Rasanya hampir gila karena bertengkar dengan isi kepala. Itulah perempuan.
Bahkan Xaviera kini masih saja sulit untuk memutuskan apa yang mau dikenakan. Sementara itu, ia sudah melempar gaun ke sepuluh di atas tempat tidur. Ia berusaha menentukan gaun terbaik yang akan ia pakai malam ini.
Apakah semua orang lebih suka dirinya mengenakan gaun beludru berwarna putih dengan belahan rendah atau jubah terbuka dengan keliman berwarna hitam elegan.
Keputusannya pasti akan lebih mudah dibuat kalau saja ada seseorang yang akan menemaninya pada pesta malam ini.
“Anda tampak cantik dalam balutan sutra kuning mengkilap,” kata pelayan yang dipesan langsung dari butik ternama.
Rahangnya mulai mengeras, mengindikasikan bahwa ia mulai kehilangan kesabaran dengan semua hal yang harus diurusnya setiap kali Xaviera berganti pakaian.
“Ini akan jauh lebih baik kalau saja aku hanya punya beberapa pilihan dan ada seorang laki-laki yang langsung menilai penampilanku.”
Mungkin ia sebaiknya mengenakan gaun berwarna ruby dengan bordiran kelopak bunga. Xaviera memungut kembali gaun itu dari tempat tidur dan memegangnya di depan tubuhnya, kemudian melihat penampilannya di depan kaca.
Tanpa memedulikan kenyataan bahwa penurut bukanlah karakter terbaik yang ada dalam dirinya.
“Itu pilihan yang bagus, nona” kata pelayan itu menyemangati.
“Anda akan terlihat mewah seperti mawar.” Bagian tepi gaun itu diberi renda yang indah dan dihiasi bordiran dengan warna yang lebih muda.
“Kita akan menghias rambut anda,” ujarnya yang langsung mengambil alih tubuh Xaviera. Rambutnya digelung rapi dan simple. Tidak terlalu berlebihan, karena pada dasarnya Xaviera lebih menonjolkan warna pada bajunya.
“Bagus sekali,”
Xaviera tersenyum pada dirinya sendiri, sementara pelayan itu memasang beberapa hiasan berwarna putih yang berkilauan di kepala Xaviera. Bentuk gaun itu benar-benar pas dengan tubuhnya. Ini adalah jenis gaun yang mengubah pemakainya menjadi seorang ratu.
Pesta kelulusan yang bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke 22 berlangsung meriah. Semua orang datang dengan pakaian terbaik mereka, tak terkecuali dengan Xaviera.
Sahabatnya menyapa dan mengucapkan selamat bergantian. Kegiatan sambutan, tiup lilin bahkan potong roti sudah dilaksanakan. Saat ini beberapa orang sedang menikmati hidangan yang ada.
Sejauh mata memandang, dari sekian banyak orang yang tertuju padanya ada sesuatu hal yang membuatnya mengernyit.
Ya, Revan belum datang.
Semua laki-laki sama saja, kata Xaviera pada dirinya sendiri setiap kali ia merasa gugup mengenai laki-laki itu. Beberapa menit dalam keadaan perasaan buruk, tiba-tiba sahabatnya melirik sekilas lalu menarik seseorang yang sedang berjalan di belakangnya. Xaviera menoleh.
Itu Revan.
Badannya tinggi besar, mengenakan jas rapi berwarna hitam dengan balutan kemeja berwarna perak. Pandangan mereka berdua bertemu. Revan bahkan tidak melirik gaunnya, ia hanya menatap matanya membuat Xaviera menelan ludah. Tatapan mata Revan tidak pernah lepas dari mata Xaviera.
“Selamat ulang tahun,”
“Terima kasih,”
“Bukankah kita bisa bernegosiasi dengan baik?” ujarnya yang kemudian merapatkan tubuh kepada gadis cantik dihadapannya yang terlihat tegang.
“Apa yang kau inginkan?”
“Saya dapat kamu dan kamu dapat nama belakang saya, bagaimana?"
Revan menggenggam tangan Xaviera dan mengecupnya, kemudian menarik pinggang ramping gadisnya itu.
Xaviera merasa dirinya gemetaran dan jantungnya sudah berdebar-debar tidak karuan. Tetapi, ia juga merasa senang dengan cara mata Revan yang menghangatkannya, tentu saja ia juga merasa senang karena gemetar di kakinya tidak membuatnya linglung dan terjatuh.
