Home / Rumah Tangga / AMBISI WANITA SIMPANAN / BAB 5. Antara Percaya Dan Tidak Percaya

Share

BAB 5. Antara Percaya Dan Tidak Percaya

Author: Mayangnoura
last update Last Updated: 2025-03-09 07:52:10

Beberapa saat sebelumnya.

"Nya, sarapan sudah siap," ucap Sumi di pintu kamar Manisa.

Citra yang baru saja selesai merapikan rambut Manisa menoleh. "Iya, bi. Ini kami mau ke meja makan."

"Baik, Nya. Tuan mau bibi panggilkan juga?"

"Biar aku saja, bi. Bibi lanjutkan pekerjaan saja."

"Oh, baiklah, Nya. Kalau begitu, bibi kembali ke dapur." Sumi berbalik badan dan kemudian tubuhnya menghilang di balik tembok.

Citra menatap Manisa yang sudah selesai dirias. "Kamu ke meja makan sekarang sendirian ya. Mulai sarapan saja. Mama mau memanggil papa dulu."

Manisa mengangguk. "Iya, ma."

Citra tersenyum. Dia kemudian meninggalkan kamar Manisa menuju kamarnya. Tapi begitu sampai di depan pintu yang sedikit terbuka, langkah Citra terhenti tiba-tiba begitu mendengar suara Galih yang sedang berbicara dengan seseorang di ponselnya. Suaranya sih lirih. Tapi Citra masih bisa mendengarnya.

"Apa-apaan kamu menelponku Pagi-pagi begini?! Aku kan sudah bilang sama kamu untuk tidak menghubungi dan mengirim pesan padaku di waktu aku sedang di rumah!"

Kening Citra mengerut mendengar itu. Kenapa Galih marah pada orang yang menelponnya di pagi hari? Suaranya dilirihkan pula. Siapa juga yang menelpon suaminya itu sampai membuat marah?

Karena curiga, Citra langsung mendekatkan daun telinganya ke daun pintu agar bisa lebih jelas mendengar suara Galih.

"Bagaimana tidak marah?! Kita kan sudah membuat kesepakatan tentang waktu kamu boleh menelpon dan mengirim pesan padaku!"

"Apapun yang kamu rasa, sekali lagi aku bilang ke kamu untuk tidak menelpon dan mengirim pesan padaku di waktu aku sedang di rumah! Kamu harus pegang teguh perjanjian itu!"

"Tidak bisa! Lusa sore justru aku janjian pacaran ke mall dengan Citra!"

Deg!

Citra tersentak karena namanya disebut oleh Galih. Sepertinya orang yang menelpon suaminya mengajak suaminya itu bertemu di mall di hari yang sama dengan suaminya mengajaknya jalan-jalan ke mall. Tapi siapa yang mengajak suaminya ketemuan di mall? Memangnya tidak bisa ketemuan di toko saja?

"Kenapa kamu diam saja, Rin? Apa kamu sudah mengerti dengan kesalahan kamu ini yang bisa mengancam keharmonisan pernikahanku?"

Citra kembali tersentak. 'Rin? Rin siapa? Kenapa Mas Galih bilang telepon pagi-pagi bisa mengancam keharmonisan pernikahanku dengan Mas Galih?'

Setelah kejadian kemarin, apa yang didengarnya kali ini membuat Citra makin bingung dan bertanya-tanya. Galih semakin membuatnya curiga.

"Syukurlah kamu mengerti. Tapi ingat, untuk ke depannya jangan lagi kamu menelponku pada saat aku masih di rumah seperti ini. Aku tidak mau Citra mendengar dan kemudian curiga kepadaku."

Duar!

Bagai tersambar petir Citra mendengar itu. 'Fix yang menelpon Mas Galih bukan orang sembarangan. Apa mungkin itu adalah wanita yang ada di dalam foto itu?'

Citra mendorong daun pintu di depannya agar terbuka lebih lebar. Karena tanpa suara, Galih yang berdiri membelakangi pintu, tak menyadarinya. Citra kemudian melangkah masuk dan berdiri tepat di belakang Galih.

"Masak sih dia tidak bisa menahan bertemu denganku? Untung saja Citra tidak tahu," ucap Galih sembari menjauhkan ponsel dari daun telinganya.

"Tidak tahu apa, mas?" sahut Citra cepat.

