Tak ada pesta tanpa akhir
Tak ada pertemuan tanpa perpisahan Mengapa harus menyesali perpisahan Jika hati telah menyatu Dan jiwa sudah bersama Tertautkan kenangan indah ~~♡~~ Siang itu terdengar kegaduhan dari rumah Om Mefi tempat tinggal Amalia di Batumawira. "Ada pembantaian lagi, Bu Alia. Kata Om Mefi, ada hajatan di keluarga Simarmata." Aldory memberitahu dengan anggukan kepala mengarah ke rumah depan. "Oh, begitu." Amalia mengangguk paham. Sudah hal biasa bagi mereka bertiga, mendengar lengkingan anjing yang dibunuh dengan cara dipukul kepalanya. Daging anjing dan babi menjadi hidangan wajib bagi hajatan di sana. Apalagi pesta pernikahan. Kebetulan besok, sepupu David Simarmata menikah. Jadi, pihak keluarga mereka memesan daging anjing tiga ekor kepada Om Mefi. "Semalam mama Marta bilang, besok akan mengadakan pesta di gereja. Sejenis kirim doa untuk kepulangan kita nanti. Enggak terasa seminggu lagi kita meninggalkan tempat ini." Amalia menerawang menatap birunya langit dari teras rumah Batumawira. Aldory menghela napas, bangkit dari tempat duduknya. Berjalan mendekati Amalia yang bersandar di daun pintu. "Kita jalan-jalan yuk, Bu Alia. Rasanya ingin menyapa warga sekitar sore ini." Aldory mengajak rekannya itu. "Ayolah. Aku ganti jilbab dulu, Dor." "Oke. Tak tunggu dibawah sana ya, Bu Alia." Aldory menuruni tangga teras rumah, seraya memasukkan kedua tangan pada saku celananya. 🌹🌹🌹 "Bu Alia, terima kasih ya, atas perhatiannya selama ini pada saya. Jujur, seandainya tidak bertugas bersama kalian. Mungkin aku sudah tidak betah. Padahal dibanding cerita teman-teman kemarin. Situasi kita di sini. Cukup, lumayan nyaman dan harusnya disyukuri." "Mungkin serasa berat karena niat awal untuk menghindari pernikahan. Coba ngomong belum siap, menikah. Kurasa ibumu akan mengerti. Bukan mengatas namakan tugas dari kampus. Padahal kita ikut program ini atas kemauan sendiri. Dan itupun melalui seleksi pemilihan juga." "Iya benar. Malu rasanya kalau ingat itu. Makanya sempat berandai-andai waktu awal merasakan terasing di tempat ini. Untuk salat Jumat yang wajib kita lakukan. Harus menempuh jarak 2 jam. Tapi, ya lama-lama bisa dinikmati juga." Aldory bercerita dengan menatap ke jalan lurus di depannya. Amalia mendengarkan dengan seksama. "Woy ... tunggu!" panggil Agus berlari mengejar mereka berdua. Amalia dan Aldory memutar badannya mematung menunggu rekan mereka itu. "Jalan-jalan enggak ajak. Katanya seiya sekata," protes Agus melengos wajahnya. "Heleh, gosah ndrama. Kalau mau ikut jalan ayo, orang belum jauh juga dari rumah ini jalannya." Amalia menabok bahu Agus dengan gemas. "Besok kita berdoa di gereja, gaess. Bilangnya mama Marta mau mengadakan kirim doa untuk kepulangan kita." Agus mulai bercerita. "Ya, kita hadir saja. Menghormati mereka yang membuat acara untuk kita." Amalia memberikan pendapatnya. "Iya sih, benar juga. Bu Alia, benaran enggak mau balik ke sini lagi," goda Agus menyenggol bahu perempuan itu. "Ih, apa sih, Pak Agus ini." "Patah hati deh, tuan muda Simarmata." "Enggak juga. Yakin deh, akan bertemu jodohnya juga di sini nanti dianya," tukas Amalia kemudian. Kemudian mereka memutuskan untuk duduk bersila menikmati sore yang indah itu di hamparan padang rumput. "Ingat enggak, Dor. Pertama kali kita pergi salat Jumat ke pelabuhan. Saat kita enggan balik lagi kemari." "Awal-awal kita tinggal di sini. Memang penuh perjuangan, semua kek salah dimata tuan rumah waktu itu. Memasang selang air pun jadi masalah," sambung Aldory terkekeh. "Ya namanya adaptasi. Sebenarnya saat itu, aku dapat wejangan dari sesepuh di kampung muslim pelabuhan." "What the wejangan?" Aldory menyipitkan sebelah matanya. "Ya, serupa dan sejenis nasehatlah." "Oalah, nasehat ... Tapi, suer aku