Beberapa saat sebelumnya.
"Nya, sarapan sudah siap," ucap Sumi di pintu kamar Manisa. Citra yang baru saja selesai merapikan rambut Manisa menoleh. "Iya, bi. Ini kami mau ke meja makan." "Baik, Nya. Tuan mau bibi panggilkan juga?" "Biar aku saja, bi. Bibi lanjutkan pekerjaan saja." "Oh, baiklah, Nya. Kalau begitu, bibi kembali ke dapur." Sumi berbalik badan dan kemudian tubuhnya menghilang di balik tembok. Citra menatap Manisa yang sudah selesai dirias. "Kamu ke meja makan sekarang sendirian ya. Mulai sarapan saja. Mama mau memanggil papa dulu." Manisa mengangguk. "Iya, ma." Citra tersenyum. Dia kemudian meninggalkan kamar Manisa menuju kamarnya. Tapi begitu sampai di depan pintu yang sedikit terbuka, langkah Citra terhenti tiba-tiba begitu mendengar suara Galih yang sedang berbicara dengan seseorang di ponselnya. Suaranya sih lirih. Tapi Citra masih bisa mendengarnya. "Apa-apaan kamu menelponku Pagi-pagi begini?! Aku kan sudah bilang sama kamu untuk tidak menghubungi dan mengirim pesan padaku di waktu aku sedang di rumah!" Kening Citra mengerut mendengar itu. Kenapa Galih marah pada orang yang menelponnya di pagi hari? Suaranya dilirihkan pula. Siapa juga yang menelpon suaminya itu sampai membuat marah? Karena curiga, Citra langsung mendekatkan daun telinganya ke daun pintu agar bisa lebih jelas mendengar suara Galih. "Bagaimana tidak marah?! Kita kan sudah membuat kesepakatan tentang waktu kamu boleh menelpon dan mengirim pesan padaku!" "Apapun yang kamu rasa, sekali lagi aku bilang ke kamu untuk tidak menelpon dan mengirim pesan padaku di waktu aku sedang di rumah! Kamu harus pegang teguh perjanjian itu!" "Tidak bisa! Lusa sore justru aku janjian pacaran ke mall dengan Citra!" Deg! Citra tersentak karena namanya disebut oleh Galih. Sepertinya orang yang menelpon suaminya mengajak suaminya itu bertemu di mall di hari yang sama dengan suaminya mengajaknya jalan-jalan ke mall. Tapi siapa yang mengajak suaminya ketemuan di mall? Memangnya tidak bisa ketemuan di toko saja? "Kenapa kamu diam saja, Rin? Apa kamu sudah mengerti dengan kesalahan kamu ini yang bisa mengancam keharmonisan pernikahanku?" Citra kembali tersentak. 'Rin? Rin siapa? Kenapa Mas Galih bilang telepon pagi-pagi bisa mengancam keharmonisan pernikahanku dengan Mas Galih?' Setelah kejadian kemarin, apa yang didengarnya kali ini membuat Citra makin bingung dan bertanya-tanya. Galih semakin membuatnya curiga. "Syukurlah kamu mengerti. Tapi ingat, untuk ke depannya jangan lagi kamu menelponku pada saat aku masih di rumah seperti ini. Aku tidak mau Citra mendengar dan kemudian curiga kepadaku." Duar! Bagai tersambar petir Citra mendengar itu. 'Fix yang menelpon Mas Galih bukan orang sembarangan. Apa mungkin itu adalah wanita yang ada di dalam foto itu?' Citra mendorong daun pintu di depannya agar terbuka lebih lebar. Karena tanpa suara, Galih yang berdiri membelakangi pintu, tak menyadarinya. Citra kemudian melangkah masuk dan berdiri tepat di belakang Galih. "Masak sih dia tidak bisa menahan bertemu denganku? Untung saja Citra tidak tahu," ucap Galih sembari menjauhkan ponsel dari daun telinganya. "Tidak tahu apa, mas?" sahut Citra cepat. Galih tersentak kaget mendengar itu. Dia segera