Xaviera Emily menjejakan ujung sepatunya ke lantai. Meskipun udara dalam ruangan memberikan kehangatan, namun dingin tetap menyusup ke dalam tubuh menembus tulang-tulangnya.
Penerangan dari lampu mungkin membantu, tetapi untuk saat ini ia lebih memilih berada dalam bayangan dan membiarkan pendar api bermain-main di sana.
Entah bagaimana, cahaya bintang bisa menenangkan saat cahaya tersebut ditemani dengan purnama yang begitu indah di balik tirai jendela yang menembus dan bermain-main di permukaan dinding kamarnya. Membawanya pada kenangan-kenangan akan malam-malam musim semi di Jerman, disaat cahaya bintang dan rembulan menjadi kerucut di langit yang biru kelabu.
Suara-suara yang meredup terdengar samar-samar di telinga Xaviera dari luar. Sesaat kemudian, suara burung yang berkicau tampak jauh dan kesepian. Semua orang yang ada di rumah sedang bersiap-siap untuk tidur malam itu, seperti yang juga seharusnya ia lakukan.
sambil menyandarkan kepala ke bagian belakang kursi, Xaviera memandang asap yang meliuk dari api di atas perapiannya. Dalam cahaya yang berkelap-kelip, bayangannya tampak seperti hidup, sehingga ia setengah berharap bahwa bayangan itu menoleh dan tersenyum kepadanya sembari mengelus punggungnya pelan menenangkan.
Xaviera adalah gadis yang lebih suka menyibukkan diri dengan melakukan kegiatan sebelum pikirannya yang mengambil alih keadaan.
Namun tetap saja, ketika malam datang ia selalu banyak berpikir sesuatu yang seharusnya, jika tidak dipikirkan tidak apa-apa. Senyum kesedihan menghiasi bibirnya.
Ia tidak mengeluh akan hidupnya saat ini, tetapi hal itu lebih baik jika ia bisa bernapas dengan tenang tanpa suara-suara yang selalu berdebat di kepalanya.
Sebagai seorang anak tunggal sekaligus cucu pertama dari dua keluarga, benar-benar membuat benteng pertahanan dirinya terkoyak. Ia berusaha untuk tidak tampil sempurna dalam segala hal, tetapi keadaan menuntutnya untuk lebih bekerja keras, melampui batas maksimal. Mungkin hal itu yang terkadang membuat hatinya sedikit sentimental dan sifat keras kepala lebih dominan.
Beberapa kali mencoba menyerah, tetapi tak pernah benar-benar ia lakukan. Ketika dia menyerah, maka semua orang akan berpusat padanya dan beranggapan bahwa ia tidak bisa mengemban amanah sebagai anak tunggal sekaligus cucu pertama. Itulah yang membuatnya dapat bertahan hingga saat ini.
Sambil membungkuk ke depan, Xaviera melemparkan halaman koran dan beberapa kertas ke perapian. kertas itu menyala dan menimbulkan cahaya yang lebih terang dari yang sebelumnya. Bau tinta terbakar yang tajam, memenuhi lubang hidungnya.
Air mata memenuhi kelopak matanya saat ia merunduk untuk kembali melempar beberapa kertas yang sengaja ia robek dari buku harian. Saat hendak melemparkannya, ia dapat membaca beberapa bait kalimat yang tertulis di sana.
Untuk diriku, terima kasih telah berjuang sejauh ini.
Sudah beberapa kali ia mendapat penghiburan dari kata-kata tersebut. Mengingat kembali setiap perubahan nada pada suara yang diucapkan untuk dirinya sendiri. Xaviera memejamkan matanya sesaat. menarik napas panjang, kemudian kembali merapikan kertas yang sudah ia remas sehingga bentuknya tidak beraturan.
Menyelipkan kembali di salah satu halaman buku hariannya. Ia tidak mampu menyerahkan kertas itu pada nyala api, belum begitu siap untuk hidup lebih rumit dari ini. Kini, kata-kata pada kertas itu membuatnya merasa kembali utuh tanpa runtuh, meski sedikit rapuh.
