Share

Bab 4

Kutinggalkan piring kotor yang baru dicuci separuh saat mendengar suara ketukan pintu. Aku bergegas keluar untuk membukakan pintu.

“Sebentar,” teriakku saat suara ketukan terdengar semakin keras.

“Aku mau ketemu Miko,” ucap Mas Rafi  sesaat setelah pintu kubuka.

“Miko enggak di rumah.” Kuhalangi Mas Rafi yang hendak masuk ke dalam rumah.

“Ayah datang, Nak! Ini Ayah bawa mainan lagi,” teriaknya sambil mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah.

“Miko enggak ada, Mas!” ucapku geram.

Kudorong Mas Rafi dan segera kututup pintu. Aku mencoba untuk tidak bersuara terlalu keras karena takut Miko yang sedang tidur terbangun. Aku juga tidak ingin memancing kedatangan tetangga. 

“Kalo begitu aku tunggu di sini sampai Miko pulang!” Mas Rafi meletakan dua plastik besar di meja lalu duduk di kursi teras.

“Aku kan udah bilang, jangan temui kami lagi.”

“Semakin kamu melarang, aku akan semakin sering datang ke sini. Aku bisa saja menculik Miko, tapi aku enggak mau terkesan jahat di mata Miko,” ancam Mas Rafi.

“Awas saja kalo kamu berani menculik Miko, akan kuobrak-abrik hidupmu beserta keluargamu,” gertakku.

“Kalo begitu sementara waktu aku tidak akan menemuimu dan Miko lagi, tapi jangan blokir nomorku!”

“Oke, nanti aku buka blokirnya. Lebih baik sekarang kamu pulang, Mas! Jangan sampai aku panggil Pak RT buat ngusir kamu.”

“Baiklah aku pergi sekarang,” ucap mas Rafi lalu beranjak pergi.

Aku bernafas lega saat mobil yang ditumpangi Mas Rafi sudah tak terlihat. Sebenarnya aku terpaksa menyetujui permintaan Mas Rafi. Walaupun nantinya dia akan menerorku lewat telepon, paling tidak dia tidak akan menemui Miko lagi. 

**

“Miko, Miko, Miko!” 

Aku berteriak saat melihat Miko berlari sambil membawa bendera. Dia sedang mewakili sekolahnya untuk lomba memperingati hari anak. 

Hari ini aku sengaja mengambil cuti untuk menemani Miko yang akan mengikuti acara gebyar anak di lapangan kecamatan.

[Dan pemenangnya adalah Miko]

Semua orang bertepuk tangan saat mendengar suara pembawa acara. Kulihat Miko berjingkrak senang di kelilingi oleh teman-temannya. Setelah puas merayakan kemenangannya Miko berlari ke arahku.

“Miko menang, Ma!” ucap Miko memelukku. 

“Iya sayang...”

Aku mencium keningnya lama, terasa bulir bening di mataku jatuh. Ternyata ‘sereceh’ ini kebahagiaan seorang Ibu. Ada rasa yang tidak bisa diungkapkan saat melihat anaknya mendapatkan juara walaupun hanya lomba lari bendera. Mungkin aku tidak akan merasakan semua ini jika tidak memiliki Miko.

Matahari semakin terik dan udara semakin panas. Suasana lapangan sudah berangsur sepi. Hanya tersisa beberapa guru dan anak-anak beserta orang tuanya yang masih setia mengikuti rangkaian acara. Begitu juga dengan aku dan Miko. 

Setelah melewati sambutan akhirnya acara yang ditunggu-tunggu segera di mulai yaitu pembagian hadiah.

[Untuk juara pertama lomba lari bendera adalah Miko dari TK Pintar]

Suara pembawa acara menggema diiringi riuh tepuk tangan. Segera aku berjalan menuntun Miko ke atas panggung bergabung dengan beberapa peserta yang lain.

[Kami persilahkan Ibu Fitri Suseno untuk naik ke atas panggung]

Seketika aku bergetar mendengar saat mendengar nama tersebut. Aku menoleh ke arah tangga naik ke panggung berharap orang yang di panggil bukanlah orang yang ada dalam pikiranku.

Tampak seorang wanita bertubuh tambun dengan riasan sedikit menor berbaju kebaya datang. Senyuman manis tak henti-hentinya ia tebar ke semua orang yang melihatnya Ternyata benar, aku sangat mengenal orang itu. Wajahnya masih seperti dulu saat kami terakhir bertemu hanya senyumnya saja yang berbeda. Aku ingin berlari dari situasi seperti ini namun demi Miko aku berusaha kuat dan mengusai diri agar tak terlihat memalukan. 

Keringatku mengucur semakin deras saat wanita itu di berdiri tepat di hadapanku. Rasanya tak rela saat aku melihat dia mencium Miko setelah memberikan hadiah. 

“Anita...” ucapnya lirih saat ia menyalamiku.

Aku hanya mengangguk dan terpaksa tersenyum. Wajah wanita itu seketika berubah pias dan senyumnya perlahan hilang, namun dengan cepat ia bisa mengusai suasana. 

“Anita..., tunggu!” Panggil wanita itu sesaat setelah sesi foto bersama.

Aku menuntun Miko dan berjalan cepat meninggalkan panggung, pura-pura tak mendengar panggilan itu. 

“Kamu Anita, kan?” 

Kugendong Miko dan berjalan semakin cepat saat menyadari ia mengikutiku. Aku tak ingin wanita itu bertemu dan menyentuh Miko lagi.

“Anita, apa dia cucuku?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status