Se connecterSatria mendapati notes tersebut di meja saat terbangun. Saat itu pukul lima lewat lima belas. Ia meraih sebotol air mineral baru, membukanya sambil duduk, lalu meneguk hingga setengahnya. Setelah menutup kembali botol itu, Satria meregangkan tubuh, beranjak ke lemari untuk mengambil baju ganti, dan membawanya ke kamar mandi. Kanaya masih pulas, dan setiap grafik di monitornya stabil. Satria menarik napas panjang, berlalu memasuki kamar mandi dan memulai rutinitas paginya. Suara pintu geser yang bergerak membuat Satria mematikan shower dan memasang telinga. Suara ucapan selamat pagi yang samar membuatnya kembali tenang — pasti suster yang datang untuk memeriksa. Satria mengambil kemasan sabun cuci muka, tapi tiba-tiba terdengar jeritan Kanaya. “Yaa Tuhan, Nay ...” panggil Satria, meninggalkan sabunnya. Ia meraih handuk, melilitkannya di pinggang, dan bergegas keluar dari kamar mandi. “Astaga!!” seruan itu
"Mas Satria ....” “Ya?” tanya Satria, kembali waspada karena Kanaya memandangnya lekat. “Kamu juga enggak perlu khawatir, Mas,” ucap Kanaya pelan. Ia kasihan melihat wajah kuyu lelaki yang pasti sudah lama menunggunya. “Aku bukan perempuan yang merepotkan. Begitu Kak Kanzu ke sini, aku akan bilang langsung kalau pernikahan kita enggak sah.” “Itu sah, Nay. Ada surat-suratnya. Kamu itu istriku secara resmi.” “Masalahnya, aku enggak mau punya suami.” Satria melongo. “Apa?” “Hubungan dengan pasangan itu kompleks. Aku enggak mau asal menikah, gitu ... aku mau punya suami seperti Daddy Hilmy yang menerima dan mencintai Mammyu tanpa syarat apapun.""Aku juga mencin—"Mas melakukannya rasa bersalah saja. Karena Mas Satria telah mengambil kegadisanku," bantah Kanaya dengan tatapan tajam di akhir kalimat. "Aku diam, enggak sebut nama Mas Satria. Bukan berarti peduli samamu, Mas. Aku melakukannya untuk melindungi Kak Ainun. Dan pastinya Kakak iparku itu, akan merasa bersalah banget,
“Karena kita perlu memastikan sejauh apa ingatan Kanaya sekarang, saya harap kerja samanya ketika nanti timbul kesadaran lagi untuk bersabar dalam menghadapinya. Sebisa mungkin justru perlahan-lahan mengikuti alur ingatannya. Dia terhenti di ingatan sebelum menikah. Artinya Pak Satria dan Mbak Wafa sama-sama mengerti apa yang terjadi saat itu, lalu berusaha menyesuaikan,” ucap dr. Jihan sebelum beranjak pergi.Satria menyunggingkan senyum tipis sambil menyugar rambut. Bukannya tidak mengerti, tetapi mengingat masa-masa itu juga tidak mudah baginya. Ia tidak ingin mengulang masa lalu. Ia ingin mempertahankan masa sekarang, yang sudah berlanjut dan saling menyesuaikan dengan baik. “Saka mana, Ya?” tanya Wafa, sejak tadi tidak mendapati putra angkatnya di dalam ruangan. “Ikut Ghea ke hotel, mau tidur di sana.” Wafa mengangguk, melipat selimut yang biasa dipeluk Saka selama tidur di ruang rawat ini. “Selimutnya ini kubawa saja,
“Apa-apaan kamu, ini, Mas! Ternyata kamu sudah menikah! Baru, kamu bilang akan bertanggung jawab padaku. Dasar, laki-laki buaya!"Apa-apaan situasi ini! batin Satria dengan syok.Delapan hari yang panjang, melelahkan, sekaligus tak tertahankan. Satria menunggu selama itu, mencoba tetap fokus, kuat, dan tegar. Dokter Jihan segera memandang dua wali pasiennya bergantian. Ini sudah diprediksi oleh timnya dan harus ditangani secara hati-hati.“Pak Satria, Mbak Wafa, biarkan saya bicara lebih dulu dengan Ka—”“Kamu mending balik saja ke istri sah kamu ....” kata Kanaya. Tatapan jijik perempuan itu tampak nyata, menghujam pada Satria.Tidak mungkin!Ini tidak mungkin terjadi. Satria tak sanggup mempercayainya.“Satria...” panggil Wafa, bisa memahami raut kelam sekaligus sedih yang tersurat di wajah sang adik ipar. “Pak Satria, mohon untuk tetap tenang dan biarkan saya—”"Ini tidak nyata,” ujar Satria sedih. Bukan seperti ini seharusnya terjadi. Ia menunggu untuk berjumpa kembali dengan
“Kak ….” Wafa terkesiap saat menyeka pipi adik iparnya dan mendengar panggilan itu. Ia menjauhkan waslap, lalu selembut mungkin menanggapi, “Nay … Naya ….” “Kak Ainun …,” sahut Kanaya pelan. "Masyaallah, Nay!” seru Wafa, segera menekan tombol pemanggil di dekat kepala ranjang. Ia berusaha menahan tangis saat memperhatikan kelopak mata Kanaya bergerak perlahan-lahan, membuka. “Nay … Naya ….” “Kak ….” Wafa mengangguk, menanggapi dengan tangis tertahan dan doa penuh syukur. “Iya, ini Kakak, Nay … oh, syukurlah! Kami sudah lama menunggumu sadar.” Kami? Kanaya menyipitkan mata, menahan nyeri yang menyiksa kepalanya. Sakit sekali rasanya. Tubuhnya pun sulit digerakkan. Lebih dari itu, kerongkongannya terasa sangat kering hingga sulit mengeluarkan suara. “Alhamdulillah, kamu sudah sadar,” ujar Wafa sebelum bergegas menyeka air matanya dan beranjak ke pintu. “Ya, Satria! Naya bangun! Dia barusan manggil aku!” Ya, Satria? Kanaya mengerjapkan mata, menunggu beberapa detik, la
Mas Satria .... Satria terkesiap membuka mata, menyadari ini masih hari kelima sejak kecelakaan yang membuat Kanaya belum sadarkan diri. Ia menoleh ke samping, memperhatikan dengan saksama. Tempat tidur khusus penunggu berukuran double itu tidak cukup leluasa untuknya bergerak, apalagi ditambah Saka. “Saka,” panggil Satria lalu bangun, menoleh ke sekitarnya dan mendapati Daffa di salah satu kursi sofa mengangkat tangan. “Oh, kamu udah lama?” “Setengah jam! Kamu ngorok sampai Saka kesel.” “Mana dia?” tanya Satria, bangun dari tidurnya untuk menghampiri Daffa. “Sama Ante Ghea, jalan-jalan ke bawah, mau lihat adik bayi ....” “Sial.” Daffa tertawa lalu melemparkan sesuatu yang langsung ditangkap Satria. Ponsel yang pernah diserahkan sebelumnya. “Aku harus balik ke Jakarta sore ini. Pekerjaan kamu minggu ini udah aman, ada acc beberapa berkas proyek smart living. Zafran bilang dia yang bakal datang, mungkin lusa.” “Oke.” Satria menatap ponselnya, memeriksa pesan-pesan terb