enggak ingat, Pak Agus. Sesepuh yang mana, nasehatnya apa?" "Yaelaah ... ini bocah memang parah, Bu Alia daya ingatnya." Agus menggelengkan kepala sedangkan Amalia terkekeh seraya memegangi perutnya. "Kita dulu, berjumpa dengan sesepuh di kampung moslem. Namanya Pak Mukhlis. Beliau yang ngajar ngaji anak-anak di sore hari, dan seminggu tiga kali di malam hari untuk orang tua di sana. Nah, saat kita galau enggan pulang itu. Pak Mukhlis ini tanya sama kita. Asal dari mana, ke Tagulandang dalam rangka apa? Kujawablah waktu itu, kami bertiga peserta SM-3T, Pak Mukhis. Terus beliau tanya lagi, SM-3T itu apa? Terus kegiatannya apa saja. Lalu kujawab lagi, itu singkatan dari Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal. Kegiatannya banyak Bapak, semacam pengabdian di bidang pendidikan dan bidang kemasyarakatan. Terus beliau bilang begini, 'Jadi intinya pengabdian ya, Nak. Kalau kalian benar-benar mengabdi kuncinya harus ikhlas, Nak. Pengabdian tanpa keikhlasan itu tak ada. Mengabdi itu bukan karena ini dan itu, melainkan karena benar-benar berniat tulus untuk membantu. Jika kita ikhlas, yakinlah dimanapun dan sampai kapanpun kita tak pernah bosan untuk melakukan sesuatu dengan penuh rasa tanggung jawab.' MasyaAllah beneran waktu itu, kayak ada yang tercekat di kerongkonganku ini, Masak kamu enggak ingat sih, Dor?" Agus menabok bahu Aldory, karena pemuda itu begitu serius menyimak ceritanya. "Lha, aku baru dengar wejangan seperti itu, hari ini. Makanya, dari tadi mana ada kita menyela ya, Bu Alia." Aldory merengut seraya mengusap bahu yang ditabok oleh Agus barusan. "Memang nyata alias fakta, Pak Agus. Pengabdian tanpa keikhlasan itu tak ada," ucap Amalia tersenyum kepada mereka berdua. Hening sesaat, meresapi cerita dari Agus Widodo barusan. Hingga ketiganya menerawang melihat lengkung langit di kawasan bukit, bertabur awan merah tembaga. Semburat cahaya matahari senja menyapu lembut hamparan lembah yang terbaring melingkari perbukitan. "Benar ya, sudahkah kita ikhlas menjalani hari-hari di sini kemarin. Semoga kita benar-benar melaksanakan pengabdian dalam arti yang sebenarnya. Setidaknya ada yang membekas di hati anak didik kita di sini." Pungkas Amalia seraya mengusap jejak keharuan di kedua pipinya. Sedangkan Agus dan Aldory menyembunyikan mata yang berkaca dengan mengalihkan pandangan ke arah yang berlawanan. 🌹🌹🌹 Tanpa terasa seminggu berlalu begitu cepat. Masa pengabdian sebagai guru SM-3T di Tagulandang sudah usai. Semalam mama Marta mengadakan perpisahan lagi. Terhitung dari acara di gereja, perpisahan di sekolah dan semalam. Tiga kali diadakan perpisahan untuk Amalia bertiga rekannya. Ketiganya benar-benar terharu mendapati sambutan yang begitu tulus dari warga sekitar rumah Batumawira dan sekolah tempat ketiganya mengajar. Dua hari sebelumnya di aula SD, pihak sekolah mengadakan perpisahan untuk ketiganya. Tidak sedikit wali murid yang membawakan oleh-oleh khas dari daerah itu. Bahkan mereka juga mendapatkan uang saku dari pihak sekolah sebagai tanda terima kasih atas upaya ketiganya mendidik murid SMP di Tagulandang itu. Keharuan menyelimuti suasana di aula ketika para siswa menyanyikan lagu 'Hymne Guru' dan 'Tuhan Allah Beserta Engkau'. Kedua lagu dipersembahkan oleh para murid sebagai lagu perpisahan untuk mereka bertiga. Agus dan Aldory menengadahkan muka untuk mencegah jatuhnya air mata mereka. Jangan ditanya bagaimana rasa haru menyelimuti hati Amalia, saat kedua rekannya berusaha menampilkan sisi tegarnya sebagai pria. Hati Amalia tidak bisa memungkiri ketulusan dari semua yang hadir di aula. Semua siswi menangis tersedu saat bergantian memeluk erat Amalia. Dan tangis itu semakin deras saat ia menyematkan pin di atas saku seragam siswinya satu per satu. Pin