Krieeett. Blam!
Pintu kamar Rain terbuka dan menutup kembali dengan cukup keras usai wanita cantik bergaun putih masuk. Netranya basah, hidungnya memerah. Meski bibirnya terkatup, raut wajahnya cukup menggambarkan jika ia sedang tidak baik-baik saja.Rain yang duduk di sebuah kursi hanya diam menatapnya, tak tahu harus berkata apa. Hening sejenak, hingga wanita itu melirik tas berukuran sedang yang teronggok di sudut kamar bernuansa coklat muda itu."Kamu mau pergi?" tanya wanita itu. Air matanya kembali berlinang, membasahi pipi putih mulus yang terawat."Jangan seperti ini, Amethyst," ucap Rain akhirnya. Pria itu bangkit dari kursi dan berjalan menuju balkon. Kamarnya yang berada di lantai dua memudahkannya melihat pemandangan perbukitan sore itu.Sikap Rain tampak dingin, bahkan seolah tak peduli pada wanita berambut panjang itu. Posisinya yang membelakangi hanyalah cara untuk menghindari tatapan sendu milik Amethyst. Cuma ia saja yang tahu jika saat ini hatinya juga hancur."Bukankah kamu mencintaiku?" Amethyst bersuara setelah hening selama beberapa saat. Suasana di ruangan tiga kali empat meter itu tiba-tiba membuat Rain teringat masa lalu yang kelam.Alih-alih menjawab, Rain justru membalikkan badan. Kini mereka saling berhadapan dan pria itu mendekat. Senyum kecilnya terbit. Tangan kanannya terangkat, menyeka bulir bening yang sedari tadi turun dari netra cantik Amethyst.'Tentu saja, aku mencintaimu. Tidak ada yang mencintaimu lebih dari aku.' Rain mengucapkan kalimat itu dalam hati."Rain! Jawab!!" seru Amethyst lagi. Kini emosinya mulai tak terkendali."Semesta tak mengijinkan kita bersama. Orang tuamu benar, aku tak pantas untukmu.""Lalu apa makna semua lily putih yang selama ini kamu berikan setiap pagi? Dan juga untuk apa malam itu kamu menciumku?" Pertanyaan yang Amethyst lontarkan keluar dari dalam hati.Mendengarnya, sinar di mata Rain meredup. Sebelum menjauh, ia mengungkapkan hal yang akan menghancurkan hati Amethyst hingga tak tersisa."Sepertinya kau salah paham, hubungan kita sekedar guru dan murid. Lagipula aku mencintai orang lain," ujar Rain dengan nada tenang seperti biasa. Ia kembali membelakangi wanita itu, menyembunyikan kebohongan yang disengaja.Tak perlu menunggu waktu lama, langkah kaki Amethyst mundur teratur. Dengan penuh kecewa, wanita itu keluar kamar, meninggalkan Rain yang hanya bisa menghela napas berat.Bukan perkara mudah bagi Rain untuk mengalah. Amethyst adalah satu-satunya cinta dalam hidupnya. Tapi jika saja tidak ada siklus terkutuk itu, ia dengan senang hati membawa Amethyst pergi.Malam ini adalah pertunangan Amethyst dengan seseorang. Pria yang cakap dan mapan, pilihan orang tua wanita itu. Dan hari ini juga adalah ulang tahun Amethyst yang ke dua puluh.Rain tersenyum miris, mengingat takdir mereka yang kejam. Berkali ia telah melihat wanita cantik itu harus kehilangan nyawa. Yang paling menyakitkan, ia tak bisa berbuat apa-apa."Maaf, Amethyst. Dengan ini, kuharap kutukan kita akan berakhir." Lagi, Rain menghela napas berat setelah memandang kalender selama beberapa saat. Dua puluh empat Maret. Ia sangat berharap hari ini tidak akan ada hal buruk yang terjadi.Usai memastikan semua barangnya tidak ada yang tertinggal, Rain membawa tas berwarna hitam yang tampak senada dengan pakaiannya. Satu hal yang akan ia lakukan adalah pergi menemui ayah Amethyst untuk berpamitan."Selamat siang, Tuan Redo." Rain memberi salam pada pria paruh baya dengan penampilan rapi."Oh. Rain? Kau sudah akan pergi?" Pria