Kanzu memperhatikan wajah cantik di hadapannya yang dengan telaten memasangkan dasi di kemejanya. "Ada apa? Cerita saja, kalau ada yang dipikirkan sama Mas. Apa ini, ada kaitannya dengan cerita semalam, hmm?" tanya Kanzu mentoel hidung sang istri dengan hidung panjangnya.
Wafa menggelengkan kepala. "Sebenarnya aku merasa ada yang perhatikan diriku setiap jemput Saka di daycare dua harian kemarin, Mas. Ada Jeep yang selalu terparkir di jam aku jemput Saka. Pengemudinya saat aku keluar bawa Saka, pasti sok sibuk nerima telepon, sambil sesekali melihat ke arah kami."Mungkin, kalau sekali lihatnya, aku enggak kepikiran. Tapi, besoknya aku lihat Jeep dan pria itu, di tempat itu lagi. Dan melakukan hal yang sama. Aku jadi kepikiran keselamatan Saka, Mas. Sebelumnya aku enggak pernah mengalami hal seperti ini.""Kalau soal keamanan, kayaknya enggak perlu khawatir, Yang. Para penjahat akan mikir seribu kali melakukan aksinya. Wong berdekatan dengan kantor polisi.Kanzu menatap wajah Mahesa dan Ibam yang telah dibuatnya babak belur. Bahkan ia larang Leo dan Satria turut menghajar dua pria di hadapannya itu."Ini pertama dan terakhir kali, kau menyentuh keluargaku, Mahesa." Kembali Kanzu melayangkan pukulan ke wajah Mahesa. "Leo, bawa kemari koper itu," pinta Kanzu pada Leo yang di sebelahnya teronggok tas berisi uang yang berhasil dirampasnya dari kawan preman tadi.Kanzu membuka retsleting koper, lantas tangannya mencakup penuh gepokan uang ratusan ribu dari dalam koper itu."Hanya karena ini, kamu tega berlaku keji pada saudaramu, Mahesa." Kanzu melempar gepokan uang ke arah Mahesa. Mungkin ada sepuluh gepok yang ia lempar ke tubuh pria itu."Polisi sebentar lagi tiba, Kanzu. Kamu segera jemput Wafa saja. Kita yang akan urus mereka di sini," ujar Leo mencoba menenangkan sahabatnya."Iya, tolong urus mereka untukku, Leo. Satria terima kasih, sudah membantuku."Satria menganggukk
Setibanya di stasiun Kanzu segera menemui Ibam. Tidak nampak Mahesa ikut serta. Apakah tebakkannya salah. Karena kalau hanya berdasarkan nomer Mahesa tidak bisa dijadikan bukti yang kuat.Sekarang ini, nomer mati karena tak lama kita isi pulsa. Lantas kita memilih membeli nomer baru. Nomer mati milik kita dulu, akan diterbitkan lagi menjadi kartu baru. Bukankah kemungkinan akan dibeli orang lain dan akan digunakan."Mana istriku?" tanya Kanzu melempar tas berisi uang dua milyar ke arah Ibam."Dia sudah kami bebaskan. Sebentar lagi, pasti sudah sampai rumah.""Jangan bercanda! Kalian sudah mendapatkan uangnya. Kenapa istriku tidak ada di sini?" tanya Kanzu geram.Ibam menyeringai, diambilnya tas yang dilempar Kanzu lalu membukanya. Nampak tumpukan uang merah berbendel di dalamnya. "Kita bukan orang bodoh, Bro. Kalau kami membawa istrimu, dan kamu menyerahkan uang ini. Bisa menjadi bukti, bila tertangkap tangan sebagai kasus pemerasan.
