Share

Permintaan Azzam

Belum sempat aku menjawab, Nenek sudah mengambil gulungan kertas yang berada di genggamanku.

“Ini dia uang yang aku cari-cari,” ucapnya setelah bend aitu berpindah tangan.

“Kamu nemuin di mana?” tanya Nenek.

“Dari bantal ini, Nek.” Seraya menunjuk benda empuk itu aku menjawab.

“Tadi kamu mau buka, ya? Ngapain?” tanyanya lagi seolah mengintimidasi.

“Enggak, Nek. Imas hanya penasaran, soalnya bentuknya aneh.” Aku menjawab lagi dengan jujur.

“Aneh bagaimana? Jangan bilang kamu mau ambil uang ini, ya?”

“Ya Allah, Nenek bicara apa, atuh? Imas kira itu bukan uang, makanya Imas mau buka. Takutnya ada yang jahil atau apa sama Nenek, habis bentukannya mirip benda milik orang-orang pintar,”

“Orang pintar bagaimana maksud kamu, Imas?” 

“Iya, mirip orang-orang pintar di televisi yang suka main dukun atau punya ajian. Pasti mereka suka punya benda semacam ini.”

“Sepertinya kamu terlalu banyak nonton sinetron, Imas. Sudah, lebih baik kamu selesaikan pekerjaanmu!” titahnya dengan tegas, kemudian berlalu begitu saja sambil membawa benda yang kutemukan barusan.

*** 

“Ayo, Imas. Keburu tamunya datang.”

“Apa harus, Bu?” tanyaku seraya menatap dalam kedua netra Ibu. 

“Tidak perlu ke sana, Euis. Lagi pula buat apa?” Bapak menyahut sembari menekan remot televisi beberapa kali agar siaran di dalam layar tersebut bisa beralih.

“Jangan begitu, Pak. Tadi siang Ibu sudah mewanti-wanti kalau kita harus datang ke sana untuk menyambut pihak keluarga besar Kang Azzam.”

“Ya untuk apa? Paling kamu nanti disuruh cuci piring, dan aku diperintah membuat tusuk sate, atau membelah kelapa-kelapa muda,” tandas Bapak dengan mata yang masih menatap televisi tabung di depan sana.

Semenjak Kang Azzam menikah dengan Teh Neneng, sedikit demi sedikit Bapak menjauh dari keluarga Nenek. Mungkin Bapak memang sangat kecewa, sampai-sampai beliau berhenti bekerja di kelontong milik Uwa Muslihin.

“Pak, itu memang sudah menjadi kewajiban kita sebagai anak Ibu. Membantu orang tua selagi kita mampu, berbakti pada Ibu yang sudah melahirkan kita, Pak. Jangan seperti ini, Pak. Mumpung Ibu masih ada di dunia ini, sudah selayaknya kita membalas budi.” Mendengar ucapan Ibu, aku hanya bisa menghela napas sembari melayangkan pandangan pada layar televisi.

Hati Ibu begitu mulia, sudah terlalu sering dia diperlakukan semena-mena oleh mertuanya sendiri, tapi Ibu tak pernah dendam. Seharusnya Nenek bersyukur memiliki menantu berhati tulus seperti istri Bapak ini.

“Ya sudah, kamu ke sana saja bersama Imas, biar aku di sini dengan Ilham. Tapi, awas! Jangan mau disuruh cuci piring satu biji pun, Is. Setelah acara selesai, langsung pulang.” Bapak memperingatkan, kulihat Ibu mengangguk.

“Ayo, Imas.” Ibu kembali mengajak, mau tidak mau aku menurut, tidak baik juga jika harus membiarkan Ibu pergi sendiri, takutnya nanti jadi bahan gunjingan manusia-manusia di sana.

“Sepertinya sudah pada datang, Bu.” Aku berbisik saat melihat beberapa kendaraan dan sandal terparkir di depan rumah Nenek, akhirnya kami putar balik menuju pintu dapur dan masuk dari arah sana.

Benar saja, ruang tamu Nenek yang begitu luas sudah dipenuhi banyak manusia. Mulai dari kalangan muda sampai tua, lengkap sekali.

Seperti biasa, setelah membantu menyuguhkan makanan, aku selalu duduk di paling ujung, dekat lemari hias, tepatnya di depan kipas angin yang berdiri dengan kepala berputar ke sana-sini.

