Kutinggalkan piring kotor yang baru dicuci separuh saat mendengar suara ketukan pintu. Aku bergegas keluar untuk membukakan pintu.
“Sebentar,” teriakku saat suara ketukan terdengar semakin keras.“Aku mau ketemu Miko,” ucap Mas Rafi sesaat setelah pintu kubuka.“Miko enggak di rumah.” Kuhalangi Mas Rafi yang hendak masuk ke dalam rumah.“Ayah datang, Nak! Ini Ayah bawa mainan lagi,” teriaknya sambil mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah.“Miko enggak ada, Mas!” ucapku geram.Kudorong Mas Rafi dan segera kututup pintu. Aku mencoba untuk tidak bersuara terlalu keras karena takut Miko yang sedang tidur terbangun. Aku juga tidak ingin memancing kedatangan tetangga. “Kalo begitu aku tunggu di sini sampai Miko pulang!” Mas Rafi meletakan dua plastik besar di meja lalu duduk di kursi teras.“Aku kan udah bilang, jangan temui kami lagi.”“Semakin kamu melarang, aku akan semakin sering datang ke sini. Aku bisa saja menculik Miko, tapi aku enggak mau terkesan jahat di mata Miko,” ancam Mas Rafi.“Awas saja kalo kamu berani menculik Miko, akan kuobrak-abrik hidupmu beserta keluargamu,” gertakku.“Kalo begitu sementara waktu aku tidak akan menemuimu dan Miko lagi, tapi jangan blokir nomorku!”“Oke, nanti aku buka blokirnya. Lebih baik sekarang kamu pulang, Mas! Jangan sampai aku panggil Pak RT buat ngusir kamu.”“Baiklah aku pergi sekarang,” ucap mas Rafi lalu beranjak pergi.Aku bernafas lega saat mobil yang ditumpangi Mas Rafi sudah tak terlihat. Sebenarnya aku terpaksa menyetujui permintaan Mas Rafi. Walaupun nantinya dia akan menerorku lewat telepon, paling tidak dia tidak akan menemui Miko lagi. **“Miko, Miko, Miko!” Aku berteriak saat melihat Miko berlari sambil membawa bendera. Dia sedang mewakili sekolahnya untuk lomba memperingati hari anak. Hari ini aku sengaja mengambil cuti untuk menemani Miko yang akan mengikuti acara gebyar anak di lapangan kecamatan.[Dan pemenangnya adalah Miko]Semua orang bertepuk tangan saat mendengar suara pembawa acara. Kulihat Miko berjingkrak senang di kelilingi oleh teman-temannya. Setelah puas merayakan kemenangannya Miko berlari ke arahku.“Miko menang, Ma!” ucap Miko memelukku. “Iya sayang...”Aku mencium keningnya lama, terasa bulir bening di mataku jatuh. Ternyata ‘sereceh’ ini kebahagiaan seorang Ibu. Ada rasa yang tidak bisa diungkapkan saat melihat anaknya mendapatkan juara walaupun hanya lomba lari bendera. Mungkin aku tidak akan merasakan semua ini jika tidak memiliki Miko.Matahari semakin terik dan udara semakin panas. Suasana lapangan sudah berangsur sepi. Hanya tersisa beberapa guru dan anak-anak beserta orang tuanya yang masih setia mengikuti rangkaian acara. Begitu juga dengan aku dan Miko. Setelah melewati sambutan akhirnya acara yang ditunggu-tunggu segera di mulai yaitu pembagian hadiah.[Untuk juara pertama lomba lari bendera adalah Miko dari TK Pintar]Suara pembawa acara menggema diiringi riuh tepuk tangan. Segera aku berjalan menuntun Miko ke atas panggung bergabung dengan beberapa peserta yang lain.