Suara ketukan pintu tak membuatku ingin beranjak dari kasur berbahan kapas randu ini. Perkataan Kang Azzam dan Teh Neneng masih terus terngiang di telingaku, tajamnya kalimat yang keluar dari mulut mereka terasa merobek hatiku satu-satunya.
“Imas?” Suara Bapak terdengar begitu dekat, seharusnya aku mengunci pintu kamar setelah mengambil air wudu untuk salat Magrib tadi.“Jam segini tidur. Sudah salat Isya, kamu?” Sekarang aku bisa menebak kalau Bapak tengah berdiri di samping dipan.“Kata Ibu kamu belum makan.” Mendengar kalimat terakhirnya, sesak di dadaku kembali timbul.Perasaanku benar-benar kacau, mengingat sesuatu yang selalu kami andalkan setiap bulannya hilang begitu saja. Walau hanya sekarung beras, tapi itu sungguh berarti bagi kami semua. Bapak mau pun Ibu tak memiliki sawah seperti kakak dan adiknya, sehingga selama ini kami merasa begitu terbantu dengan adanya bantuan sosial dari pemerintah berupa sembako, terutama makanan pokok.Namun sekarang? Kami benar-benar kehilangannya. Bagaimana perasaan Bapak dan Ibu jika mereka tahu kalau keluarga ini tak lagi menjadi daftar penerima bantuan? Aku tidak tega kalau kedua orang tuaku harus kembali menjadi kuli di sawah milik orang lain. Aku tidak sampai hati melihat mereka menahan panasnya terik matahari.Sementara gajiku sendiri hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Belum lagi untuk jajan Ilham, apa lagi sekarang Bapak sudah berhenti bekerja di kelontong Wa Muslihin. Iya, aku percaya jika Allah tak mungkin membiarkan hamba-Nya kelaparan. Hanya saja pikiranku benar-benar kalut, aku tak sanggup melihat raut wajah kecewa Bapak dan Ibu perihal masalah ini.“Imas? Maneh teh ceurik, nya?” tebak Bapak, aku memang tak bisa menahan isak tangis, kadung nyeri perasaanku akibat perilaku saudara sendiri.“Hapunten Imas, Pak.” Aku memberanikan diri mengangkat kepala, membiarkan Bapak melihat mataku yang basah.“Kunaon? Aya naon?” tanya Bapak seraya mengelus rambutku yang terurai.Aku langsung memeluk Bapak, dan menangis sepuasnya di dalam sana. Bapak sendiri tak lagi bertanya, beliau membiarkanku menumpahkan segalanya sampai sedihku benar-benar mereda.“Aya naon, anaking? Aya nu ngaraheutan manah Imas? (Ada apa, anakku? Ada yang melukai hatimu?)” tanyanya lembut sambil mengusap rambutku kembali.“Apa Bapak akan marah kalau Imas cerita yang sebenarnya?” tanyaku seraya menatap matanya yang teduh, jarak sedekat ini membuatku sadar jika wajah Bapak sudah dipenuhi garis keriput khas orang lanjut usia. “Tidak, jika kamu berada di jalan yang benar, Bapak tidak akan marah, Imas.”Aku menunduk, menghapus air mata walau lagi-lagi keluar dari singgasananya.“Bapak tahu tidak, kenapa bulan ini kita tidak dapat bantuan seperti biasa?” tandasku memberanikan diri untuk menatapnya lagi, Bapak menggeleng, membuat hatiku teriris lagi.“Karena keluarga kita sudah tidak ada di dalam penerima bantuan, Pak.” Di ujung kalimat aku terisak lagi, Bapak tak menjawab, tapi tangannya masih membelai lembut kepalaku.“Kamu tahu dari siapa?” tanyanya pelan.“Kang−maksud Imas, dari Pak Azzam.”“Azzam?” ulangnya, aku mengangguk.Bapak menghela napas, kemudian duduk di ujung dipan.“Hapunten Imas, Pak. Gara-gara Imas, keluarga kita jadi kena imbasnya.” Aku berucap seraya ikut duduk.“Memangnya Azzam bilang karena Imas?” Bapak melirikku, aku menggeleng.“Tidak, Pak Azzam tidak bilang karena Imas, hanya saja Imas berpikir kalau Teh Neneng menyuruh suaminya untuk menghapus keluarga kita dari daftar penerima bansos. Secara, Teh Neneng sangat benci pada Imas,” terangku.