"Ma, apa Ayah hidup lagi? Kok bisa ngirim banyak mainan," tanya Miko sambil asyik memainkan robot barunya.
Aku terus saja sibuk dengan ponsel di tangan, pura-pura tak mendengar pertanyaan Miko. Anak seusia Miko memang sudah mulai tahu sebuah keluarga seharusnya terdiri dari Ayah, Ibu dan anak. Namun selama ini Ayahnya tak pernah hadir. Hanya Ari atau Rendi yang terkadang ia anggap sebagai ayah.Sejak awal memang aku sudah mengatakan jika Ayahnya telah meninggal namun setelah Mas Rafi beberapa kali datang dan sering mengiriminya mainan, Miko mulai bertanya lagi tentang keberadaan ayahnya.Sudah sering kali aku mengembalikan bahkan menolak kiriman-kiriman dari Mas Rafi. Tapi malah ia mengirimkannya kembali lewat sekolahnya. "Nak, besok kalo dapat hadiah lagi, Miko tolak, ya! Itu mainan dari orang jahat. Mama takut nanti Miko di culik," ucapku lembut pada Miko."Kalo yang nerima Bu Guru pasti bukan orang jahat, Ma!" jawabnya polos."Kan Bu Guru enggak kenal sama orang yang ngirim hadiah itu.""Kata Bu Guru ini dari ayah Miko, Ma!""Dia bukan ayah Miko, Ayah Miko sudah mati," bentakku sambil merebut mainan di tangannya lalu membantingnya.Miko terdiam melihat mainannya hancur berkeping-keping. Wajahnya mulai murung dan perlahan bulir-bulir bening jatuh dari kedua matanya.Aku menghela nafas panjang, mencoba meredam emosiku. Memang tak seharusnya aku melampiaskan semuanya pada Miko, dia tak tahu apa-apa. Selama ini memang aku jarang sekali membelikan Miko mainan, pasti sekarang ia sangat senang karena baru saja mempunyai mainan yang selama ini sangat ia inginkan. "Maafkan Mama, Nak! Ini semua salah mama."Kurengkuh tubuh mungil Miko, kucium keningnya berkali-kali. "Mama sayang Miko, Mama takut kehilangan Miko."***Di sini aku duduk sambil menikmati segelas jus yang baru saja di sajikan. Beberapa makanan ringan yang tersaji di atas meja sama sekali tak menggugah seleraku untuk menyentuhnya. Di hadapanku seorang laki-laki hanya diam tertunduk tak mengeluarkan sepatah kata sejak kedatangannya beberapa menit yang lalu.“Terima kasih sudah mau duduk denganku. Sekali lagi, Maafkan aku, Anita!” ucap Mas Rafi membuka suara.“Jangan basa basi, Mas! Aku enggak punya banyak waktu,” jawabku.“Tolong izinkan aku menemui anakku, Anita! Aku janji enggak akan mengambil dia dari kamu, kalo perlu mari kita besarkan bersama anak kita.”“Sebenarnya apa yang membuat kamu begitu ngotot menemui anak yang sudah kamu buang, Mas? Apa kamu sudah tak mampu menghamili istrimu? Bukankah uangmu cukup untuk hanya sekedar membeli seorang anak?” tanyaku sinis.“Stop, Anita! Aku ingin bicara baik-baik.”“Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Mas! Pergilah dari kehidupanku. Berbahagialah dengan keluargamu yang sekarang.”Aku mendongakkan kepala, memandang sosok lelaki yang pernah sangat kucintai. Kuperhatikan wajahnya yang sangat kusut dan terlihat berantakan. Jika bukan karena dia selalu menghubungi dan meneror teman-temanku, aku tak sudi duduk berdua seperti ini.Sudah beberapa kali Mas Rafi terlihat mengunjungi tempat kerjaku namun aku selalu menghindar dan enggan menemuinya. Ia juga sering menghubungi dan berpesan kepada temanku agar aku membuka blokir kontaknya. Aku tak ingin membawa-bawa orang lain dalam masalahku, hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk menemuinya.“Aku tak pernah bahagia, Anita! Kamu tahu aku menikah hanya karena Ibuku,” ujar Mas Rafi.