itu menatapnya lurus.Ditanya seperti itu, Rain hanya mengangguk. Sekilas ia mengingat jika pria itu pula yang telah membawanya ke villa putih ini sebagai guru piano privat untuk putri tunggalnya, Amethyst."Kau tidak ingin menghadiri acara pertunangan Amethyst malam nanti?" Pria yang merupakan pemilik perkebunan teh ratusan hektare itu bertanya lagi."Tidak, Tuan. Saya akan pergi sekarang juga," jawab Rain dengan tatapan datar."Jangan khawatir tentang ucapan istriku. Aku tahu kau bukan orang seperti itu. Tapi jika kau benar ingin pergi, aku tidak akan melarang lagi. Ini gaji terakhirmu." Tuan Redo mengeluarkan amplop berisi beberapa lembar uang bernominal tidak sedikit.Belum sempat Rain memberi respon, seseorang memaksa masuk ke dalam ruangan dengan peluh di dahi yang tak lain adalah salah satu pelayan keluarga kaya itu."Tuan! Nona Amethyst. Dia ... dia ...." Pria dengan setelan khusus pelayan hitam itu tampak kesulitan menjelaskan. Tapi wajahnya mencerminkan jika ada hal buruk yang terjadi. Mendengar nama Amethyst disebut, Rain bergegas keluar dan berlari."Kenapa kau ini? Katakan dengan jelas," tutur Tuan Redo. Alisnya terangkat sebelah menyadari betapa anehnya sikap Rain."N-nona Amethyst berada di balkon lantai tiga. Dia ingin melompat, Tuan ....""Apa?!" Tuan Redo bangkit dengan cepat dan menuju titik tempat putri tercintanya kini berada sesuai arahan si pelayan.Sedangkan di halaman samping villa, terpampang pemandangan horor. Amethyst berdiri pada luar pagar pembatas balkon. Tangannya masih berpegangan. Namun jika jemari lentik itu lelah atau berkeringat, maka dengan mudah tubuh ramping nan ringkih itu terjun bebas.Lebih dari lima orang pelayan meminta putri dari majikan mereka untuk turun. Beberapa meter dari Amethyst juga nampak wanita cantik blasteran yang adalah ibunya."Kemari, Sayang. Ibu akan membatalkan pertunanganmu dengan Bastian jika memang itu yang kamu inginkan," bujuknya dengan air mata berlinang. Tetapi Amethyst menggeleng."Terlambat, Ibu. Dia menolakku. Dia ingin meninggalkanku," racau Amethyst dengan tatapan kosong. Ia mendengarkan panggilan dari kematian yang terasa begitu dekat."Amethyst!" Rain tiba-tiba sudah ada di samping Nyonya Redo.Si pemilik nama menoleh. Bibirnya membentuk senyum yang terlihat aneh. Rain maju selangkah demi selangkah, berharap bisa menghentikan niat Amethyst untuk mengakhiri hidup."Berhenti, Rain! Berhenti atau aku akan lompat sekarang juga!" ancam Amethyst yang seketika membuat langkah Rain membeku."Kamu ingin pergi, bukan? Silahkan. Aku tidak akan menghalangimu. Pergi saja. Kejar wanita yang kamu cintai itu," ucap Amethyst. Air matanya berderai.Kali ini Rain tak bisa menyembunyikan kesedihannya lagi. Netranya juga basah dan satu bulir bening menetes."Aku mencintaimu," ucap Rain.Amethyst tergelak lemah mendengar pengakuan itu. Baginya sekarang, Rain tengah mengejeknya. Ia yakin Rain berkata demikian hanya untuk membujuknya."Bohong! Kamu tidak mencintaiku!" Amethyst berseru dengan putus ada sebelum akhirnya suaranya melemah. "Selamat tinggal ...."Detik berikutnya, Amethyst benar-benar melepas pegangan. Tubuh itu tampak melayang sebelum mendarat dengan keras pada halaman samping yang sebagian telah dipaving. Darah segar mengalir deras dari bagian kepala."Amethyst!" teriak Nyonya Redo.Rain terduduk lemas. Semua hiruk pikuk yang terjadi setelahnya terdengar bagai dengungan untuknya. Sekali lagi, Amethyst-nya telah direnggut. Satu hal yang pasti, ia telah gagal menghentikan