Pukul lima akan segera datang. Kegiatan pada masa kuliah sudah menunggunya, belum lagi ia harus membantu dosen untuk mengisi di kelas anak baru karena beliau ada perjalanan jauh dan akan kembali tiga bulan mendatang. Loretta sebagai ketua kelas akan membutuhkan bantuannya untuk menyiapkan segalanya. Meskipun demikian, Xaviera tetap berlambat-lambat seolah berharap tidak ada hari esok.
Usianya yang menginjak dua puluh satu tahun, sudah sedikit tua untuk membangun istana impian. Harapan-harapan yang dilambungkan oleh orang tua dan orang-orang di sekelilingnya membuat pundaknya semakin berat.
Banyak harapan dan doa yang belum terkabulkan, banyak harapan yang harus ia wujudkan, meski entah ia benar-benar merasa bahagia atau hanya ingin menyenangkan ekspektasi mereka saja.
Sambil merasakan kesepian yang tidak bisa ia jelaskan sebabnya, Xaviera berdiri dari tempatnya dan berjalan ke arah pinggiran tembok kamar, kemudian berhenti di depan papan rak yang berisi bingkaian foto dan barang-barang cindera mata.
Ia menyusurkan jari-jarinya kearah vas berisi bunga-bunga kering, yang pernah diberikan oleh sahabat-sahabat terbaik kepadanya sebagai ucapan selamat satu tahun yang lalu. Melihat hadiah dalam bentuk sederhana yang tertata rapi dan juga bunga-bunga itu, mengembalikan suasana hati Xaviera. Setelah menghabiskan waktu untuk mengenang kembali masa lalu, angin malam meniup lembut gorden jendela kamar.
Bagaimana ia bisa merasa kesepian jika hidupnya dipenuhi oleh orang-orang yang mencintainya?
Gumamnya sambil melepas pakaian dengan cepat karena udara dingin lembap yang meresap melewati dinding. Ia memakai piyama dan dilapisi dengan hoodie hangat yang ia tarik ujung tali menyelimuti kepalanya yang mungil.
Meskipun bagian dalam kamarnya gelap, Xaviera berbalik dan duduk di depan meja rias. Membuka jalinan rambut kemudian memberikan sisiran seperti biasanya. Ia meletakkan sisirnya kembali dan terbujuk oleh cahaya bulan yang bersinar pucat.
Ia berjalan ke arah jendela, kemudian meletakkan jari-jarinya di daun jendela. Sambil menatap melalui kaca yang beruap, ia melihat ke arah jalanan utama kota yang dimeriahkan oleh cahaya yang berkilau.
Kini bintang perlahan bersembunyi di balik awan. Di bulan maret bagian selatan, sudah mengalami musim semi, tetapi hari ini mendung dengan hujan rintik-rintik. Kabut menggantung membentuk lapisan di atas atap rumah. Selain itu, di tengah cahaya bulan yang bisu, Xaviera bisa melihat kabut yang memenuhi jalanan.
Dalam beberapa jam lagi fajar akan menyingsing, tetapi ia tidak memperoleh sedikit kenyamanan dari sinar lampu taman yang temaram. Xaviera membayangkan fajar di dataran switzerland, cakrawala di sebelah selatan di lapisi dengan hijaunya dedaunan yang menghampar bisu, langit menjadi sebiru laut.
Akankah angin utara yang manis, dengan bau rumput musim semi dan bunga-bunga liar, dapat ia rasakan bersama orang terkasih?
Getaran yang lain menjalar di punggung Xaviera. Menemukan sedikit kehangatan saat selimut yang dingin membungkus tubuhnya. Sambil menekan pipinya ke bantal, ia mencoba untuk tertidur dan bersiap untuk hari yang melelahkan. Sebelum matanya terpejam, ia memperhatikan dahan pohon yang tak berdaun di luar jendela, berayun tertiup angin.
