Share

Bab 1

Xaviera Emily menjejakan ujung sepatunya ke lantai. Meskipun udara dalam ruangan memberikan kehangatan, namun dingin tetap menyusup ke dalam tubuh menembus tulang-tulangnya.

Penerangan dari lampu mungkin membantu, tetapi untuk saat ini ia lebih memilih berada dalam bayangan dan membiarkan pendar api bermain-main di sana.

Entah bagaimana, cahaya bintang bisa menenangkan saat cahaya tersebut ditemani dengan purnama yang begitu indah di balik tirai jendela yang menembus dan bermain-main di permukaan dinding kamarnya. Membawanya pada kenangan-kenangan akan malam-malam musim semi di Jerman, disaat cahaya bintang dan rembulan menjadi kerucut di langit yang biru kelabu.

Suara-suara yang meredup terdengar samar-samar di telinga Xaviera dari luar. Sesaat kemudian, suara burung yang berkicau tampak jauh dan kesepian. Semua orang yang ada di rumah sedang bersiap-siap untuk tidur malam itu, seperti yang juga seharusnya ia lakukan.

sambil menyandarkan kepala ke bagian belakang kursi, Xaviera memandang asap yang meliuk dari api di atas perapiannya. Dalam cahaya yang berkelap-kelip, bayangannya tampak seperti hidup, sehingga ia setengah berharap bahwa bayangan itu menoleh dan tersenyum kepadanya sembari mengelus punggungnya pelan menenangkan. 

Xaviera adalah gadis yang lebih suka menyibukkan diri dengan melakukan kegiatan sebelum pikirannya yang mengambil alih keadaan.

Namun tetap saja, ketika malam datang ia selalu banyak berpikir sesuatu yang seharusnya, jika tidak dipikirkan tidak apa-apa. Senyum kesedihan menghiasi bibirnya.

Ia tidak mengeluh akan hidupnya saat ini, tetapi hal itu lebih baik jika ia bisa bernapas dengan tenang tanpa suara-suara yang selalu berdebat di kepalanya.

Sebagai seorang anak tunggal sekaligus cucu pertama dari dua keluarga, benar-benar membuat benteng pertahanan dirinya terkoyak. Ia berusaha untuk tidak tampil sempurna dalam segala hal, tetapi keadaan menuntutnya untuk lebih bekerja keras, melampui batas maksimal. Mungkin hal itu yang terkadang membuat hatinya sedikit sentimental dan sifat keras kepala lebih dominan. 

Beberapa kali mencoba menyerah, tetapi tak pernah benar-benar ia lakukan. Ketika dia menyerah, maka semua orang akan berpusat padanya dan beranggapan bahwa ia tidak bisa mengemban amanah sebagai anak tunggal sekaligus cucu pertama. Itulah yang membuatnya dapat bertahan hingga saat ini.

Sambil membungkuk ke depan, Xaviera melemparkan halaman koran dan beberapa kertas ke perapian. kertas itu menyala dan menimbulkan cahaya yang lebih terang dari yang sebelumnya. Bau tinta terbakar yang tajam, memenuhi lubang hidungnya.

Air mata memenuhi kelopak matanya saat ia merunduk untuk kembali melempar beberapa kertas yang sengaja ia robek dari buku harian. Saat hendak melemparkannya, ia dapat membaca beberapa bait kalimat yang tertulis di sana.

Untuk diriku, terima kasih telah berjuang sejauh ini.

Sudah beberapa kali ia mendapat penghiburan dari kata-kata tersebut. Mengingat kembali setiap perubahan nada pada suara yang diucapkan untuk dirinya sendiri. Xaviera memejamkan matanya sesaat. menarik napas panjang, kemudian kembali merapikan kertas yang sudah ia  remas sehingga bentuknya tidak beraturan. 

Menyelipkan kembali di salah satu halaman buku hariannya. Ia tidak mampu menyerahkan kertas itu pada nyala api, belum begitu siap untuk hidup lebih rumit dari ini. Kini, kata-kata pada kertas itu membuatnya merasa kembali utuh tanpa runtuh, meski sedikit rapuh. 

