Demi menyaksikan kejadian itu, sang raja berteriak memanggil nama putra dan permaisurinya itu. Tapi, tidak jelas apa kata yang diucapkan.
Sang raja segera mendekati permaisuri dan putranya. Tubuh permaisurinya sudah kaku. Bisa sudah menyebar ke seluruh tubuh. Darahnya juga sudah terserap habis oleh ular hitam jadi-jadian itu.
Pandangannya lalu ditujukan ke anak laki-laki itu. Bisa ular sudah mulai menyebar ke pembuluh darah sang anak. Pembuluh darah itu berubah menjadi hitam.Sang raja duduk menangisi anak dan permaisurinya. Ketika itu pula, datanglah seorang paruh baya mendekati sang raja.“Kakang ...” sapa sang raja. “Anak ini masih bisa diselamatkan kalau segera mendapat pertolongan.” Ucap pria paruh baya itu, memotong pembicaraan raja.Pria paruh baya itu dengan cekatan mengambil Keris Wukir Pitu dari tangan sang raja dan menggoreskan ujung keris ke leher anak kecil itu. Darah segera keluar. Pria itu lalu menyedot sekuat tenaga bisa ular yang mengalir ke pembuluh darah anak itu.Fokus dengan keadaan, ular hitam yang telah menyedot habis darah permaisuri raja telah kembali ke tubuh raja raksasa. Ular itu kembali menjadi darah dan menalirkan darah ke seluruh tubuh raja raksasa tersebut. Raja raksasa kembali hidup. Ia bangkit dari kematiannya.Semua lengah.Pria paruh baya masih menyedot racun dari tubuh pangeran kecil. Sang raja tergugu menangisi kematian permaisurinya.Anak itu mulai tersadar dan membuka mata.Saat itu pula, raja raksasa telah menghunuskan pedang di belakang sang raja.“Mampuslah kau!” teriak raja raksasa.“Ayahanda...” teriak anak kecil itu.Di waktu bersamaan, Bisawarna bangun dari tidurnya dengan teriakan yang sama persis dengan anak kecil di mimpinya itu.Resi Sabda Jati terbangun dari tidurnya demi mendengar teriakan Bisawarna.“Anak itu. Pasti mimpi itu lagi.” Ucap Resi Sabda Jati.Mimpi yang dialami Bisawarna itu ternyata bukan pertama kalinya. Itu sudah ketiga kalinya. Pertama, mimpi itu terjadi enam tahun yang lalu, ketika Bisawarna memasuki usia remaja. Saat itu usianya dua belas tahun.Mimpi yang kedua terjadi tiga tahun kemudian, atau tiga tahun yang lalu, saat usianya lima belas tahun. Dan yang ketiga, malam ini, ketika usianya menginjak delapan belas tahun.Bisawarna sudah tidak bisa tidur lagi setelah mimpi buruk itu. Hari juga sudah fajar. Semburat cahaya putih telah tampak di ufuk timur. Mentari sebentar lagi akan terbit.Di halaman rumah utama padepokan, Resi Sabda Jati menyuruh salah seorang muridnya menabuh kentongan. Apel pagi segera dimulai. Para murid Padepokan Jati Jajar segera berdatangan dan berbaris rapi di halaman rumah. Bak prajurit, para murid itu sigap dalam berbaris. Mereka membentuk barisan sepuluh berbanja
“Para murid Padepokan Jati Jajar yang saya banggakan, pagi ini kita berkumpul kembali untuk mengawali aktivitas latihan di padepokan ini.” Ucap Resi Sabda Jati membuka sambutannya.“Tidak terasa, sudah tujuh hari kita lalui dengan kesibukan latihan dan tugas masing-masing. Sebagaimana budaya di Padepokan Jati Jajar atau Jati Pitu ini, bahwa setiap tujuh hari akan diadakan rotasi pekerjaan atau tugas. Kelompok 1 yang selama tujuh hari ini bertugas mencari ikan di laut, tugas itu saya serahkan ke kelompok 2.“Kelompok 2 yang selama tujuh hari ini bekerja mencari kayu bakar, tugas itu saya pergilirkan ke kelompok 3. Kelompok 3 yang selama tujuh hari telah jaga malam, tugas itu saya pergilirkan ke kelompok 4. Jadi, kelompok 4 bisa tidur di waktu siang dan berjada di waktu malam. Kemudian, kelompok 5, kalian mengambil alih tugas kelompok 4, yaitu jaga siang. Kalian harus selalu waspada di siang hari dan boleh tidur di malam hari.“Kelompok 6 kalian bergabung dengan kelompok 7 sampai kelomp