Dari situlah semuanya terjadi. Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa kini, Revan telah melabeli dirinya sama seperti laki-laki itu melabeli barang-barang pribadinya:
Xaviera, milik Mr. Bramantha.
Xaviera Emily menjejakan ujung sepatunya ke lantai. Meskipun udara dalam ruangan memberikan kehangatan, namun dingin tetap menyusup ke dalam tubuh menembus tulang-tulangnya.Penerangan dari lampu mungkin membantu, tetapi untuk saat ini ia lebih memilih berada dalam bayangan dan membiarkan pendar api bermain-main di sana.Entah bagaimana, cahaya bintang bisa menenangkan saat cahaya tersebut ditemani dengan purnama yang begitu indah di balik tirai jendela yang menembus dan bermain-main di permukaan dinding kamarnya. Membawanya pada kenangan-kenangan akan malam-malam musim semi di Jerman, disaat cahaya bintang dan rembulan menjadi kerucut di langit yang biru kelabu.Suara-suara yang meredup terdengar samar-samar di telinga Xaviera dari luar. Sesaat kemudian, suara burung yang berkicau tampak jauh dan kesepian. Semua orang yang ada di rumah sedang bersiap-siap untuk tidur malam itu, seperti yang juga seharusnya ia lakukan.sambil menyandarkan kepala ke bagian
Sinar matahari beranjak tinggi dan tinggi di angkasa. Revandra Marchelino Bramantha merasakan ketegangan yang terbangun di antara laki-laki yang duduk bersamanya.Udara pagi yang hangat membawa aroma musim semi sama sekali tidak membantu mereka. Waktu seperti sekarang ini membuat semua orang merasa gelisah. Hanya saja, Revan bisa berubah menjadi berbahaya jika ia merasa tidak tenang.Revan melakukan taruhan untuk yang terakhir kali, meski ia sudah berkali-kali mengalahkan orang-orang di hadapannya, sehingga harus membuat mereka menghabiskan sampai jutaan dolar.Pertarungan orang kaya memang berbeda. Kehilangan jutaan dolar untuk kesenangan pada malam ini seperti membayar satu minuman dingin di supermarket.Ia juga tidak mengerti, mengapa kemenangan dan beberapa botol Billionaire Vodka tidak mampu menghilangan rasa kesepian dalam dirinya.Darah bangsawan dan kekayaan yang tidak akan pernah habis sampai tujuh turunan itu, tidak membuatnya terjerat un
Panas matahari yang menyengat hari ini membuat keringat membasahi peluh Xaviera setelah tiga jam berada di ruang auditorium tanpa pendingin ataupun kipas angin.Aletta memberikan pelukan terima kasih karena Xaviera mau menemaninya. Sebenarnya Aletta mampu mengendalikan semuanya seorang diri, hanya saja ia tidak seberani Xaviera saat melawan adik tingkat yang sedikit kurang ajar.Bagi Xaviera, mereka adalah remaja yang baru saja tumbuh dewasa dan tentunya baru mengenal dunia perkuliahan. Dengan sikap keras dan tegas Xaviera, setidaknya membuat suasana terkendali dengan baik.“Kerja bagus,” ujar Aletta memberikan satu kaleng minuman dingin padanya. Xaviera tersenyum hangat dan meminum beberapa tegukan.“Kau tahu, menjadi asisten dosen tidak semudah yang dibayangkan,” ia melenguh pelan, menenggelamkan kepalanya di kedua tangannya yang bertumpu di meja kantin.Memang benar, tidak ada yang mudah dalam melakukan segala sesuatu. Ap
Sepuluh rapat telah ia ikuti hari ini. Beberapa pengajuan proposal pun ia tolak karena belum ada kematangan dalam menjalankan proyek yang mereka ajukan.Hal itu membuat Revan sedikit emosi atas ketidakbecusan sekretarisnya dalam menyortir dokumen yang masuk.Revan bangkit tak acuh dari kursi malasnya lalu menuju meja kerja. Tubuh laki-laki itu dihempaskan ke kursi putar bersandaran tinggi yang empuk. Mata hitamnya berkilat memerintahkan sekretarisnya untuk segera keluar dari ruangannya.Perempuan itu membungkuk memberi hormat sebelum membuka pintu dan mempersilakan Sean masuk dengan setelan jas biru navy untuk masuk ke dalam. Sang sekretaris mengangguk sopan dan bergegas meninggalkan ruangan.“Ada masalah lagi, tuan?”Revan tak menjawab pertanyaan itu. Ia memijat pelan kepalanya karena merasa pusing. Mungkin efek semalam atau akibat terlalu stress karena hari ini.Meskipun ia bersenang-senang sampai pagi, ketika di kantor ia teta
“Bagaimana film rekomendasiku?” Chloe membanggakan dirinya setelah mengajak teman-temannya menonton film kesukaannya di biskop.“Not bad,” Jovanka menjawab pelan sambil memakan sisa popcorn di tangannya.“Nay, kamu nggak papa kan?” panik Xaviera melihat sahabatnya yang diam dan berjalan seperti mayat hidup dengan mata merah dan membengkak.Chloe dan Jovanka reflex menoleh. Sesaat kemudian, mereka berdua tertawa lepas membuat beberapa pengunjung mall melihat mereka.Nayra ini adalah gadis yang memiliki sentimental paling tinggi. Tidak heran, hanya dengan melihat kucing yang sedang diam di pinggir jalan saja, mampu membuatnya menangis dalam dua jam.“Sudah Nay, itu hanya film” Chloe mencoba menenangkan.“Tapi tetap saja, disitu tertulis based on true story, buta kalian, hah?” kali ini Nayra meninggikan nada bicaranya.Tawa Chloe dan Jovanka kini sudah meledak.
