Share

BAB 3

"Ma, apa Ayah hidup lagi? Kok bisa ngirim banyak mainan," tanya Miko sambil asyik memainkan robot barunya. 

Aku terus saja sibuk dengan ponsel di tangan, pura-pura tak mendengar pertanyaan Miko. Anak seusia Miko memang sudah mulai tahu sebuah keluarga seharusnya terdiri dari Ayah, Ibu dan anak. Namun selama ini Ayahnya tak pernah hadir. Hanya Ari atau Rendi yang terkadang ia anggap sebagai ayah.

Sejak awal memang aku sudah mengatakan jika Ayahnya telah meninggal namun setelah Mas Rafi beberapa kali datang dan sering mengiriminya mainan, Miko mulai bertanya lagi tentang keberadaan ayahnya.

Sudah sering kali aku mengembalikan bahkan menolak kiriman-kiriman dari Mas Rafi. Tapi malah ia mengirimkannya kembali lewat sekolahnya. 

"Nak, besok kalo dapat hadiah lagi, Miko tolak, ya! Itu mainan dari orang jahat. Mama takut nanti Miko di culik," ucapku lembut pada Miko.

"Kalo yang nerima Bu Guru pasti bukan orang jahat, Ma!" jawabnya polos.

"Kan Bu Guru enggak kenal sama orang yang ngirim hadiah itu."

"Kata Bu Guru ini dari ayah Miko, Ma!"

"Dia bukan ayah Miko, Ayah Miko sudah mati," bentakku sambil merebut mainan di tangannya lalu membantingnya.

Miko terdiam melihat mainannya hancur berkeping-keping. Wajahnya mulai murung dan perlahan bulir-bulir bening jatuh dari kedua matanya.

Aku menghela nafas panjang, mencoba meredam emosiku. Memang tak seharusnya aku melampiaskan semuanya pada Miko, dia tak tahu apa-apa. Selama ini memang aku jarang sekali membelikan Miko mainan, pasti sekarang ia sangat senang karena baru saja mempunyai mainan yang selama ini sangat ia inginkan. 

"Maafkan Mama, Nak! Ini semua salah mama."

Kurengkuh tubuh mungil Miko, kucium keningnya berkali-kali. "Mama sayang Miko, Mama takut kehilangan Miko."

***

Di sini aku duduk sambil menikmati segelas jus yang baru saja di sajikan. Beberapa makanan ringan yang tersaji di atas meja sama sekali tak menggugah seleraku untuk menyentuhnya. Di hadapanku seorang laki-laki hanya diam tertunduk tak mengeluarkan sepatah kata sejak kedatangannya beberapa menit yang lalu.

“Terima kasih sudah mau duduk denganku. Sekali lagi, Maafkan aku, Anita!” ucap Mas Rafi membuka suara.

“Jangan basa basi, Mas! Aku enggak punya banyak waktu,” jawabku.

“Tolong izinkan aku menemui anakku, Anita! Aku janji enggak akan mengambil dia dari kamu, kalo perlu mari kita besarkan bersama anak kita.”

“Sebenarnya apa yang membuat kamu begitu ngotot menemui anak yang sudah kamu buang, Mas? Apa kamu sudah tak mampu menghamili istrimu? Bukankah uangmu cukup untuk hanya sekedar membeli seorang anak?” tanyaku sinis.

“Stop, Anita! Aku ingin bicara baik-baik.”

“Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Mas! Pergilah dari kehidupanku. Berbahagialah dengan keluargamu yang sekarang.”

Aku mendongakkan kepala, memandang sosok lelaki yang pernah sangat kucintai. Kuperhatikan wajahnya yang sangat kusut dan terlihat berantakan. Jika bukan karena dia selalu menghubungi dan meneror teman-temanku, aku tak sudi duduk berdua seperti ini.

Sudah beberapa kali Mas Rafi terlihat mengunjungi tempat kerjaku namun aku selalu menghindar dan enggan menemuinya. Ia juga sering menghubungi dan berpesan kepada temanku agar aku membuka blokir kontaknya. Aku tak ingin membawa-bawa orang lain dalam masalahku, hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk menemuinya.

“Aku tak pernah bahagia, Anita! Kamu tahu aku menikah hanya karena Ibuku,” ujar Mas Rafi.

“Jangan curhat sama aku, Mas! Aku tak peduli dengan hidupmu. Jujur saja apa yang sebenarnya kamu inginkan?” 

“Ibu memaksaku mengadopsi seorang anak. Tapi aku tak mau mengurusi anak orang lain. Aku saja punya anak yang jelas-jelas darah dagingku,” jelasnya.

“Dasar manusia egois, Darahmu sama sekali tak mengalir di tubuh anakku. Kamu hanya menyumbang air kotor yang membuat anakku lahir dengan keadaan terhina.”

“Mengapa perilakumu sekarang berubah, Anita?”

“Kamu yang telah merubahku, Mas! Kemana saja kamu selama ini? Apakah baru ingat kalo ternyata kamu punya anak?” cecarku.

“Sebenarnya aku ingin menemuimu sejak dulu tapi ada banyak hal yang tidak bisa aku ceritakan.”

“Aku mohon jangan pernah menemui aku atau anakku lagi. Jangan mengirimi apa pun pada kami. Bagaimana jika istrimu tahu? Aku tak mau dituduh menjadi sumber kekacauan keluargamu, Mas!”

Ingin sekali kuluapkan segala yang ada di pikiranku selama ini. Jika saja ini bukan tempat umum sudah pasti Mas Rafi akan kuhajar habis-habisan.

“Mereka tak akan tahu, Anita! Sebagai penebus kesalahanku kamu boleh meminta apa saja padaku asal aku boleh menemui dan dekat dengan anakku,” ucap Mas Rafi memberi pilihan.

“Apa saja ya, Mas! Bisakah kau memutar waktu dan mengembalikan kehormatanku seperti dulu?”

“Bukan itu yang aku maksud, Anita!”

“Jangan tawarkan uang, Mas! Aku sudah tak butuh uangmu.” 

Benar kata orang-orang, Mas Rafi pasti akan menawarkan uang padaku. Berapa pun pasti akan dia berikan asal tujuannya bisa tercapai. Ternyata Mas Rafi masih seperti dulu.

“Tenang saja, Mas! Aku memang tak butuh uangmu, tapi lebih dari itu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status