Senja berjalan menuju kamar Gauri untuk mengatakan sesuatu yang tidak sempat terucapkan saat pagi tadi karena Dipta menariknya menjauh dari kamar Gauri.
Saat ini sudah pukul delapan malam, semoga waktu yang tepat, pikir Senja. Ia tidak ingin menunda membahas permasalahan yang terjadi. Ia ikut berandil didalamnya.
Senja mengetuk pintu kamar dan pintu kamar terbuka menampakkan wajah Trisma.
“Mbak Senja? Mbak mau—”
Senja menganggukkan kepalanya. Sepertinya Senja dan Trisma memiliki ikatan telepati karena tanpa Trisma menyelesaikan kalimatnya, Senja sudah tahu apa maksudnya.
“Sudah kamu sampaikan pada Gauri?” tanya Senja.
Trisma langsung menganggukkan kepalanya, tersenyum lebar dan mengangkat jari jempol kanannya kearah Senja.
“Non, Mbak Senjanya udah datang,” Trisma memberitahu kedatangan Senja pada Gauri. “Semoga berhasil, Mbak,” ucap Trisma sambil berlalu keluar kamar.
Senja berjalan masuk kedalam kamar Gauri dan menemukan Gauri duduk diatas kasur sambil membaca buku.
“Waktumu lima menit,” ujar Gauri tanpa menoleh kearah Senja berdiri.
“Apakah Nona membenciku?” tanya Senja langsung to the point.
Gauri berdengus kecil seakan mengatakan ‘pertanyaan bodoh yang tak perlu ditanyakan.’
“Kalau iya kenapa?” Gauri balik bertanya tanpa melihat Senja.
“Aku minta maaf karena mencampuri urusan keluarga kalian.”
Gauri menutup bukunya secara kasar dan melirik tajam kearah Senja.
“Sudah permintaan maaf yang keberapa itu? Aku bosan mendengarnya. Kalau kamu benar-benar merasa bersalah, keluar dari rumah ini sekarang juga!”
“Aku nggak bisa keluar, Non.”
“Nggak bisa atau nggak ada usaha? Itu dua hal yang berbeda.”
Senja dibuat tersentak oleh ucapan Gauri. ‘Tidak ada usaha,’ pikir Senja membenarkan perkataan Gauri. Senja belum pernah mencoba berusaha berbicara dengan Eyang Chandra mengenai kontrak kerja. Walaupun pada kontrak kerja tertulis Pihak Kedua tidak boleh membatalkan kontrak dengan Pihak Pertama, artinya Pihak Pertama bisa membatalkan kontrak, bukan? Ia akan meminta Eyang Chandra untuk membatalkan kontrak kerjanya karena itu pilihan terbaik untuk semuanya, Eyang Chandra, Gauri, Senja dan Dipta. Setidaknya Senja tidak berada diantara mereka. Ia akan kembali pada tempatnya semula.
“Kalau aku sudah berusaha dan tetap tidak bisa, apakah Nona masih membenciku?”
“Tergantung, apakah kamu bisa diajak kerjasama denganku atau tetap berkerja sebagai orang suruhan Eyangku.”
Senja termangu sesaat. Memikirkan perkataan Gauri barusan. Jawaban apa yang akan dia berikan?
“Bagaimana? Apa jawabanmu?” tanya Gauri.
“Aku akan berada di pihak kalian bertiga. Kamu, Eyang Chandra dan Tuan Dipta. Aku akan melakukan apa yang menurutku benar untuk dilakukan,” jawab Senja pada akhirnya.
“Perkataan terlucu yang pernah aku dengar,” sindir Gauri dengan tertawa hambar. “Keluarlah, waktu lima menitmu sudah habis.”
“Sebelum keluar, ada yang mau aku katakan, Non.”
“Kata apa lagi? Minta maaf lagi?”
Senja mendekat pada kasur yang ditempati Gauri dan berlutut dilantai marmer.
Gauri terperanjat. “Apa yang kamu lakukan?”
“Jangan pernah berpikir untuk melukai diri sendiri, Non. Saya harap kejadian kemarin adalah pikiran untuk yang terakhir kali.”
Gauri melirik tangan kanan Senja yang terluka. Seharusnya dirinyalah yang terluka dan bukan dia. Mendadak perasaan bersalah hinggap di hatinya. Secepat kilat perasaan itu diusirnya, agar ia tetap bisa membenci Senja.
“Kamu mengasihaniku?” tanya Gauri.