Bus yang di naiki Xaviera berjalan pelan membelah jalanan malam yang sedikit macet. Hujan datang tiba-tiba ketika langit mulai gelap.Tetesan air hujan semakin deras dengan suara gemuruh yang bergetar. Begitu juga kilatan cahaya terang benderang yang datang sesekali.Xaviera mengeratkan cardigan tipisnya agar angin tidak terlalu masuk untuk menembus tulang-tulangnya. Pandangan kota dengan gemerlap lampu terlihat remang-remang di balik kaca mobil yang sedikit berembun.Mengingat kejadian tadi membuatnya tertawa kecil. Jika dibayangkan lagi, sikapnya tadi sedikit ceroboh. Jiwa simpatinya terlampau tinggi tanpa memperdulikan bahwa jika ia tidak berhati-hati maka dirinya dan juga bayi itu berada dalam bahaya.Pikirannya kemudian teralihkan kepada laki-laki tampan yang baru saja ia temui tadi.Ketampanan yang ia pancar menjadi daya tarik sendiri. Tampan dengan usia yang matang, dan dari sorot matanya terlihat bahwa ia bukanlah sembarangan orang.
Revan menatap pembantunya yang kini sedang berlutut sambil menangis tersedu. Ia tetap berdiri dengan tenang karena anaknya sedang tertidur di pelukannya.“Maafkan saya tuan, saya—”“Mau sampai kapan pun kamu meminta maaf, tidak akan saya maafkan!” tatapannya kini mengintimidasi.Semua pembantunya yang melihat kejadian itu, berpura-pura tidak tahu dan menghindar. Karena mereka takut akan menjadi incaran Revan selanjutnya.“Hiks, tolong jangan pecat saya tuan,”“Kalau memecahkan piring di rumah ini, saya maafkan. Tetapi, kamu hampir saja membuat nyawa anak saya diambang kematian dan itu tidak bisa saya maafkan!”“Saya tidak sengaja tuan, saya tadi—”“Apakah kau mengatakan hal itu karena saya tidak mengetahui apa yang kamu lakukan?! Kau sibuk bermesraan dengan kekasih barumu dan melupakan tugasmu. Apakah kau masih mengelak?”Mata perempuan di hadap
Mobilnya berhenti di apartemen mewah milik Liam tepat pukul sepuluh. Revan tahu karena ia telah memperhitungkan waktunya dengan sempurna. Untuk satu alasan, ia harus memberitahu Liam bahwa ia meminta bantuan kepadanya.Ketika berjalan di lorong apartemen, ia melihat seorang wanita dengan penampilan acak-acakan dan lipstik di bibirnya yang sudah pudar. Revan menghembuskan napas pelan.Pasti, ia berulah lagi.“Siapa perempuan itu?”Suara baritonnya berhasil membuat gelas yang berada di tangan Liam terjatuh ke lantai karena kaget.Ia kaget terlebih karena melihat Revan tengah berdiri diambang pintu dengan seorang bayi yang di gendong di depan dan beberapa perlengkapan bayi di tas yang ia pegang di tangan kanan dan kirinya. Sudah persis seperti ibu-ibu yang kerepotan membawa anak ketika keluar rumah.“Bisakah kau tidak mengagetkanku?!” ujarnya sambil mengelus dadanya pelan, mencoba mengatur detak jantungnya.