Share

BAB 10

“Kita mau kemana, Kak?” tanya Senja penasaran.

“Ruang kerja Eyang Chandra,” jawab Bima sambil menuntun langkah Senja.

Bima Ventura adalah ketua pengawal Dipta R. Maheswara. Bima memiliki lima rekan yang bekerja atas perintahnya dan Eyang Chandra.

“Eyang Chandra sudah pulang?”

Bima mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaan dari Senja. “Belum. Kamu tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan dari Indonesia ke Italia?”

Senja menggelengkan kepalanya.

“17 Jam,” jawab Bima. “Apakah masuk akal kalau Eyang Chandra sudah pulang sekarang?”

Senja kembali menggelengkan kepalanya. Ia merasa sangat bodoh karena pertanyaan tadi. Padahal ia hanya ingin basa-basi.

“Jadi kenapa kita keruangan kerja Eyang Chandra?”

“Nanti kamu akan tahu.”

Selanjutnya tidak ada percakapan sama sekali. Mereka berdua berjalan dalam diam. Senja tahu Bima Ventura tidak banyak bicara. Jika Senja tahu dimana ruang kerja Eyang Chandra berada, ia akan memilih berjalan sendiri. Masalahnya Senja belum tahu dimana letak ruang kerja Eyang Chandra berada. Rumah ini terlalu besar dan megah untuk dijelajahi dan dihapal semua lokasi ruangannya. Pantas saja banyak orang yang bekerja dirumah Eyang Chandra.

“Kita sudah sampai,” ucap Bima mengarahkan ke pintu ruang kerja Eyang Chandra yang bermotif naga berwarna hitam.

Bima membuka pintu besar itu dan masuk kedalamnya.

“Masuklah,” suruh Bima pada Senja. “Eyang Chandra mau berbicara padamu lewat panggilan video,” jelasnya.

Senja berjalan masuk kedalam dan mengamati ruang kerja yang megah itu. Di tengah ruangan terdapat dua sofa panjang berbahan kulit berwarna cokelat yang saling berhadapan dengan meja kaca ditengahnya dan juga satu sofa tunggal disisinya. Diujung ruangan terdapat meja dan kursi kerja Eyang Chandra. Dekorasi ruangan Eyang Chandra sangat elegan dan menawan.

“Duduk disana,” ucap Bima sambil menunjuk sofa panjang.

Senja menurut dan duduk disofa tersebut. Ia melihat Bima menghidupkan laptop yang berada di meja kerja Eyang Chandra.

“Kenapa panggilan videonya nggak dari handphone aja, Kak?” tanya Senja penasaran kenapa harus diruang kerja Eyang Chandra.

“Kamu butuh privasi dan ini perintah dari Eyang Chandra,” jawab Bima.

Senja mengangguk mengerti.

Bima memencet sebuah remot dan seketika layar putih turun dari balik tirai dinding sebelah kanan tepat diseberang sofa yang Senja duduki.

Layar putih itu menampilkan panggilan video ke wilayah Negara Italia. Setelah lima menit panggilan video itu terjawab. Pada layar putih itu terlihat Pak Handi dan Eyang Chandra sedang duduk di sofa juga, wajah keduaya terlihat sangat kelelahan dan mengkhawatirkan sesuatu.

“Syukurlah kita dapat berbicara sekarang,” ujar Eyang Chandra.

“Kami baru saja sampai di sini dan langsung mendapatkan kabar buruk disana,” kata Pak Handi.

“Kabar buruk?” tanya Senja.

“Dipta telah membuat kekacauan karena menyalahgunakan wewenang dengan mencarter pesawat terbang untuk temannya yang sedang berada di Bali,” jelas Pak Handi langsung pada inti masalah yang terjadi.

“Bagaimana bisa? Memangnya pesawat itu punya Nenek Moyangnya?” ucap Senja dengan nada tinggi, sedikit kesal mendengar kelakuan Dipta yang menyalahgunakan wewenang.

“Bukan punya Nenek Moyangnya tapi punya Eyangnya,” kata Eyang Chandra dengan menunjuk dirinya.

Terdengar suara tawa kecil dari seseorang yang membuat Senja menoleh kearah sumber suara. Ternyata Bima Ventura masih berada disana, di meja kerja Eyang Chandra.