Senja menggeleng. “Bukan, Non. Aku nggak mengasihani siapa pun, justru aku mengasihani diriku. Walaupun begitu, aku nggak pernah mau melukai diriku sendiri, karena orang lain sudah melakukannya. Orang lain itu adalah keluargaku sendiri, dia selalu—”
“Cukup,” Gauri memotong perkataan Senja. “Aku nggak mau mendengar curahan hatimu. Kamu pikir kita sudah sampai ke tahap itu?”
Senja tersenyum lalu berujar, “aku harap kita akan sampai pada tahap itu.”
“Teruslah bermimpi! Sebelum hal itu terjadi, kakakku akan membuatmu pergi dari rumah ini.”
“Aku akan terus bermimpi, Non. Karena mimpi itu ‘kan gratis,” gurau Senja dengan cengar-cengir.
“Banyak sekali kamu mengorupsi waktu,” keluh Gauri. “Keluarlah sekarang sebelum aku menyuruh pengawal untuk menyeretmu.”
Senja berdiri dan pamit keluar dari kamar Gauri. Sebelum Senja sampai ke kamarnya, seseorang dengan setelan serba hitam menghampirinya dan berkata, “Ikuti saya.”
*~*~*~*~*
“Bagaimana perjalanannya? Menyenangkan?” tanya Dipta pada Gerka yang jiwanya masih tertinggal di Bali.
“Gila, gila, gila…” Gerka masih tidak percaya pada apa yang baru saja dia alami. “Kenapa setelah sekian lama berteman, kemampuan hebatmu itu baru dipergunakan?”
Dipta mengedikkan bahunya sebagai jawaban. Ia mengambil kotak rokok merek Hyans dari saku jaketnya, mengambil sebatang rokok dari dalam kotak, memantik api menggunakan pemantik Zippo pada ujung rokok, menghisap rokoknya dan mengeluarkan asap dari bibirnya.
Gerka memang selalu berpergian kemanapun menggunakan pesawat kelas atas seperti Sky Air, IndoPlane, ataupun Maharaja. Ketiga nama pesawat terbaik di Indonesia. Nomor tiga dipegang oleh Maheswara Group. Tetapi ia tidak pernah menggunakan salah satu dari ketiga pesawat kelas atas tersebut secara pribadi untuk dirinya sendiri. Keluarga Gerka belum sanggup untuk melakukan hal itu. Berbeda cerita dengan sahabatnya Yohan dan Dipta. Mereka berdua bisa melakukan apa saja.
“Tampar aku, Han,” suruh Gerka pada Yohan yang sedang serius melihat proposal kerja di hp Samsung Z Foldnya. “Apa aku sedang bermimpi?”
Yohan Bramasta, sang CEO gila kerja, mengalihkan pandangan dari handphonenya kearah Gerka. “Berapa kali?” tanya Yohan. “Sepuluh kali cukup?” candanya.
“Kamu kira wajahku itu ring tinju?” ucap Gerka kemudian melirik layar handphone Yohan yang menampilkan surat proposal kerja. “Ayolah, Han! Ini hari minggu, Bro.”
“Justru karena hari minggu, Ka. Aku harus tetap kerja,” jawab Yohan yang disambut gelengan kepala kedua temannya.
“Kamu contohlah temanmu si pengangguran hebat banyak gaya itu,” tunjuk Gerka dengan matanya yang mengarah pada Dipta secara terang-terangan. “Karena hal sepele dia memesan pesawat terbang kayak memesan nasi padang.”
Dipta membalas, “karena temanmu si pengangguran hebat banyak gaya ini,” tunjuknya pada diri sendiri. “kamu bisa merasakan naik pesawat terbang layaknya raja dari kayangan.”
“Ya…ya…aku akui itu,” ucap Gerka mengakui bahwa dirinya tadi terlalu norak saat dijemput pesawat terbang itu layaknya raja semalam.
“Jadi hal penting apa yang sangat mendesak sampai kamu memesan pesawat khusus untuk Gerka?” tanya Yohan.
“Iya, Ta. Sebenarnya ada apa?”
“Bantu aku untuk mengurus seseorang,” kata Dipta sambil mematikan puntung rokoknya yang tinggal seperempat bagian.
“Siapa?” tanya Gerka dan Yohan secara bersamaan.
“Bidari Senja,” jawab Dipta dengan seringai khasnya yang mengerikan.