“Jangan curhat sama aku, Mas! Aku tak peduli dengan hidupmu. Jujur saja apa yang sebenarnya kamu inginkan?” “Ibu memaksaku mengadopsi seorang anak. Tapi aku tak mau mengurusi anak orang lain. Aku saja punya anak yang jelas-jelas darah dagingku,” jelasnya.“Dasar manusia egois, Darahmu sama sekali tak mengalir di tubuh anakku. Kamu hanya menyumbang air kotor yang membuat anakku lahir dengan keadaan terhina.”“Mengapa perilakumu sekarang berubah, Anita?”“Kamu yang telah merubahku, Mas! Kemana saja kamu selama ini? Apakah baru ingat kalo ternyata kamu punya anak?” cecarku.“Sebenarnya aku ingin menemuimu sejak dulu tapi ada banyak hal yang tidak bisa aku ceritakan.”“Aku mohon jangan pernah menemui aku atau anakku lagi. Jangan mengirimi apa pun pada kami. Bagaimana jika istrimu tahu? Aku tak mau dituduh menjadi sumber kekacauan keluargamu, Mas!”Ingin sekali kuluapkan segala yang ada di pikiranku selama ini. Jika saja ini bukan tempat umum sudah pasti Mas Rafi akan kuhajar habis-habisan.“Mereka tak akan tahu, Anita! Sebagai penebus kesalahanku kamu boleh meminta apa saja padaku asal aku boleh menemui dan dekat dengan anakku,” ucap Mas Rafi memberi pilihan.“Apa saja ya, Mas! Bisakah kau memutar waktu dan mengembalikan kehormatanku seperti dulu?”“Bukan itu yang aku maksud, Anita!”“Jangan tawarkan uang, Mas! Aku sudah tak butuh uangmu.” Benar kata orang-orang, Mas Rafi pasti akan menawarkan uang padaku. Berapa pun pasti akan dia berikan asal tujuannya bisa tercapai. Ternyata Mas Rafi masih seperti dulu.“Tenang saja, Mas! Aku memang tak butuh uangmu, tapi lebih dari itu.”Kutinggalkan piring kotor yang baru dicuci separuh saat mendengar suara ketukan pintu. Aku bergegas keluar untuk membukakan pintu.“Sebentar,” teriakku saat suara ketukan terdengar semakin keras.“Aku mau ketemu Miko,” ucap Mas Rafi sesaat setelah pintu kubuka.“Miko enggak di rumah.” Kuhalangi Mas Rafi yang hendak masuk ke dalam rumah.“Ayah datang, Nak! Ini Ayah bawa mainan lagi,” teriaknya sambil mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah.“Miko enggak ada, Mas!” ucapku geram.Kudorong Mas Rafi dan segera kututup pintu. Aku mencoba untuk tidak bersuara terlalu keras karena takut Miko yang sedang tidur terbangun. Aku juga tidak ingin memancing kedatangan tetangga. “Kalo begitu aku tunggu di sini sampai Miko pulang!” Mas Rafi meletakan dua plastik besar di meja lalu duduk di kursi teras.“Aku kan udah bilang, jangan temui kami lagi.”“Semakin kamu melarang, aku akan semakin sering datang ke sini. Aku bisa saja menculik Miko, tapi aku enggak mau terkesan jahat di mata Miko,” anca
Sesampainya di rumah, segera aku masuk dan berlari ke kamar. Kubaringkan Miko yang sudah tertidur di atas ranjang, kututup pintu dan jendela lalu menguncinya.Setelah memastikan semuanya aman. Aku menjatuhkan tubuh di balik pintu. Kudongakkan kepala berusaha menahan air mata yang sedari tadi jatuh. “Ya Tuhan...!” gumamku pelanBeberapa kali kutarik nafas panjang lalu menghembuskannya kasar berharap bisa sedikit menenangkan hatiku, tapi semua itu gagal. Kututup mulutku agar tidak ada yang mendengar tangisanku.Akhirnya kulepaskan semua beban di dalam dada yang sedari tadi tertahan.Sejenak terlintas pertanyaan yang tadi aku dengar. “Anita, apa dia cucuku?” “Iya, Bu! Dia Miko cucu Ibu,” jawabku.“Maafkan kesalahan Ibu, Anita!” ucapnya tulus.“Aku sudah memaafkan semua kesalahan Ibu.”“Bolehkah aku memeluk Miko?” tanyanya ragu.“Tentu saja, Bu!” jawabku sambil menurunkan Miko dari gendonganku. “Sini, sayang! Ini nenek.” Ibu merentangkan tangannya.Miko perlahan berjalan ke arah Ibu.