Kanzu memperhatikan jam di dinding kantin dengan cemas, di depannya duduk Leo dan Satria. "Uang sudah siap, kenapa dia tidak menghubungi kita lagi," ucap Kanzu gelisah.Masalah uang senilai dua milyar tadi langsung diselesaikan oleh Pak Faiz dan Ryan. Kanzu tinggal mengganti setelah Wafa kembali ke pelukannya dengan selamat."Tenanglah, Kanzu. Aku yakin, mereka tidak mungkin berani menyakiti Wafa," ujar Leo menenangkan sahabatnya. Satria yang duduk di samping Leo, memperhatikan ponsel milik Wafa. Ia pun sudah menghubungi Kirana. Satria meminta tolong pada wanita itu, melacak keberadaan preman yang menyekap Wafa."Tidak ada jejak sama sekali. Apakah kita hanya bisa menunggu telepon dari penculik saja," ujar Kanzu geram seraya memukulkan tinju pada pahanya."Kenapa aku berpikir yang melakukan ini, bukan orang asing. Tetapi, yang sudah mengenal Wafa. Bukankah, tas Wafa diletakkan di teras samping tadi. Pastilah dia tahu, Wafa bers
Derap langkah dari beberapa kaki yang menapaki lantai kayu tua semakin lama semakin mendekat. Suara langkah-langkah itu berat, berirama, seolah mengisyaratkan keberadaan lebih dari satu orang. Jantung Wafa berdetak tak karuan. Ia hanya bisa menebak-nebak, sebab matanya tertutup kain yang diikat sangat rapat, dan mulutnya dibungkam dengan lakban. Rasa takut dan cemas merayap di seluruh tubuhnya. Ia tahu dirinya berada di sebuah ruangan gelap dan pengap. Bau apek, debu, dan lembap menekan indra penciumannya. Wafa duduk di lantai dingin, dengan kaki dan tangan diikat jadi satu. Ikatan tali itu terasa sangat kencang, membuat pergelangan tangan dan kakinya kebas. Sejak sadar, ia sudah berusaha sekuat tenaga melepaskan tali yang mengikat kedua tangannya. Gesekan tali pada kulitnya membuat tangannya lecet dan perih, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya ia menyerah karena rasa dahaga dan lapar yang amat sangat. Tidak ada yang memberinya makan dan minum. Ia harus menjaga diri agar
Sebelum memasuki ruang meeting Kanzu menghubungi Wafa. Ia ingin memastikan istrinya sudah tiba di kantor dengan selamat. Namun, hingga panggilan yang ketiga tidak dijawabnya. Pria itu, beralih mengirimkan pesan. Pesan terkirim ceklis satu.Kanzu mengernyit, merasa ada yang aneh. Karena tidak mungkin pesan yang dikirim ceklis satu, kecuali ponsel mati atau tidak terhubung data seluler. Dan itu, mustahil terjadi pada ponsel istrinya.Akhirnya Kanzu mencoba menghubungi nomer Wafa secara manual bukan lewat Whatsapp. Panggilan terhubung. "Alhamdulillah, berarti ponselnya tidak rusak. Mungkin tadi terpencet, hingga datanya mati," batin Kanzu menghibur diri.Selama meeting berlangsung, tak henti-hentinya Kanzu mengecek ponselnya. Pesan yang ia kirim masih juga ceklis satu. "Masak iya, sampai kantor enggak ngecek ponsel sama sekali."Rayyan yang duduk di sebelah Kanzu, seperti merasakan kegelisahan bawahannya tersebut. "Kenapa, ada masalah di rumah?" tany
Setelah peristiwa di kantin itu, Kanzu lebih protektif menjaga Wafa dan Saka. Ia tidak mengizinkan istrinya pergi sendirian. Kalau Kanzu tidak bisa mengantar, maka dia akan memesan secara online apa yang dibutuhkan oleh Wafa.Satria turut mengawasi Saka dari kejauhan, karena ia juga tak mau hal buruk terjadi pada putra Wafa itu. Walaupun ia sendiri menyimpan tanya mengenai praduganya tentang Saka. Namun, Satria juga tak mungkin memaksa Wafa untuk mengaku sesuai kehendak angannya.🌀Di hari Jumat pagi.🌀"Bunda, Kakek dan Kanaya berangkat dari Swiss hari Ahad. Tetapi, katanya bunda kalau Saka betah di sini, mereka akan biarkan dia ikut bersama kita, Dik. Bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Kanzu sambil membantu menyisir rambut istrinya usai dikeringkan dengan hair dryer."Saka secara hukum, kan memang anak kita, Mas. Ya, enggak masalah kalau kita yang mengasuhnya," jawab Wafa menatap wajah Kanzu dari pantulan cermin di hadapannya.Kanzu m