“Mohon maaf ini teh seadanya.” Suara Wa Muslihin menyapa para tamu dengan begitu ramah.

“Sudah lebih dari cukup, Bapak. Justru kami minta maaf sudah merepotkan, datang malam-malam pula.” Lelaki yang wajahnya mirip dengan Pak Suryana alias ayah dari Kang Azzam menyahut.

“Tidak merepotkan sama sekali, Bapak. Kami sangat merasa bahagia, ngaraos diangken (merasa diakui) oleh keluarga sebesar ini.”

“Sudah seharusnya seperti itu, Pak. Sekali lagi kami minta maaf tidak bisa hadir ke pernikahan Azzam dan Neneng, kebanyakan saudara-saudari kami memiliki jadwal dan acara yang tidak bisa ditinggalkan waktu itu. Alhamdulillah, hari ini kami semua mempunyai waktu luang, sehingga bisa silaturrahmi ke sini,” jelasnya.

Perbincangan hangat di antara dua keluarga ini terus berlangsung, sementara aku hanya bisa mendengarkan sembari memainkan kuku jemari. Sejenak aku melirik Ibu, aku tersenyum tipis tatkala melihatnya ikut berbincang dengan beberapa kerabat yang hadir. Setidaknya, Ibu tidak kesepian.

“Bagaimana atuh, Zam. Sudah dapat kabar gembira, belum?” tanya seorang wanita yang sepertinya sebaya dengan Wa Muniroh.

“Kabar gembira apa, Wa?”

“Ini, loh …,” jawabnya seraya memajukan perut dan mengusap bagian tubuhnya itu, hingga semua orang di sana tertawa melihat tingkahnya.

“Doanya saja, Wa.” Kang Azzam menyahut sambil tersenyum. Ya Allah, ternyata senyumannya masih sama seperti saat dia melamarku waktu itu.

“Kami sedang ikut program, Wa.” Teh Neneng menimpali, mendengarnya aku hanya bisa menunduk. Ada sedikit rasa ngilu di sudut hati ini.

“Alhamdulillah. Semoga diberi kemudahan ya.” Kang Azzam dan Teh Neneng pun mengaminkan, diikuti dengan yang lain, termasuk aku.

“Eh, maaf. Neng di pojok itu siapa namanya, ya?” Sontak aku mendongak, ternyata wanita itu tengah menatapku, sama halnya dengan tamu-tamu lain. Mendadak aku gelagapan.

“Keponakan saya, Bu. Namanya, Imas.” Wa Muslihin menjawab sambil tersenyum.

“Oh … iya. Keluarga Bapak mah cantik-cantik, ya. Lihat saja Neng Imas itu, walau duduk di paling pojok, tapi paras indahnya tidak tenggelam. Saya sedari tadi salah fokus malah,” ujarnya membuatku menarik sudut bibir walau ragu.

“Alhamdulillah, Bu.” Wa Muslihin menjawab lagi.

“Sini atuh duduknya, Neng geulis. Jangan di sudut begitu, sapertos teu diaku wae (seperti tidak diakui saja).” Aku hanya mengangguk sopan mendengar perkataannya.

“Sudah menikah keponakannya, Pak?” tanya lelaki yang wajahnya mirip Pak Suryan aitu.

“Belum, Pak.”

“Wah … sepertinya cocok buat kamu, Gus.” Seraya menepuk pemuda di sampingnya beliau berujar.

“Iya, Pak. Buat anak bungsu saya saja atuh, ya. Agus.” Sekarang aku menebak, jika kedua orang yang sedari tadi aktif berbicara itu adalah sepasang suami istri, dan pemuda di samping lelaki paruh baya tersebut adalah anaknya.

“Masyaallah. Boleh bicara langsung dengan yang bersangkutan ya, Pak. Itu, ada Ibunya juga,” Wa Muslihin menjawab sambil menunjuk Ibu dengan ibu jarinya.

“Nanti kita bicara di belakang ya, Bu.” Wanita itu berujar pada Ibu sambil terkekeh, sedangkan aku hanya bisa tersenyum tipis, bingung harus bersikap bagaimana sebenarnya.

Tanpa sengaja, mataku beradu dengan kedua netra Kang Azzam, namun lelaki berkaus merah hati itu malah membuang muka dengan cepat.