Galih tersentak kaget mendengar itu. Dia segera berbalik badan dan tercekat. "Citra?"

Citra menatap wajah Galih yang terkejut itu, tajam. "Kenapa kamu harus terkejut begitu, mas? Aku bukan hantu lho."

"A-aku tahu kamu bukan hantu. Bu-bukan itu maksudku," sangkal Galih panik. Dia sangat menyesal tadi berdiri membelakangi pintu sehingga tidak tahu sejak kapan Citra masuk ke dalam kamar ini.

"Terus apa? Mas memang tampak terkejut seperti melihat hantu."

"Aku terkejut karena kaget. Aku tidak mendengar kamu masuk soalnya."

"Sampai panik seperti dipergoki mencuri sesuatu oleh seseorang?"

"Ya karena kamu tiba-tiba ada di belakangku padahal tadi tidak ada."

"Terus kenapa kamu bilang untung Citra tidak tahu? Apa yang tidak boleh aku tahu padahal aku adalah istri kamu?"

Galih menelan saliva. Sepertinya istrinya ini sudah mendengar semua yang dikatakannya tadi pada Rini. Kenyataan ini adalah sesuatu yang tidak baik. Tapi karena istrinya tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Rini, dia masih bisa mengarang cerita. "Itu... itu hanya alasannya saja."

"Alasan bagaimana?"

"E... jadi begini. Tadi itu yang menelponku teman waktu aku kuliah dulu. Dia mengajak aku ketemuan di mall besok lusa. Aku tidak mau karena paling paling dia mau pinjam uang. Karena itu, aku memakai kamu sebagai alasan. Sebenarnya aku tidak ingin kamu tahu. Sebab itu, aku tadi bilang untung kamu tidak tahu."

Pandangan Citra menyipit. Jujur hatinya tidak sepenuhnya percaya dengan apa yang dijelaskan oleh Galih. Hanya saja, rasanya tidak mungkin untuk dia sangkal. Bisa jadi memang kenyataannya seperti itu.

"Laki-laki atau perempuan teman yang mengajak mas ketemuan itu?" tanya Citra lagi. Dia ingin memastikan.

"Tentu saja laki-laki."

"Siapa namanya?"

Galih tercenung. Dia mencoba mengingat-ingat semua kata yang terucap dari mulutnya tadi. Dia ingat kalau dirinya sempat melafadzkan sepenggal nama Rini, yaitu 'Rin'. Berarti dia harus membuat nama laki-laki dengan panggilan 'Rin'.

"Namanya Rino," jawab Galih kemudian.  "Aku belum pernah aku kenalkan padanya. Jadi pasti kamu tidak tahu dengannya meskipun aku mengabarkan tentangnya."

Kini Citra yang tercenung. Mencoba untuk mempercayai ucapan Galih yang justru membuat perasaannya campur aduk. Curiga, tak percaya, sedikit percaya, bingung, dan lainnya, bercampur jadi satu. Membuatnya merasa stress.

Melihat sikap Citra yang tampak mencurigainya, Galih langsung meraih tubuh Citra ke dalam pelukannya. "Jangan curiga terus begitu. Nanti hati kamu jadi capek. Percayalah, aku tidak menduakan kamu. Percayalah, aku tidak mengkhianati kamu. Apa yang sejak kemarin adalah sebuah kesalahpahaman yang entah mengapa berlanjut hingga pagi ini. Aku tuh sangat menyayangi dan mencintai kamu dan Manisa. Aku tidak bisa hidup tanpa kalian berdua. Dengan keadaan hatiku yang seperti itu, apa iya aku bisa selingkuh?"

Citra tak menjawab. Dia memilih diam karena hatinya begitu berkecamuk. Antara kubu percaya dan tidak percaya dengan Galih, berseteru dengan sengit. Tapi seumpama dia tidak mendapatkan kiriman pesan foto mesra Galih dan wanita lain tadi malam, tentu dia akan percaya pada pengakuan Galih yang mengaku tidak selingkuh, tidak berkhianat, dan menyayangi dirinya dan Manisa.

Karena Citra tak merespon bujukannya, Galih pun langsung berpikir memakai cara yang lain. Dia melepaskan pelukannya sebelum akhirnya medua tangannya menangkup kedua belah pipi Citra dengan tatapan lekat.

