##BAB 3 Minta Uang
Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sempat tertunda kemarin, aku berpamitan pada karyawan untuk pulang.
Aku mempercayakan butik pada Keysa, gadis berusia dua tahun dibawahku ini sudah menjadi kanan tanganku semenjak beberapa tahun yang lalu. Karena reward yang sering ia dapatkan setiap bulan dengan notabene karyawan teladan, serta sikap loyalnya pada butik yang aku pimpin, membuatku tak segan menjadikannya orang kepercayaan.
Keysa sudah berumah tangga, namun hingga sekarang belum dikarunia momongan. Suaminya yang seorang abdi negara, sering bertugas dan jarang pulang ke rumah, kadang untuk menikmati liburan cuti pun hanya beberapa hari sebelum akhirnya kembali lagi untuk bertugas. Hal itulah yang membuatnya bekerja di butik ini sebagai staf administrasi. Awalnya hanya iseng untuk mengisi waktu luang. Namun lama kelamaan ia merasa betah dan nyaman di butik, sehingga menempati bukti sebagai rumah keduanya. Sikap setia kawannya patut diacungi jempol, bekerja dengan loyalitas tanpa batas. Ah ... mungkin saja karena kurangnya intensitas waktu bertemu, mereka belum juga dipercaya untuk mempunyai anak. Atau kemungkinan lain, yang pasti semuanya sudah pasti atau kehendak dan rencana Allah SWT.
“Key, aku duluan, ya. Untuk susunan acara launching produk baru bulan depan juga sudah oke, tapi nanti tolong pastiin semuanya berjalan lancar, ya. Jangan lupa berikan mereka bonus lemburan, jika dirasa perlu!” pamitku saat berpapasan dengan Keysa di koridor utama.
“Siap, Bu Nayla. Nanti saya koordinir lagi sama team. Hati-hati, ya, Bu,” ujarnya sambil mengangguk sopan, tak lupa dengan menampilkan lesung pipitnya ketika tersenyum.
Aku mengendarai mobil dengan kecepatan rendah, jalanan sore ini terlihat padat. Harus sabar dan mengalah jika ingin selamat sampa tujuan. Ya memang beginilah risiko tinggal di kota besar, apalagi dengan julukan ibukota. Sudah bisa dipastikan bagaimana kemacetan yang terjadi di saat sore hari jam pulang kantor bukan?
Sesampainya di rumah, kulihat mobil Fortuner berwarna putih milik Mas Frengky juga sudah terparkir di garasi.
Ah ... rupanya suamiku sudah pulang.
Sengaja aku memarkirkan mobil di luar, tanpa suara dan mengucapkan salam dengan suara lirih, aku hanya ingin memastikan, apa yang sedang terjadi di dalam. Benarkah mereka ada sesuatu seperti yang ada dalam pikiranku?
Sesampainya di ruang tamu, terlihat sepi. Aku melangkahkan kaki menuju ke dapur, sepi juga. Tak terlihat batang hidung Mas Frengky, Rosa maupun Cahaya.
Ke mana mereka?
Kubuka pintu kamarku, tak ada siapa-siapa. Begitu juga dengan kamar Cahaya. Dadaku mulai berdebar-debar, jantung pun ikut berdetak beberapa kali dari biasanya. Aku menaiki anak tangga tanpa suara, mengendap-endap seperti pencuri, kupercepat kakiku menuju ke lantai dua, apa mungkin mereka berada di sana?
Di lantai dua hanya berisi 2 kamar tamu, dapur, dan juga kebun yang sedikit luas berisi koleksi tanaman hiasku. Di sebelahnya juga ada kolam ikan dengan ukuran sedang, sengaja aku membuat space khusus di lantai dua untuk wahana bermain putriku.
Mungkin saja Mas Frengky dan Cahaya berada di sana, atau dengan ditemani Rosa?
Pikiranku berkecamuk, emosi di dalam jiwa sudah naik ke ubun-ubun. Napasku pun semakin tak karuan, naik turun seperti habis maraton. Kubuka pintu dapur yang terhubung dengan taman belakang. Benar saja, di sana ada Mas Frengky yang sedang asyik menemani Keysa bermain pasir warna. Sedangkan di sebelahnya, ada Rosa yang tampak serius menyiram tanaman hias milikku, jika dilihat, mereka sudah tampak serasi sebagai figur keluarga yang sempurna dan bahagia.