Aku pun menarik tatapanku darinya, setitik rasa sedih kembali muncul pada kalbu. Aku tidak tahu perasaan apa yang bersarang di dalam jiwa ini, yang jelas, aku tidak tertarik pada siapa pun setelah merasa begitu kecewa pada makhluk ciptaanNya.

*** 

“Bu, berasnya mana? Bapak dikasih kendi baru nih sama Mang Leman.”

“Beras naon, Pak?” tanya Ibu seraya mendongak, aku yang tengah membuat adonan bala-bala jadi ikut menatap Bapak.

“Beras dari desa, Bu. Ini ‘kan sudah tanggal tiga, Mang Leman sama Pak Ali saja sudah pada nerima bansos.” 

Ibu bergeming, bahkan sekarang kami saling tatap.

“Oh, iya. Ibu sendiri baru ingat kalau sekarang tanggal tiga. Tapi belum ada yang datang ke sini, Pak. Iya ‘kan, Imas?” ucap Ibu, aku pun mengiyakan dengan anggukan.

“Loh, kok, aneh? Biasanya ‘kan barengan sama yang lain. Sudah sore pula, masa iya telat?” imbuh Bapak seraya melepas topi, lalu menggaruk kepalanya dengan raut wajah bingung.

“Biar Imas tanyakan pada yang lain ya, Pak. Mungkin saja ada yang telat juga sama seperti kita.” Sambil bangkit aku berkata, Bapak hanya mengangguk pelan, sementara Ibu kembali sibuk dengan adonan.

Selepas mencuci tangan, aku bergegas meninggalkan rumah dan berjalan menuju tempat tinggal Bu Koyah, seorang janda yang belum lama ini ditinggal suaminya. Menurut pengakuan Kang Azzam saat itu, Bu Koyah menjadi salah satu penerima bantuan di bulan ini.

“Eh, Neng Imas. Waalaikumussalam. Ka lebet, Neng,” ucapnya menyuruhku masuk, namun aku menolak dengan halus dan memilih berdiri di terasnya yang mungil.

“Maaf, Bu. Imas mau tanya, maaf juga kalau kurang sopan. Apa bulan ini Ibu menerima bantuan?”

“Bantuan? Bantuan apa ya, Neng?” 

“Bantuan sosial, Bu. Biasanya berupa sembako, buah-buahan dan makanan lainnya.”

“Oh …,” ucapnya lalu tersenyum dengan cepat.

“Iya, Neng. Alhamdulillah bulan ini dapat, tadi pagi sudah dikasih sama menantunya Emus.” Sejenak aku terdiam. Sejak tadi pagi? Tapi kenapa keluargaku belum menerimanya?

“Alhamdulillah kalau begitu, Bu.” Aku ikut tersenyum.

“Kenapa memangnya, Neng?” Giliran Bu Koyah yang bertanya sekarang.

“Hehe, enggak, Bu. Hanya memastikan saja, takutnya Ibu nggak dapat bantuan. Kalau nggak dapat, nanti Imas bisa merekomendasikan,” ucapku berdusta. Ibu Koyah pun mengangguk-angguk, bahkan mengucapkan terima kasih sebelum aku pergi.

Dengan hati penuh tanya, aku pun putar balik dan berniat pergi ke kediaman Kang Azzam. Aku harus menanyakan hal ini padanya.

Sebenarnya aku tidak ingin bertemu dengan lelaki itu, tapi mau bagaimana lagi? Ini semua menyangkut keluargaku, menyangkut hak kami sebagai masyarakat yang seharusnya menerima bantuan. 

Setelah mengumpulkan keberanian, aku pun mulai mengetuk pintu dua muka itu seraya mengucap salam berkali-kali.

Aku sedikit terhenyak kala mendapati Teh Neneng membuka pintu. Seperti biasa, wajahnya selalu berubah masam jika tengah berhadapan dengan sepupunya ini.

“Imas? Mau apa, kamu?” tanyanya ketus.

“Maaf, Teh. Kang Azzamnya ada?” Raut wajah Teh Neneng berubah seperti orang bingung.

“Ngapain nyari-nyari suami orang?” tanyanya terdengar menohok.

“Ada perlu, Teh. Soal bansos,” jawabku apa adanya.