Pukul lima akan segera datang. Kegiatan pada masa kuliah sudah menunggunya, belum lagi ia harus membantu dosen untuk mengisi di kelas anak baru karena beliau ada perjalanan jauh dan akan kembali tiga bulan mendatang. Loretta sebagai ketua kelas akan membutuhkan bantuannya untuk menyiapkan segalanya. Meskipun demikian, Xaviera tetap berlambat-lambat seolah berharap tidak ada hari esok.

Usianya yang menginjak dua puluh satu tahun, sudah sedikit tua untuk membangun istana impian. Harapan-harapan yang dilambungkan oleh orang tua dan orang-orang di sekelilingnya membuat pundaknya semakin berat.

Banyak harapan dan doa yang belum terkabulkan, banyak harapan yang harus ia wujudkan, meski entah ia benar-benar merasa bahagia atau hanya ingin menyenangkan ekspektasi mereka saja.

Sambil merasakan kesepian yang tidak bisa ia jelaskan sebabnya, Xaviera berdiri dari tempatnya dan berjalan ke arah pinggiran tembok kamar, kemudian berhenti di depan papan rak yang berisi bingkaian foto dan barang-barang cindera mata.

Ia menyusurkan jari-jarinya kearah vas berisi bunga-bunga kering, yang pernah diberikan oleh sahabat-sahabat terbaik kepadanya sebagai ucapan selamat satu tahun yang lalu. Melihat hadiah dalam bentuk sederhana yang tertata rapi dan juga bunga-bunga itu, mengembalikan suasana hati Xaviera. Setelah menghabiskan waktu untuk mengenang kembali masa lalu, angin malam meniup lembut gorden jendela kamar.

Bagaimana ia bisa merasa kesepian jika hidupnya dipenuhi oleh orang-orang yang mencintainya?

Gumamnya sambil melepas pakaian dengan cepat karena udara dingin lembap yang meresap melewati dinding. Ia memakai piyama dan dilapisi dengan hoodie hangat yang ia tarik ujung tali menyelimuti kepalanya yang mungil.

Meskipun bagian dalam kamarnya gelap, Xaviera berbalik dan duduk di depan meja rias. Membuka jalinan rambut kemudian memberikan sisiran seperti biasanya. Ia meletakkan sisirnya kembali dan terbujuk oleh cahaya bulan yang bersinar pucat.

Ia berjalan ke arah jendela, kemudian meletakkan jari-jarinya di daun jendela. Sambil menatap melalui kaca yang beruap, ia melihat ke arah jalanan utama kota yang dimeriahkan oleh cahaya yang berkilau.

Kini bintang perlahan bersembunyi di balik awan. Di bulan maret bagian selatan, sudah mengalami musim semi, tetapi hari ini mendung dengan hujan rintik-rintik. Kabut menggantung membentuk lapisan di atas atap rumah. Selain itu, di tengah cahaya bulan yang bisu, Xaviera bisa melihat kabut yang memenuhi jalanan. 

Dalam beberapa jam lagi fajar akan menyingsing, tetapi ia tidak memperoleh sedikit kenyamanan dari sinar lampu taman yang temaram. Xaviera membayangkan fajar di dataran switzerland, cakrawala di sebelah selatan di lapisi dengan hijaunya dedaunan yang menghampar bisu, langit menjadi sebiru laut.

Akankah angin utara yang manis, dengan bau rumput musim semi dan bunga-bunga liar, dapat ia rasakan bersama orang terkasih?

Getaran yang lain menjalar di punggung Xaviera. Menemukan sedikit kehangatan saat selimut yang dingin membungkus tubuhnya. Sambil menekan pipinya ke bantal, ia mencoba untuk tertidur dan bersiap untuk hari yang melelahkan. Sebelum matanya terpejam, ia memperhatikan dahan pohon yang tak berdaun di luar jendela, berayun tertiup angin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status