*~*~*~*~*
“Kita mau kemana, Kak?” tanya Senja penasaran.“Ruang kerja Eyang Chandra,” jawab Bima sambil menuntun langkah Senja.Bima Ventura adalah ketua pengawal Dipta R. Maheswara. Bima memiliki lima rekan yang bekerja atas perintahnya dan Eyang Chandra.“Eyang Chandra sudah pulang?”Bima mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaan dari Senja. “Belum. Kamu tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan dari Indonesia ke Italia?”Senja menggelengkan kepalanya.“17 Jam,” jawab Bima. “Apakah masuk akal kalau Eyang Chandra sudah pulang sekarang?”Senja kembali menggelengkan kepalanya. Ia merasa sangat bodoh karena pertanyaan tadi. Padahal ia hanya ingin basa-basi.“Jadi kenapa kita keruangan kerja Eyang Chandra?”“Nanti kamu akan tahu.”Selanjutnya tidak ada percakapan sama sekali. Mereka berdua berjalan dalam diam. Senja tahu Bima
“Kenapa Eyang nggak mau?” tanya Senja heran.“Eyang balik pertanyaannya ke kamu, kenapa kamu tidak mau membantu Eyang?” tanya Eyang Chandra. “Kenapa kamu menyerah sebelum berjuang? Bukankah kamu sudah berjanji untuk membantu Eyang?”Senja terdiam dan bergumam dalam hati, ‘Menyerah sebelum berjuang? Apakah aku sudah kalah sebelum melangkah?’“Nak Senja,” panggil Pak Handi. “Kenapa kamu tiba-tiba ingin membatalkan kontrak kerja?” tanyanya.“Kemarin sore, hari pertama Senja kerja, dan juga hari ini, Senja berpikir bukannya Senja membantu Eyang, Tuan Dipta dan Nona Gauri, tapi Senja malah membuat semuanya semakin kacau,” jawab Senja. “Dan satu lagi, mengenai Tuan Dipta, Senja takut dia semakin membangkang dan melakukan hal-hal yang sangat mengerikan.”Senja teringat saat Dipta memukuli dan menendang kelima pengawalnya. Lalu ia melirik Bima kembali untuk meli
Setelah mengetahui misinya yang mustahil untuk berhasil, Senja mengambil langkah tak tahu arah. Ia berjalan tanpa memikirkan tujuan. Apakah ia sudah membuat kesalahan dengan ikut campur dalam permasalahan yang tak ada penyelesaian? Bagaimana caranya ia bertahan? Saat dirinya tersadar dalam lamunan, ternyata kakinya membawanya kearah kolam renang. Ia jadi teringat peristiwa tadi pagi, saat Dipta mencekik lehernya. Ia juga teringat masa lalunya yang juga selalu mendapat penyiksaan serupa. Ia tidak mau mengalami itu untuk kedua kalinya. Bukankah ia juga berhak untuk bahagia? Senja duduk disalah satu kursi santai dan memandang air kolam renang yang berwarna biru langit dengan pantulan cahaya bulan yang indah. Kolam renang outdoor ini begitu luas dan dalam. Lebar kolamnya 10 meter sedangkan panjangnya 20 meter dengan kedalaman airnya lebih kurang tiga meter. Deringan ponsel membuyarkan lamunan Senja. Ia merogoh saku celananya untuk mengambil handphonenya. Nama Yun
Senin pagi yang muram, pikir Senja saat menengadahkan kepala untuk melihat langit dipagi hari. Seperti suasana hatinya saat ini. Suram, buram dan kelam. Dua hari yang lalu adalah hari yang panjang baginya dan hari berikutnya tidak tahu akan bagaimana juga tidak tahu harus melakukan apa. Sama sekali tidak ada rencana. Sepertinya kepintaran yang dimilikinya tidak ada artinya. “Non, kepalanya nggak pegal?” tanya seseorang pada Senja yang sejak tadi memerhatikannya dari jauh. Senja tersentak kaget. Ia juga tidak tahu siapa orang yang sedang menyapanya ini. “Maaf, Pak. Bapak ini—” “Oh, Bapak tukang kebun dirumah ini, Non.” Senja tersenyum sopan, “Saya Senja, Pak. Orang baru suruhan Eyang Chandra,” ucap Senja memperkenalkan diri. “Oh, si orang baru, toh. Bapak juga udah dibilangin pas hari jum’at kemarin. Tapi kita belum ada jumpa ya, Non, karena Bapak ndak tinggal dirumah ini. Bapak itu kerja dari hari senin sampai hari jum’at aja,” jelasny
