Seperti biasa setiap pagi aku akan menyiapkan keperluan Miko dan mengantarnya sekolah terlebih dulu sebelum berangkat kerja. Sebagai Ibu tunggal aku harus bekerja keras untuk memenuhi segala keperluan Miko. Walaupun kadang aku merasa sangat lelah, tapi aku harus bertahan.
Kadang aku merasa iri setiap aku melihat teman-temanku yang telah menikah. Mereka mempunyai suami yang bisa menafkahi sekaligus menjadi teman untuk berkeluh kesah.“Mbak, apa Mas Rafi masih sering ke sini?” tanya Ari sambil mencomot gorengan yang baru saja kuangkat.“Enggak, Ri! Udah jarang sekarang,” jawabku.Kebetulan hari ini Ari libur kerja jadi kami bisa sarapan bersama. Bekerja di sebuah pusat perbelanjaan membuat Ari jarang mendapatkan jatah libur.“Duduk, Mbak! Aku mau ngomong sebentar.”“Mau ngomong apa?” “Sebelumnya aku minta maaf. Apa Mbak Nita masih mengharapkan Mas Rafi?” tanya Ari serius.“Kenapa kamu tanya begitu?”“Jangan pernah berpikir untuk kembali, Mbak! Aku enggak mau Mbak kecewa seperti dulu lagi.”“Aku enggak pernah berpikir untuk kembali pada Mas Rafi.”“Lalu kenapa Mbak menerima semua pemberian Mas Rafi? Aku juga tahu sekarang Mas Rafi sering menghubungi Mbak,” beber Ari.“Aku terpaksa, Ri! Soalnya setiap kukembalikan pasti di kirim lagi. Aku berhubungan lewat ponsel juga karena dia janji enggak akan menemui Miko lagi,” jelasku.“Aku peringatkan ya, Mbak! Jangan pernah mengulangi kesalahan yang sama. Pikirkan berapa besar pengorbanan Bapak buat menerima dan mendukung Mbak sampai saat ini.” “Iya, Ri! Mbak tau,” lirihku.Mendengar kata ‘Bapak’, ingatanku seketika menerawang jauh. Dia adalah satu-satunya orang yang tak pernah menyalahkan atas kejadian yang menimpaku. Dia selalu meyakinkanku bahwa ini hanya sebuah takdir yang harus aku jalani. Ditinggalkan Ibu saat Ari berumur 5 tahun, Bapak menjadi sosok orang tua yang lemah lembut tapi sangat tegas. Dia dengan sabar dan telaten mengurus kami serta bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Setelah aku dan Ari dewasa, seharusnya Bapak bisa beristirahat sembari menikmati masa tuanya.Tapi pada kenyataannya bukanlah kebahagiaan yang ia dapatkan. Aku malah memberikan aib yang sangat mencoreng nama baik Bapak. Tapi bukannya marah, Bapak malah menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yang menimpaku. Bapak merasa dia kurang perhatian hingga aku memilih jalan yang salah. Di saat-saat terburukku, Bapak tak henti-hentinya menasihatiku untuk selalu kuat. Dia juga berpesan jika anak yang aku kandung bukanlah aib namun anugerah dari Tuhan. Benar saja, Bapak adalah satu-satunya orang yang berbahagia saat aku melahirkan Miko. Dia bahkan yang mengurus Miko saat aku masih dalam keadaan kacau.Aku selalu berpikir untuk mengakhiri hidup saat itu, rasanya tak bisa membayangkan gambaran masa depan yang akan kulalui. Jika saat hamil saja aku sudah menjadi gunjingan orang apalagi kalo anakku sudah lahir. Benar saja setelah Miko lahir, aku menjadi salah satu bahan gosip bak seorang artis. Mungkin tak ada satu pun orang yang tak tahu kisah hidupku. Tapi Bapak selalu memintaku untuk bersabar menghadapi semua ini dan meyakini bahwa semua akan indah pada waktunya.Sayangnya Bapak tak bisa melihat Miko tumbuh besar. Dia harus berpulang secara mendadak satu tahun yang lalu. Pasti Tuhan tahu Bapak sudah terlalu lelah dalam hidupnya dan ingin Bapak bahagia di sana.“Bapak... aku merindukanmu, semoga Bapak sudah bahagia bersama Ibu. Maafkan anakmu ini, Pak!” batinku.“Miko berangkat dulu ya, Ma! Di antar Om Ari.” Ucapan Miko seketika membuyarkan lamunanku. Kulihat Miko sudah rapi dan siap berangkat sekolah. Seperti biasa setiap Ari libur kerja. Pasti dia dengan sigap membantuku mengurus keperluan Miko, termasuk mengantar dan menjemput sekolah.“Iya, sayang! Miko belajar yang rajin, ya! Mama juga mau berangkat kerja,” ucapku pada Miko sambil mencium kedua pipinya.“Jangan cium, Ma! Miko udah gede,” protesnya.Aku hanya tersenyum melihat tingkah Miko.