berbalik badan dan tercekat. "Citra?" Citra menatap wajah Galih yang terkejut itu, tajam. "Kenapa kamu harus terkejut begitu, mas? Aku bukan hantu lho." "A-aku tahu kamu bukan hantu. Bu-bukan itu maksudku," sangkal Galih panik. Dia sangat menyesal tadi berdiri membelakangi pintu sehingga tidak tahu sejak kapan Citra masuk ke dalam kamar ini. "Terus apa? Mas memang tampak terkejut seperti melihat hantu." "Aku terkejut karena kaget. Aku tidak mendengar kamu masuk soalnya." "Sampai panik seperti dipergoki mencuri sesuatu oleh seseorang?" "Ya karena kamu tiba-tiba ada di belakangku padahal tadi tidak ada." "Terus kenapa kamu bilang untung Citra tidak tahu? Apa yang tidak boleh aku tahu padahal aku adalah istri kamu?" Galih menelan saliva. Sepertinya istrinya ini sudah mendengar semua yang dikatakannya tadi pada Rini. Kenyataan ini adalah sesuatu yang tidak baik. Tapi karena istrinya tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Rini, dia masih bisa mengarang cerita. "Itu... itu hanya alasannya saja." "Alasan bagaimana?" "E... jadi begini. Tadi itu yang menelponku teman waktu aku kuliah dulu. Dia mengajak aku ketemuan di mall besok lusa. Aku tidak mau karena paling paling dia mau pinjam uang. Karena itu, aku memakai kamu sebagai alasan. Sebenarnya aku tidak ingin kamu tahu. Sebab itu, aku tadi bilang untung kamu tidak tahu." Pandangan Citra menyipit. Jujur hatinya tidak sepenuhnya percaya dengan apa yang dijelaskan oleh Galih. Hanya saja, rasanya tidak mungkin untuk dia sangkal. Bisa jadi memang kenyataannya seperti itu. "Laki-laki atau perempuan teman yang mengajak mas ketemuan itu?" tanya Citra lagi. Dia ingin memastikan. "Tentu saja laki-laki." "Siapa namanya?" Galih tercenung. Dia mencoba mengingat-ingat semua kata yang terucap dari mulutnya tadi. Dia ingat kalau dirinya sempat melafadzkan sepenggal nama Rini, yaitu 'Rin'. Berarti dia harus membuat nama laki-laki dengan panggilan 'Rin'. "Namanya Rino," jawab Galih kemudian. "Aku belum pernah aku kenalkan padanya. Jadi pasti kamu tidak tahu dengannya meskipun aku mengabarkan tentangnya." Kini Citra yang tercenung. Mencoba untuk mempercayai ucapan Galih yang justru membuat perasaannya campur aduk. Curiga, tak percaya, sedikit percaya, bingung, dan lainnya, bercampur jadi satu. Membuatnya merasa stress. Melihat sikap Citra yang tampak mencurigainya, Galih langsung meraih tubuh Citra ke dalam pelukannya. "Jangan curiga terus begitu. Nanti hati kamu jadi capek. Percayalah, aku tidak menduakan kamu. Percayalah, aku tidak mengkhianati kamu. Apa yang sejak kemarin adalah sebuah kesalahpahaman yang entah mengapa berlanjut hingga pagi ini. Aku tuh sangat menyayangi dan mencintai kamu dan Manisa. Aku tidak bisa hidup tanpa kalian berdua. Dengan keadaan hatiku yang seperti itu, apa iya aku bisa selingkuh?" Citra tak menjawab. Dia memilih diam karena hatinya begitu berkecamuk. Antara kubu percaya dan tidak percaya dengan Galih, berseteru dengan sengit. Tapi seumpama dia tidak mendapatkan kiriman pesan foto mesra Galih dan wanita lain tadi malam, tentu dia akan percaya pada pengakuan Galih yang mengaku tidak selingkuh, tidak berkhianat, dan menyayangi dirinya dan Manisa. Karena Citra tak merespon