“Istigfar, Imas. Kamu sudah berperasangka buruk, perilaku tersebut dibenci Allah dan Rasul.”“Astagfirullah, astagfirullahal’adziim …,” ucapku saat itu juga seraya menyesali apa yang sudah aku pikirkan.“Syukur lah kalau memang itu kenyataannya, jadi Bapak tidak perlu berharap lagi. Mungkin Allah menyuruh kita untuk lebih bekerja keras, Imas.” Bapak menyunggingkan senyumnya, tapi responsnya itu justru membuatku semakin merasa sedih.“Maafkan Imas sekali lagi, Pak.”“Kenapa harus meminta maaf, Imas? Rezeki itu Allah yang atur, bukan kamu. Jangan khawatir kita nggak bisa makan, selagi kita masih bisa berikhtiar, pasti Allah akan memberikan apa yang kita butuhkan. Lagi pula, Bapak masih bisa kuli di sawah-sawah tetangga seperti dulu.”Aku langsung menggeleng mendengar Bapak berkata demikian.“Jangan, Pak. Imas nggak akan ngizinin Bapak atau Ibu kuli lagi. Gaji Imas pasti cukup buat beli beras kok, Pak.”“Tidak, Imas. Kami tidak mungkin selalu mengandalkanmu. Bapak masih punya tenaga, masih sehat. Kamu doakan saja, mudah-mudahan Bapak bisa dapat pekerjaan lebih baik selain serabutan, ya?” ucapnya sembari mengusap ubun-ubunku, sehingga air mata yang tadi sembunyi kini menampakkan diri lagi.“Jangan pernah mengeluh, Imas. Bersyukur lah karena Allah masih memberi kita nikmat kesehatan,” katanya.Benar, selama ini aku sering lupa bersyukur. Nikmatnya banyak harta takkan lah berarti jika Allah tak memberikan manusia nikmat sehat jasmani dan rohani. Aku juga sering lupa, kalau lengkapnya kedua orang tuaku adalah sebuah nikmat yang perlu aku syukuri setiap waktu.“Di sini, geuning. Ibu cari-cari juga.” Tiba-tiba Ibu datang, membuat obrolan kami terjeda.“Ada apa, Bu?” tanyaku.“Itu, Pak RT nyariin Bapak, tetangga baru butuh bantuan katanya.”“Bantuan apa?” Bapak menyahut.“Pompa airnya rusak, minta tolong dibetulin sama Bapak. Pak RT nggak bisa soalnya.”“Oh, ya sudah atuh. Bapak ke sana sekarang.” Dengan penuh semangat Bapak bangkit, namun sebelum melangkah beliau menoleh lagi padaku.“Tuh, Allah mah baik! Hilang satu rezeki, datang lagi rezeki lain. Hayu, ikut! Bapak butuh orang yang pegangin senter!” “Hah?” ucapku merasa jaringan di otakku lambat berfungsi untuk mencerna kalimat terakhir Bapak.*** “Masyaallah, benar kata Pak RT, ternyata Pak Misbah ini pandai botulin pompa air. Beruntung saya belum beli yang baru,” ucap wanita yang baru kulihat wajahnya ini.“Rusaknya tidak terlalu parah, Bu. Jadi saya masih bisa membetulkan.” Bapak menjawab dengan penuh kerendahan hati.“Kalau begitu, mohon diterima ya, Pak. Maaf, tidak banyak.” Wanita berjilbab hitam itu memberikan sebuah amplop cokelat pada tangan Bapak. “Ya Allah, terima kasih banyak, Bu Ayu. Semoga Allah membalas kebaikan Ibu.”“Aamiin. Terima kasih kembali, Pak.”“Kalau begitu kami pamit−““Kak Imas!” pekik suara yang tak asing, sontak kami semua menoleh ke sumber suara.Hatiku mendadak bahagia saat menemukan gadis cantik itu berlari dari arah tangga, sedangkan di belakangnya lelaki bertubuh tinggi berjalan membuntuti. Aku sempat terkejut kala dia memelukku begitu saja, namun dengan cepat aku mengangkat tubuh kecilnya ke pangkuan.“Eh, Syifa. Jangan begitu, Nak!” ucap Bu Ayu nampak tak nak.“Ini Kak Imas, Oma. Kak Imas yang menemani Syifa di Mamih Yuni.” Bu Ayu langsung menatap, aku pun tersenyum seraya mengangguk.“Oh … Nak Imas yang kerja di fotokopi Dek Yuni, ya?” ucapnya seraya menyunggingkan senyuman lebar. “Jadi, Imas ini putrinya Bapak?” tanyanya lagi seraya menatap ayahku. Bapak pun mengangguk.