**“Makan yuk, Nit!” ajak Vera---teman kerjaku saat jam istirahat tiba.“Duluan aja, Ver! Aku lagi tanggung, Nih!” jawabku.Hari Senin adalah hari yang melelahkan untuk seorang karyawan sepertiku. Sebagai bagian administrasi gudang, ada saja perkerjaan yang harus dilakukan dan segera di selesaikan. Seperti sekarang ini, aku hampir melewatkan jam istirahat untuk mengecek barang yang baru saja datang.“Belum istirahat, Nit?” tanya seseorang yang tiba-tiba merangkulku.“Belum, Pak!” jawabku sambil melepas tangan Pak Doni---kepala bagian gudang.“Enggak usah sok jual mahal, Nit! Aku tahu siapa kamu,” sindirnya.“Maaf ya, Pak! Bersikaplah yang sopan,” tekanku.“Santai aja, Nit! Kayak sama siapa.”Doni adalah teman sekolahku. Dulu kami juga sempat dekat karena rumah kami satu jalur dari sekolah. Namun sekarang dia adalah atasanku jadi mau tak mau aku memanggilnya dengan embel-embel ‘Pak’.“Oh, iya! Cowok yang kemarin sering nyariin kamu kok udah enggak pernah datang? Dia pasti ayah dari anak kamu, kan?”“Itu bukan urusan Bapak!” bentakku.“Udah di kasih berapa lagi kamu sama dia?”“Maaf ya, Pak! Kalo enggak ada yang penting, silakan Bapak pergi, aku masih banyak kerjaan,” usirku.“Oke, kalo kamu kekurangan uang bilang aja sama aku. Aku kasih berapa pun asal kamu mau sama aku”“Maaf ya, Pak! Aku bukan wanita murahan.”“Oh, iya! Kamu kan wanita mahal. Anak kamu aja harganya lima puluh juta. Apa lagi mamanya, bisa ratusan juta.”Aku memilih pergi dan tak menanggapi perkataan Doni. Entah sudah berapa lelaki berkata seperti itu padaku. Memang sebutan ‘wanita mahal’ sudah sangat melekat padaku, yang membuatku semakin membenci diriku sendiri. Entah sampai kapan semua ini akan berakhir. Rasa-rasanya aku ingin segera menuntut balas pada orang-orang yang telah menyematkan sebutan ‘wanita mahal’ padaku. Walaupun tak bisa membersihkan namaku, paling tidak aku bisa merasa puas dengan kehancuran mereka.Om Bahri terdiam sambil memeluk buku harian milik almarhum mama, sesekali ia menyeka matanya yang terlihat memerah. Walaupun tak sampai jatuh, tapi aku tahu lelaki paruh baya berwajah garang di hadapanku tengah menangis.“Apa anda menyesal?” tanyaku membuka suara.Om Bahri hanya bergeming, ia kembali membuka buku tersebut dan membacanya sekali lagi. Hingga aku melihat ia membuka halaman terakhir. “Aku sangat menyesal telah mencintaimu begitu dalam. Setelah dua puluh lima tahun sejak kita bertemu, akhirnya aku memutuskan menyerah. Mulai hari ini akan kuhabiskan sisa hidupku untuk mencintai suamiku, manusia paling tulus yang pernah kutemui.” Aku membacakan sebait tulisan di buku harian mama halaman terakhir. Om Bahri memandangku dengan tatapan lembut. Dilihat dari garis wajahnya, ia mungkin umurnya setara dengan Bapak atau mungkin lebih tua. Di usianya yang menjelang senja, Om Bahri seharusnya tengah berbahagia dengan keluarganya. Melihat anak-anaknya menikah dan bermain dengan cucu-c
“Jangan banyak alasan, Om, dengan seolah-olah menjadi orang yang paling tersakiti.” Aku membuang muka memandang hamparan sawah yang mulai menguning.“Kalian sama-sama pengecut!” gumamku.“Kalian?” Om Bahri berbalik memandangku.Aku melemparkan sebuah foto usang berlaminating tebal kepada Om Bahri. Wajahnya seketika menegang dan tangannya gemetar tatkala ia mengambil dan memperhatikan foto itu dengan saksama. Dalam foto tersebut terlihat sepasang remaja berseragam putih abu tengah tersenyum dengan tangan yang bergandengan. Mata sang lelaki melirik pada wanita di sampingnya yang terlihat malu-malu.“Ya, kalian, asal anda tahu, masalah terbesar dalam keluargaku adalah mama tak pernah bisa melupakan cinta pertamanya. Bertahun-tahun menjalani rumah tangga, selama itu pula nama Bahri selalu saja terucap saat mama dan bapak bertengkar.”Mata Om Bahri membulat, wajah tembamnya yang biasanya terlihat garang, kini terlihat menciut. Ia berjalan perlahan menghampiriku yang tengah menatapnya tajam