"Kamu kenapa sih, sayang? Kenapa kamu sekarang berubah jadi tidak percaya lagi sama aku? Ya, memang salah aku telah membuatmu salah paham. Tapi apa kamu tidak memikirkan dampak negatif yang bakal terjadi pada rumah tangga kita jika kamu terus bersikap tidak percaya seperti ini?

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AMBISI WANITA SIMPANAN   BAB 47. Bakso Papa

    TENG! TENG! TENG!"Ma, papa! Aku beli baksonya ya?"Citra tersenyum dan mengangguk. "Iya. Sekalian tanya sama papa apa butuh minuman dingin atau makanan?"Manisa mengangguk. "Iya."Gadis kecil berusia 10 tahun itu lalu berlari keluar rumah dengan wajah ceria mendekati penjual bakso yang sudah berhenti di depan rumahnya."Pa...! Bakso untuk aku!" teriaknya sambil terus berlari mendekati pedagang bakso yang tidak lain adalah Galih."Boleh. Mau berapa bungkus?" tanya Galih dengan senyuman lebar. "Satu saja. Buat aku doang.""Oke. Siap." Galih pun segera membuat satu bungkus bakso untuk Manisa. "Mama kamu tidak mau bakso?""Sepertinya tidak. Soalnya kalau mau, dia pasti menyuruhku membelikan untuknya juga. Oya, mama bilang apa papa butuh minuman dingin atau makanan? Biar nanti aku ambilkan."Galih menggelengkan kepala. "Tidak. Papa tidak butuh apa pun. Papa bawa minuman sendiri dari rumah dan masih ada." "O ya sudah. Eh, pa, minggir dikit deh kayanya. Ayah mau masuk."Galih langsung men

  • AMBISI WANITA SIMPANAN   BAB 46. Kejadian Demi Kejadian

    "Apa sih?! Sudah jam sembilan masih juga belum ada sarapan! Ibu kemana lagi masih pagi begini sudah menghilang?" gerutu Galih sembari menatap meja makan yang kosong. Rambutnya acak-acakan karena bangun tidur."Siapa yang menghilang? Ibu itu ke makam adek kamu bukan menghilang," balas suara yang baru masuk ruang makan.Galih menoleh ke sumber suara. Dia mendapati Marni menjinjing plastik hitam. "Pagi-pagi kok sudah ke makam sih, bu? Seperti kurang kerjaan saja."Mata Marni seketika melotot mendengar ucapan Galih. "Kurang kerjaan kamu bilang?! Ke makan adik kamu, kamu bilang kurang kerjaan?! Yang kurang kerjaan itu kamu! Sampai sekarang belum juga kerja! Mau makan apa kita besok? Uang didompet ibu saja tinggal lima puluh ribu!""Maksudku... kalau ibu memang mau ke makam, masak dulu. Jangan pergi tanpa meninggalkan makanan. Aku kan lapar bangun tidur.""Ya kamu masak sendiri! Jangan mengandalkan ibu! Kamu pikir ibu pembantu kamu?! Enak saja! Masak nasi mudah, ada rice cooker! Di lemari

  • AMBISI WANITA SIMPANAN   BAB 45. Penyesalan

    "Ini ramuannya. Kamu harus meminumnya sampai habis."Rini menelan saliva saat melihat segelas cairan hitam yang dihidangkan Mbah Rumini di hadapannya. Baru melihatnya saja dia mau muntah. Apalagi baunya itu lho membuat membuat perutnya seperti diaduk-aduk."Tunggu apalagi? Minumlah! Katanya mau langsung ke proses aborsi?" ucap Mbah Rumini lagi. Walaupun nadanya lembut, entah kenapa terdengar seperti memerintah dengan memaksa.Rini memaksakan senyum sebelum akhirnya mengangguk. "Ba-baiklah, Mbah." Dengan perasaan ragu, dia pun memegang gelas berisi ramuan itu dan membawanya ke dekat bibirnya. Tapi bukannya langsung minum, Rini justru terdiam. Hal itu tentu saja membuat Laras dan Mbah Rumini bingung. "Kenapa, Rin? Kamu mau berubah pikiran?" tanya Laras lirih memastikan. Niatnya sih biar tidak didengar oleh Mbah Rumini tapi nyatanya wanita tua itu bisa mendengarnya juga.Rini menggeleng. "Ti-tidak kok. Aku tetap dengan niatku." Dengan memaksakan diri, Rini akhirnya meneguk minuman itu.

