"Mbak Nita!" panggil seorang wanita yang tengah berdiri di depan gerbang tempat kerjaku."Ya, cari siapa, Mbak?" tanyaku setelah berdiri di hadapannya."Bisa bicara sebentar, Mbak? Aku Rania, calon tunangan Mas Rendi," Dia menjabat tanganku."Oh, iya. Kita duduk di sini atau mau ke cafe depan?" tanyaku memberi pilihan.Walaupun agak deg-degan tapi aku mencoba bersikap biasa. Apa Rendi membuat ulah, sampai-sampai calon tunangannya menemuiku.Akhirnya kami duduk di bangku yang ada di pinggir tempat parkir karyawan."Ada apa ya, Mbak?" tanyaku memulai percakapan."Panggil Rania saja, Mbak!” jawabnya sopan.“Oke kalo gitu panggil aku Nita saja,” balasku.“Sebenanya kedatanganku kesini untuk menanyakan sesuatu, tapi sebelumnya aku minta maaf jika pertanyaanku nanti membuat kamu tersinggung.”“Mau tanya apa?”“Apa benar kamu kekasih Mas Rendi? Tolong jawab sejujur-jujurnya, Mbak!” Sudah kuduga, ini pasti ulah Rendi. Dia menjadikanku alasan untuk menolak perjodohan dengan Rania. Kenapa Rend
"Cium tangan," kata Mas Rafi sambil mengulurkan tangannya."Belum sah." Aku menggeleng lalu melewatinya begitu saja.Seperti janjinya tadi, Mas Rafi sore ini dia benar-benar datang ke rumah. Bahkan dia telah sampai sebelum aku dan Miko pulang. Kulihat dia tengah menunggu di teras saat Aku dan Miko sampai di rumah."Hay, Miko!" sapa Mas Rafi sambil melambaikan tangannya."Hay, Om!" balas Miko."Miko masuk dulu, ya! Nanti mama nyusul," perintahku.Miko mengangguk lalu berlari ke dalam, dia pasti tak sabar membuka mainan yang baru saja di beli. Setelah meletakkan barang bawaanku di ruang tamu, gegas aku keluar dan langsung duduk di kursi teras."Apa kamu udah punya jawabannya, Mas?" tanyaku."Kamu enggak nyuruh aku masuk?" Mas Rafi berbalik tanya."Ari enggak ada di rumah, Mas! Takut terjadi fitnah kalo aku nyuruh kamu masuk.""Miko kan ada," tunjuknya pada Miko yang terlihat asyik bermain di ruang tamu."Udah, deh! Enggak usah basa-basi. Apa jawaban kamu? Keburu sore, Miko belum mandi.
“Nit, diliatin Pak Doni, tuh!” bisik Vera menyenggol bahuku.Seketika aku menoleh pada Pak Doni yang ternyata sedang memandangku. Ia menjadi salah tingkah saat pandangan kami bertemu. Aku segera menunduk dan berpura-pura sibuk untuk menghindari suasana canggung ini. “Kamu udah izin sama HRD?”Aku terperanjat saat Pak Doni ternyata sudah berdiri di hadapanku.“Be-belum, Pak. Tanggalnya belum di tentukan," jawabku.“Doni!” sanggahnya.“Be-belum, Don. Maaf aku belum terbiasa.”“Setelah menikah kamu akan tetap bekerja, kan?” tanyanya lagi.“Masih, Don!”“Oke, semangat kerjanya, ya!” Mendapat sapaan dari Doni, membuat hatiku sedikit tenang. Ini adalah pertama kali Doni bicara denganku Setelah beberapa hari ia terlihat menghindar. Aku salut karena Doni kini sudah bisa bersikap profesional layaknya rekan kerja karena bagaimanapun kamj akan tetap bertemu selama kami masih bekerja di sini."Sebenarnya Pak Doni itu baik loh, sama kamu aja dia terlihat garang," ucap Vera saat Pak Doni keluar r
“Hai Miko, ini Tante sama Nenek.” Aku terkejut saat Ibu dan Adiknya Mas Rafi tiba-tiba datang. Bagaimana mereka bisa tahu kami ada di sini. Apa memang ini sudah direncanakan dengan Mas Rafi. Ternyata aku telah terjebak dengan permainan mereka.“Boleh kami duduk?” tanya Bu Fitri.“Si-silakan,” ucapku.Aku segera menarik Miko agar duduk lebih dekat denganku. Lagi-lagi perasaan takut itu muncul, takut mereka mengambil Miko.“Jangan takut, Anita! Kami datang kesini untuk bertemu kamu dan Miko,” ucap Bu Fitri yang sudah duduk di sebelah Mas Rafi.“Iya, Mbak! Lagian kan Mbak sebentar lagi akan jadi istri Mas Rafi,” timpal Desi.“Miko, ini nenek dan ini tante.” Mas Rafi menunjuk Bu Fitri dan Desi secara bergantian.“Sini salim sama nenek,” Bu Fitri melambaikan tangannya ke arah Miko.Seketika Miko langsung turun dan menyalami Bu Fitri juga Desi. Seketika suasana berubah riuh oleh obrolan antara Miko dan juga keluarga Mas Rafi. Sedangkan aku hanya memperhatikan dan sesekali menjawab jika di
