Share

Kabut Merah

Amy mengeratkan jaket ungunya karena angin malam semakin dingin. Wanita itu mempercepat langkah, area tempat tinggalnya sudah dekat. Hanya dua ratus meter lagi.

Memasuki jalan lebih sempit, Amy berpapasan dengan pemuda dengan rokok di tangan. Mereka tidak saling mengenal tapi orang tersebut memandangnya dengan cara aneh.

Ponsel dalam tasnya mendadak berdering. Tanpa melihat layar, Amy sudah bisa menebak jika yang memanggil adalah Velia. Tentu ia harus menyiapkan diri mendengar temannya itu menggerutu.

"Halo, Vel?"

"My, maaf hari ini aku nginap di rumah mama. Besok udah balik kok."

"Oh, gitu ya?" Ada nada kecewa pada suaranya.

"Jangan lupa kunci semua pintu, oke? Stay save, Sista!" seru Velia dari seberang.

Begitu panggilan terputus Amy hendak menyimpan ponselnya kembali. Tapi sesuatu yang dingin menyentuh tengkuknya. Refleks Amy membalikkan badan. Tidak ada apapun. Wanita itu memegang tengkuk, memastikan yang baru ia rasakan bukan hayalan semata.

Belum habis rasa terkejutnya, Amy dihadapkan pada gumpalan sesuatu yang semula kecil tapi lama kelamaan semakin besar. Dilihat sekilas, benda tersebut mirip kabut yang berwarna merah. Amy mundur teratur, ia tak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya.

Wusshh.

Kabut semakin mendekat. Amy sangat ingin berlari tapi kakinya tidak mau diajak berkompromi. Sendi-sendinya terasa lemas. Saat jarak kabut merah hanya tinggal beberapa inchi saja, Amy memejamkan matanya dalam ketakutan.

Drap. Drap. Drap.

Suara langkah kaki yang mendekat dengan cepat. Amy tidak tahu siapa atau apa lagi yang datang. Ia cuma ingin semua kembali normal seperti sebelumnya.

"Amethyst."

Itu suara seorang pria. Walau ragu, Amy membuka matanya. Kabut aneh telah menghilang, berganti menjadi sosok Rain yang lurus menatapnya.

"Rain? Kamu Rain, 'kan?"

"Kau baik-baik saja?" Alih-alih menjawab, pria itu justru bertanya dengan suara rendah.

Amy mengangguk pelan. Ia memandang ke arah belakang pria itu, memastikan jika keadaan sudah kembali seperti sedia kala.

"Ayo," ajak Rain sambil berjalan mendahului.

"Tunggu, yang tadi itu apa?" tanya Amy sambil mengimbangi langkah pria dengan outfit hitam itu.

"Kabut merah." Jawaban Rain sangat singkat, padat tapi bagi Amy tidaklah jelas.

"Iya, aku tahu kabutnya berwarna merah. Tapi kenapa tiba-tiba muncul? Lalu kenapa kamu ada di sini?" Mode ingin tahu Amy aktif begitu saja tanpa peduli jika ia dan Rain tak benar-benar saling mengenal.

Rain terus berjalan, tidak menjawab atau menoleh.

"Rain," panggil Amy yang masih mengejar hingga pria itu berhenti mendadak. Hampir saja Amy menabrak punggungnya, beruntung ia mampu mengerem langkah di saat yang tepat.

"Kita pulang lebih dulu. Jalanan ini tidak aman untukmu," ucapnya.

'Tidak aman?' batin Amy. Meski begitu ia menurut juga.

Beberapa saat berlalu, mereka berdua sampai di depan pagar rumah kontrakan Amy. Rain berdiri diam, seakan ingin menunggu wanita itu masuk ke area pagar. Namun benak Amy masih dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.

"Yang tadi itu ...." Amy menggantung kalimat karena di saat yang sama Rain tengah menatapnya. Tatapan yang tampak tidak asing, seolah mereka telah saling mengenal jauh sebelum ini.

"Lain kali akan kujelaskan. Sekarang masuklah." Usai berkata demikian, Rain beringsut menuju rumah Pak Tino yang hanya berjarak beberapa jengkal dari tempat mereka.

Amy mengangguk saja walau punggung Rain sudah menjauh. Detik berikutnya, Amy menghela napas kasar. Rain dan semua kejanggalan-kejanggalan yang terjadi sukses membuat kepalanya pening.

"Ada apa dengan minggu ini?" tanyanya pada diri sendiri.

