LOGINBab 95: Praktek jadi suami siaga Pak Hardi masuk kedalam ruangan UGD yang hanya diberi pembatas kain gorden berwarna cream yang tingginya tiga setengah meter. Di sana di sebuah tempat tidur besi sempit Nadya terbaring lemah dengan sebuah tali infus yang menyalurkan obat yang tergantung di pada besi ketanganya. Dengan perasaan berdebar lelaki itu menatap Nadya yang terlihat pucat. Yang dirasakannya kini bukan hanya perasaan cinta. Tapi juga rasa iba dan kasihan yang menyentuh hati. Perasaan tidak rela melihat wanita yang dicintainya memendam sendiri tekanan batin yang sangat kuat menghimpit jiwanya hingga berpengaruh pada raganya. Hingga timbul di hatinya rasa ingin melindungi. Menjadikan dirinya sebagai sandaran untuk tempat melebur duka lara. “Istri bapak baru saja siuman,”ucap wanita yang memakai jas putih yang telah memeriksa keadaan Nadya. Mendengar perkataan dari bibir dokter wanita itu Pak Hardi jadi serba salah, apalagi dokter itu mengucapkannya langs
Bab 94: Dirumah sakit. Dirumah sakit, Nadya masih tidak sadarkan diri. Tubuhnya terbaring lemah diatas ranjang sempit rumah sakit menanti berbagai tindakan yang akan dilakukan dokter dan time perawatnya untuk menanganinya. “Sejak dari jam berapa istri bapak pingsan?” tanya dokter wanita pada Pak Hardi. Pak Hardi terkesiap. Ia merasa canggung ditanya seperti itu. Bagaimana dokter tidak bertanya seperti itu padanya? Hanya Pak Hardi satu-satunya lelaki yang ada saat mengantar Nadya. Dari wajahnya, dokter dan perawat melihat wajah Pak Hardi begitu cemas. Tentunya mereka berpikir jika Pak Hardi adalah suami Nadya. “Tadi saat ibu ini pingsan. Bapaknya belum pulang dok. Yang ada hanya anaknya.” Untungnya Bu Retno yang paham dengan situasi segera memberi penjelasan yang masuk akal pada team medis. Dengan keadaan yang sudah sedikit tenang Nadya menceritakan semuanya pada dokter. “Bapak sedang ada masalah dengan istri bapak, ya? Sebaiknya diseles
Bab 93: Terkuak siapa Pak RT. Wajah Pak RT langsung berubah. Ia benar-benar marah. Ia tidak Terima dan merasa sebagai orang yang memiliki kekuasaan di tempat itu telah dilangkahi. Yang membuat ia sangat tidak terima karena Pak Hardi telah mengambil kesempatan yang seharusnya menjadi miliknya untuk mendekati Nadya. “Wah, Pak Hardi itu benar-benar kelewatan.” Pak Heru menambahi bumbu agar Pak RT bertambah marah. “Kelewatan Pak Hardi itu. Seharusnya dia menunggu keputusan saya dulu baru bertindak. Dia tidak punya wewenang. Bu Nadya itu warga saya. Lagi pula dia itu tidak termasuk warga komplek ini.” ucap Pak RT pada Ketiga tetangga Nadya yang tidak tahu apa-apa. Tapi pernyataan Pak RT itu malah membuat ketiga wanita itu merasa ada yang aneh. “Pak RT, seharusnya bapak berterima kasih dengan Pak Hardi. Dia sudah membantu Bu Nadya dan anak-anak nya. Seandainya menunggu bapak datang bisa terjadi apa-apa dengan Bu Nadya,” sanggah Bu Lastri. Dan ia menungg
Bab 92: Pak RT marah. Melihat Tania berlari keluar dengan wajah panik Wahyu dan Reza pun ikut panik. Spontan mereka bediri dan mendekati Tania. “Tenang dulu Tania,” ujar Wahyu, dia mendekatkan kursi plastik untuk Tania duduk agar gadis itu tenang. “Ada apa?” tanya pemuda itu penasaran. “Mama. Barusan aku bangunkan mama di kamanya, mau aku suruh makan. Tapi mama tidak bergerak,” jelas Tania. Dengan cepat tapi terbata-bata karena terlalu cemas. “Astaghfirullah. Bagaimana ini, Za. Tidak mungkin kita masuk ke kamar Bu Nadya,” ujar Wahyu ikut panik, hingga dia mondar-mandir tidak tahu harus berbuat apa. “Sebentar,” seru Reza, ia bergegas meninggalkan Wahyu dan Tania di teras. Wahyu melihat Reza berlari ke arah rumah tetangga didepan rumah Nadya. Sebentar saja Bu Lastri pemilik rumah berjalan tergesa-gesa bersama Reza kearah rumah Nadya. “Ayo, Tania antar saya ke kamar ibumu!” ucap Bu Lastri yang juga terlihat panik. “Bu. B
Bab 91: Mencekam “Pokoknya sekarang kamu pulang dengan mama…” Nadya membentak Akmal. Sebuah perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Tapi rasa takut akan kehilangan anaknya membuat wanita itu kehilangan kendali. Hingga tidak peduli ia memarahi Akmal di tengah orang ramai. “Ma. Tolonglah, mengerti. Akmal hanya ingin bersama papa,”ucap Akmal berharap mamanya mengerti. Mata remaja itu berkaca-kaca. Sedang semua mata memandang pada ibu dan anak yang saling bersitegang mempertahankan haknya. “Aku tidak akan pernah mempercayakan anak ku dengan laki-laki itu. Dirinya saja tidak bisa dia urus. Bagaimana mungkin anakku akan nyaman dengannya,” ucap Nadya dengan kasar pada Wanda yang berdiri bersama Akmal. “Kenapa Nadya? Karena aku cuma orang miskin dan kamu sekarang sudah jadi orang sukses?” tanya Wanda dengan mata berkaca-kaca. Dia sadar dengan keadaan dirinya. Tapi dia juga tidak kuat harus menahan diri berjauhan lebih lama lagi dengan anak lelaki nya.
Bab 90:Nady semakin cemas. Jenazah Mak Onah sudah dibawa ke masjid yang tidak jauh dari rumah Feri untuk di sholatkan. Tidak semua warga yang berkeinginan menyolatkan nya. Terutama perempuan. Ternyata tidak dapat dipungkiri perbuatan seseorang semasa hidupnya akan berefek pada perlakuan orang padanya saat tua dan diakhir hayatnya. “Hardi. Kamu yang jadi imam sholat jenazah” pinta Mbah Giran. Tidak hanya Pak Hardi yang terkejut. Semua jamaah juga terkejut dan saling pandang. Kenapa Mbah Giran selaku orang yang dituakan di sana malah meminta orang yang tidak mereka kenal untuk menjadi imam. Mbah Giran mengerti dengan apa yang dipikirkan mereka, terlihat jelas dari raut wajah jemaah yang bertanya-tanya dan menyimpan keraguan. Dengan menepuk-nepuk pundak Pak Hardi ia menerangkan alasannya. “Hardi ini murid saya waktu di Gontor. Dia mondok di sana sejak SD sampai Tamat Aliyah. Jadi insyaallah dia paham dengan urusan ini,” ucapnya dengan memandangi wajah







