Share

Bab 7

“Apa aku masih punya kesempatan, Nit?” tanya Rendi yang saat ini tengah mengunjungi rumahku.

“Aku sudah bilang jangan tanyakan itu lagi,” bentakku.

“Tapi sampai kapan, Nit?”

“Entahlah, Ren!”

Entah mengapa Rendi tiba-tiba berbicara serius seperti itu. Padahal ia mengaku datang ke sini hanya untuk menemui Miko. Tapi Miko malah di ajak teman-temannya main bola di halaman.

Aku dan Rendi adalah sahabat sejak kecil. Hampir setiap hari kami bersekolah dan bermain bersama tentu saja dengan teman-teman yang lain. Tak ada yang spesial di antara kami selain hubungan pertemanan pada umumnya.

Setelah lulus SMA, Rendi memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di kota sebelah. Mulai saat itu hubungan kami semakin renggang. Hanya sesekali bertegur sapa lewat media sosial dan bertemu hanya ia libur atau saat hari raya.

Rendi kembali ke rumah setelah ayahnya meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di sekitar sini agar bisa menemani Ibunya. Mulai saat itu kami mulai sering bertemu. Saat itu aku sedang hamil besar.

Berbeda dengan beberapa temanku yang seolah menjauh setelah tahu kasus yang menimpaku saat itu. Rendi malah menunjukkan sikap peduli padaku. Awalnya kami hanya berhubungan lewat ponsel. Walaupun sangat jarang aku tanggapi, ia tetap saja mengirimiku pesan agar aku semangat menjalani hidup.

Seiring berjalannya waktu, Rendi mulai berani menemuiku secara langsung. Kami semakin sering bertemu saat Miko mulai latihan berjalan, saat itu keadaanku sudah mulai stabil. Aku sudah mau mengajak Miko jika keluar rumah dan mulai berani berinteraksi dengan tetangga sekitar.

Pada satu waktu Rendi mengutarakan niatnya untuk melamarku. Namun langsung kutolak karena takut Rendi tidak akan mau menerima Miko. Namun perkiraanku salah, semakin kesini malah Rendi semakin dekat dengan Miko. Ia bahkan berperan layaknya ayah untuk Miko.

Hingga Rendi sudah beberapa kali melamarku namun tetap saja kutolak. Bayangan kelam masa lalu selalu membuatku takut untuk memulai suatu hubungan serius. 

Aku pernah bicara pada Rendi kalo aku memutuskan untuk tidak menikah. Aku akan menutup hatiku dari siapa pun dan hanya fokus pada Miko. 

“Jangan pernah mengharapkanku, Ren! Carilah wanita baik-baik untuk menjadi pendampingmu. Aku yakin di luar sana pasti banyak wanita menginginkanmu,” lirihku.

“Apa perhatianku selama ini kurang untuk meyakinkan bahwa aku hanya serius sama kamu? Apa aku belum layak menjadi ayah buat Miko?”

“Bukan seperti itu, Ren! Banyak hal yang harus di pikirkan dalam membangun sebuah keluarga,” Jelasku.

“Walaupun aku enggak sebanding dengan Rafi, tapi aku akan berusaha membahagiakan kamu dan Miko.”

“Jangan pernah menyebut nama itu lagi, Ren! Perkataanmu sudah jelas menandakan bahwa masa lalu yang buruk akan selalu melekat padaku. Yang pasti akan menjadi masalah suatu saat nanti.”

“Maaf, Nit!” ucapnya sambil berlalu pergi.

“Maaf, Ren! Kamu terlalu baik untuk aku yang kotor,” batinku.

**

"Ayah...!" teriak Miko.

"Berhenti, Miko!" 

Aku berusaha memegangi Miko yang hendak berlari mengejar seseorang.

Ia menunjuk seorang lelaki yang sedang berjalan bersama seorang wanita di sebuah toko pakaian. Aku dan Miko sedang mengunjungi pusat perbelanjaan untuk membeli keperluan Miko.

"Itu bukan Ayah, Nak!" 

"Dia Ayah Miko, Ma! Dia yang sering datang kerumah kan, Ma? Dia juga pernah kasih Miko mainan di sekolah."

"Mungkin Miko salah liat, Kita beli ayam krispi, yuk?" 

Kuseret Miko agar berhenti mengejar orang itu.

Aku tahu Miko pasti melihat Mas Rafi tadi. Miko memang masih mengira Mas Rafi itu ayahnya. Selain karena sering datang dan selalu mengaku sebagai ayahnya. Ia juga banyak mendengar dari beberapa tetangga yang memberi tahu kalo Mas Rafi adalah ayahnya.

Aku berjalan cepat agar Mas Rafi tidak melihat kami karena akan menjadi masalah jika ia tahu kami juga sedang berada di sini.

"Miko...!" 

Berteriak lagi saat tau Miko melepaskan tanganku dan kembali mengejar Mas Rafi.

Suasana yang cukup ramai membuatku sulit untuk mengejar Miko.