siklus.Cklek."Rain!" Kemunculan Gideon yang telah kembali ke wujud manusia secara mendadak membuyarkan lamunan Rain tentang kejadian dua puluh tahun silam."Baguslah jika kau belum tidur. Ikut aku, ada sesuatu yang mungkin harus kau lihat," lanjut pria itu.Tanpa bicara, Rain mengikuti langkahnya. Keluar dari rumah Tuan Tino, dua pria jalan beriringan. Mereka menuju satu pohon besar tak jauh dari kawasan taman kota. Situasi di sekitarnya sepi. Maklum saja, ini nyaris pukul satu lewat tengah malam."Aku merasakan energi tak biasa saat mendekati pohon ini," ujar Gideon.Rain maju dan menyentuh permukaan pohon tua. Ia pun merasakan energi aneh. Pohon ini bukan pohon biasa."Pohon ini pernah menjadi pintu portal. Tapi sepertinya ada yang telah menyegelnya," terang Rain."Ck. Ternyata benar dugaanku. Tapi siapa yang melakukannya?" Gideon terlihat gemas.Rain menggeleng singkat. Ia pun tidak tahu. Dua pria itu belum menyadari jika ada sesuatu yang tengah mengawasi gerak-gerik mereka.***Amy masih berdiri di tengah-tengah ruangan, area yang semula terang mendadak menjadi redup. Sekitar mereka hanya diterangi oleh cahaya lilin yang berkelap-kelip di dinding. Di hadapannya, terhampar sembilan boneka cantik dengan penampilan dan gaya yang berbeda. Setiap boneka entah bagaimana tampak bersinar dengan cahaya aneh, seolah-olah menyimpan rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Gadis kecil yang mudah marah maupun tertawa itu berdiri di sisi lain ruangan, matanya yang tajam mengawasi setiap gerakan Amy.Gadis aneh itu tersenyum miring, wajahnya berubah-ubah antara kegelapan dan kegilaan. "Pilihlah, tuan putri," katanya dengan suara yang menggema di ruangan itu. "Tapi dengan satu syarat.""Apa itu?""Salah satu boneka ini memiliki benda yang Anda cari. Pil keabadian. Tuan putri hanya boleh memilih satu kali dan ingat, setiap pilihan memiliki konsekuensi."Amy merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Dia melangkah mendekati boneka-boneka itu, tangannya gemetar saat dia m
Di tepi danau yang tenang, sinar bulan menerobos melalui dedaunan, menciptakan bayangan yang indah di permukaan air. Di tengah hutan yang sunyi, Amy dan Rain bertemu setelah berpisah selama beberapa waktu.Amy dengan rambut panjangnya yang tergerai indah, duduk di sebuah batu besar yang menghadap ke danau. Rain mendekatinya dengan langkah mantap. Mereka saling bertatapan, lalu Amy memulai percakapan."Dari mana kamu tahu aku alergi jahe?""Aku tahu semua tentangmu.""Tapi bagaimana ... sudahlah, kemarin, kamu pergi begitu saja," alih Amy dengan suara yang terdengar sedih.Rain terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat. "Maaf, aku tidak ingat. Apa yang terjadi kemarin?"Amy merasa kesal. "Kamu tidak ingat? Kamu datang ke kamarku lalu pergi begitu saja tanpa kata-kata. Aku menunggumu, tapi kamu tidak kembali."Rain menggelengkan kepala. "Maafkan aku, aku benar-benar tidak ingat."Amy bangkit dari tempat duduknya, wajahnya memancarkan kekecewaan. "Kamu selalu begitu, Rain. Selalu datang
