Share

Mimpi Buruk

Malam telah larut. Hiruk pikuk dan segala aktivitas di Padepokan Jati Jajar telah lama berhenti. Kesunyian melanda dari ujung barat sampai ujung timur Padepokan Jati Jajar. Semua orang telah tertidur pulas. Hanya tujuh orang penjaga gerbang masuk padepokan yang tidak tidur. Mereka selalu waspada. Walaupun Jati Jajar adalah padepokan yang rukun dan damai karena diisi oleh orang-orang yang berhati luhur, kewaspadaan tetap harus dijaga. Bisa jadi, orang-orang jahat dari luar padepokan tiba-tiba menyusup atau menyerbu padepokan.

Di dalam kamar, Bisawarna telah terlelap dalam tidurnya. Kekenyangan makan telah membuatnya mengantuk dan melupakan perkataan ayahnya ketika latihan memanah sore tadi.

Di tengah tidurnya, Bisawarna bermimpi.

Raja raksasa sedang bertarung dengan seorang raja di sebuah istana. Pertarungan itu sangat sengit. Di luar kerajaan, para prajurit dan senopati kerajaan juga sedang menghadapi serangan prajurit raksasa. Namun, semua wajah orang yang ada dalam pertempuran itu tidak jelas terlihat. Buram. Seperti ada kaca kotor yang menghalanginya.

Pertarungan berlangsung sangat sengit. Kedua belah pihak saling jual beli serangan. Namun, beberapa saat kemudian pertarungan itu tampak sekali tidak berimbang. Kesaktian para prajurit dan senopati kerajaan tidak mampu menandingi beberapa prajurit raksasa yang menyerang. Hal itu disebabkan pula serangan raksasa yang dilakukan pada malam hari, ketika semua orang sedang nyaman dalam tidurnya. Waktu di mana kewaspadaan berkurang secara drastis.

Di dalam istana, raja kerajaan itu juga terdesak dengan serangan raja raksasa. Segala kemampuan dan senjata pusaka kerajaan telah dikeluarkan, tetapi tidak mampu melukai sedikitpun tubuh raja raksasa.

“Keluarkan seluruh kekuatan dan senjata pusakamu! Aku tidak akan mundur selangkah pun. Hahaha....” Ucap raksasa itu sambil tertawa sombong.

Sang raja lalu mengeluarkan keris pusaka terakhirnya. Ketika keris mulai dicabut dari warangkanya, cahaya jingga kemerahan keluar dari keris tersebut.

Raja raksasa yang awalnya terlihat congkak dan sombong tampak terkejut dengan kilauan cahaya dari keris itu.

“Keris Wukir Pitu?” ucap raja raksasa sambil bertanya heran.

“Iya, inilah Keris Wukir Pitu yang melegenda itu.” Jawab sang raja.

“Apakah kamu mulai takut? Terimalah kenyataan bahwa kamu akan mati malam ini!” sang raja dengan kekuatan penuh menyerang raja raksasa yang sedang buyar konsentrasinya karena keris itu. Keris itu diarahkan tepat ke jantung raja raksasa.

“Matilah kau ...!”

“Arghh....!”

Raja raksasa jatuh berlutut. Tusukan keris itu benar-benar tepat mengenai dada dan menembus jantungnya. Dengan sekuat tenaga, ia mencabut keris itu dari dadanya. Keris itu kemudian terbang kembali ke tangan sang raja, pemiliknya.

Raja raksasa sudah tidak tahan lagi menumpu tubuhnya, akhirnya ia jatuh tertelungkup. Darah hitam keluar deras dari dada, mengalir ke segala penjuru arah. Aliran darah yang terbesar tiba-tiba berubah wujud menjadi seekor ular hitam.

Dari dalam kamar, tiba-tiba keluar seorang anak laki-laki kecil berlari menuju sang raja. Walaupun terlihat buram juga, kegembiraan wajah anak lelaki itu tidak dapat tertutupi. Ia senang melihat ayahnya memenangkan pertarungan. Sambil berlari, anak itu tersenyum gembira.

“Ayahanda...!” teriak anak itu.