Entah kenapa, melihat kerukunan mereka membuat hatiku nyeri. Memang pemandangan tersebut merupakan hal yang biasa jika dilihat sekilas. Namun saat diperhatikan, diamati dan ditatap dengan seksama, mereka cocok sebagai potret keluarga cemara.
Aku masih asyik dengan pikiranku hingga panggilan Cahaya membuatku tersadar.
“Bunda sudah pulang? Kok diem di sana, ayo, sini, main sama Cahaya sama Ayah!” kata Cahaya membuat Mas Frengky dan Rosa melihatku berbarengan.
Bisa kuamati dengan jelas, perubahan wajah yang terjadi pada Rosa, sedangkan Mas Frengky nampak biasa saja.
Lelaki yang sudah menjadi suamiku selama 7 tahun tersebut, hanya mengangguk sambil tersenyum. Aku tak melewatkan kesempatan ini, segera kuseret kakiku menghampiri mereka. Dengan wajah yang kubuat bahagia dan senyuman terbaik, kuelus lembut rambut Cahaya dan kucium sekilas pipi Mas Frengky.
Kulirik sekilas wajah Rosa yang memerah dan berusaha memalingkan muka. Kenapa dia bersikap seperti itu? Bukankah wajar jika aku bersikap manja dan lembut kepada anak serta suamiku? Rosa langsung menghentikan aktivitasnya, ia menggulung selang dan merapikan ke tempat semula. Tanpa pamit, ia beranjak pergi dan turun ke bawah. Aku yang memperhatikan hanya diam tanpa menegur atau menyapanya.
Jujur saja aku masih kesal atas sikapnya tadi pagi. Dan lihat saja barusan, penampilannya bak montir seksi yang mencuci mobil di iklan tv yang sering kulihat. Kaus singlet berwarna hitam, celana kain pendek berwarna senada dan rambut yang dibiarkan terurai, aku juga bisa melihat tadi sebagian baju dan rambutnya sedikit basah. Apa dia sengaja memancing Mas Frengky?
Hanya menyiram tanaman hias, apa bisa membuatnya hampir kuyup seperti disemprot selang pemadam kebakaran?
Aish ... makin lama makin ada-ada saja tuh sikap asisten. Aku bergabung bersama Cahaya dan Mas Frengky. Baru saja duduk, suamiku sudah berpamitan dengan dalih mau mandi dan menunaikan salat.
“Cahaya gantian, ya, main sama Bunda. Ayah mau mandi dulu sebentar, terus kita salat Maghrib bersama, ya?” ujarnya pada bocah yang masih asyik membangun istana menggunakan pasir.
“Iya, Yah!” Cahaya hanya mengangguk tanpa menatap ayahnya.
“Kenapa buru-buru, Mas? Ini ‘kan masih jam 4. Adzan Maghrib masih beberapa jam lagi ‘kan?” tanyaku dengan mata memicing.
“Mau bebersih dulu, Bun, gerah banget. Tadi sepulang dari Resto, aku mau langsung mandi, tapi Cahaya ngajak main, jadi deh batal mandi!” ujar Mas Frengky sambil terkekeh.
“Oke, deh. Sekalian bilang ke Rosa, ya. Nggak usah siapin makan malam. Aku pengen kita dinner di luar malam ini, lama nggak menikmati quality time ‘kan?” ujarku dengan lembut.
“Siap!” jawab Mas Frengky sembari mengacungkan kedua jempol. Lalu berjalan menjauh dari kami.
Ah ... kenapa suamiku ini bersikap biasa saja, ya? Tidak ada satupun sikapnya yang menunjukkan dia telah mengkhianatiku, atau mungkin bermain serong dengan asisten di rumah ini. Semua sikapnya masih wajar dan perhatiannya pun tak kurang atau lebih, masih sama seperti tahun-tahun berikutnya. Apa aku salah mengartikan celotehan Cahaya tempo lalu? Ah ... memikirkan hal yang belum pasti memang kerap membuat diri ini hampir gila. Aku mendesah panjang.
“Bunda kenapa, capek, ya, nemenin Cahaya main?” tanya Cahaya dengan tatapan polosnya.
“Nggak lah, Sayang. Bunda Cuma meregangkan otot,” sahutku sembari tersenyum.