[Kami persilahkan Ibu Fitri Suseno untuk naik ke atas panggung]Seketika aku bergetar mendengar saat mendengar nama tersebut. Aku menoleh ke arah tangga naik ke panggung berharap orang yang di panggil bukanlah orang yang ada dalam pikiranku.Tampak seorang wanita bertubuh tambun dengan riasan sedikit menor berbaju kebaya datang. Senyuman manis tak henti-hentinya ia tebar ke semua orang yang melihatnya Ternyata benar, aku sangat mengenal orang itu. Wajahnya masih seperti dulu saat kami terakhir bertemu hanya senyumnya saja yang berbeda. Aku ingin berlari dari situasi seperti ini namun demi Miko aku berusaha kuat dan mengusai diri agar tak terlihat memalukan. Keringatku mengucur semakin deras saat wanita itu di berdiri tepat di hadapanku. Rasanya tak rela saat aku melihat dia mencium Miko setelah memberikan hadiah. “Anita...” ucapnya lirih saat ia menyalamiku.Aku hanya mengangguk dan terpaksa tersenyum. Wajah wanita itu seketika berubah pias dan senyumnya perlahan hilang, namun dengan cepat ia bisa mengusai suasana. “Anita..., tunggu!” Panggil wanita itu sesaat setelah sesi foto bersama.Aku menuntun Miko dan berjalan cepat meninggalkan panggung, pura-pura tak mendengar panggilan itu. “Kamu Anita, kan?” Kugendong Miko dan berjalan semakin cepat saat menyadari ia mengikutiku. Aku tak ingin wanita itu bertemu dan menyentuh Miko lagi.“Anita, apa dia cucuku?”Om Bahri terdiam sambil memeluk buku harian milik almarhum mama, sesekali ia menyeka matanya yang terlihat memerah. Walaupun tak sampai jatuh, tapi aku tahu lelaki paruh baya berwajah garang di hadapanku tengah menangis.“Apa anda menyesal?” tanyaku membuka suara.Om Bahri hanya bergeming, ia kembali membuka buku tersebut dan membacanya sekali lagi. Hingga aku melihat ia membuka halaman terakhir. “Aku sangat menyesal telah mencintaimu begitu dalam. Setelah dua puluh lima tahun sejak kita bertemu, akhirnya aku memutuskan menyerah. Mulai hari ini akan kuhabiskan sisa hidupku untuk mencintai suamiku, manusia paling tulus yang pernah kutemui.” Aku membacakan sebait tulisan di buku harian mama halaman terakhir. Om Bahri memandangku dengan tatapan lembut. Dilihat dari garis wajahnya, ia mungkin umurnya setara dengan Bapak atau mungkin lebih tua. Di usianya yang menjelang senja, Om Bahri seharusnya tengah berbahagia dengan keluarganya. Melihat anak-anaknya menikah dan bermain dengan cucu-c
“Jangan banyak alasan, Om, dengan seolah-olah menjadi orang yang paling tersakiti.” Aku membuang muka memandang hamparan sawah yang mulai menguning.“Kalian sama-sama pengecut!” gumamku.“Kalian?” Om Bahri berbalik memandangku.Aku melemparkan sebuah foto usang berlaminating tebal kepada Om Bahri. Wajahnya seketika menegang dan tangannya gemetar tatkala ia mengambil dan memperhatikan foto itu dengan saksama. Dalam foto tersebut terlihat sepasang remaja berseragam putih abu tengah tersenyum dengan tangan yang bergandengan. Mata sang lelaki melirik pada wanita di sampingnya yang terlihat malu-malu.“Ya, kalian, asal anda tahu, masalah terbesar dalam keluargaku adalah mama tak pernah bisa melupakan cinta pertamanya. Bertahun-tahun menjalani rumah tangga, selama itu pula nama Bahri selalu saja terucap saat mama dan bapak bertengkar.”Mata Om Bahri membulat, wajah tembamnya yang biasanya terlihat garang, kini terlihat menciut. Ia berjalan perlahan menghampiriku yang tengah menatapnya tajam
“Apa maksud kamu bicara seperti itu?” bentak Mas Rafi setibanya kami di dalam kamar. “Aku hanya ingin kalian tahu tentang tujuanku, apa itu salah?”“Apa yang ingin kamu kembalikan seperti semula? Mengapa kami juga boleh memiliki Miko?” kedua tangan Mas Rafi mencengkeram erat bahuku. “I-itu...”“Apa kamu masih berniat pergi?” Mas Rafi menyelidik, kini wajahnya hanya berjarak lima senti tepat di depan wajahku. Bahkan dengan jarak sedekat ini aku bisa mencium jelas bau rokok dari mulutnya.“Ya, tapi tenang saja, aku tak akan membawa Miko. Kalian yang akan menjadi orang tua Miko. Bagaimanapun juga, hidup Miko di sini lebih terjamin, masa depannya lebih jelas,” ucapku lagi.“Apa kamu mulai gila, hah? Kamu pikir pernikahan ini main-main? Mengapa kamu suka sekali mempermainkan hidup seseorang?” Cengkeraman Mas Rafi semakin kuat, bola matanya seakan hendak keluar dari tempatnya. “Aku sadar dengan ucapanku, Mas,” ucapku hampir tak bersuara.“Lalu mengapa tak kau serahkan saja Miko sejak aw
