LOGIN"Apakah selama kita menikah, Saka juga memanggilmu, Papa?”"Tentu. Aku, kan ayahnya.""Soalnya, bagi Saka ... papanya ya, Mas Kanzu. Mamanya itu, Kak Ainun.""Itu, dulu ... setelah Saka tinggal bersama kita. Dia juga memanggil kita berdua mama dan papa." Kanaya mendengkus. “Saka lebih suka mandi air hangat atau dingin?” “Hangat. Sama kayak aku.” “Warna favoritnya?” “Biru dan hijau. Lagi-lagi sama kayak aku.” “Ck! Kamu sengaja pamer, ya?” “Buat apa pamer? Memang anaknya mirip aku banget.” Kanaya kembali menyesap kuah kaldu. “Makanan favoritnya?” “Belakangan ini DinoJelly sama DinoCookies.” “Belakangan ini?” “Dia belum konsisten soal makanan favorit. Tapi akhir-akhir ini suka makan itu, buatan Mama Nununnya. Sebelumnya kamu yang selalu buatkan untuknya, Nay ...." “Oh, apakah dia sekarang semakin pinta
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Kanaya sambil menatap Satria. “Kita pergi bertiga ke Yogyakarta untuk liburan di Camping Park Merapi selama tiga hari. Lalu di hari terakhir, saat perjalanan cari oleh-oleh, terjadi kecelakaan. Jeep kita ditabrak truk yang remnya blong.” Napas Kanaya tertahan. “Bertiga, apakah bersama Saka juga. Bagaimana keadaannya ... apakah anakku baik-baik saja.” “Ya, dia baik-baik saja! Saka ada di sini selama kamu dirawat. Dia sangat sehat dan ceria. Baru kemarin dia ikut sepupu suamimu ke hotel,” jelas dr. Jihan “Aku ingin menemuinya, tolong,” pinta Kanaya, tidak bisa menunggu lebih lama. “Enggak!” ucap Satria. Enggak? ulang Kanaya dalam hati. Kesedihan yang muncul membuatnya kembali menangis. Ia tidak tahu kenapa rasanya sangat sakit mendengar Satria menolak permintaannya. “Kamu enggak bisa langsung begitu aja ketemu dia, Nay.” “Ya, tolonglah ...” kata Wafa, meny
“Akhirnya, Mbak Wafa datang juga ....”Wafa tersenyum pada suster yang menyapanya, meletakkan wadah makanan berisi dua belas sandwich dan enam kemasan jus.“Silakan ya, buat sarapan.”“Terima kasih, Bu. Saya kabari dr. Jihan dulu.”“Suami adik ipar saya sudah bangun?”“Sudah, Mbak Kanaya juga sudah.” Suster tersenyum lebar. “Ini baru mau saya teleponkan Mbak sebenarnya.”“Telepon saya? Ada apa?”“Mbak Kanaya yang minta, katanya tolong bilang Kak Aihun supaya segera datang.”Wafa menyipitkan mata. Lebih masuk akal jika Kanaya minta tolong Satria untuk meneleponnya.“Kok, Kanaya tahu suster bisa telepon—”Indikator pemanggil yang kemudian menyala-nyala membuat mereka terkesiap.“Itu ruangan Kanaya! Minta dr. Jihan segera ke ruangannya,” pinta Wafa setengah berlari memasuki ruang rawat adik iparnya.“Nay ....”Kanaya menangis keras, wajahnya basah dengan cucuran air mata. Satria tampak kebingungan untuk menenangkan.“Kakaaakk ....” isak Kanaya.“O ... oh iya, ini kakak, Nay ....” Wafa b
Satria mendapati notes tersebut di meja saat terbangun. Saat itu pukul lima lewat lima belas. Ia meraih sebotol air mineral baru, membukanya sambil duduk, lalu meneguk hingga setengahnya. Setelah menutup kembali botol itu, Satria meregangkan tubuh, beranjak ke lemari untuk mengambil baju ganti, dan membawanya ke kamar mandi. Kanaya masih pulas, dan setiap grafik di monitornya stabil. Satria menarik napas panjang, berlalu memasuki kamar mandi dan memulai rutinitas paginya. Suara pintu geser yang bergerak membuat Satria mematikan shower dan memasang telinga. Suara ucapan selamat pagi yang samar membuatnya kembali tenang — pasti suster yang datang untuk memeriksa. Satria mengambil kemasan sabun cuci muka, tapi tiba-tiba terdengar jeritan Kanaya. “Yaa Tuhan, Nay ...” panggil Satria, meninggalkan sabunnya. Ia meraih handuk, melilitkannya di pinggang, dan bergegas keluar dari kamar mandi. “Astaga!!” seruan itu
"Mas Satria ....” “Ya?” tanya Satria, kembali waspada karena Kanaya memandangnya lekat. “Kamu juga enggak perlu khawatir, Mas,” ucap Kanaya pelan. Ia kasihan melihat wajah kuyu lelaki yang pasti sudah lama menunggunya. “Aku bukan perempuan yang merepotkan. Begitu Kak Kanzu ke sini, aku akan bilang langsung kalau pernikahan kita enggak sah.” “Itu sah, Nay. Ada surat-suratnya. Kamu itu istriku secara resmi.” “Masalahnya, aku enggak mau punya suami.” Satria melongo. “Apa?” “Hubungan dengan pasangan itu kompleks. Aku enggak mau asal menikah, gitu ... aku mau punya suami seperti Daddy Hilmy yang menerima dan mencintai Mammyu tanpa syarat apapun." "Aku juga mencin— "Mas melakukannya rasa bersalah saja. Karena Mas Satria telah mengambil kegadisanku," bantah Kanaya dengan tatapan tajam di akhir kalimat. "Aku diam, enggak sebut nama Mas Satria. Bukan berarti peduli samamu, Mas. Aku melakukannya untuk melindungi Kak Ainun. Dan pastinya Kakak iparku itu, akan merasa bersalah bange
“Karena kita perlu memastikan sejauh apa ingatan Kanaya sekarang, saya harap kerja samanya ketika nanti timbul kesadaran lagi untuk bersabar dalam menghadapinya. Sebisa mungkin justru perlahan-lahan mengikuti alur ingatannya. Dia terhenti di ingatan sebelum menikah. Artinya Pak Satria dan Mbak Wafa sama-sama mengerti apa yang terjadi saat itu, lalu berusaha menyesuaikan,” ucap dr. Jihan sebelum beranjak pergi.Satria menyunggingkan senyum tipis sambil menyugar rambut. Bukannya tidak mengerti, tetapi mengingat masa-masa itu juga tidak mudah baginya. Ia tidak ingin mengulang masa lalu. Ia ingin mempertahankan masa sekarang, yang sudah berlanjut dan saling menyesuaikan dengan baik. “Saka mana, Ya?” tanya Wafa, sejak tadi tidak mendapati putra angkatnya di dalam ruangan. “Ikut Ghea ke hotel, mau tidur di sana.” Wafa mengangguk, melipat selimut yang biasa dipeluk Saka selama tidur di ruang rawat ini. “Selimutnya ini kubawa saja,