“Cahaya ... udahan, yuk, mainnya. Kita mandi, terus pake baju bagus. Ayah sama Bunda mau ajak Cahaya main dan makan di luar, mau nggak?” tawarku pada bocah berpipi gembul tersebut.
“Mau, dong! Tapi Tante Rosa diajak juga, ya?” tanyanya.
Hampir saja aku terjatuh karena pertanyaan spontan yang meluncur dari bibir putriku, membuatku hampir kehilangan keseimbangan.
“Nggak, Sayang. Ini spesial, Cuma keluarga,” jawabku sembari meraih tangannya.
“Loh, ‘kan Tante Rosa juga keluarga kita Bunda?” tanyanya sambil mendongak, mencari jawaban melalui mataku.
“Kata siapa?” Dahulu mengernyit.
“Kata Bunda, kata Ayah juga. Kan bilang kalau Tante Rosa sudah dianggap sebagai keluarga juga. Kata Ayah kasihan Tante Rosa di sini sudah nggak punya siapa-siapa lagi. Jadi Cahaya, Bunda dan Ayah harus bersikap baik jadi keluarga buat Tante Rosa,” seru Cahaya dengan binar bahagia.
“Oh, iya. Tapi kali ini Bunda pengen bertiga aja, ya. Cuma ada Bunda, Ayah dan Cahaya,” ujarku memberi pengertian.
Cahaya hanya mengangguk, lalu tersenyum.
Untunglah anakku tak banyak bertanya lagu, beruntungnya juga dia tipe gadis penurut yang mau mengerti perkataan orang tuanya.
Setelah menyerahkan Cahaya untuk dimandikan dan dilayani oleh Rosa, aku bergegas masuk ke dalam kamar untuk mandi dan berganti pakaian. Mas Frengky sedang sibuk memilih pakaian di dalam lemari. Ia mengenakan celana chinos pendek dan kaos berwarna hitam. Sangat pas dengan tubuh atletisnya, semakin membuatnya terlihat tampan dan jauh lebih muda dari usia sebenarnya.
“Bunda ngajak makan-makan lagi banyak uang, ya? Kenapa kita nggak makan di Resto aja, sih?” tanyanya seraya menyisir rambut dengan tangannya.
“Kalau makan di Restomu ‘kan jadinya main, Mas. Bukan jalan-jalan refreshing. Lagian bosen ah makan masakan di Restomu, sekali-kali kek cobain Resto tetangga!” ujarku seraya menggoda.
“Kamu bisa aja. Ya udah, mau ke mana kita?” tanya Mas Frengky sambil memoleskan pomade untuk merapikan tatanan rambutnya.
“Makan di rooftop hotel Marriot, gimana?” ujarku seraya menautkan alis.
“Kamu yakin?” ucapnya sedikit berjingkat karena kaget.
“Sekali-kali, boleh, dong!” sahutku sembari menyambar handuk bersiap untuk mandi.
“Wah, Bunda lagi banyak uang, nih. Pemasukan butik lagi kencang, ya?” tanya Mas Frengky dengan senyum merayu.
“Alhamdulillah, cukup lah kalau untuk makan di sana kita bertiga,” kataku.
Memang selama ini Mas Frengky tak pernah tahu berapa nominal butik yang aku dapatkan, ia hanya sebatas tahu aku mempunyai butik dengan pelanggan yang ramai. Asal dia memberi nafkah sekian juta, semua kebutuhan rumah tangga terpenuhi dan apapun yang diinginkan bisa beli, itu sudah cukup baginya untuk tak terlalu dalam membahas penghasilanku. Bukankah penghasilan dan uang istri akan sepenuhnya menjadi hak seorang istri?
Kembali kulihat mimik wajah Mas Frengky tampak sedikit aneh.
“Kenapa?” tanyaku memastikan.
“Bertiga aja?” tanya Mas Frengky seperti memikirkan sesuatu.
Aku tak menjawab pertanyaannya, karena kakiku sudah menapaki lantai kamar mandi dengan pintu tertutup. Guyuran air yang keras semakin membuat suara Mas Frengky menghilang.
Setelah mandi, Mas Frengky masih duduk di tepi ranjang. Matanya menyiratkan sesuatu. Aku tahu, jika ia sudah memasang mimik seperti itu, pasti ada sesuatu yang terjadi dan ujung-ujungnya akan melibatkanku. Coba saja kita bertaruh.