yang dipesan khusus saat Amalia pulang ke Jawa, bulan April lalu. Serangkaian perpisahan ditutup oleh pesta semalam di rumah Batumawira. Pesta sangat meriah sekali. Mama Marta mengundang tetangga sekitar rumah serta saudara yang kenal baik dengan Amalia dan kedua rekannya. Mereka bernyanyi dan berdendang hingga larut malam. "Aku antar kalian," ujar David Simarmata keluar dari mobil yang dikemudikannya. "Terimakasih, Bang." Amalia mengangguk sungkan. Namun semua barang bawaan milik mereka bertiga sudah ditata dengan rapi oleh Agus dan Aldory di mobil David. "Cie, Abang Simarmata rapi sekali." Goda para pemuda yang turut menyaksikan kepergian Amalia dan rekannya. David hanya menyunggingkan senyuman. Ia pun membukakan pintu depan, mengisyaratkan kepada Amalia untuk menemani di bangku depan. Diliriknya Agus dan Aldory yang sudah duduk di jok belakang. "Terimakasih, Bang." Amalia pun masuk ke dalam mobil menemani David yang nantinya membawa mobil mengantar mereka menuju pelabuhan Tagulandang. Begitu sampai di pelabuhan. Mereka menunggu kapal dari Siau, yang mana teman-teman yang bertugas di Kabupaten Sitaro sudah berada di kapal itu. Saat kapal menepi ke dermaga. Keempatnya dikagetkan oleh teriak dari arah belakang. Dua Otto melaju beriringan dengan sorak-sorai memanggil nama ketiganya. Rupanya para guru dan murid di sekolah menyewa Otto untuk mengangkut mereka menuju ke pelabuhan. Demikian juga mama Marta dan tetangga rumah Batumawira juga menyewa Otto untuk mengantar kepergian mereka dari Tagulandang. Rasa haru tak dapat terbilang oleh kata. Hanya tangis yang membanjiri mata ketiganya saat lambaikan tangan mereka yang ditinggalkan semakin terlihat menjauh dan mengecil karena kapal mulai berlayar menuju Menado. Next ...Pembelian rumah telah disahkan oleh pihak notaris. Mengenai pembayaran, saat Kakek Rahmat hendak membayar untuk mereka. Kanzu menolak secara halus."Rumah yang kami tempati ini, biarlah menjadi tanggungjawab saya sebagai kelapa rumah tangga, Kek. Bukankah, sudah menjadi kewajiban saya menyediakan sandang, pangan dan papan untuk mereka.""Kakek bangga padamu, Kanzu. Seperti inilah, ayahmu dulu. Sangat bertanggungjawab dengan keluarganya. Kakek tenang, Saka dalam pengasuhan kalian berdua. Semua Kanaya mendapatkan jodoh sebaik kamu dan ayahnya," ungkap Kakek Rahmat dengan mata berkaca."Andai dia mengatakan siapa pria yang bertanggungjawab atas kelahiran Saka. Kakek ingin menemui pria itu, jika memang mereka dulu melakukan atas dasar suka. Kakek ingin mereka berdua menikah."Pasti kamu tahu, beban mental yang ditanggung olehnya bila dinikahi selain pria itu. Orang melihat dia sebagai gadis baik, dari keluarga baik. Tetapi, tidak bisa menjaga kehormat
Peristiwa penculikan Wafa, sengaja tidak dibahas lebih lanjut. Bahkan saat Bu Syaiba dan Kakek Rahmat mampir berkunjung ketika kembali dari Swiss di hari Ahad, mereka tidak diberitahu mengenai musibah yang menimpa Wafa.Walaupun Bu Ambar pada akhirnya tahu oleh Pak Basir, ayah Mahesa sendiri. Karena penyelidikan yang dilakukan oleh pihak berwajib pada kasus kriminal yang dilakukan anak bungsunya itu. Kakek Rahmat dan Bu Syaiba sengaja singgah ke apartemen Kanzu untuk melihat Saka. Melihat sang cucunya gembira tinggal bersama orang tuanya membuat hati Bu Syaiba tenang."Saka sepertinya nyaman tinggal bersama kalian. Bunda titip dia, ya ... di sini dia mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orangtuanya. Walaupun kalian berdua bukan orangtua kandungnya," ungkap Bu Syaiba dengan wajah sendunya."Bunda jangan berbicara seperti itu, nyatanya antara saya dan Saka masih terhubung pertalian darah yang sama. Darah Ayah Ghizra. Dan sudah menjadi kewajiban