"Ayah...!"

"Hay, sayang! Kamu cari siapa?" sapa wanita itu pada Miko.

Segera aku mendekat dan menggendong Miko.

"Maaf, Bu! Dia mengira Bapak ini Ayahnya," ucapku sopan.

"Oh, iya enggak apa-apa. Kamu namanya siapa, Nak?" tanyanya sembari mengelus rambut Miko.

"Miko, Tante!" jawab Miko .

Mataku beralih melirik lelaki di sebelahnya. Ternyata benar itu Mas Rafi, dan ini pasti istrinya. Kuperhatikan wanita itu yang masih saja bertanya pada Miko. Cantik dan terlihat berkelas, tapi sayang nasibnya buruk karena mempunyai suami seperti Mas Rafi. Kembali kualihkan pandangan ke arah Mas Rafi yang terlihat pura-pura sibuk. Seperti dugaanku, pasti dia pura-pura tak mengenal aku dan Miko di depan istrinya.

Dasat manusia picik! Pasti istrinya tidak tahu kalo sekarang Mas Rafi sering mengunjungi aku dan Miko. Aku juga yakin kalo dia tak tahu kalo Miko adalah anak Mas Rafi

"Memangnya ayahnya Miko dimana, Nak?" tanya wanita itu pada Miko.

"Ayah Miko sudah meninggal, Bu!" jawabku.

Mas Rafi yang sedari tadi menunduk langsung menoleh ke arahku, wajahnya mengekspresikan rasa tidak terima dengan jawabku. 

"Maaf, Bu! Saya tidak bermaksud...” 

“Engga apa-apa, Bu! Kalo begitu kami permisi dulu,” pamitku sambil berjalan meninggalkan Mas Rafi dan istrinya.

“Tunggu, Bu! Bolehkah saya mengajak Miko untuk makan bersama? Dengan Ibu juga maksudnya,” ajaknya.

“Tidak usah repot-repot, Bu! Kami harus segera pulang,” tolakku.

“Kita juga harus segera pulang, sayang! Aku ada pertemuan satu jam lagi,” sahut Mas Rafi.

Aku memutar bola mata malas mendengar perkataan Mas Rafi. Katanya enggak cinta tapi panggilannya ‘sayang’. Dasar buaya!

“Kalo gitu, Mas pulang dulu aja. Aku mau makan sama Miko dulu. Miko mau makan sama tante, kan?” 

“Mau, Tante!” jawab Miko bersemangat. “Makan ayam krispi ya, Tante!” imbuhnya.

“Boleh...” 

“Miko, Omnya lagi sibuk. Miko makan sama mama aja, ya!” Aku mencoba memberi pengertian pada Miko.

“Cuma suami saya yang sibuk, Bu! Kalo saya lagi enggak ada acara. Oh iya kita belum kenalan. Saya Silvi dan ini suami saya Rafi,” ucapnya sambil mengulurkan tangan memperkenalkan diri.

“Saya Anita, Bu!” 

Aku membalas uluran tangan Bu Silvi, kemudian mengulurkan tangan ke arah Mas Rafi. Untuk sesaat pandangan mata kami bertemu. Wajahnya menyiratkan kekesalan padaku. 

“Rafi,” ucapnya, menjabat tanganku singkat.

Entah kebetulan atau memang takdir yang mengatur pertemuan ini. Yang jelas ini akan menjadi langkah pertama untuk melakukan semua rencanaku. 

Saat ini kami tengah duduk di sebuah restoran cepat saji. Akhirnya Mas Rafi juga ikut bersama kami. Mungkin saja dia takut aku bicara macam-macam jika dibiarkan bersama istrinya.

Sembari menunggu makanan yang di pesan, aku dan istri Mas Rafi mengobrol ringan sembari bercanda dengan Miko. Silvi ternyata orangnya sangat supel sehingga kami cepat akrab. Dia juga melarangku memanggil ‘Bu’ karena usia kami memang tak terpaut jauh. Mas Rafi yang duduk tepat di depanku hanya diam sambil memainkan ponsel.

“Makan es krimnya pelan-pelan, Nak!” ucapku pada Miko sambil mengelap lelehan es krim di pipinya. Aku sengaja memesankan Miko es krim terlebih dulu aga ia tidak berbicara macam-macam tentang Rafi.

“Miko, foto sama tante, yuk!” ajak Silvi pada Miko.

Miko mendekat, lalu mereka berfoto dengan beberapa pose. 

“Mas, liat deh! Kalo di perhatikan Miko mirip kamu waktu kecil,” ucap Silvi sambil menunjukkan ponselnya.

Aku yang sedang menikmati minumanku seketika terbatuk mendengar pengakuan Silvi. Aku memandang mereka berdua sembari menahan nafas menunggu jawaban Mas Rafi.

Bisa gagal rencanaku bila semua terbongkar secepat ini.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sandika Milda Wenda
sangat bagus se x kisah nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status