“Masyaallah. Salam kenal ya, Nak. Dari kemarin Syifa nggak berhenti ceritain kamu, katanya pengen ketemu Kak Imas lagi, Kak Imas baik, Kak Imas cantik, terus saja begitu setiap hari. Ternyata memang Kak Imasnya sangat cantik.” Aku merasa tersipu sebenarnya, tapi dengan sekuat tenaga aku mencoba menampilkan sikap sewajarnya di depan mereka.“Kak Imas mau menginap di sini, ya?” tanya Syifa, menggemaskan sekali dia.“Nggak, Sayang. Kakak ke sini antar Bapak Kakak, habis betulin pompa air di rumah Syifa.”“Menginap saja, Kak Imas. Tidur sama Syifa. Please …,” Kami semua langsung tertawa mendengar perkataan anak kecil ini, sungguh dia sangat pintar.“Kak Imas harus pulang, Sayang. Besok Kak Imas harus kerja. Rumah Kak Imas dekat, kok. Syifa bisa main kapan saja kalau Syifa mau, ya?” ucapku seraya membelai rambutnya yang panjang.“Ya sudah, kalau begitu Syifa pindah ke Papa, ya. Kasihan Kak Imas, Syifa ‘kan berat, nanti kalau tangannya sakit, nggak bisa main lagi sama Syifa.” Bu Ayu berujar, Syifa pun mengangguk, kemudian merenggangkan tangan kecilnya ke depan, sehingga lelaki yang sedari tadi tak ikut bicara itu mendekat.Tanpa menatapnya, aku pun menyerahkan Syifa. Entah kenapa rasanya begitu segan, aura lelaki itu sampai membuat mata ini enggan melihatnya.“Oh, ya. Kalau boleh tahu, Pak Misbah kerja di mana?” tanya Bu Ayu lagi, mengundur niatan kami untuk pergi.“Sebelumnya saya bantu-bantu di kelontong milik saudara, Bu. Tapi sekarang sudah berhenti. Jadi kerja di mana saja, serabutan.” Bapak menjawab sambil tersenyum.“Oh, begitu. Emm, tanpa mengurangi rasa hormat, mau tidak Bapak bekerja di rumah saya?”“B-bekerja di sini?” tanya Bapak terdengar gugup.“Hehe, iya. Saya butuh orang yang jaga rumah, sih. Kalau tidak keberatan bisa jadi sopir juga.”“Ya Allah, kalau Ibu mengizinkan, saya tidak menolak. Hanya saja, saya sudah lama tidak menyetir mobil. Dulu waktu muda pernah jadi sopir angkot, tapi tidak lama, jadi kaku sepertinya kalau menyetir lagi.”“Tidak apa, tidak apa. Nanti anak saya bisa mengajarkan Bapak lagi. Jadi, Bapak tidak keberatan bantu saya di sini?”“Masyaallah, terima kasih banyak, Bu. Saya sangat tidak keberatan,” jawab Bapak terdengar penuh haru, sampai aku hampir menitikkan air mata.“Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Pak. Besok, Bapak bisa mulai bantu-bantu saya di sini.”“Baik, Bu Ayu. Hatur nuhun, hatur nuhun.” Bapak menangkupkan kedua tangannya, aku pun menghaturkan terima kasih seraya menahan haru.Mungkin, ini memang balasan dari rasa syukur yang baru saja kami panjatkan. Betapa Maha Baik Engkau, Ya Allah.“Mau ke mana, Bu?” tanyaku saat melihat Ibu berjalan menuju pintu.“Ini, mau mengembalikan rantang milik Mih Enur. Sekalian ngasih singkong.”“Oh. Rantang bekas makanan itu, ya? Biar Imas saja kalau begitu,” ucapku sembari bangkit dari duduk.“Jangan, Mas. Kamu baru pulang, lebih baik kamu makan sana, Ibu sudah buat telur dadar.”“Tidak apa, Bu. Imas belum lapar,” kataku seraya meraih rantang dan singkong mentah dari tangan Ibu.“Benar tidak apa-apa?” tanya Ibu lagi.“Iya, Bu. Lebih baik Ibu di rumah saja, sebentar lagi ‘kan Ilham pulang sekolah diniyah. Nanti suka nyariin kalau Ibu nggak ada.”“Ya sudah, atuh. Terima kasih ya, Sayang.” Ibu mengusap kepalaku yang masih terbalut kerudung berwarna biru tua.Walau sebenarnya aku masih merasa capek, tapi aku lebih tidak tega jika melihat Ibu lelah. Lagi pula, rumah Mih Enur tidak terlalu jauh, aku masih bisa berjalan kaki untuk sampai ke tempat tinggalnya.“Eh, Imas. Masuk, Neng.” Dengan senyuman rumah, wanita yang tengah menyapu halaman