bujukannya, Galih pun langsung berpikir memakai cara yang lain. Dia melepaskan pelukannya sebelum akhirnya medua tangannya menangkup kedua belah pipi Citra dengan tatapan lekat. "Kamu kenapa sih, sayang? Kenapa kamu sekarang berubah jadi tidak percaya lagi sama aku? Ya, memang salah aku telah membuatmu salah paham. Tapi apa kamu tidak memikirkan dampak negatif yang bakal terjadi pada rumah tangga kita jika kamu terus bersikap tidak percaya seperti ini? Bersambung.Kenapa kamu malah diam saja?! Kamu tidak lihat keadaan adikmu Bagaimana?! Cepat hubungin ambulance! Kita bawa Gina ke rumah sakit!""Dibawa ke rumah sakit pun percuma, bu. Gina sudah tidak ada dari beberapa jam yang lalu. Lihat, darahnya sudah kering.""Apapun itu, cepat kamu telpon ambulance! Bawa dia ke rumah sakit! Atau kamu memang tidak mau membawanya?!""Tidak, bu. Bukan begitu. Baiklah. Aku akan menelpon rumah sakit sekarang."Galih pun menelpon rumah sakit untuk segera mengirimkan ambulance. Tak lama kemudian, jasad Gina dibawa ke rumah sakit. Tapi karena gadis itu memang sudah meninggal sejak beberapa jam sebelumnya, dibawa ke rumah sakit pun tidak menyelamatkannya. Hasil otopsi, Gina memang meninggal karena bunuh diri.***"Apa? Gina meninggal? Oke, kita kesana sekarang. Aku akan bersiap."Citra segera bergegas. Bersama sahabatnya Usi, dia pergi melayat ke rumah Galih."Dengar-dengar Gina meninggal karena bunuh diri," ucap Usi sembari tetap fokus menyetir.Citra terhenyak. "K
"Sudah pulang?" tanya Marni begitu melihat Galih masuk ke dalam rumah sedang dirinya sendiri tengah menyetrika pakaian."Ya, bu," jawab Galih sembari mengambil duduk di sofa yang ada di ruang tengah itu. Tangannya kemudian mengambil remote dari atas meja dan mengganti channel televisi yang sebelumnya sedang ditonton oleh Marni. Acara olahraga yang dipilihnya."Bagaimana?" tanya Marni lebih lanjut."Bagaimana apanya, bu?""Perceraianmu?""Ya sudah selesai. Makanya aku pulang.""Berarti kamu dan Citra sudah resmi bercerai?""Ya. Seperti itulah.""Katanya kemarin mau mencoba merayu Citra untuk menerimamu kembali karena kamu dan Rini akan bercerai. Jadi?""Jadi. Tapi ditolak mentah-mentah.""Dia teguh pendirian juga ya.""Hum.""Berarti pulang dari pengadilan, kamu mencari pekerjaan?""Tidak. Setelah pulang dari pengadilan aku mengobrol dengan Citra dulu di kafe. Setelahnya langsung pulang.""Jadi kapan kamu mau cari kerja?""Kan sudah mencari bu. Aku sudah mencari kerja sana sini tapi b
Citra terhenyak. Matanya langsung melebar begitu mendengar apa yang dikatakan oleh mantan suaminya tersebut. "Ternyata kamu belum berubah ya, mas? Ternyata kamu masih jahat dan tidak berperasaan seperti dulu. Saat ini kamu masih terikat pernikahan tapi bisa-bisanya meminta wanita lain untuk menjadi istri kamu?""Aku kan sudah bilang ke kamu kalau pernikahanku dan Rini sudah di ujung tanduk. Itu sebabnya aku berani bicara seperti ini padamu," balas Galih."Tidak. Saat kita sedang dalam proses cerai pun dan di saat yang bersamaan kamu akan menikahi Rini, beberapa kali kamu memintaku untuk kembali padamu, mas. Dan sekarang di saat perceraianmu belum terjadi, kamu melakukan hal yang sama.""Itu karena aku masih mencintaimu, Cit.""Kalau kamu masih mencintaiku kenapa kamu mengkhianati aku, hah?"Galih tak langsung membalas. Wajahnya kemudian menunduk. "Aku khilaf, Cit.""Khilaf itu perbuatan spontan dan di saat itu saja, mas! Tapi kamu dan Rini melakukannya secara terus menerus! Kalau buka