“Akh!” seru Trisma sambil menutup mulutnya dengan tangan. Sangat terkejut dengan pemandangan di depannya. Ia melihat sepeda motor Honda Scoopy milik Senja tergeletak dan diikat pada mobil Aston Martin One-77 yang sudah dimodifikasi milik Dipta. Senja menekan segala emosinya, ia melihat Dipta sedang duduk bersila dikursi dengan menikmati sebatang rokok di bibir. “Akhirnya datang juga,” ucap Dipta sambil mematikan puntung rokoknya. “Apa yang sedang Tuan lakukan?” tanya Senja dengan sabar. “Memberimu penawaran,” jawab Dipta lalu mengambil sebuah tongkat bisbol yang sejak tadi berada disamping kursi yang didudukinya. “Kalau kalian mau jadi penonton, tolong sedikit menjauh,” kata Dipta pada orang-orang yang berada disekitarnya. Orang-orang itu terdiri dari, Senja, Trisma, Mbok Minah, Pak Mahmud, dan Pak Kasim. “Kalian bisa terluka,” sambungnya dengan seringai khasnya yang mengerikan. Trisma dan Mbok Minah langsung meng
“Kenapa karena saya?” tanya Senja heran. “Bukankah Tuan Dipta melakukan itu atas kemauan sendiri?” “Kamu juga melakukan itu atas kemauanmu sendiri,” ujar Dipta sambil melihat tangan kanan Senja yang masih diperban. Senja mengangkat tangan kanannya yang diperban. “Ini bukan karena adik, Tuan,” ucapnya lalu melanjutkan, “ini karena saya sendiri, atas kemauan saya sendiri, sama seperti yang Tuan lakukan sekarang, tangan Tuan terluka karena diri Tuan Dipta sendiri, bukan karena saya.” “Memang atas kemauanku, tapi alasannya adalah karena dirimu ada sekitarku, dirumahku, dan juga—” “Biarkan saya mengobati tangan Tuan Dipta terlebih dahulu,” potong Senja. “Darahnya keluar semakin banyak.” Senja terlihat mencemaskan Dipta. “Trisma, tolong ambilkan kotak P3K!” Trisma langsung sigap mendengar perintah Senja. “Siap, Mbak.” Saat Trisma berbalik ingin kedalam rumah untuk mengambil kotak P3K, langkahnya terhenti karena Gauri. Mbok Asih berad
—UNIVERSITAS BINA SILA— Sebulan yang lalu… “Senja!” teriak Jeki memanggil Senja yang sedang berjalan keluar dari perpustakaan pusat Universitas Bina Sila. “Ja! Woi, Senja!” panggilnya lagi yang membuat beberapa mahasiswa dan mahasiswi melotot dan memasang muka kesal pada Jeki karena mengganggu konsentrasi mereka. “Sori, sori,” ucap Jeki tak enak hati. “Temanku itu memang agak budek,” katanya lagi dengan cengengesan. Lalu ia melangkah cepat untuk menggapai Senja berada. Saat sudah berada diluar perpustakaan, Jeki berlari kencang dan kembali memanggil Senja. “Senjaaa…” Senja tetap tidak menoleh pada Jeki. Ia terlihat sangat serius berjalan dengan menenteng buku-buku Ekonomi Industri. “Woi, Ja!” Jeki berhasil menggapai bahu Senja. Senja tersentak kaget karena tangan seseorang yang memegang bahunya dari belakang tubuhnya. Ia berbalik dan melihat Jeki yang bercucuran keringat. “Jeki,
“Kenapa diam aja, aku bilang pergi dari rumah ini!” seru Gauri dengan melemparkan boneka besar ke tubuh Senja yang membuat Senja tersadar dalam lamunannya. “Aku nggak bisa pergi, Non. Kontrak kerjaku dengan Eyang Chandra sepuluh bulan, dan kontrak itu nggak bisa dibatalkan,” jelas Senja sambil mengembalikan boneka besar ke tempat tidur Gauri. Senja berlutut didepan Gauri yang menggunakan kursi rodanya. “Kenapa kalian berdua membenci Eyang Chandra? Apa yang sudah dilakukan Eyang, Non? Karena bagiku Eyang adalah orang yang sangat baik.” Gauri tertawa mengejek. “Baik? Tahu apa kamu? Apakah karena dia memberikanmu uang, disebut sebagai orang baik? Kamu terlalu naif jadi orang.” “Kalau begitu bilang sama aku, alasan kalian berdua membenci Eyang Chandra,” pinta Senja. “Supaya apa?” tanya Gauri dengan menaikkan kedua alisnya. “Kalau kamu penasaran, tanyakan langsung sama orang yang kamu sebut orang baik itu.” “Eyang Chandra nggak tahu apa-apa