“Anita, tunggu!”Lelaki itu menghentikan motornya tepat di hadapanku.“Anita, ini aku Doni,” ucapnya lagi sambil membuka helmnya.“Loh, Pak Doni!” Aku menunjuknya.“Doni tanpa Pak, kamu dari mana atau mau kemana? Kok jalan kaki?” “Dari kedai es krim mau pulang. Kenapa kamu enggak buka helm dari tadi, sih! Jadi aku kan enggak perlu ketakutan. Aku kira orang jahat tadi,” makiku pada Pak Doni.Selama ini aku memang jarang sekali melihat Pak Doni mengendarai sepeda motor karena setiap hari dia selalu mengendarai mobil ke tempat kerja. Makanya aku tak langsung mengenalinya tadi.“Soalnya tadi aku juga enggak yakin itu kamu. Lagian ngapain kamu jalan kaki sambil gendong Miko?”“Mana Om Rafi, Ma?” tanya Miko yang baru saja aku turunkan.“Kamu habis jalan sama Rafi? Terus dia membiarkanmu pulang sendiri berjalan kaki? Benar-benar keterlaluan,” tanya Pak Doni.“Bukan begitu, aku sendiri yang memutuskan pulang sendiri,” jelasku.“Kenapa?”Aku hanya menggeleng karena tak mungkin menceritakan se
"Ada apa ini, Mbak Nita?" tanya seorang lelaki yang ternyata Pak Sugeng---salah satu warga sini. Ia dan beberapa warga yang lain kebetulan lewat setelah mengikuti pengajian di salah satu rumah warga."Enggak ada apa-apa, Pak?" jawabku sambil menunjukkan deretan gigi."Lelaki ini siapa?" "Saya Rafi, Pak. Calon suami Nita." Mas Rafi memperkenalkan diri sambil menjabat tangan semua orang yang datang."Oh, begitu. Mohon maaf nak Rafi, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, saya selalu salah satu warga di sini menghimbau agar Nak Rafi segera pulang. Mengingat ini sudah lewat jam bertamu," ujar Pak Sugeng menasihati.Walaupun tidak menjabat sebagai RT atau semacamnya, Pak Sugeng adalah salah satu tetua di kampung ini. Dia juga salah satu ustadz yang sangat dihormati di kampung ini.“Kalo begitu saya pamit dulu, Pak,” pamit Mas Rafi.“Aku pulang dulu, Nit.” Pamitnya padaku juga.Aku hanya menangguk. Mas Rafi segera berbalik dan pergi mengendarai mobilnya. Setelah Mas Rafi benar-benar
“Aku bilang diam...” Seketika dua lelaki itu menoleh ke arahku. “Ngapain kalian ribut-ribut di sini?” tanyaku kemudian.“Tapi, Nit, dia yang mulai duluan,” ujar Rendi tak terima.“Alah, kamu juga sama aja. Kalian Cuma bikin aku pusing tau enggak?”“Maaf, Nit,” lirih Mas Rafi.“Mas Rafi sekarang masuk, di dalam ada Ari. Aku mau ngomong sama Rendi bentar.”“Tapi, Nit!”“Aku bilang masuk!” perintahku.“Suruh dia pergi aja,” sahut Rendi.“Diam kamu!” Aku menunjuk wajah Rendi.Akhirnya Mas Rafi menurut dan segera masuk ke dalam meninggalkan aku dan Rendi.“Kemarin wanita bernama Rania menemuiku.” Aku membuka pembicaraan.“Ra-Rania?” Wajah Rendi seketika berubah pias.“Iya, calon tunangan kamu.”“Dia bicara apa saja?”“Semua, dia bicara semuanya. Kenapa kamu tak menikahinya saja? Bukankah kalian sudah ..., apa kamu mau jadi lelaki pengecut?” tanyaku serius.“Bu-bukan begitu, Nit. Aku tak pernah mencintainya.”“Tapi kamu sudah merusaknya, Rendi!”“Iya, aku memang salah. Tapi kalo kamu sejak
Pov RafiAku menggenggam erat amplop putih yang baru saja kuterima dari salah satu temanku yang berprofesi sebagai dokter kandungan. Kubuka perlahan amplop tersebut, dengan hati berdebar kubaca satu persatu kata yang ada. Aku menahan nafas saat melihat bagian akhir surat tersebut. Aku bernafas lega saat dokter menyatakan aku sehat dan tak ada masalah di bagian reproduksiku. Jadi selama ini masalah yang membuat aku tak kunjung punya anak berada di Silvi, wanita yang lima tahun yang lalu terpaksa aku nikahi.Di tahun pertama pernikahanku dengan Silvi semua berjalan baik-baik saja. Walaupun kami menikah melalui perjodohan, nyatanya kami bisa hidup berdampingan. Aku yang saat itu belum mencintai Silvi sama sekali perlahan belajar membuka hati untuknya.Memang di hubungan kami tak ada yang spesial seperti pasangan pada umumnya. Aku menjalani semua ini hanya karena jika aku memang tak bisa menentang kemauan orang tuaku.Memang tak ada kesulitan yang berarti dalam kehidupan rumah tanggaku.