Sinar matahari beranjak tinggi dan tinggi di angkasa. Revandra Marchelino Bramantha merasakan ketegangan yang terbangun di antara laki-laki yang duduk bersamanya.Udara pagi yang hangat membawa aroma musim semi sama sekali tidak membantu mereka. Waktu seperti sekarang ini membuat semua orang merasa gelisah. Hanya saja, Revan bisa berubah menjadi berbahaya jika ia merasa tidak tenang.Revan melakukan taruhan untuk yang terakhir kali, meski ia sudah berkali-kali mengalahkan orang-orang di hadapannya, sehingga harus membuat mereka menghabiskan sampai jutaan dolar.Pertarungan orang kaya memang berbeda. Kehilangan jutaan dolar untuk kesenangan pada malam ini seperti membayar satu minuman dingin di supermarket.Ia juga tidak mengerti, mengapa kemenangan dan beberapa botol Billionaire Vodka tidak mampu menghilangan rasa kesepian dalam dirinya.Darah bangsawan dan kekayaan yang tidak akan pernah habis sampai tujuh turunan itu, tidak membuatnya terjerat un
Panas matahari yang menyengat hari ini membuat keringat membasahi peluh Xaviera setelah tiga jam berada di ruang auditorium tanpa pendingin ataupun kipas angin.Aletta memberikan pelukan terima kasih karena Xaviera mau menemaninya. Sebenarnya Aletta mampu mengendalikan semuanya seorang diri, hanya saja ia tidak seberani Xaviera saat melawan adik tingkat yang sedikit kurang ajar.Bagi Xaviera, mereka adalah remaja yang baru saja tumbuh dewasa dan tentunya baru mengenal dunia perkuliahan. Dengan sikap keras dan tegas Xaviera, setidaknya membuat suasana terkendali dengan baik.“Kerja bagus,” ujar Aletta memberikan satu kaleng minuman dingin padanya. Xaviera tersenyum hangat dan meminum beberapa tegukan.“Kau tahu, menjadi asisten dosen tidak semudah yang dibayangkan,” ia melenguh pelan, menenggelamkan kepalanya di kedua tangannya yang bertumpu di meja kantin.Memang benar, tidak ada yang mudah dalam melakukan segala sesuatu. Ap
Sepuluh rapat telah ia ikuti hari ini. Beberapa pengajuan proposal pun ia tolak karena belum ada kematangan dalam menjalankan proyek yang mereka ajukan.Hal itu membuat Revan sedikit emosi atas ketidakbecusan sekretarisnya dalam menyortir dokumen yang masuk.Revan bangkit tak acuh dari kursi malasnya lalu menuju meja kerja. Tubuh laki-laki itu dihempaskan ke kursi putar bersandaran tinggi yang empuk. Mata hitamnya berkilat memerintahkan sekretarisnya untuk segera keluar dari ruangannya.Perempuan itu membungkuk memberi hormat sebelum membuka pintu dan mempersilakan Sean masuk dengan setelan jas biru navy untuk masuk ke dalam. Sang sekretaris mengangguk sopan dan bergegas meninggalkan ruangan.“Ada masalah lagi, tuan?”Revan tak menjawab pertanyaan itu. Ia memijat pelan kepalanya karena merasa pusing. Mungkin efek semalam atau akibat terlalu stress karena hari ini.Meskipun ia bersenang-senang sampai pagi, ketika di kantor ia teta
“Bagaimana film rekomendasiku?” Chloe membanggakan dirinya setelah mengajak teman-temannya menonton film kesukaannya di biskop.“Not bad,” Jovanka menjawab pelan sambil memakan sisa popcorn di tangannya.“Nay, kamu nggak papa kan?” panik Xaviera melihat sahabatnya yang diam dan berjalan seperti mayat hidup dengan mata merah dan membengkak.Chloe dan Jovanka reflex menoleh. Sesaat kemudian, mereka berdua tertawa lepas membuat beberapa pengunjung mall melihat mereka.Nayra ini adalah gadis yang memiliki sentimental paling tinggi. Tidak heran, hanya dengan melihat kucing yang sedang diam di pinggir jalan saja, mampu membuatnya menangis dalam dua jam.“Sudah Nay, itu hanya film” Chloe mencoba menenangkan.“Tapi tetap saja, disitu tertulis based on true story, buta kalian, hah?” kali ini Nayra meninggikan nada bicaranya.Tawa Chloe dan Jovanka kini sudah meledak.