Seperti biasa setiap pagi aku akan menyiapkan keperluan Miko dan mengantarnya sekolah terlebih dulu sebelum berangkat kerja. Sebagai Ibu tunggal aku harus bekerja keras untuk memenuhi segala keperluan Miko. Walaupun kadang aku merasa sangat lelah, tapi aku harus bertahan. Kadang aku merasa iri setiap aku melihat teman-temanku yang telah menikah. Mereka mempunyai suami yang bisa menafkahi sekaligus menjadi teman untuk berkeluh kesah.“Mbak, apa Mas Rafi masih sering ke sini?” tanya Ari sambil mencomot gorengan yang baru saja kuangkat.“Enggak, Ri! Udah jarang sekarang,” jawabku.Kebetulan hari ini Ari libur kerja jadi kami bisa sarapan bersama. Bekerja di sebuah pusat perbelanjaan membuat Ari jarang mendapatkan jatah libur.“Duduk, Mbak! Aku mau ngomong sebentar.”“Mau ngomong apa?” “Sebelumnya aku minta maaf. Apa Mbak Nita masih mengharapkan Mas Rafi?” tanya Ari serius.“Kenapa kamu tanya begitu?”“Jangan pernah berpikir untuk kembali, Mbak! Aku enggak mau Mbak kecewa seperti dulu
“Apa aku masih punya kesempatan, Nit?” tanya Rendi yang saat ini tengah mengunjungi rumahku.“Aku sudah bilang jangan tanyakan itu lagi,” bentakku.“Tapi sampai kapan, Nit?”“Entahlah, Ren!”Entah mengapa Rendi tiba-tiba berbicara serius seperti itu. Padahal ia mengaku datang ke sini hanya untuk menemui Miko. Tapi Miko malah di ajak teman-temannya main bola di halaman.Aku dan Rendi adalah sahabat sejak kecil. Hampir setiap hari kami bersekolah dan bermain bersama tentu saja dengan teman-teman yang lain. Tak ada yang spesial di antara kami selain hubungan pertemanan pada umumnya.Setelah lulus SMA, Rendi memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di kota sebelah. Mulai saat itu hubungan kami semakin renggang. Hanya sesekali bertegur sapa lewat media sosial dan bertemu hanya ia libur atau saat hari raya.Rendi kembali ke rumah setelah ayahnya meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di sekitar sini agar bisa menemani Ibunya. Mulai saat itu kami mulai sering bertemu. Saat itu aku se
“Mirip dari mananya? Orang beda gini, kok!” kata Mas Rafi cuek lalu kembali sibuk dengan ponselnya. “Jelas beda dong, Tante! Miko kan item beda sama Omnya!” candaku. Aku mencoba ikut berbicara agar Silvi tidak terlalu memperhatikan kemiripan Miko dan Mas Rafi. Sembari makan, kami berbicara banyak hal. Silvi juga menanyakan tentang kehidupanku sepeninggal ayah Miko. Akhirnya aku sedikit bercerita, tentu saja tidak termasuk Mas Rafi di dalamnya. Sebenarnya aku hanya ingin memberi sedikit pelajaran untuk Mas Rafi. Biar dia tahu rasanya tak di anggap.“Terima kasih atas semuanya, Mbak! Kami pulang dulu.” Aku berpamitan setelah selesai makan. “Bilang terima kasih sama tante, Nak!” perintahku pada Miko. "Terima kasih, Tante! Miko pulang dulu," ucap Miko sambil mencium tangan Mbak Silvi. Mbak Silvi menyejajarkan tubuhnya dengan Miko lalu memeluk Miko. Aku terharu melihat perlakuan Mbak Silvi, pasti dia sangat merindukan seorang anak dalam hidupnya. Tadi ia bercerita sangat menyukai anak