  • AMBISI WANITA SIMPANAN   BAB 44. Ke Tempat Aborsi

    "Kamu yakin mau aborsi, Rin? Lebih baik pikirkan lagi keputusan kamu ini. Toh, bayi dalam perut kamu ini sudah diakui sama bapaknya."Bibir Rini menipis. "Memangnya kemarin-kemarin aku belum memikirkannya menurutmu? Dari pertama kali aku menelpon kamu untuk membantu niatku untuk aborsi, tentu saja sudah aku pikirkan masak-masak. Ya, Mas Galih memang mengakui bayi ini sebagai anaknya. Tapi aku tidak sudi mengurus anak ini setelah tahu kalau bapaknya tidak sesuai ekspektasi.""Mungkin itu sudah takdirmu. Terima sajalah. Aborsi juga bukan tanpa resiko, Rin. Resikonyo besar, Rin. Ada lho yang aborsi sampai kehilangan nyawa. Aku bukan mau menakut-nakuti tapi aku juga khawatir sama kamu."Rini menatap Laras dengan tatapan jengah. "Apa sih? Pikiranmu kok sampai sejauh itu? Badanku tuh kuat. Tidak selemah itu sampai berakhir dengan kematian. Sudahlah, kamu tenang saja. Aku akan baik-baik saja kok. Kamu berdoa saja tidak terjadi apa-apa dengan aku.""Kalau urusan berdoa, tentu aku sudah melak

  • AMBISI WANITA SIMPANAN   BAB 43. Jangan Cari Penyakit

    "Ibu kan sudah bilang kalau ibu akan menganggapmu sebagai menantu ibu selamanya.""Tapi mau sampai kapan ibu bersikap seperti ini? Kenapa tidak menerima kenyataan kalau menantu ibu itu Rini bukan aku? Setidaknya untuk saat ini karena itu yang memang sebenarnya.""Kan seperti yang ibu katakan tadi kalau Galih dan Rini sudah akan bercerai.""Mereka baru akan bercerai. Sedangkan aku dan Mas Galih benar-benar sudah bercerai.""Ibu tahu itu. Tapi apa pun bisa terjadi. Barangkali suatu hari nanti kalian akan bersama kembali.""Itu tidak akan pernah terjadi, bu. Sekali lagi tidak akan pernah terjadi.""Kenapa kamu bicara seperti itu, Citra? Kalau takdir tidak bisa kita tolak.""Aku akan menghindari takdir itu. Aku yakin takdir bisa dihindari. Cukup sekali aku dikhianati dan dibodohi. Jangan sampai ada yang kedua dan ketiga kali.""Galih tidak akan mengulangi kesalahannya. Dia sudah berubah. Jadi tidak akan ada yang kedua apalagi yang ketiga kali."Tapi aku berharap kalau rumah tangga Mas Gal

  • AMBISI WANITA SIMPANAN   BAB 42. Turut Berduka Cita

    Kenapa kamu malah diam saja?! Kamu tidak lihat keadaan adikmu Bagaimana?! Cepat hubungin ambulance! Kita bawa Gina ke rumah sakit!""Dibawa ke rumah sakit pun percuma, bu. Gina sudah tidak ada dari beberapa jam yang lalu. Lihat, darahnya sudah kering.""Apapun itu, cepat kamu telpon ambulance! Bawa dia ke rumah sakit! Atau kamu memang tidak mau membawanya?!""Tidak, bu. Bukan begitu. Baiklah. Aku akan menelpon rumah sakit sekarang."Galih pun menelpon rumah sakit untuk segera mengirimkan ambulance. Tak lama kemudian, jasad Gina dibawa ke rumah sakit. Tapi karena gadis itu memang sudah meninggal sejak beberapa jam sebelumnya, dibawa ke rumah sakit pun tidak menyelamatkannya. Hasil otopsi, Gina memang meninggal karena bunuh diri.***"Apa? Gina meninggal? Oke, kita kesana sekarang. Aku akan bersiap."Citra segera bergegas. Bersama sahabatnya Usi, dia pergi melayat ke rumah Galih."Dengar-dengar Gina meninggal karena bunuh diri," ucap Usi sembari tetap fokus menyetir.Citra terhenyak. "K

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status