“Bagaimana kamu tahu tentang ...” Om Bahri tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang selalu terlihat garang kini berubah pias.“Aku tahu semuanya, bahkan nama Bahri Susanto sudah tak asing ditelingaku sejak aku kecil.”“Apa yang Riyati ceritakan padamu?” tanya Om Bahri antusias.“Tak ada, hanya saja Mama pernah beberapa kali menyebut nama Bahri Susanto saat berdebat dengan Bapak,” ungkapku.“Kamu pembohong! Sama dengan Riyati yang juga pembohong, dialah yang membuat hidupku hancur hingga saat ini,” ucap Om Bahri tak percaya.“Jika mamaku yang membuat hidup anda hancur? Mengapa aku menanggung akibatnya? Anda pikir untuk apa aku sudi kembali pada keluarga yang telah membuangku?” ucapku lantang. Rasanya sudah tak tahan untuk mengeluarkan rasa sakit yang selama ini terpendam.“Anita!” panggil Mas Rafi yang tengah berjalan cepat ke arahku.Seketika aku terdiam mencoba menetralkan degup jantung yang sedari tadi berdetak tak beraturan. Sebelum terlalu jauh, mungkin sudah saatnya Mas Rafi t
“Nita.” Tubuhku bergetar saat wanita di hadapanku tersenyum dan mengulurkan tangannya.“Ibu cepat sembuh, ya. Maafin Nita baru tengok sekarang.” Kuraih tangan Ibu dan menggenggamnya erat.“Maafin Ibu, Nita. Sejak dulu selalu membuat hidupmu susah,” ucap Ibu dengan suara bergetar.“Enggak, Bu. Nita udah maafin Ibu. Jangan berpikiran macam-macam.”“Terima kasih, Nak.”Akhirnya setelah lebih dari dua minggu aku bisa bertemu dengan Ibu tanpa bertemu orang-orang yang membenciku. Kata Mas Rafi, saat ini adalah jadwal pertemuan keluarga, jadi semua orang sedang berkumpul di salah satu rumah kerabat. Biasanya selain Mas Rafi, Desi atau Mbak Silvi, beberapa saudara Ibu selalu bergantian menjaga Ibu.“Makan dulu, Bu.” Aku mengambil sekotak makanan yang baru saja seorang perawat antarkan.“Lidah Ibu pahit, makanan rumah sakit enggak ada yang enak,” keluh Ibu.“Ini enak loh, Bu.” Aku menunjukkan kotak berisi nasi, sayur, sebutir telur rebus dan sepotong daging pada Ibu.“Masakannya enggak enak.”
"Sejak kapan kalian bermain di belakangku?" cecar Mas Rafi. Wajahnya yang merah padam seolah menunjukkan hatinya yang tengah terbakar."Apa jangan-jangan dia, alasan kamu minta berpisah." Mas Rafi menunjuk wajah Ario.“Kamu salah paham, Mas.” Aku mencoba menenangkan Mas Rafi dan segera menuntunnya ke atas. Aku tak mau perdebatan kami menjadi tontonan para karyawan dan pelanggan.“Santai aja Fi, aku kan Cuma berkunjung,” ucap Ario santai.“Diam kamu! Udah puas bikin suamiku salah paham?” bentakku saat melihat Ario juga ikut kembali naik ke atas.Rasanya ingin sekali aku mencakar wajahnya yang sok kegantengan itu. Aku yakin dia memang sudah malang melintang dalam urusan wanita, buktinya di saat genting seperti ini dia masih bisa bersikap santai seolah hal seperti ini bukanlah masalah besar untuknya.Kuambil segelas air putih dari dispenser di pojok ruangan kemudian menyodorkannya pada Mas Rafi. “Mau lagi?” tawarku saat Mas Rafi telah meminum air dalam gelas dalam sekali tenggak.Mas Ra