Senja tidak tahu bahwa Perusahaan Maheswara memiliki perusahaan pesawat terbang. Ia hanya tahu perusahaan Eyang Chandra adalah PT Mahardika Group yaitu perusahaan minyak gas dan bumi yang terbesar dan sangat terkenal di Indonesia.

“Maaf Eyang, Senja nggak tahu.”

Eyang Chandra tertawa. “Tidak apa-apa, Senja. Sekalipun pesawat itu punya Nenek Moyangnya atau Eyangnya tidak seharusnya dia melakukan hal itu, bukan?”

Senja mengangguk membenarkan perkataan Eyang Chandra.

“Ini tidak bisa dibiarkan, Nak Senja,” ujar Pak Handi. “Kita harus bertindak secepatnya.”

“Bertindak bagaimana, Pak?” tanya Senja tidak mengerti.

“Mulai besok kamu harus memaksa Dipta untuk bekerja di salah satu perusahaan Maheswara Group,” kata Eyang Chandra.

“Hah? Bagaimana caranya, Eyang? Senja nggak tahu harus melakukan apa,” ucap Senja lalu berpikir sejenak kemudian melanjutkan. “Lagi pula, ada yang mau Senja bicarakan sama Eyang.”

‘Harus dikatakan sekarang, atau tidak sama sekali,’ pikir Senja. ‘Sebelum semuanya terlambat.’

“Katakanlah,” ujar Eyang Chandra.

Senja menarik napasnya sejenak dan mengumpulkan keberaniannya kemudian berkata, “Senja pikir sebaiknya Senja harus keluar dari rumah ini. Kayaknya Senja nggak akan bisa memenuhi keinginan Eyang. Bisakah Eyang membatalkan kontrak kerja kita? Karena di kontrak tertulis Senja nggak bisa membatalkan kontrak itu. Berarti Eyang bisa ‘kan?”

Eyang Chandra mengelus dagunya dan berpikir sesaat sebelum menjawab. “Eyang bisa.”

Senja tersenyum senang.

“Tapi Eyang tidak mau melakukannya.”

Senyum Senja pun pudar.

*~*~*~*~*

“Bidari Senja?” ulang Gerka. “Cewek suruhan Eyangmu?”

Dipta menganggukkan kepalanya.

“Siapa Bidari Senja?” tanya Yohan tidak tahu menahu soal itu.

“Orang suruhan baru si Tua Bangka, Han. Kamu nggak tahu? ” jawab Gerka.

Yohan menggeleng. “Kamu nggak ada cerita, Ta,” ucapnya sambil melihat Dipta.

“Sekarang aku udah cerita,” jawab Dipta.

“Aku paham sekarang kenapa Gerka harus ada di sini,” ujar Yohan dengan serius. “Sahabat baikmu cuma Gerka ‘kan? Orang pertama yang selalu kamu hubungi itu Gerka ‘kan? Aku ini apa? Orang cadangan?”

Gerka dan Dipta saling bersipandang dengan wajah mengernyit bingung.

“Kamu sakit, Han? Kerjaan terlalu banyak menumpuk? Kenapa tiba-tiba bicara begitu?” tanya Dipta.

Gerka menambahi. “Bicara apa kamu, Bro! Bukannya aku yang berbeda dari kalian berdua, ya?”

“Kenapa aku selalu jadi orang kedua bagi Dipta?” Yohan masih mempertanyakan tingkatan kasta pertemanan.

“Fix! Ini anak beneran sakit kayaknya, Ta. Sakit karena kebanyakan kerja.”

“Siapa yang bilang kamu orang kedua?” balas Dipta pada Yohan. “Orang kedua itu Gerka.”

Yohan tersenyum senang. “Berarti aku orang pertama?”

Gerka mendengus kesal. “Kalian berdua lagi bahas apa sebenarnya?”

Dipta menggelengkan kepalanya. “Bukan, kamu orang ketiga.”

“Orang pertama siapa?” tanya Yohan.

Dipta tersenyum lalu menjawab, “Gauri Lestari.”

Gerka menepuk jidatnya. “Oke, saudara-saudara balik lagi ke topik awal kita mengenai Bidari Senja sebelum aku menjadi gila.”

*~*~*~*~*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status