“Bansos, bansos! Bicara saja kalau kamu teh mau godain suami orang!” Mendengar perkataannya, aku hanya bisa menghela napas seraya memupuk kesabaran.

“Imas benar-benar mau nanyain soal bansos sama suami Teteh, kalau pun nggak karena itu, Imas malas ke sini!” Teh Neneng tak menjawab, dia memutar tubuh lalu berjalan kembali ke dalam.

Tak lama, dia datang kembali bersama suami kesayangannya itu.

“Tuh, orangnya!” cetus Teh Neneng pada Kang Azzam, kemudian melipat kedua tangan sembari memasang wajah tak suka.

“Ada apa, Imas?” tanya Kang Azzam, sebisa mungkin aku menyingkirkan bayangan masa lalu kala menatap lelaki berwajah manis di hadapan ini.

“Maaf, Kang. Imas mengganggu. Imas mau tanya, keluarga Imas kenapa belum dapat sembako, ya? Biasanya ‘kan bantuan datang serentak dengan tetangga yang dapat bantuan juga.”

“Oh … begitu rupanya.” Teh Neneng malah menyahut, sedangkan Kang Azzam diam membisu.

“Memangnya kamu belum tahu, Imas? Keluarga kamu ‘kan udah nggak ada di dalam daftar penerima bantuan,” lanjutnya membuat mulutku refleks terbuka.

“K-kenapa begitu?” tanyaku tergagap karena ragu dengan perkataannya.

“Dari pusatnya kali, iya ‘kan, Kang?” Teh Neneng menatap suaminya, membuatku ikut memandang seraya menunggu jawaban.

“Betul, Imas. Keluargamu tidak ada di dalam daftar penerima,” ucapnya membuatku melongo, lalu seketika terkekeh hanya karena merasa begitu aneh.

“Tidak mungkin. Tidak mungkin keluargaku tidak ada di dalam daftar, Kang. Kalau pun iya, kenapa bisa begitu? Apa keluarga kami sudah termasuk golongan berpunya seperti kalian?” tanyaku menahan emosi.

“Duh, Imas … Imas. Sampai segitunya ngemis bantuan. Memangnya nggak malu, apa?” Teh Neneng berujar dengan nada penuh penghinaan.

“Iya, aku tidak malu karena memang tengah menuntut hakku, Teh! Aku bukan keluarga yang memiliki banyak sawah dan kekayaan lain seperti kalian! Aku tidak akan pernah malu menuntut sebuah kebenaran!” ucapku lantang karena sudah tak bisa menahan kesal.

“Atau, jangan-jangan Teh Neneng sengaja menyuruh Kang Azzam untuk menghapus keluargaku dari daftar penerima bantuan?” tebakku membuatnya menatap dengan tajam.

“Jaga mulut maneh, Imas!” hardiknya seraya menunjuk wajahku.

“Tapi memang betul seperti itu, ‘kan, Teh?” tanyaku lagi sambil tersenyum miris.

“Pantas saja kamu dan keluarga kamu miskin, Imas. Kalian itu tidak pernah mau berusaha dan hanya mengandalkan bantuan saja. Kamu dan keluargamu itu hanya beban! Beban masyarakat, beban negara, beban dunia!” cemoohnya membuat perasaanku semakin meradang.

“Keterlaluan kamu, Teh−“

“Cukup, Imas!” bentak Kang Azzam membuat kalimatku terputus begitu saja.

“Jangan buat keributan di rumah orang. Kamu sendiri sudah tahu jawabannya, bukan?” lanjutnya dengan mata membulat, sampai-sampai kerongkonganku terasa tercekat.

“Silakan pulang, Imas. Satu lagi, jangan panggil saya dengan sebutan Akang, karena panggilan itu hanya dikhususkan untuk istriku seorang. Mengerti?” katanya lagi dengan penuh penekanan.

Seraya menahan kenyerian aku tersenyum.

“Baik, Bapak Azzam yang terhormat! Tapi satu hal yang harus Bapak dan istri Bapak ingat, haram hukumnya memakan hak milik orang lain, apa lagi orang miskin seperti kami,” lirihku seraya menatapnya penuh kecewa, lalu pergi dengan perasaan penuh luka.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ariny arni
Kena guna² kayaknya si Azam nih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status