Satu ... dua ... tiga ....
“Kamu kenapa, Mas? Mendadak wajahmu kusut, perlu aku setrika?” tanyaku berusaha bercanda.
Ia hanya tersenyum, lalu beranjak berdiri. Mas Frengky menghampiriku yang sedang berpakaian, ia memelukku dari belakang, mengendus leher dan turun ke pundak.
“Sebenarnya aku pengen cerita, tapi nggak memungkinkan melihat kondisimu kemarin, Bun. Aku mau minta tolong,” ujarnya sambil meletakkan kepalanya di bahuku. Membuatku sedikit kesulitan memakai baju.
“Tolong apa?” tanya melirik sekilas.
“Ehm ... aku nggak enak ngomongnya, ngerepotin kamu terus!” ujarnya sembari mengangkat kepala dari bahuku.
“Apa?” tanyaku tanpa basa-basi. Aku sudah hafal, pasti tak jauh dari perkara uang.
“Boleh pinjemin Ayah uang nggak? Buat menggaji karyawan, Bun. Kasihan mereka, bulan ini Ayah harus putar otak untuk memikirkan upahnya,” kata Mas Frengky terlihat sendu.
Tepat sasaran, ‘kan?
“Berapa?” tanyaku seraya melepaskan tubuh dari pelukannya.
“Dua puluh juta, aja, Bunda. Janji bulan depan langsung diganti. Sekalian yang tempo lalu, pasti Ayah cicil, kok,” katanya dengan enteng.
“Apa? Dua puluh juta? Bukannya minggu lalu kamu sudah pinjam sepuluh juta untuk tambahan modal?” tanyaku memastikan.
Aku membalikkan badan untuk menatap manik matanya, mencoba mencari suatu kebenaran dari sana. Mas Frengky tampak cemas sembari menggaruk rambutnya.
Wah, dikasih nggak, ya?
***
EPILOGEnam bulan kemudian ....“Pagi Sayang, have a nice day!” Aku sedikit kaget saat Hendra alias pria yang tengah sah menjadi imam ku memeluk pinggangku dari belakang. Sontak wajahku memerah, dia selalu saja berhasil membuat diriku melayang tinggi hingga menembus langit ketujuh.“Ngagetin aja, pagi juga, Mas!” sahutku seraya melanjutkan aktivitas mengiris daun bawang untuk pelengkap telur dadar sebagai sarapan pagi ini.Ya ... setelah menikah dengan Hendra selama hampir enam bulan ini, aku baru tahu bahwa dia suka sekali dengan telur dadar yang dicampur irisan daun bawang. Seakan tak pernah bosan, hampir setiap hari dia menginginkan masakan itu di setiap pagi untuk memenuhi asupan nutrisinya. Terkadang juga aku heran, bagaimana bisa lelaki dari keluarga berada dan bergelimang harta bisa mempunyai makanan favorit berupa telur ayam sederhana. Kenapa bukan masakan ala western atau mungkin makanan dengan gizi lengkap yang seimbang. “Kok diem? Ngelamun, ya?” tanya Hendra yang kini mend
##BAB 91 Akhir KisahBerkali-kali aku menghubungi Hendra, hingga puluhan panggilanku tak ada satu pun yang dijawab. Sampai pusing aku berjalan mondar-mandir bak setrika. Bu Wak bingung melihat tingkahku yang tak karuan. “Kenapa, toh, Ibu lihat dari tadi maju mundur kayak orang bingung. Ada masalah?” tanya Bu Wak terlihat perhatian, seperti biasa.Aku menggeleng, tentu saja hal seperti ini tak mungkin aku sampaikan kepada Bu Wak. Biarlah ini menjadi urusan pribadiku. Aku beranjak menuju ke kamar, tiba-tiba saja air mataku tumpah tanpa sebab. Aku tak tahu, apa yang aku rasakan hingga tiba-tiba menangis tanpa alasan. Masih dalam genggaman, kulihat layar ponsel yang masih sepi, tak ada tanda-tanda Hendra menghubungi ku kembali. Apa yang dia lakukan sebenarnya di sana?Hingga kecapekan menangis, membuatku ketiduran. Entah sudah berapa jam aku tertidur, ketika bangun ponselku sudah dipenuhi panggilan tak terjawab dari Hendra. Aku tak mendengarnya karena ponselku masih berada dalam mode sil