Selepas Magrib, aku diajak Bapak pergi ke rumah Bu Ayu. Katanya ada pekerjaan lain namun akan lebih baik dilakukan oleh perempuan.“Loh, kirain yang ke sini Bu Euis, Pak.” Bu Ayu berujar saat aku sudah berada di dalam dapur mewah miliknya. Dengan cepat aku menyalami wanita yang sangat anggun itu.“Istri saya sedang buat adonan gorengan untuk jualan besok pagi, Bu. Akhirnya saya ajak anak saya saja. Tidak apa-apa ‘kan, Bu?”“Tidak apa-apa, Pak Mis. Tidak apa-apa. Tapi, saya takutnya Imas kecapekan, dia ‘kan baru pulang kerja tadi sore,” katanya seraya menatapku dan Bapak bergantian, senyumannya yang ramah tak pernah berhenti tersungging.“Tidak, Bu. Imas tidak capek, kok. Alhamdulillah,” jawabku sesopan mungkin.“Jadi merepotkan begini ya, saya. Kalau bukan karena Abidzar, saya tidak akan meminta bantuan Imas atau Bu Euis. Tadi sewaktu pulang kerja, Abidzar tiba-tiba bawa udang, katanya mau dimasakin udang asam manis, tapi saya nggak bisa buatnya.” Bu Ayu terkekeh di ujung kalimat, aku
Entah sudah berapa lama aku tidak memainkan ponsel karena tidak memiliki kuota internet, dan hari ini Bu Ayu dengan baiknya memberikan sebuah voucher, katanya imbalan untukku karena sudah mau mengantar Syifa sekolah.Padahal aku melakukannya dengan tulus, yang terpenting aku tidak kehilangan pekerjaan saja. Namun aku sendiri tak bisa menampik rasa bahagia saat menerima hadiah berupa voucher kuota internet yang nominalnya begitu besar, selama hidup aku tak pernah membeli kuota sebesar ini.Beberapa notifikasi masuk, paling banyak adalah dari platform kepenulisan, karena aku memang suka membaca juga iseng menulis cerita berbentuk online jika memiliki kuota. “Siapa, sih?” gumamku seorang diri saat beberapa kali notifikasi masuk dari aplikasi hijau yang digandrungi banyak manusia.Aku tidak memiliki banyak teman, makanya aku jarang membuka aplikasi tersebut. Paling-paling hanya mengecek grup alumni dan selalu setia menjadi silent reader. Tapi notifikasi yang terus menerus membanjiri pon
Sembari menatap langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman bambu, aku tak berhenti memikirkan perkataan Bu Ayu tadi pagi.Apa wanita baik itu tengah bercanda? Kenapa dia menyebutku sebagai calon dari pendamping Pak Abidzar? Tidak mungkin sosok terpandang yang nyaris sempurna seperti anak lelakinya itu bersanding dengan wanita sepertiku.Sungguh, aku tak bisa berhenti memikirkannya. Aku sendiri belum sempat bertemu kembali dengan Bu Ayu karena sepulang dari sekolah Syifa, aku langsung ke tempat fotocopy Bu Yuni untuk bekerja.“Kak Imas, mau pizza, tidak?” Lamunanku langsung buyar tatkala suara Ilham masuk ke dalam telinga.“Pizza apa, Ham?” tanyaku sambil bangkit.Anak lelaki itu tak menjawab, dia malah masuk ke kamar dan menarik tanganku dengan segera, lalu membawa diri ini berjalan melewati ruangan tamu sekaligus ruang televisi tanpa sekat.Setelah berada di dapur, Ilham melepas tanganku, dia langsung duduk di dekat Bapak dan Ibu yang sibuk menata makanan dari dalam kardus.“Ayo,