"Aku terbawa kesal, bu. Habisnya aku merasa dia bodoh sekali sudah memberikan tubuhnya padahal laki-laki itu tidak memberikan apa-apa. Terus menyamakan aku dengan pria brengsek itu. Aku akui aku nakal, bu. Tapi aku masih menghargai wanita. Aku memakai Rini dengan imbalan yang lebih. Aku membelikannya mobil dan lain-lain walaupun sebagiannya bukan uangku.""Masalahnya sekarang itu yang harus kamu fokuskan adalah bagaimana caranya apa yang sedang dialami oleh Gina ada jalan keluarnya.""Nah, ini juga masalahnya, bu. Bagaimana mau mendapatkan jalan keluar kalau laki-laki itu saja tidak diketahui keberadaannya? Ibu dengar sendiri kan kalau Gina tidak tahu dimana rumah pria itu dan tempat kerjanya? Ibu pikir aku Intel bisa cari rumah pria brengsek itu tanpa diberitahu?""Aku mengerti maksudnya. Mencari orang yang tidak kita kenal memang tidak mudah atau bahkan rumit. Tapi tidak juga dengan cara mencela adik kamu. Adik kamu memang salah. Tapi jangan disudutkan. Saat ini dia pasti sedih, bin
Bagai petir di siang hari. Galih dan Marni kaget luar biasa begitu mendengar cerita Gina. Mau tidak percaya tapi Gina sendiri yang bercerita. Apa ini hanya prank?"Kamu jangan main-main dengan kami, Gin," ucap Galih sembari melangkah mendekati tempat tidur.Gina mengalihkan pandang pada Galih. "Tapi aku tidak main-main, mas. Aku serius. Saat ini aku memang sedang hamil anak dia.""Kalau begitu beritahu padaku siapa namanya dan alamatnya. O ya, nomer ponselnya saja dulu. Aku akan menelponnya.""Untuk apa mas menelponnya?""Tentu saja untuk meminta pertanggungjawaban atas kehamilan kamu!" sahut Galih dengan suara meledak. "Kenapa harus ditanyakan lagi sih?!""Tapi dia sudah punya istri dan anak, mas. Tadi kan aku sudah bilang.""Mau dia punya istri sepuluh dan anak seratus sekali pun, aku akan tetap menghubungi dia! Dia harus mempertanggung jawabkan apa yang terjadi sama kamu!""Maksud mas, dia tetap harus menikahi aku meskipun sudah punya anak dan istri? Aku jadi istri keduanya begitu
Bahu Galih mengendik. "Tidak taulah, bu. Kan Gina juga baru datang. Belum sempat nanyain ada apa. Tapi sepertinya terjadi apa-apa karena wajahnya basah dengan airmata dan rambut awut-awutan.""Duh, kenapa ya?" tanya Marni pada dirinya sendiri dengan perasaan khawatir."Baiknya ibu tanyakan langsung sekarang pada Gina. Takutnya memang sudah terjadi sesuatu sama dia.""Iya, deh." Marni pun masuk ke dalam kamar Gina disusul oleh Galih yang hanya sampai di pintu saja. Menurut Galih lebih baik ibunya saja yang bertanya karena sama-sama perempuan sedangkan dia hanya akan memperhatikan saja. Dan yang pertama kali mereka lihat adalah Gina sedang menangis dalam keadaan berbaring miring membelakangi pintu sambil memeluk bantal guling."Gin, ada apa kamu pulang dalam keadaan menangis begini?" tanya Marni sembari mengambil duduk di tepi tempat tidur. Gina tak menjawab. Gadis itu terus saja menangis. Malah tangisnya bertambah sedikit mengencang. Mendapati hal itu, Marni semakin penasaran dengan