**

"Kau sudah kembali?" sapa Gideon ketika Rain baru memasuki kamar.

Hening. Gideon hafal bagaimana karakter seorang Rain yang sangat irit bicara. Pria itu meletakkan sebuah buku tebal yang sempat dibacanya di atas meja.

"Aku menemukan ini." Tangan Gideon meletakkan selembar foto pada nakas di samping ranjang Rain. Foto yang berisi tiga sosok pria muda dan ada Rain di antaranya.

Tanpa berbicara sepatah kata pun Rain meraih dan mengamati foto. Pak Tino pernah menunjukkan lembaran tersebut tapi ia tak berkeinginan menjelaskan apapun.

"Kembalikan pada pemiliknya," respon Rain sembari meletakkan pada nakas.

"Ya, aku akan mengembalikan nanti. Tapi apa menurutmu dia tidak aneh? Aku curiga dia tahu sesuatu tentang masa lalumu. Apa kau ingat tentang dua pria di foto ini?" tanya Gideon. Ia menghempaskan diri pada kursi kayu.

Rain menggeleng setelah berpikir sejenak. Ia tak ingat siapa orang-orang itu. Ia bahkan tidak yakin jika sosok di dalam foto adalah dirinya. Meski tak dipungkiri secara fisik sama persis. Saat ini pikirannya bercabang pada fenomena aneh yang terjadi pada Amy.

"Malam ini sepertinya cerah. Aku akan mencari portal." Gideon bangkit dan berjalan menuju pintu. Baru dua langkah sosok pria tinggi seratus delapan puluh sentimeter itu berubah menjadi kucing hitam dengan mata perak.

"Hati-hati, kabut merah mulai muncul," ujar Rain memberi peringatan.

"Tenang saja, aku tidak takut pada mereka. Mereka yang seharusnya takut padaku," seloroh si kucing yang dengan mudahnya membuka pintu.

Pemandangan tak lazim ini adalah hal biasa bagi Rain. Sejak awal ia sudah tahu Gideon bukanlah manusia. Sendiri di kamar, bukan berarti Rain bisa tidur. Pria itu menghampiri rak guna mengambil buku bersampul hitam. Buku dengan lambang lotus dan tiga titik pada halaman pertama.

Buku itu adalah salah satu dari tiga kitab bertuah. Rain tidak tahu di mana dua kitab lainnya. Yang pasti, jika tiga kitab terkumpul kemungkinan besar ia bisa memecahkan misteri siklus yang terus mengikat hidupnya selama ini.

Di luar rumah, Gideon berjalan santai tapi waspada. Tujuannya menyusuri jalanan yang sepi bukan sekedar bermain, melainkan mencari pintu portal antar dimensi. Entah sudah berapa lama ia mencari tapi hasilnya nihil.

Kaki-kaki kecil nan berbulu itu melompat naik ke atas pagar pembatas. Dari sini ia bisa melihat bulan dengan sangat jelas. Untuk sejenak ia larut dalam indahnya pesona benda angkasa itu. Namun tak berselang lama, ia turun kembali.

'Ke mana aku harus mencarinya malam ini?' tanya Gideon dalam hati.

Ia terus berjalan dan tak sengaja berpapasan dengan kucing lain berwarna oranye. Awalnya Gideon tak peduli. Tapi kuning tak dikenal tersebut mulai memberi tatapan berbeda. Dunia kucing adalah kehidupan keduanya, tentu Gideon tahu makna tatapan itu.

Geraman mulai terdengar. Si kucing jantan berwarna oranye merasa Gideon adalah saingan di wilayahnya. Dari pada menanggapi, ia lebih memilih melenggang pergi.

"Aku tidak ada urusan denganmu. Cari lawan lain saja," tuturnya dengan bahasa manusia dan suara berat. Tak ayal tingkah Gideon itu membuat kucing oranye berlari tunggang langgang.

"Ck. Begitu saja takut. Lain kali jangan muncul di depanku. Hei, kau mendengarku, tidak?" lanjut Gideon pada bola bulu yang telah menghilang.

Puas berbicara sendiri, Gideon berjalan setengah berlari ke arah utara. Instingnya yang tajam mengatakan ada sesuatu di sana. Keyakinannya akan harapan bertambah. Bagaimanapun ia harus menemukan pintu portal yang akan membawanya kembali ke Parasilia, tempat di mana ia, Rain dan Amethyst berasal.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status