“Ayahanda menang.” Lanjutnya.

“Jangan ke sini, Nak! Bahaya!” sang raja memperingatkan kepada anaknya.

Di belakang anak kecil, turut pula seorang wanita, dengan wajah yang buram pula, berlari menyusul hendak menghentikan laju lari anak itu.

“Pangeran, berhenti! Balik ke kamar!” teriak wanita itu.

“Dinda, bawa anak kita pergi menjauh dari arena pertempuran. Pertarungan ini belum usai.” Teriak sang raja kepada wanita itu, yang tidak lain adalah permaisurinya.

Anak lelaki itu tidak peduli apa yang dikatakan ayah dan ibunya. Yang ada, dia senang karena melihat ayahandanya telah menang.

Siapa menduga, ular hitam jadian dari darah raja raksasa itu menuju ke arah anak lelaki dan ibunya itu. Ular itu langsung mematuk kaki kanan anak kecil yang sedang berlari. Walaupun patukan itu sangat singkat, beberapa mililiter racun sudah berhasil merasuk ke dalam pembuluh darah anak itu. Anak itu jatuh seketika.

Melihat sang putra terjatuh, sang ibu segera mendekati anaknya. Ular hitam itu ternyata belum mau menyudahi menyakiti mangsa. Dalam hitungan detik, ular itu telah melilit kaki dari ibu anak lelaki tersebut dan mematuknya pula. Seketika, wanita itu, yang tidak lain adalah permaisuri sang raja, ibu dari putra mahkota, jatuh tidak sadarkan diri. Bisa yang dikeluarkan ular hitam itu sangat banyak. Ular itu tidak mau melepaskan gigitan dari kaki ssang permaisuri. Ular hitam itu, selain mengirimkan bisa juga menyedot darah dari permaisuri itu.

Hanya dalam waktu yang singkat, belum sempat menyunggingkan senyum atas kematian raja raksasa, sang raja sudah ditimpa nestapa. 

Demi menyaksikan kejadian itu, sang raja berteriak memanggil nama putra dan permaisurinya itu. Tapi, tidak jelas apa kata yang diucapkan. 

Sang raja segera mendekati permaisuri dan putranya. Tubuh permaisurinya sudah kaku. Bisa sudah menyebar ke seluruh tubuh. Darahnya juga sudah terserap habis oleh ular hitam jadi-jadian itu.

Pandangannya lalu ditujukan ke anak laki-laki itu. Bisa ular sudah mulai menyebar ke pembuluh darah sang anak. Pembuluh darah itu berubah menjadi hitam.

Sang raja duduk menangisi anak dan permaisurinya. Ketika itu pula, datanglah seorang paruh baya mendekati sang raja.

“Kakang ...” sapa sang raja.

 “Anak ini masih bisa diselamatkan kalau segera mendapat pertolongan.” Ucap pria paruh baya itu, memotong pembicaraan raja.

Pria paruh baya itu dengan cekatan mengambil Keris Wukir Pitu dari tangan sang raja dan menggoreskan ujung keris ke leher anak kecil itu. Darah segera keluar. Pria itu lalu menyedot sekuat tenaga bisa ular yang mengalir ke pembuluh darah anak itu.

Fokus dengan keadaan, ular hitam yang telah menyedot habis darah permaisuri raja telah kembali ke tubuh raja raksasa. Ular itu kembali menjadi darah dan menalirkan darah ke seluruh tubuh raja raksasa tersebut. Raja raksasa kembali hidup. Ia bangkit dari kematiannya.

Semua lengah.

Pria paruh baya masih menyedot racun dari tubuh pangeran kecil. Sang raja tergugu menangisi kematian permaisurinya.

Anak itu mulai tersadar dan membuka mata.

Saat itu pula, raja raksasa telah menghunuskan pedang di belakang sang raja.

“Mampuslah kau!” teriak raja raksasa.

“Ayahanda...” teriak anak kecil itu.

Di waktu bersamaan, Bisawarna bangun dari tidurnya dengan teriakan yang sama persis dengan anak kecil di mimpinya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status