[Selamat malam, apa benar ini nomornya Mbak Anita, Mamanya Miko. Ini Silvi, Mbak.]Aku kaget saat membaca sebuah pesan yang baru saja masuk. Dari mana Mbak Silvi tahu nomor ponselku? Apa dia juga ikut bersekongkol dengan Mas Rafi dan Bu Fitri? Kalo iya, berarti aku yang tertipu kemarin.[Benar, Mbak! Ini Mamanya Miko. Mbak kok bisa tau nomorku?]Balasku dengan ragu-ragu. Aku penasaran apa tujuan Mbak Silvi menghubungiku.[Kemarin aku ke tempat kerja Mbak Anita, tapi Mbak sudah pulang, makanya aku minta nomor Mbak sama temennya.]Aku lega membaca balasan yang Mbak Silvi kirim. Semoga saja semua itu benar. Aku memang sempat memberi tahu tempat kerjaku kemarin saat kami bertemu.[Mbak, bolehkan aku ketemu Miko lagi?]Sebuah pesan dari Mbak Silvi masuk lagi[Tentu saja, Mbak boleh]Akhirnya kami janji akan bertemu besok minggu di sebuah taman kota. Aku juga memintanya untuk tak mengajak Mas Rafi dengan alasan agar Miko tidak salah paham lagi. Dan Mbak Silvi pun menyetujuinya.Sebenarnya
“Eh, Nita! Jadi orang penting sekarang kamu, ya! Tiap hari ada yang nyariin, bermobil pula,” kata Bu Yati yang tiba-tiba datang ke rumah.Aku yang sedang sibuk menjemur pakaian hanya melirik sekilas tak berniat menanggapi. Pasti Bu Yati akan mengataiku macam-macam seperti biasanya. Dia memang seperti CCTV yang selalu memata-mataiku. Tidak ada satu pun kejadian di rumahku yang tidak diketahui Bu Yati. Dan itu sudah terjadi sejak aku hamil Miko dulu. Sampai sekarang dia masih saja setia dengan pekerjaan itu. Padahal kalo dipikir-pikir semua itu enggak ada untungnya buat dia. “Heh, ditanyain malah diem aja,” bentak Bu Yati yang sadar aku tak menanggapinya.“Oh, Bu Yati tanya, ya! Emm... memangnya kenapa kalo banyak yang nyariin, Bu? Yang penting bukan buat nagih utang,” jawabku tanpa menoleh.“Udah kasih aja si Miko sama mereka. Toh nanti kamu bakal di kasih duit banyak. Jangan ngimpi lagi dapet bapaknya Miko, nanti di buang lagi baru tau rasa.”“Nanti kalo aku banyak duit, Bu Yati kepa
“Langsung saja, Mas! Enggak usah basa-basi,” jawabku sambil menyeruput sedikit minuman di depanku.Walaupun terpaksa sore ini aku memenuhi undangan Mas Rafi untuk bertemu. Aku tak mau Mas Rafi bertindak macam-macam apalagi sampai menculik Miko. “Silvi sudah mengetahui semuanya, bahkan sudah sejak lama,” kata Mas Rafi pelan.“Aku sudah tau soal itu. Aku rasa dia bukan wanita bodoh yang enggak mau tahu masa lalu suaminya.”“Dia memintaku menjauhimu dan Miko”“Harusnya kalian memang jauh-jauh dari kami.” “Aku enggak mau melakukan kesalahan yang kedua. Aku tak akan melepas kamu dan Miko lagi.”Mas Rafi berusaha meraih tanganku, tapi dengan cepat aku melepasnya.“Kalo begitu kamu sudah punya rencana apa, Mas?" tanyaku.“Belum tahu, yang jelas mulai sekarang aku akan berusaha untuk bisa bersama kamu dan Miko.” “Kamu yakin sudah mempunyai keberanian untuk menentang keluargamu dan istrimu?”“Pasti," jawabnya mantap.“Kalo begitu nikahi aku secara resmi. Kamu tahu syarat pernikahan kedua s