Tugas para murid Padepokan Jati Pitu telah terbagi. Begitulah penggiliran tugas yang ada di padepokan tersebut. Para murid mendapatkan tugas secara berkelompok untuk melatih kekompakan dan kerja sama antaranggota kelompok. Selain itu, juga untuk mengakrabkan satu sama lain dan menumbuhkan jiwa kekeluargaan.Sepuluh kelompok yang ada dibagi menjadi dua bagian: kelompok kerja dan kelompok latihan. Kelompok kerja dibagi menjadi lima tugas pokok, yaitu mencari ikan, mencari kayu bakar, mengambil air untuk memenuhi kebutuhan masak, minum, dan mandi seluruh penghuni padepokan, jaga siang, serta jaga malam. Masing-masing tugas itu dikerjakan oleh satu kelompok. Lima kelompok sisanya mendapatkan giliran latihan ilmu silat atau beladiri. Beladiri yang diajarkan di Padepokan Jati Jajar terbagi menjadi tujuh aliran atau tujuh peminatan. Minat itu juga harus dilandasi dengan bakat dan keterampilan masing-masing murid. Resi Sabda Jati mengangkat tujuh asisten untuk melatih masing-masing murid sesu
Anak panah terus melaju menuju sasarannya: burung camar paling kanan.Wajah Bisawarna yang awalnya tampak sedih kini mulai tampak mau menyunggingkan senyum. “Apakah itu akan berhasil?” tanyanya dalam hati.Resi Sabda Jati pun terkejut melihat fenomena itu. Memang, anak panah tidak membelah menjadi tiga, tetapi dengan satu anak panah mampu menyasar sasarannya berurutan.Laju anak panah yang membawa satu burung camar tampak terlihat tidak secepat laju pertamanya. Kekuatan panah juga sudah berkurang. Sampai di dekat sasaran panah, “wuss...”Burung camar paling kanan berhasil menghindar. Anak panah itu menyasar udara kosong sebelum akhirnya jatuh ke laut. Diombang-ambingkan oleh ombak. Bisawarna tampak tidak senang dengan hal itu.“Baru pemanasan. Percobaan pertama. Kamu bisa mencobanya lagi.” Ucap Resi Sabda Jati.Mendengar ucapan ayah sekaligus gurunya, Bisawarna semangat untuk mencoba lagi. Belajar dari lesatan anak panah pertama, bahwa anak panah itu ketika telah mengenai sasaran per
Hari berikutnya, hari ke sembilan Bisawarna berlatih memanah.Target yang diberikan oleh Resi Sabda Jati tidak berubah. Memanah tiga burung camar dengan satu anak panah saja. Hari itu, Bisawarna berlatih mandiri. Resi Sabda Jati tidak turut menyertai dan memantau latihan Bisawarna.Resi Sabda Jati hari itu memantau para murid yang sedang latihan pedang. Latihan itu dipimpin oleh asisten Resi Sabda Jati yang sudah mendapat pengakuan ahli menggunakan pedang, Raden Laras Maya. Pengakuan itu dideklarasikan sendiri oleh Resi Sabda Jati ketika ujian akhir keterampilan bertarung menggunakan pedang.Kala itu, Raden Laras Maya, dalam ujiannya, berduel dengan Resi Sabda Jati. Ujian akhir dilaksanakan keterampilan dilaksanakan secara duel melawan Resi Sabda Jati. Duel diawali dengan pertarungan tangan kosong. Hal ini untuk menguji ketangkasan tubuh, kekuatan pukulan, tendangan, dan kuda-kuda, serta kecepatan gerakan.Pertarungan dengan tangan kosong dilakukan di dalam arena yang dibatasi dengan