Kanzu menatap wajah Mahesa dan Ibam yang telah dibuatnya babak belur. Bahkan ia larang Leo dan Satria turut menghajar dua pria di hadapannya itu."Ini pertama dan terakhir kali, kau menyentuh keluargaku, Mahesa." Kembali Kanzu melayangkan pukulan ke wajah Mahesa. "Leo, bawa kemari koper itu," pinta Kanzu pada Leo yang di sebelahnya teronggok tas berisi uang yang berhasil dirampasnya dari kawan preman tadi.Kanzu membuka retsleting koper, lantas tangannya mencakup penuh gepokan uang ratusan ribu dari dalam koper itu."Hanya karena ini, kamu tega berlaku keji pada saudaramu, Mahesa." Kanzu melempar gepokan uang ke arah Mahesa. Mungkin ada sepuluh gepok yang ia lempar ke tubuh pria itu."Polisi sebentar lagi tiba, Kanzu. Kamu segera jemput Wafa saja. Kita yang akan urus mereka di sini," ujar Leo mencoba menenangkan sahabatnya."Iya, tolong urus mereka untukku, Leo. Satria terima kasih, sudah membantuku."Satria menganggukk
Setibanya di stasiun Kanzu segera menemui Ibam. Tidak nampak Mahesa ikut serta. Apakah tebakkannya salah. Karena kalau hanya berdasarkan nomer Mahesa tidak bisa dijadikan bukti yang kuat.Sekarang ini, nomer mati karena tak lama kita isi pulsa. Lantas kita memilih membeli nomer baru. Nomer mati milik kita dulu, akan diterbitkan lagi menjadi kartu baru. Bukankah kemungkinan akan dibeli orang lain dan akan digunakan."Mana istriku?" tanya Kanzu melempar tas berisi uang dua milyar ke arah Ibam."Dia sudah kami bebaskan. Sebentar lagi, pasti sudah sampai rumah.""Jangan bercanda! Kalian sudah mendapatkan uangnya. Kenapa istriku tidak ada di sini?" tanya Kanzu geram.Ibam menyeringai, diambilnya tas yang dilempar Kanzu lalu membukanya. Nampak tumpukan uang merah berbendel di dalamnya. "Kita bukan orang bodoh, Bro. Kalau kami membawa istrimu, dan kamu menyerahkan uang ini. Bisa menjadi bukti, bila tertangkap tangan sebagai kasus pemerasan.
Kanzu memperhatikan jam di dinding kantin dengan cemas, di depannya duduk Leo dan Satria. "Uang sudah siap, kenapa dia tidak menghubungi kita lagi," ucap Kanzu gelisah.Masalah uang senilai dua milyar tadi langsung diselesaikan oleh Pak Faiz dan Ryan. Kanzu tinggal mengganti setelah Wafa kembali ke pelukannya dengan selamat."Tenanglah, Kanzu. Aku yakin, mereka tidak mungkin berani menyakiti Wafa," ujar Leo menenangkan sahabatnya. Satria yang duduk di samping Leo, memperhatikan ponsel milik Wafa. Ia pun sudah menghubungi Kirana. Satria meminta tolong pada wanita itu, melacak keberadaan preman yang menyekap Wafa."Tidak ada jejak sama sekali. Apakah kita hanya bisa menunggu telepon dari penculik saja," ujar Kanzu geram seraya memukulkan tinju pada pahanya."Kenapa aku berpikir yang melakukan ini, bukan orang asing. Tetapi, yang sudah mengenal Wafa. Bukankah, tas Wafa diletakkan di teras samping tadi. Pastilah dia tahu, Wafa bers
Derap langkah dari beberapa kaki yang menapaki lantai kayu tua semakin lama semakin mendekat. Suara langkah-langkah itu berat, berirama, seolah mengisyaratkan keberadaan lebih dari satu orang. Jantung Wafa berdetak tak karuan. Ia hanya bisa menebak-nebak, sebab matanya tertutup kain yang diikat sangat rapat, dan mulutnya dibungkam dengan lakban. Rasa takut dan cemas merayap di seluruh tubuhnya. Ia tahu dirinya berada di sebuah ruangan gelap dan pengap. Bau apek, debu, dan lembap menekan indra penciumannya. Wafa duduk di lantai dingin, dengan kaki dan tangan diikat jadi satu. Ikatan tali itu terasa sangat kencang, membuat pergelangan tangan dan kakinya kebas. Sejak sadar, ia sudah berusaha sekuat tenaga melepaskan tali yang mengikat kedua tangannya. Gesekan tali pada kulitnya membuat tangannya lecet dan perih, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya ia menyerah karena rasa dahaga dan lapar yang amat sangat. Tidak ada yang memberinya makan dan minum. Ia harus menjaga diri agar