Rasanya seperti mimpi, sebuah undangan cantik berwarna hijau sage berada di genggaman tangan ini. Senyumku terukir bersamaan dengan air mata yang beberapa kali menetes membasahi pipi. Perasaanku semakin campur aduk, tatkala melihat namaku terpampang dengan nyata di sampul kertas indah ini.“Ini undangannya kenapa bagus pisan, ya, Imas. Kamu yang pilih?” tanya Ibu sembari memutar-mutar undangan.“Iya, Bu. Waktu itu Bu Ayu kasih beberapa pilihan, semuanya bagus-bagus. Imas pilih yang ini karena terlihat paling sederhana di antara yang lain.”“Yang begini, paling sederhana?” Ibu menatapku seperti tak percaya, aku mengangguk.“Ini bahkan tiga kali lipat bagusnya dari undangan pernikahan Tetehmu waktu itu,” tandasnya lagi dengan mata kembali memandang selebaran undangan.“Jangan membandingkan begitu, Bu.” Aku mengingatkan.“Iya, Imas. Bukan niat Ibu mau membandingkan, tapi nggak menyangka saja, kalau anak Ibu bakalan punya suami dari keluarga yang … aduh, Gusti.” Ibu tak melanjutkan perkat
Untuk kali pertama, aku melihat seorang lelaki gagah itu menginjakkan kakinya ke atas lantai rumahku yang terbuat dari anyaman bambu. Tak bisa kubendung perasaan berdebar yang menguasai kalbu, rasanya masih tak percaya jika detik ini aku sudah resmi menyandang gelar sebagai seorang istri.Dari sudut mata, aku bisa melihat Pak Abidzar tengah kebingungan. Mungkin dia ragu harus bersikap bagaimana, atau mendudukkan tubuhnya di mana. Sementara di kamarku ini, tak ada kursi atau benda lain yang bisa disinggahi selain ranjang usang ini.“Silakan duduk, Pak.” Aku mempersilakan seraya beranjak dari ranjang.“Tidak apa-apa, terima kasih.” Dia menyahut, membuatku semakin merasa kikuk.“Duduk saja, Pak. Saya mau ke depan dulu, Bapak istirahat saja.” Aku mencoba meyakinkannya, berharap dia bisa menyingkirkan rasa risi atau sungkan yang tengah melanda.Pak Abidzar tak bersuara, tapi kini melangkah mendekati ranjang yang penuh dengan taburan bunga.“Saya keluar dulu ya, Pak. Mau saya ambilkan minum
Azzam POV Tak bisa aku menahan senyuman bahagia tatkala berbalas pesan dengan Imas, wanita yang sudah lama kukagumi.Beberapa tahun lalu, tepatnya sejak aku menjadi panitia MOS untuk anak-anak yang baru masuk ke Madrasah Aliyah, aku melihat Imas memakai topi berwarna biru tua, terbuat dari bola plastik yang dibelah, dimana itu semua adalah sebuah syarat bagi para calon siswa-siswi sekolah kami.Parasnya begitu menawan hati, matanya bulat menyejukkan, hidungnya tinggi, kulitnya kuning langsat, perawakannya tinggi namun tidak berlebihan. Namun, saat itu aku tak bisa mengetahui namanya karena name tag yang dia pakai terbalik.Sayangnya, saat Masa Orientasi Siswa berlanjut, aku hanya bisa hadir dua kali saja karena terserang demam berdarah dan diharuskan dirawat serta istirahat total. Lantas kembali masuk setelah masa pembelajaran di sekolah aktif kembali, dan tentu masa-masa MOS sudah berakhir.Sekilas memang aku melihat seorang Imas, tapi bayang-bayangnya selalui hadir di dalam mimpiku
Terhenyak hati ini saat mendapati Imas berada di tempat kerjaku. Mau apa dia? Apa mungkin berita perihal pernikahanku dengan Neneng sudah terdengar olehnya?Ternyata benar, tanpa basa-basi, dia menanyakan kebenaran hal itu padaku. Jujur saja, aku merasa iba, tapi mau bagaimana lagi? Perasaanku pada Neneng kian menggebu setiap harinya, bahkan munculnya Imas di hadapanku sekarang ini, membuatku tambah yakin, jika aku memang sudah jatuh cinta pada Neneng.Entah kenapa aku baru sadar, jika Imas tak secantik yang kukira. Pagi ini dia kelihatan kusam, tak menyenangkan seperti biasanya. Jauh sekali dengan Neneng di malam hari itu yang auranya sungguh menawan hati,Kecantikan Imas ibarat gunung yang menjulang tinggi. Indah bila dipandang dari kejauhan, namun tak seindah yang dibayangkan jika dilihat dari jarak dekat. Sementara selama ini, aku selalu melihat Imas dari jarak jauh.Berbeda dengan Neneng, wajahnya kalem tapi menggemaskan, lebih tepatnya tidak membosankan. Apa lagi tahi lalat di a