##BAB 90 Suara Wanita MencurigakanSUARA WANITA MENCURIGAKANANAKKU MENJADI SAKSI MATA PERSELINGKUHAN SUAMIKU (S2)“Kapan kamu siap untuk menikah? Mungkin kamu berkeinginan memilih tanggal yang cantik?” ucap Hendra.“Terserah saja, yang penting jadi menikah. Semua tanggal itu baik, ‘kan?” ujarku sembari tersenyum.“Iya juga, Papa sudah siap memfasilitasi semuanya. Aku hanya perlu menyiapkan mahar beserta mas kawin. Kamu mau apa?” tanya Hendra menatapku intens.Kami bertemu kembali di rumahku, setelah tiga hari dari rumah Ayah kemarin. Hendra pulang ke rumah Papanya untuk mengabarkan keputusanku tempo lalu. Alhamdulillah akhirnya Tante Sofia pun ikut menyetujui walaupun aku tahu mungkin dia terpaksa.“Yakin nih, aku bebas pilih sendiri mas kawinnya?” tanyaku dengan senyum menggoda.“Dengan senang hati!” Hendra menaik-turunkan alisnya memandangku.“Aku hanya bercanda, terserah kamu saja, deh!” ucapku seraya tertawa.“Bagaimana kalau pabrik usahaku saja yang kujadikan mahar?” tawar Hendr
##BAB 89 Keputusan NaylaKeesokan harinya, Hendra benar-benar serius dengan ucapannya. Pagi-pagi sekali dia sudah menjemputku, kami berencana akan pergi ke rumah Ayah. Berdua saja dan kali ini menggunakan mobilku.“Udah siap? Berangkat sekarang, ya?” tanya Hendra yang kini sudah berpakaian rapi, yakni kemeja lengan panjang, celana bahan dan sepatu pantofel. Menurutku dia lebih mirip seperti orang yang akan melakukan interview di perusahaan besar dari pada bertemu calon mertua. Eh ....Ah, membayangkan Hendra akan menjadi menantu Ayahku saja sudah membuatku berdetak hebat tak karuan begini. Aku benar-benar dibuat mabuk kepayang dengan pesonanya.“Yuk!” seruku bersemangat.Kami menempuh perjalanan sekitar dua jam, aku sengaja tak menghubungi Ayah dan Ibu jika ingin ke sana. Biar ini menjadi surprise nantinya. Hendra tampak gusar, beberapa kali mengusap wajahnya dengan handuk kecil berwarna hijau muda. Padahal tak ada peluh yang menetes, tapi ... entahlah apa yang dia bersihkan.“Kamu ke
##BAB 88 Melamar Nayla“Gimana, Nay? Kapan aku bisa menemui orang tuamu?” tanya Hendra membuatku terperangah. Rupanya dia serius dengan niatannya. Aku pun tampak berpikir, tak ada salahnya untuk mencoba. Lagian, bukankah ini memang tujuan awalku untuk memberikan balasan pada Rosa? Aku tersenyum menyeringai.“Kalau kamu serius, bisa temui orang tuaku besok. Di sana aku akan memberimu keputusan,” kataku dengan senyum mengembang. Hendra terlihat antusias, dia melirik ke arah Papanya yang diangguki dengan senyuman merekah. Sorot bahagia sangat terpancar dari netranya.“Oke, besok aku akan menemui kedua orang tuamu untuk meminta restu. Aku serius ini, Nay. Jangan pernah anggap niat baik ku sekedar main-main,” kata Hendra terdengar mengintimidasi. Aku hanya merespon dengan anggukan. Aku juga serius, meskipun niat sampingan juga karena iseng untuk balas dendam kepada Rosa. Setelah mengobrol banyak hal, aku memutuskan untuk mengajak Hendra pulang. Sebelum ke rumah, aku ingin mampir ke butik
##BAB 87 Pernikahan GladysHari ini Hendra akan menjemput ku untuk menghadiri pesta pernikahan Gladys. Sengaja aku tak mengajak Vano dan Bu Wak, tentu saja malas jika harus berhadapan lagi dengan Tante Sofia. Untuk sementara ini, aku akan menghindarinya terlebih dahulu. Aku mengenakan gamis bertajuk glamor mirip yang dipakai salah satu artis membahana. Tak lupa perhiasan dan cincin berlian tersemat manis di jari-jariku. Aku pun memakai hijab yang senada dengan warna gamisku. Tas bermerek dengan harga puluhan juta tak lupa bertengger manis di lenganku. Perfect sekali. Aku sengaja ingin tampil mewah agar tak selalu direndahkan, apalagi di mata Tante Sofia. Sudah cukup dia menghina diriku serta keluarga kecilku.Aku menaiki mobil Hendra dengan hati-hati. Berpakaian mewah seperti ini memang sedikit ribet dan harus tampil dengan elegan. Hendra menatapku takjub hingga tak berkedip. Kami menuju ke arah lokasi dengan ditemani obrolan renyah dan santai. Hendra tampaknya mulai kembali ceria dan
