Share

Bab 6

Seperti biasa setiap pagi aku akan menyiapkan keperluan Miko dan mengantarnya sekolah terlebih dulu sebelum berangkat kerja. Sebagai Ibu tunggal aku harus bekerja keras untuk memenuhi segala keperluan Miko. Walaupun kadang aku merasa sangat lelah, tapi aku harus bertahan. 

Kadang aku merasa iri setiap aku melihat teman-temanku yang telah menikah. Mereka mempunyai suami yang bisa menafkahi sekaligus menjadi teman untuk berkeluh kesah.

“Mbak, apa Mas Rafi masih sering ke sini?” tanya Ari  sambil mencomot gorengan yang baru saja kuangkat.

“Enggak, Ri! Udah jarang sekarang,” jawabku.

Kebetulan hari ini Ari libur kerja jadi kami bisa sarapan bersama. Bekerja di sebuah pusat perbelanjaan membuat Ari jarang mendapatkan jatah libur.

“Duduk, Mbak! Aku mau ngomong sebentar.”

“Mau ngomong apa?” 

“Sebelumnya aku minta maaf. Apa Mbak Nita masih mengharapkan Mas Rafi?” tanya Ari serius.

“Kenapa kamu tanya begitu?”

“Jangan pernah berpikir untuk kembali, Mbak! Aku enggak mau Mbak kecewa seperti dulu lagi.”

“Aku enggak pernah berpikir untuk kembali pada Mas Rafi.”

“Lalu kenapa Mbak menerima semua pemberian Mas Rafi? Aku juga tahu sekarang Mas Rafi sering menghubungi Mbak,” beber Ari.

“Aku terpaksa, Ri! Soalnya setiap kukembalikan pasti di kirim lagi. Aku berhubungan lewat ponsel juga karena dia janji enggak akan menemui Miko lagi,” jelasku.

“Aku peringatkan ya, Mbak! Jangan pernah mengulangi kesalahan yang sama. Pikirkan berapa besar pengorbanan Bapak buat menerima dan mendukung Mbak sampai saat ini.” 

“Iya, Ri! Mbak tau,” lirihku.

Mendengar kata ‘Bapak’, ingatanku seketika menerawang jauh. Dia adalah satu-satunya orang yang tak pernah menyalahkan atas kejadian yang menimpaku. Dia selalu meyakinkanku bahwa ini hanya sebuah takdir yang harus aku jalani. 

Ditinggalkan Ibu saat Ari berumur 5 tahun, Bapak menjadi sosok orang tua yang lemah lembut tapi sangat tegas. Dia dengan sabar dan telaten mengurus kami serta bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Setelah aku dan Ari dewasa, seharusnya Bapak bisa beristirahat sembari menikmati masa tuanya.

Tapi pada kenyataannya bukanlah kebahagiaan yang ia dapatkan. Aku malah memberikan aib yang sangat mencoreng nama baik Bapak. Tapi bukannya marah, Bapak malah menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yang menimpaku. Bapak merasa dia kurang perhatian hingga aku memilih jalan yang salah. 

Di saat-saat terburukku, Bapak tak henti-hentinya  menasihatiku untuk selalu kuat. Dia juga berpesan jika anak yang aku kandung bukanlah aib namun anugerah dari Tuhan. Benar saja, Bapak adalah satu-satunya orang yang berbahagia saat aku melahirkan Miko. Dia bahkan yang mengurus Miko saat aku masih dalam keadaan kacau.

Aku selalu berpikir untuk mengakhiri hidup saat itu, rasanya tak bisa membayangkan gambaran masa depan yang akan kulalui. Jika saat hamil saja aku sudah menjadi gunjingan orang apalagi kalo anakku sudah lahir. Benar saja setelah Miko lahir, aku menjadi salah satu bahan gosip bak seorang artis. Mungkin tak ada satu pun orang yang tak tahu kisah hidupku. Tapi Bapak selalu memintaku untuk bersabar menghadapi semua ini dan meyakini bahwa semua akan indah pada waktunya.

Sayangnya Bapak tak bisa melihat Miko tumbuh besar. Dia harus berpulang secara mendadak satu tahun yang lalu. Pasti Tuhan tahu Bapak sudah terlalu lelah  dalam hidupnya dan ingin Bapak bahagia di sana.

“Bapak... aku merindukanmu, semoga Bapak sudah bahagia bersama Ibu. Maafkan anakmu ini, Pak!” batinku.

“Miko berangkat dulu ya, Ma! Di antar Om Ari.” 

Ucapan Miko seketika membuyarkan lamunanku. Kulihat Miko sudah rapi dan siap berangkat sekolah. Seperti biasa setiap Ari libur kerja. Pasti dia dengan sigap membantuku mengurus keperluan Miko, termasuk mengantar dan menjemput sekolah.

“Iya, sayang! Miko belajar yang rajin, ya! Mama juga mau berangkat kerja,” ucapku pada Miko sambil mencium kedua pipinya.

“Jangan cium, Ma! Miko udah gede,” protesnya.

Aku hanya tersenyum melihat tingkah Miko.

**

“Makan yuk, Nit!” ajak Vera---teman kerjaku saat jam istirahat tiba.

“Duluan aja, Ver! Aku lagi tanggung, Nih!” jawabku.

Hari Senin adalah hari yang melelahkan untuk seorang karyawan sepertiku. Sebagai bagian administrasi gudang, ada saja perkerjaan yang harus dilakukan dan segera di selesaikan. Seperti sekarang ini, aku hampir melewatkan jam istirahat untuk mengecek barang yang baru saja datang.

“Belum istirahat, Nit?” tanya seseorang yang tiba-tiba merangkulku.

“Belum, Pak!” jawabku sambil melepas tangan Pak Doni---kepala bagian gudang.

“Enggak usah sok jual mahal, Nit! Aku tahu siapa kamu,” sindirnya.

“Maaf ya, Pak! Bersikaplah yang sopan,” tekanku.

“Santai aja, Nit! Kayak sama siapa.”

Doni adalah teman sekolahku. Dulu kami juga sempat dekat karena rumah kami satu jalur dari sekolah. Namun sekarang dia adalah atasanku jadi mau tak mau aku memanggilnya dengan embel-embel ‘Pak’.

“Oh, iya! Cowok yang  kemarin sering nyariin kamu kok udah enggak pernah datang? Dia pasti ayah dari anak kamu, kan?”

“Itu bukan urusan Bapak!” bentakku.

“Udah di kasih berapa lagi kamu sama dia?”

“Maaf ya, Pak! Kalo enggak ada yang penting, silakan Bapak pergi, aku masih banyak kerjaan,” usirku.

“Oke, kalo kamu kekurangan uang bilang aja sama aku. Aku kasih berapa pun asal kamu mau sama aku”

“Maaf ya, Pak! Aku bukan wanita murahan.”

“Oh, iya! Kamu kan wanita mahal. Anak kamu aja harganya lima puluh juta. Apa lagi mamanya, bisa ratusan juta.”

Aku memilih pergi dan tak menanggapi perkataan Doni. Entah sudah berapa lelaki berkata seperti itu padaku. Memang sebutan ‘wanita mahal’ sudah sangat melekat padaku, yang membuatku semakin membenci diriku sendiri. Entah sampai kapan semua ini akan berakhir. 

Rasa-rasanya aku ingin segera menuntut balas pada orang-orang yang telah menyematkan sebutan ‘wanita mahal’ padaku. Walaupun tak bisa membersihkan namaku, paling tidak aku bisa merasa puas dengan kehancuran mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status