“Apa maksud kamu bicara seperti itu?” bentak Mas Rafi setibanya kami di dalam kamar. “Aku hanya ingin kalian tahu tentang tujuanku, apa itu salah?”“Apa yang ingin kamu kembalikan seperti semula? Mengapa kami juga boleh memiliki Miko?” kedua tangan Mas Rafi mencengkeram erat bahuku. “I-itu...”“Apa kamu masih berniat pergi?” Mas Rafi menyelidik, kini wajahnya hanya berjarak lima senti tepat di depan wajahku. Bahkan dengan jarak sedekat ini aku bisa mencium jelas bau rokok dari mulutnya.“Ya, tapi tenang saja, aku tak akan membawa Miko. Kalian yang akan menjadi orang tua Miko. Bagaimanapun juga, hidup Miko di sini lebih terjamin, masa depannya lebih jelas,” ucapku lagi.“Apa kamu mulai gila, hah? Kamu pikir pernikahan ini main-main? Mengapa kamu suka sekali mempermainkan hidup seseorang?” Cengkeraman Mas Rafi semakin kuat, bola matanya seakan hendak keluar dari tempatnya. “Aku sadar dengan ucapanku, Mas,” ucapku hampir tak bersuara.“Lalu mengapa tak kau serahkan saja Miko sejak aw
“Bagaimana kamu tahu tentang ...” Om Bahri tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang selalu terlihat garang kini berubah pias.“Aku tahu semuanya, bahkan nama Bahri Susanto sudah tak asing ditelingaku sejak aku kecil.”“Apa yang Riyati ceritakan padamu?” tanya Om Bahri antusias.“Tak ada, hanya saja Mama pernah beberapa kali menyebut nama Bahri Susanto saat berdebat dengan Bapak,” ungkapku.“Kamu pembohong! Sama dengan Riyati yang juga pembohong, dialah yang membuat hidupku hancur hingga saat ini,” ucap Om Bahri tak percaya.“Jika mamaku yang membuat hidup anda hancur? Mengapa aku menanggung akibatnya? Anda pikir untuk apa aku sudi kembali pada keluarga yang telah membuangku?” ucapku lantang. Rasanya sudah tak tahan untuk mengeluarkan rasa sakit yang selama ini terpendam.“Anita!” panggil Mas Rafi yang tengah berjalan cepat ke arahku.Seketika aku terdiam mencoba menetralkan degup jantung yang sedari tadi berdetak tak beraturan. Sebelum terlalu jauh, mungkin sudah saatnya Mas Rafi t
“Nita.” Tubuhku bergetar saat wanita di hadapanku tersenyum dan mengulurkan tangannya.“Ibu cepat sembuh, ya. Maafin Nita baru tengok sekarang.” Kuraih tangan Ibu dan menggenggamnya erat.“Maafin Ibu, Nita. Sejak dulu selalu membuat hidupmu susah,” ucap Ibu dengan suara bergetar.“Enggak, Bu. Nita udah maafin Ibu. Jangan berpikiran macam-macam.”“Terima kasih, Nak.”Akhirnya setelah lebih dari dua minggu aku bisa bertemu dengan Ibu tanpa bertemu orang-orang yang membenciku. Kata Mas Rafi, saat ini adalah jadwal pertemuan keluarga, jadi semua orang sedang berkumpul di salah satu rumah kerabat. Biasanya selain Mas Rafi, Desi atau Mbak Silvi, beberapa saudara Ibu selalu bergantian menjaga Ibu.“Makan dulu, Bu.” Aku mengambil sekotak makanan yang baru saja seorang perawat antarkan.“Lidah Ibu pahit, makanan rumah sakit enggak ada yang enak,” keluh Ibu.“Ini enak loh, Bu.” Aku menunjukkan kotak berisi nasi, sayur, sebutir telur rebus dan sepotong daging pada Ibu.“Masakannya enggak enak.”
"Sejak kapan kalian bermain di belakangku?" cecar Mas Rafi. Wajahnya yang merah padam seolah menunjukkan hatinya yang tengah terbakar."Apa jangan-jangan dia, alasan kamu minta berpisah." Mas Rafi menunjuk wajah Ario.“Kamu salah paham, Mas.” Aku mencoba menenangkan Mas Rafi dan segera menuntunnya ke atas. Aku tak mau perdebatan kami menjadi tontonan para karyawan dan pelanggan.“Santai aja Fi, aku kan Cuma berkunjung,” ucap Ario santai.“Diam kamu! Udah puas bikin suamiku salah paham?” bentakku saat melihat Ario juga ikut kembali naik ke atas.Rasanya ingin sekali aku mencakar wajahnya yang sok kegantengan itu. Aku yakin dia memang sudah malang melintang dalam urusan wanita, buktinya di saat genting seperti ini dia masih bisa bersikap santai seolah hal seperti ini bukanlah masalah besar untuknya.Kuambil segelas air putih dari dispenser di pojok ruangan kemudian menyodorkannya pada Mas Rafi. “Mau lagi?” tawarku saat Mas Rafi telah meminum air dalam gelas dalam sekali tenggak.Mas Ra