan bibir dan melepas sabuk pengamannya. “Bapak sejak tadi memang tidak bertanya-tanya, namun saya sungguh bersaksi bahwa hingga siang tadi Ibu Kanaya masih sangat baik-baik saja bersama Pak Satria dan—” “Dan kenyataannya sekarang terjadi hal sebaliknya,” sela Kanzu sambil menyelipkan ponsel ke saku celana belakang dan keluar dari mobil. “Mas Kanzu!” panggil Ghea yang bergegas mendekat begitu Kanzu menuju lift. Daffa yang bersamanya segera membuntuti. “Kanaya?” tanya Kanzu. “Baik, stabil. Dia dirawat di Gedung Selatan,” jawab Ghea sambil menunjuk arah seberang, ke koridor besar menuju gedung perawatan. “Ayo, kita ke—” “Aku akan menemuinya setelah membereskan Satria,” potong Kanzu. Daffa menahan. “Situasi Satria juga enggak

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   57. Akan Aku Hadapi

    “Terima kasih sudah menelepon. Bunda akan siapkan keperluan tidurnya Saka. Kanaya juga sudah tidur?” “Iya, pulas sejak sejam lalu. Saya janji, Bund ... Kanaya akan baik-baik saja.” Bunda Syaiba mengangguk. Ia tidak bisa menutupi rasa sedih dan kecewanya, karena itu segera mematikan sambungan telepon. “Ayo, ambil Grimlock di kamar Papa Kanzu,” ajak Saka bersemangat. “Iya…” ucap Bunda Syaiba sambil menurunkan cucunya dari pangkuan dan membawanya keluar kamar, meski saat sampai di tangga ternyata Sus Neta sudah membawa barang-barang yang diperlukan. Saka tampak tenang kembali ke tempat tidur. Ia mengenakan kaus kaki, memeluk robot dinosaurusnya, dan diselimuti dengan quilt dari kamar Kanaya. Suara petir bersahutan beberapa kali, namun Saka tidak lagi menangis. Ia hanya mendekut semakin rapat di balik selimut bersama robot Grimlock. “Kenapa?” tanya Bu Syaiba saat cucunya terlihat membuka mata lagi. “Lampunya dimatiin,” jawab Saka sambil tersenyum. Saka udah bobok pakai selimu

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   56. Anakku

    "Kanaya!" seru Satria begitu sadar dari pingsannya. Daffa yang duduk di sisi kiri tempat tidur menghela napas pendek. "Dia baik-baik saja. Ghea bersamanya." "Aku mau—" Daffa dengan mudah menahan bahu Satria, membuatnya kembali rebah di tempat tidur. "Dokter obgyn mengonfirmasi kehamilannya, sekitar lima sampai enam minggu kalau dilihat dari hasil USG. Kantong kehamilan dan embrionya sudah terlihat. Jadi ...." "Anakku," lirih Satria. Daffa sempat diam, lalu mengangguk pelan. Sahabatnya tampak tenang menerima situasi. "Mama sudah menelepon. Ghea tidak banyak cerita. Kamu beruntung, dokter memutuskan Kanaya harus bedrest minimal seminggu." Satria mengangguk. Itu berarti istrinya harus beristirahat hingga pulih. "Ghea dan Kanaya sudah video call dengan Saka. Dia terus bertanya kenapa kalian belum pulang. Untungnya, hujan deras. Jadi, bisa dibuat alasan. Mas Kanzu juga baru bisa berangkat besok, sepertinya." Satria menggeleng. "Kalau tidak bisa naik pesawat, dia akan n

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   55. Gila dan Bodoh

    RS Premier Surabaya Ghea dan Daffa sama-sama butuh tempat untuk duduk sekaligus menenangkan diri. Dua jam lalu, begitu mobil mereka tiba, Satria justru sedang membopong Kanaya keluar dari rumah, langsung masuk ke kursi belakang, meneriakkan perintah untuk pergi ke rumah sakit. Ghea langsung bertanya apa yang terjadi, namun Satria menyuruhnya diam dan sibuk menghubungi Sus Neta agar segera membawa Saka ke rumah mereka.. “Apa pun yang terjadi, Saka harus kembali padaku, mengerti?” Ghea agak bergidik mendengar seruan itu, ditambah Satria yang kemudian sibuk menghubungi dr. Jihan meminta rekomendasi dokter di Surabaya untuk menangani keadaan Kanaya. Dan di sinilah mereka sekarang, salah satu rumah sakit terbaik di kota Pahlawan. Kanaya menjalani pemeriksaan awal di IGD dan dipindahkan ke Presidential Room setelah dipastikan kondisinya stabil. Kini hanya tinggal menunggu waktu hingga ia sadar. “Kamu aja dulu, Sayang ... yang ajak ngomong,” ucap Daffa karena ponselnya mulai berdering-d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status