Permukaan danau yang tenang menarik perhatian Rain selama sesaat. Pria itu menatap datar sembari bersandar pada pilar bangunan penginapan yang berbahan kayu solid. Di belakangnya, beberapa pria muda berbicara dengan nada sedikit bercanda. Meski tak berniat menguping, Rain mampu mendengar mereka sesekali menyebut-nyebut pil keabadian."Apa menurutmu benda itu benar-benar ada?""Yang benar saja. Jika bukan karena Nona Emilia menawarkan bayaran fantastis, aku tidak akan mau repot-repot datang kemari," timpal pria dengan rambut cepak diikuti gelak kecil."Cuma uang yang ada dipikiranmu," seloroh yang lain."Memangnya kau tidak? Realistis saja. Dunia peri dan semacamnya tak lebih dari dongeng pengantar tidur. Omong kosong.""Kau terlalu berani. Ck, ck ....""Kita ikuti saja sampai mana nona muda itu mau bersikeras."Seseorang menepuk pundak Rain yang membuat kepala pria itu sedikit menoleh. Gideon kini berdiri di sampingnya, ikut menatap lurus pada permukaan danau yang cantik nan misterius
Dua wanita berdiri berhadapan bagaikan bercermin. Rambut hitam panjang yang sama, juga irish mata ungu gelap yang senada."Siapa kamu? Di mana teman-temanku?" Amy memeluk lengan ketika Amethyst berjalan mendekat. Ketenangan yang wanita itu tunjukkan tak ayal membuatnya tidak nyaman."Mereka baik-baik saja. Seharusnya kau lebih mengkhawatirkan keadaanmu sendiri," balas Amethyst.Jarak mereka tidak sampai satu meter sekarang. Amy masih memberikan tatapan was-was. Ia melirik kamar luas itu, tak menyadari tatapan simpati milik Amethyst."Apa tanda itu sudah muncul?" Amethyst mengangkat tangan seakan ingin menyentuh sosok yang serupa dengannya itu."Tanda apa yang kamu maksud?" tanya Amy, tangannya refleks menyentuh perut. Ia paham makna pertanyaan itu tapi masih berharap semua hanya kesalahan."Lebih awal dari semestinya." Amethyst tersenyum tipis.Bukannya menjawab, Amy memandangi wanita cantik dengan dress putih menutup mata kaki itu. Terpancar jelas kesedihan di matanya. Tak lama berse
Velia mengaduk sup jamur, memastikan rasa dan mematikan kompor tak lama kemudian. Ketika memasuki ruang tengah, tangannya telah membawa nampan berisi dua mangkuk sup yang masih mengepul."Kita makan dulu," ujarnya pada Amy yang fokus membolak-balik halaman buku bersampul hitam."Terimakasih, Vel. Tapi aku belum lapar," tolak Amy tanpa menoleh sama sekali.Mendengarnya Velia hanya mampu menghela napas kasar. Ia letakkan nampan di atas meja lalu ikut duduk tepat di samping Amy. Amy terlihat tidak terganggu, ia masih terlihat fokus.Percuma sedari tadi ia membuka buku untuk ke sekian kali. Tulisan dalam buku sama sekali tak ia mengerti. Amy mendengkus frustasi. Tangannya meletakkan buku dengan asal di sofa samping lalu ujung secarik kertas tampak menyembul."Kita tidak tahu siapa wanita aneh tadi. Bagaimana kalau dia cuma mau nipu?" Velia yang khawatir hendak menyentuh lengan sahabatnya. Namun ia harus mengurungkan karena Amy saat itu juga berdiri."Villa Putih. Aku harus ke sana sekaran
"Ayo naik!" ajak Tora ketika berhasil menyusul Amy.Amy menatapnya sejenak. Tertegun. Ia sudah ingin membuka suara tapi Tora berucap kembali."Katamu ini tentang nyawa seseorang. Mau naik apa tidak?" Dengan segera Amy menuruti. Pikirannya kembali fokus pada Rain. Meski itu hanya gambaran tidak nyata dari kabut merah, tak dipungkiri rasa khawatir kini menjalari seluruh tubuhnya."Ke mana kita?" tanya Tora lagi sebelum menjalankan kendaraan roda duanya."Rumah kontrakanku, tolong cepat ya," pesan Amy masih dengan wajah kalut.Tora tidak bertanya lagi. Tak berapa lama, mereka pun sampai. Namun bukannya menuju tempat tinggalnya selama beberapa bulan belakangan, Amy justru dengan cepat menghampiri halaman rumah Pak Tino. Tampak Gideon sedang mengutak-atik jam tangan tua di toko barang antik itu."Gideon," panggil Amy yang langsung membuat pria berkacamata mata itu menoleh."Hm? Oh, hai, ada yang bisa kubantu?" tanya pria itu dengan senyum mengembang."Di mana Rain? Aku ingin bertemu denga