Bus yang di naiki Xaviera berjalan pelan membelah jalanan malam yang sedikit macet. Hujan datang tiba-tiba ketika langit mulai gelap.Tetesan air hujan semakin deras dengan suara gemuruh yang bergetar. Begitu juga kilatan cahaya terang benderang yang datang sesekali.Xaviera mengeratkan cardigan tipisnya agar angin tidak terlalu masuk untuk menembus tulang-tulangnya. Pandangan kota dengan gemerlap lampu terlihat remang-remang di balik kaca mobil yang sedikit berembun.Mengingat kejadian tadi membuatnya tertawa kecil. Jika dibayangkan lagi, sikapnya tadi sedikit ceroboh. Jiwa simpatinya terlampau tinggi tanpa memperdulikan bahwa jika ia tidak berhati-hati maka dirinya dan juga bayi itu berada dalam bahaya.Pikirannya kemudian teralihkan kepada laki-laki tampan yang baru saja ia temui tadi.Ketampanan yang ia pancar menjadi daya tarik sendiri. Tampan dengan usia yang matang, dan dari sorot matanya terlihat bahwa ia bukanlah sembarangan orang.
Revan menatap pembantunya yang kini sedang berlutut sambil menangis tersedu. Ia tetap berdiri dengan tenang karena anaknya sedang tertidur di pelukannya.“Maafkan saya tuan, saya—”“Mau sampai kapan pun kamu meminta maaf, tidak akan saya maafkan!” tatapannya kini mengintimidasi.Semua pembantunya yang melihat kejadian itu, berpura-pura tidak tahu dan menghindar. Karena mereka takut akan menjadi incaran Revan selanjutnya.“Hiks, tolong jangan pecat saya tuan,”“Kalau memecahkan piring di rumah ini, saya maafkan. Tetapi, kamu hampir saja membuat nyawa anak saya diambang kematian dan itu tidak bisa saya maafkan!”“Saya tidak sengaja tuan, saya tadi—”“Apakah kau mengatakan hal itu karena saya tidak mengetahui apa yang kamu lakukan?! Kau sibuk bermesraan dengan kekasih barumu dan melupakan tugasmu. Apakah kau masih mengelak?”Mata perempuan di hadap
Mobilnya berhenti di apartemen mewah milik Liam tepat pukul sepuluh. Revan tahu karena ia telah memperhitungkan waktunya dengan sempurna. Untuk satu alasan, ia harus memberitahu Liam bahwa ia meminta bantuan kepadanya.Ketika berjalan di lorong apartemen, ia melihat seorang wanita dengan penampilan acak-acakan dan lipstik di bibirnya yang sudah pudar. Revan menghembuskan napas pelan.Pasti, ia berulah lagi.“Siapa perempuan itu?”Suara baritonnya berhasil membuat gelas yang berada di tangan Liam terjatuh ke lantai karena kaget.Ia kaget terlebih karena melihat Revan tengah berdiri diambang pintu dengan seorang bayi yang di gendong di depan dan beberapa perlengkapan bayi di tas yang ia pegang di tangan kanan dan kirinya. Sudah persis seperti ibu-ibu yang kerepotan membawa anak ketika keluar rumah.“Bisakah kau tidak mengagetkanku?!” ujarnya sambil mengelus dadanya pelan, mencoba mengatur detak jantungnya.
Perpustakaan saat jam makan siang sangat ramai dan penuh dengan kerumunan mahasiswa serta dosen. Xaviera menyapukan pandangan ke seluruh perpustakaan yang penuh. Tangannya mengetik tugas mata kuliah jurnalistik sambil memikirkan referensi apa yang akan ia pakai.Mata kuliah ini tidak semudah yang ia bayangkan, apalagi saat ada dosen yang menjelaskan dengan nama istilah yang tentu saja tidak ia mengerti. Tetapi setidaknya jurusannya tidak sesulit jurusan hukum di mana hampir seminggu sekali ada diskusi. Hari ini, ia sedang tidak bersama dengan sahabatnya. Dia sibuk mengerjakan tugas sebelum ujian akhir semester dua minggu ke depan. Inilah, risiko memiliki sahabat berbeda jurusan.“Ra, kamu mencatat semua materinya? Sepertinya catatanku hilang,” kata Ayra teman sekelasnya yang sama-sama sedang sibuk membuat esai.Xaviera langsung menyerahkan buku catatannya tanpa mengalihkan pandangan dari layar leptop.“Ada di halaman tengah menu