Keluar dari pintu kedatangan Juanda, Amalia segera membawa kopernya menuju loket bis Damri. Tekadnya sudah bulat. Tidak akan kembali ke rumah keluarga Santosa.
Mengenai Kanzu, Amalia mengajak putranya untuk tinggal bersama setelah selesai masa PPG-nya. Ia berfikir setelah kelahiran bayi Syaiba dan Ghizra. Pasti keberadaan putranya tidaklah sama lagi. Dalam segi perhatian dan kasih sayang dari keluarga Santosa. "Kak Alia!" Refleks Amalia memutar tubuhnya. Dan benar panggilan yang baru saya ia dengar, adalah panggilan dari putranya Kanzu Al Ghifari. "Eh, Kanzu sama siapa?" tanya Amalia. "Kami datang untuk menjemputmu, Alia," jawaban dari Rahmat membuat Amalia mendongak melihat sosok ayah dari Syaiba itu. "Dari semalam, Syaiba sudah mewanti-wanti Papa dan Ghizra untuk menjemputmu." "Oh, terimakasih, Pa ... Tapi, saya putuskan untuk langsung pulang ke rumah saja." "Rumah mana? Bukankah rumahmu adalah di sini. Sudahlah, ayo kita pulang. Mama dan Syaiba menunggumu di rumah." Amalia menatap Ghizra yang berdiri di samping Rahmat. Hanya anggukan yang diberikan sebaik balasan keraguan dari sorot mata wanita yang hingga kini belum ditalaknya itu. 🌹🌹🌹 Kanzu menggandeng tangan Amalia memasuki teras rumah keluarga Santosa. Dari dalam nampak Sinta dan Syaiba tersenyum menyambut kedatangannya. Empat bulan lebih Amalia tidak bersua. Membuat ketiganya saling berpelukan melepaskan rindu. "Alhamdulillah akhirnya datang juga. Kami sudah siapkan kamar untukmu dan Kanzu. Jadi, kamar Kanzu direnovasi. Dibuat lebih besar dari kemarin." Syaiba langsung menggandeng lengan Amalia menuju kamar Kanzu yang berada di belakang. "Enak kan, bisa menghirup udara pagi sepuasnya." Amalia mengangguk membenarkan ucapan Syaiba. "Ya, sudah. Kami tinggal dulu ya, pasti capek nih perjalanan dari pulau kemari. Istirahat dulu, Alia. Kanzu ikut kami sore ini, untuk periksa. Dia paling antusias melihat Kanaya." "Kanaya?" Amalia mengernyit, seolah belum paham ucapan Syaiba. Syaiba mengelus perutnya yang membulat seraya berkata. "Pemeriksaan bulan kemarin. Cewek katanya. Kami sepakat memberi nama Kanaya. Pass 'kan, Kanzu dan Kanaya. Mereka akan menjadi kakak-beradik nantinya." "Mereka memang kakak beradik, Syaiba," batin Amalia berkata dengan senyum terukir di bibirnya. "Ya, sudah. Aku tinggal dulu ya, dari tadi aku ngomong terus. Kapan kamunya istirahat, coba." Amalia tertawa mendengar perkataan Syaiba tadi. Ia turut bahagia melihat wajah semangat sahabatnya itu. Amalia mengunci pintu kamar putranya itu. Kemudian berjalan mendekati kopernya untuk mengambil baju dan peralatan mandi. Ia ingin segera membersihkan diri kemudian berbaring sejenak menghilangkan rasa penat perjalanan yang seharian lebih itu. 🌹🌹🌹 Malamnya di teras belakang Amalia bercengkrama bersama Kanzu dan Syaiba. Sahabat Amalia itu sangat antusias menceritakan hasil pemeriksaan kandungnya tadi sore. "Alhamdulillah sehat semua. Mendekati HPL diminta seminggu sekali periksanya." "Pertengahan bulan ini ya, Syaiba. Semoga lancar proses lahirannya." "Aamiin ... nanti kamu bantuin merawat Kanaya ya, mumpung belum masuk PPG. Oiya bulan berapa itu." "Belum tahu. Biasanya teman-teman kasih info di group nanti. Oiya, sebenarnya aku tuh ingin tinggal di Ponorogo sambil nunggu masuk PPG." "Lho, kenapa? Aku merasa kamu berubah semenjak pulang waktu itu." "Kita enggak sama seperti dulu lagi, Syaiba. Kamu sudah menikah sekarang. Ada suamimu yang tinggal di sini juga. Sudah semestinya aku pergi dari rumah ini." "Tidak ada yang berubah, Alia. Toh posisi mas Ghizra sama dengan papa bukan. Bedanya mas Ghizra suamiku, papa suaminya mama." "Ya bedalah. Papa Rahmat memang bukan mahramku. Tapi, Ayah memberikan wasiat kepada Papa untuk menjaga kami berdua. Dan papapun menyanggupi wasiat itu, dengan menganggapku sebagai putrinya sendiri." Syaiba tergelak mendengar penuturan Amalia. "Papa menganggapmu sebagai