“Bagaimana perkembangan murid-murid jurusan ilmu pedang, Laras Maya?” tanya Resi Sabda Jati kepada asistennya.Sebelum menjawab pertanyaan sang resi, Laras Maya menunduk memberikan penghormatan.“Mereka mengalami kemajuan yang cukup pesat, Resi. Bahkan, si kembar Cengkir Gading dan Gading Pawukir telah menguasai jurus level teratas ilmu pedang di padepokan kita, Jurus Pedang Seribu Bayangan.” Jawab Laras Maya.“Kabar yang menggembirakan. Engkau memang asisten yang terampil dalam mengajar.” Puji Resi Sabda Jati.“Terima kasih, Resi. Ini semua atas bimbingan Sang Resi.”“Bagaimana dengan murid-murid yang lain? Apakah mereka berkembang dengan baik pula?” pertanyaan Resi Sabda Jati lebih lanjut.“Dari sepuluh murid yang memilih jurusan ilmu pedang, selain Cengkir Gading dan Gading Pawukir yang telah mencapai jurus level puncak, yaitu level ke tujuh, ada dua murid lain utusan Kerajaan Jati Sewu yang mencapai level enam, Resi. Murid yang lain masih sementara mendalami level masing-masing, R
Resi Sabda Jati telah duduk di kursinya di ruang pertemuan sekaligus berfungsi sebagai ruang tamu Padepokan Jati Pitu. Tak lama kemudian, murid yang diperintahkan menjemput tamu tadi mengantarkan dua orang sebagai tamu Resi Sabda Jati. Sesampai di ruang pertemuan, murid tersebut langsung pamit meninggalkan ruangan dan kembali bertugas menjaga pintu gerbang padepokan.“Silakan duduk, Kisanak!” perintah Resi Sabda Jati.“Terima kasih, Sang Resi.” Jawab kedua tamu tersebut, serempak.Begitu kedua tamu tersebut duduk, datanglah dua orang pelayan perempuan yang masing-masing membawa sebuah nampan. Nampan yang satu berisi makanan berupa buah-buahan dan umbi-umbian yang sudah direbus. Sedangkan nampan yang satunya lagi berisi kendi minuman dengan tiga buah gelas bambu. Tanpa aba-aba, pelayan tersebut meletakkan hidangan di atas meja yang terletak di hadapan Resi Sabda Jati dan kedua tamunya. Salah seorang menyusun tempat makanan, sedang yang satunya lagi menuangkan minuman ke dalam gelas dan
“Baik, Raden Senopati. Tapi, izinkan saya bertanya dulu, berapa lama perjalanan tercepat dari Kerajaan Slendro Sanga ke Padepokan Jati Jajar ini?” tanya Resi Sabda Jati.“Sekitar tiga hari, Sang Resi. Kami berdua langsung diutus oleh sang prabu Gendhing Pitu setelah utusan dari Kerajaan Waringin Sungsang itu kembali. Itu tiga hari yang lalu. Dan hari ini, menjelang sore hari, kami sampai di Padepokan Sang Resi.” Jawab Raden Gambang Rinengga.“Baik. Kalau begitu, istirahatlah di sini satu malam, malam ini. Besok pagi kalian baru kembali ke Slendro Sanga!” perintah Resi Sabda Jati.“Maaf, Resi. Bukan maksud kami menolak, tapi kami diminta oleh sang prabu Gendhing Pitu untuk cepat kembali ke Slendro Sanga bersama pangeran.” Jawab Gambang Rinengga.“Turutilah permintaan orang tua ini! Pikirkanlah dengan baik, kuda-kuda kalian pasti butuh istirahat. Biarkan kuda-kuda yang kalian bawa istirahat dulu semalam! Murid-murid Jati Jajar yang akan menyediakan kuda-kuda yang kalian bawa. Kalian jug