Share

Bab 5

“Sudah, Pa. Papa tidak usah banyak pikiran dulu,” pinta Za. Namun, Hendro menggeleng.

“Papa berjanji pada kalian, untuk memperbaiki semua ini.”

“Bagaimana caranya?” tanya Albany dengan nada yang masih ketus.

“Mas …!” Za meremas jemari suaminya, mengingatkan agar tak bersikap kasar pada sang ayah.

“Tidak apa-apa, Za. Papa akui, semua ini memang salah Papa. Papa akan mencoba memperbaikinya. Saat Ken sembuh nanti, Papa akan menarik semua fasilitas yang sudah Papa kasih ke dia. Papa akan menyuruhnya bekerja jika ingin uang. Dan satu lagi, Papa akan menyuruh dia menikah.”

“Menikah? Dengan siapa?” pekik Albany kaget.

“Papa juga belum tau, Al. Papa yakin, kalau sudah menikah Ken akan berubah. Dia akan punya tanggung jawab. Apa lagi kalau langsung punya anak,” jelas Hendro.

“Kalau dia menikah sama pacarnya itu, aku tidak yakin Ken akan berubah. Bisa jadi dia malah tambah parah.” Albany membayangkan dandanan gadis yang pernah dibawa Ken ke rumahnya. Pakaian yang minim dengan dandanan gothic. Dia bahkan tak sungkan mencium Ken padahal ada dia dan Za di ruang makan yang dapat melihat dengan jelas ke ruangan di mana Ken dan gadis itu berada.

“Papa akan carikan. Kalau perlu seorang guru ngaji sekalian,” ujar Hendro dengan wajah serius.

**

Tiga hari dirawat, hendro sudah bisa kembali ke rumah. Kondisinya sudah jauh lebih baik.  Selama dia dirawat, Zanna lah yang mengurusi semua urusan kantor. Selama ini pun, Za memang membantu Hendro mengurusi perusahaan, jadi di saat lelaki itu jatuh sakit, ada yang meng-handle semua urusan kantor.

Saat turun dari mobil, Hendro melihat Kinanti yang sedang menyapu halaman. Gadis itu memang diminta menunggui rumah saat Al dan Za sibuk kerja, sementara Ningsih di rumah sakit. Kebetulan sekali seminggu yang lalu ART mereka mengundurkan diri.

“Ibu, Bapak, sudah pulang,” ujar Kinan bergegas membantu Za membawakan tas dari bagasi. Wanita itu yang menjemput Hendro ke rumah sakit karena Albany harus mengontrol pengiriman edamame untuk ekspor.

“Terima kasih,” ujar Za saat Kinan membantunya.

“Tidak apa-apa, Ibu. Semua ini tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan kebaikan Ibu sama Bapak pada saya juga ibu saya,” sahut Kinan. Kemarin dia mendapat kabar dari Albany jika sang ibu sudah pindah ke mess yang ada di perkebunan. Walaupun sederhana, tetapi itu lebih aman agar trehindar dari gangguan Juragan Ganda. Di sana banyak pegawai yang bisa membantu jika Juragan Ganda datang mengganggu.

Za mengulas senyum. Dia lalu mendorong kursi roda yang diduduki Hendro.

Dengan tenaganya yang kuat, Kinan bolak-balik membawa tas-tas itu dengan cepat. Za hanya tersenyum kagum.

“Di kulkas ada apa, Kinan? Saya mau bikin sayur bening buat Papa,” ujar Za setelah mengantarkan Hendro ke kamarnya.

“Ada bayam, Bu. Jagung juga ada,” jawab Kinanti. “Kalau Ibu capek, biar saya yang buatkan.”

“Memangnya kamu bisa?” tanya Za.

“Gampang itu mah, Bu. Saya sering bikin. Tapi … nggak tau enak atau nggak,” sahut Kinan malu-malu.

“Enak, pasti. Nasi goreng yang kamu buat kemarin juga enak, kok,” puji Za. Kinan langsung tersipu.

“Iyakah?” tanyanya memastikan.

“Heem.”

“Jadi, saya buatkan saja sayur beningnya, ya, Bu?” Kinan kembali memastikan.

“Boleh, kalau kamu tidak keberatan,” sahut Za.

“Sama sekali tidak, Bu.” Kinan sigap pergi ke dapur.

Selang satu setengah jam sudah tersaji di meja beberapa hidangan. Bukan hanya sayur bening permintaan Za, tetapi di sana juga sudah ada telor balado, tempe bacem, juga sayur asem.

“Wah, wangi sekali,” ujar Za yang baru keluar dari kamarnya.

“Pa, Bu, ayo kita makan siang dulu. Papa juga harus ada obat yang diminum, kan?” ujar Za pada ayah dan ibu mertuanya. Kebetulan pintu kamar mereka memang terbuka. Za lalu masuk dan membantu mendorong kursi roda.

“Wah, kamu pintar masak juga,” kata Ningsih yang seleranya tergugah saat melihat sayur asem dan tempe bacem.

“Hanya belajar, Bu. Maaf kalau tidak enak,” sahut Kinan.

“Masih belajar aja udah begini,” puji Za. “Ayo duduk di sini, Kinan. Kita makan bersama,” ajaknya kemudian duduk.

“Maaf, Bu. Saya sholat Zuhur dulu. silakan Bapak sama Ibu makan duluan. Saya nanti saja di dapur,” balas Kinan yang tahu diri. Dia kemudian pamit dan menuju kamar tamu.

“Jangan di dapur, kamu makan di sini saja.” Za  menjawab.

“Wah, enak juga masakan anak itu,” ujar Ningsih.

“Iya.” Za setuju, begitupun dengan Hendro. Meskipun nafsu makannya belum kembali, tetapi dia masih bisa merasakan enaknya masakan Kinan.

“Dia itu masih muda, tapi gigih dan pekerja keras. Dia sering membantu ibunya kalau lagi bersihin rumput di kebun Mas Al,” ujar Za.

“Dia rela bekerja kasar supaya bisa membayar uang sekolah,” lanjutnya lagi lalu mengunyah.

‘Sepertinya aku sudah menemukan calon yang tepat buat Ken. Dia gadis yang tangguh, pasti bisa membuat anak itu sadar,’ gumam Hendro dalam hatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status