putrinya sendiri. Apa kau takut, Mas Ghizra akan menganggapmu sebagai istrinya juga. Kau ini ada-ada saja, Alia. Aku tahu, kalian enggak mungkin berlaku curang di belakangku seperti drama perselingkuhan itu." Amalia memejamkan mata seraya menghirup napas sebanyak-banyak. Jujur, dia tidak nyaman berada di rumah sahabatnya itu. Alasannya karena harus seatap dengan Ghizra. Ghizra belum menalaknya. Otomatis dirinya masih menyandang istri pria itu. Hal yang paling Amalia hindari saat ini, Syaiba mengetahui kebenaran statusnya saat ini. "Aku berusaha menutup celah itu, Syaiba." Amalia tersenyum getir sambil mengelus kepala Kanzu yang mulai bersandar di dadanya. Putranya yang sudah masuk TK.B itu rupanya sudah mengantuk. "Sudahlah, kamu berpikir terlalu jauh, Alia. Mas Ghizra tidak mungkin mengkhianati pernikahan kami. Aku yakin seribu persen. Apalagi sebentar lagi buah hati kami akan lahir ke dunia ini." Syaiba menatap manik sahabatnya dengan tatapan menyakinkan sembari mengusap perut bulatnya. "Baiklah. Kita lanjut mengobrolnya besok, ya ... Kanzu sudah tertidur ini. Kami masuk ke kamar dulu." Kebetulan saat Amalia hendak memutar tubuh Kanzu untuk digendongnya. Ghizra muncul dari dalam ruang makan melonggokan kepala melihat ke arahnya. "Eh, Mas ... kebetulan nih. Bantu gendong Kanzu ke kamarnya dong." Syaiba memerintahkan Ghizra untuk mengambil Kanzu dari ibunya. Amalia mengerjap mendengar perintah Syaiba barusan. "Mmnch, kamu ini. Aku bisa kok gendong Kanzu. Permisi ya, kami istirahat dulu." Amalia segera membawa Kanzu menuju kamarnya. Yang berada dibalik dinding teras belakang itu. Posisi Ghizra yang di depan pintu tak urung membuat pandangan keduanya berserobok. "Aku bantu angkat Kanzu, Alia," tawar Ghizra enggan memutus kontak mata dengan istri pertamanya itu. "Aku bisa sendiri. Sudah biasa kok, aku gendong Kanzu. Permisi ...." Amalia mengisyaratkan dengan kepala, supaya Ghizra menyingkir dari depan pintu. Pria itu menepi begitu tawaran bantuannya ditolak. . . NextPembelian rumah telah disahkan oleh pihak notaris. Mengenai pembayaran, saat Kakek Rahmat hendak membayar untuk mereka. Kanzu menolak secara halus."Rumah yang kami tempati ini, biarlah menjadi tanggungjawab saya sebagai kelapa rumah tangga, Kek. Bukankah, sudah menjadi kewajiban saya menyediakan sandang, pangan dan papan untuk mereka.""Kakek bangga padamu, Kanzu. Seperti inilah, ayahmu dulu. Sangat bertanggungjawab dengan keluarganya. Kakek tenang, Saka dalam pengasuhan kalian berdua. Semua Kanaya mendapatkan jodoh sebaik kamu dan ayahnya," ungkap Kakek Rahmat dengan mata berkaca."Andai dia mengatakan siapa pria yang bertanggungjawab atas kelahiran Saka. Kakek ingin menemui pria itu, jika memang mereka dulu melakukan atas dasar suka. Kakek ingin mereka berdua menikah."Pasti kamu tahu, beban mental yang ditanggung olehnya bila dinikahi selain pria itu. Orang melihat dia sebagai gadis baik, dari keluarga baik. Tetapi, tidak bisa menjaga kehormat
Peristiwa penculikan Wafa, sengaja tidak dibahas lebih lanjut. Bahkan saat Bu Syaiba dan Kakek Rahmat mampir berkunjung ketika kembali dari Swiss di hari Ahad, mereka tidak diberitahu mengenai musibah yang menimpa Wafa.Walaupun Bu Ambar pada akhirnya tahu oleh Pak Basir, ayah Mahesa sendiri. Karena penyelidikan yang dilakukan oleh pihak berwajib pada kasus kriminal yang dilakukan anak bungsunya itu. Kakek Rahmat dan Bu Syaiba sengaja singgah ke apartemen Kanzu untuk melihat Saka. Melihat sang cucunya gembira tinggal bersama orang tuanya membuat hati Bu Syaiba tenang."Saka sepertinya nyaman tinggal bersama kalian. Bunda titip dia, ya ... di sini dia mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orangtuanya. Walaupun kalian berdua bukan orangtua kandungnya," ungkap Bu Syaiba dengan wajah sendunya."Bunda jangan berbicara seperti itu, nyatanya antara saya dan Saka masih terhubung pertalian darah yang sama. Darah Ayah Ghizra. Dan sudah menjadi kewajiban