##BAB 86 Persepsi NaylaSaat aku membuka mata, rupanya sudah hampir sampai di rumah. Cukup lama juga aku tertidur, mungkin efek banyak pikiran membuatku susah tidur dari kemarin. Baru sekarang aku bisa tidur nyenyak meskipun sebentar, mungkin karena pikiranku yang plong. Sebelum turun, Hendra sempat mengingatkan untuk mengajak diriku hadir di acara pernikahan Reno dan Gladys yang akan diselenggarakan minggu depan. Aku belum mencari tahu bagaimana informasi perkembangan dari hukuman Mas Frengky. Mungkinkah Gladys tetap pada pendiriannya untuk membebaskan Mas Frengky? Atau berpura-pura tak peduli lagi, entahlah. Yang pasti, menurut pengacaraku bukti yang aku berikan beberapa waktu lalu sudah cukup kuat dan akurat untuk kembali memberikan hukuman tambahan buat Mas Frengky. Aku ingin lelaki durjana itu menerima hukuman yang pantas. Selain kedua kakinya yang tak berfungsi tentunya. Aku belum puas jika hanya kakinya saja yang tak berfungsi. Dia layak mendapatkan hukuman yang lebih parah dar
##BAB 85 Mengobrol dengan Rosa“Nayla ... maafkan aku,” ujar Hendra lirih. Terdengar menyayat di telingaku. Aku benci orang meminta maaf, aku bosan memberikan maaf terus-menerus.“Nggak usah dibahas, fokus sama menyetirmu, agar kita segera sampai!” Aku memalingkan wajahku menghadap ke jendela, tak ingin Hendra melihat bagaimana ada gurat kesedihan di sana.“Iya!” Hendra kembali fokus menyetir.Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di kantor polisi, di mana Rosa menghabiskan sisa waktunya. Seorang petugas yang biasa menerimaku, menuntun kami masuk ke dalam ruangan berukuran 3x4 meter. Lima menit menunggu, seorang petugas berjenis kelamin wanita membawa Rosa menghadap padaku dan Hendra. Kami hanya diberi waktu lima belas menit untuk mengobrol. Ada bangku panjang menghadap ke dinding, aku duduk di sana. Sedangkan Hendra duduk berhadapan dengan Rosa yang disekat dengan triplek sebatas dada.“Akhirnya kamu datang juga. Nayla ternyata serius menepati janjinya padaku!” ujar Rosa dengan
##BAB 84 Menemui Rosa“Apa kau ingin bertemu dengan Rosa?” tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Padahal di dalam dada muncul rasa gejolak yang begitu aneh.“Iya, cepat atau lambat, aku harus menemuinya, Nay ... kenapa aku menjadi pria pengecut seperti ini?” Hendra menggeleng sembari menarik rambutnya dengan kedua tangan.“Sudah, jika kamu terus-terusan begini, nggak akan menyelesaikan keadaan. Hidup harus maju ke depan, tak baik hidup terbayang dengan kenangan,” ujarku seraya mengulas senyum.“Terima kasih, Nay ... kamu selalu bisa menjadi penyejuk untukku,” kata Hendra membuatku melayang tinggi. Namun, dengan cepat kutepis semua perasaan itu, aku tak boleh terlarut dalam rayuan Hendra sebelum pria itu memberiku kepastian.“Sama-sama. Kapan pun kamu mau ke sana, kamu bisa hubungi aku. Dengan senang hati aku pasti akan mengantarmu ke sana.” “Baiklah, biarkan aku menenangkan hatiku terlebih dahulu, aku ingin menemuinya dalam keadaan siap. Aku tak ingin menghancurkannya lagi, kasihan d