Kanzu menatap wajah Mahesa dan Ibam yang telah dibuatnya babak belur. Bahkan ia larang Leo dan Satria turut menghajar dua pria di hadapannya itu."Ini pertama dan terakhir kali, kau menyentuh keluargaku, Mahesa." Kembali Kanzu melayangkan pukulan ke wajah Mahesa. "Leo, bawa kemari koper itu," pinta Kanzu pada Leo yang di sebelahnya teronggok tas berisi uang yang berhasil dirampasnya dari kawan preman tadi.Kanzu membuka retsleting koper, lantas tangannya mencakup penuh gepokan uang ratusan ribu dari dalam koper itu."Hanya karena ini, kamu tega berlaku keji pada saudaramu, Mahesa." Kanzu melempar gepokan uang ke arah Mahesa. Mungkin ada sepuluh gepok yang ia lempar ke tubuh pria itu."Polisi sebentar lagi tiba, Kanzu. Kamu segera jemput Wafa saja. Kita yang akan urus mereka di sini," ujar Leo mencoba menenangkan sahabatnya."Iya, tolong urus mereka untukku, Leo. Satria terima kasih, sudah membantuku."Satria menganggukk
Setibanya di stasiun Kanzu segera menemui Ibam. Tidak nampak Mahesa ikut serta. Apakah tebakkannya salah. Karena kalau hanya berdasarkan nomer Mahesa tidak bisa dijadikan bukti yang kuat.Sekarang ini, nomer mati karena tak lama kita isi pulsa. Lantas kita memilih membeli nomer baru. Nomer mati milik kita dulu, akan diterbitkan lagi menjadi kartu baru. Bukankah kemungkinan akan dibeli orang lain dan akan digunakan."Mana istriku?" tanya Kanzu melempar tas berisi uang dua milyar ke arah Ibam."Dia sudah kami bebaskan. Sebentar lagi, pasti sudah sampai rumah.""Jangan bercanda! Kalian sudah mendapatkan uangnya. Kenapa istriku tidak ada di sini?" tanya Kanzu geram.Ibam menyeringai, diambilnya tas yang dilempar Kanzu lalu membukanya. Nampak tumpukan uang merah berbendel di dalamnya. "Kita bukan orang bodoh, Bro. Kalau kami membawa istrimu, dan kamu menyerahkan uang ini. Bisa menjadi bukti, bila tertangkap tangan sebagai kasus pemerasan.
Kanzu memperhatikan jam di dinding kantin dengan cemas, di depannya duduk Leo dan Satria. "Uang sudah siap, kenapa dia tidak menghubungi kita lagi," ucap Kanzu gelisah.Masalah uang senilai dua milyar tadi langsung diselesaikan oleh Pak Faiz dan Ryan. Kanzu tinggal mengganti setelah Wafa kembali ke pelukannya dengan selamat."Tenanglah, Kanzu. Aku yakin, mereka tidak mungkin berani menyakiti Wafa," ujar Leo menenangkan sahabatnya. Satria yang duduk di samping Leo, memperhatikan ponsel milik Wafa. Ia pun sudah menghubungi Kirana. Satria meminta tolong pada wanita itu, melacak keberadaan preman yang menyekap Wafa."Tidak ada jejak sama sekali. Apakah kita hanya bisa menunggu telepon dari penculik saja," ujar Kanzu geram seraya memukulkan tinju pada pahanya."Kenapa aku berpikir yang melakukan ini, bukan orang asing. Tetapi, yang sudah mengenal Wafa. Bukankah, tas Wafa diletakkan di teras samping tadi. Pastilah dia tahu, Wafa bers
Derap langkah dari beberapa kaki yang menapaki lantai kayu tua semakin lama semakin mendekat. Suara langkah-langkah itu berat, berirama, seolah mengisyaratkan keberadaan lebih dari satu orang. Jantung Wafa berdetak tak karuan. Ia hanya bisa menebak-nebak, sebab matanya tertutup kain yang diikat sangat rapat, dan mulutnya dibungkam dengan lakban. Rasa takut dan cemas merayap di seluruh tubuhnya. Ia tahu dirinya berada di sebuah ruangan gelap dan pengap. Bau apek, debu, dan lembap menekan indra penciumannya. Wafa duduk di lantai dingin, dengan kaki dan tangan diikat jadi satu. Ikatan tali itu terasa sangat kencang, membuat pergelangan tangan dan kakinya kebas. Sejak sadar, ia sudah berusaha sekuat tenaga melepaskan tali yang mengikat kedua tangannya. Gesekan tali pada kulitnya membuat tangannya lecet dan perih, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya ia menyerah karena rasa dahaga dan lapar yang amat sangat. Tidak ada yang memberinya makan dan minum. Ia harus menjaga diri agar