Share

Bab 3 Minta Uang

##BAB 3 Minta Uang

Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sempat tertunda kemarin, aku berpamitan pada karyawan untuk pulang.

Aku mempercayakan butik pada Keysa, gadis berusia dua tahun dibawahku ini sudah menjadi kanan tanganku semenjak beberapa tahun yang lalu. Karena reward yang sering ia dapatkan setiap bulan dengan notabene karyawan teladan, serta sikap loyalnya pada butik yang aku pimpin, membuatku tak segan menjadikannya orang kepercayaan.

Keysa sudah berumah tangga, namun hingga sekarang belum dikarunia momongan. Suaminya yang seorang abdi negara, sering bertugas dan jarang pulang ke rumah, kadang untuk menikmati liburan cuti pun hanya beberapa hari sebelum akhirnya kembali lagi untuk bertugas. Hal itulah yang membuatnya bekerja di butik ini sebagai staf administrasi. Awalnya hanya iseng untuk mengisi waktu luang. Namun lama kelamaan ia merasa betah dan nyaman di butik, sehingga menempati bukti sebagai rumah keduanya. Sikap setia kawannya patut diacungi jempol, bekerja dengan loyalitas tanpa batas. Ah ... mungkin saja karena kurangnya intensitas waktu bertemu, mereka belum juga dipercaya untuk mempunyai anak. Atau kemungkinan lain, yang pasti semuanya sudah pasti atau kehendak dan rencana Allah SWT.

ā€œKey, aku duluan, ya. Untuk susunan acara launching produk baru bulan depan juga sudah oke, tapi nanti tolong pastiin semuanya berjalan lancar, ya. Jangan lupa berikan mereka bonus lemburan, jika dirasa perlu!ā€ pamitku saat berpapasan dengan Keysa di koridor utama.

ā€œSiap, Bu Nayla. Nanti saya koordinir lagi sama team. Hati-hati, ya, Bu,ā€ ujarnya sambil mengangguk sopan, tak lupa dengan menampilkan lesung pipitnya ketika tersenyum.

Aku mengendarai mobil dengan kecepatan rendah, jalanan sore ini terlihat padat. Harus sabar dan mengalah jika ingin selamat sampa tujuan. Ya memang beginilah risiko tinggal di kota besar, apalagi dengan julukan ibukota. Sudah bisa dipastikan bagaimana kemacetan yang terjadi di saat sore hari jam pulang kantor bukan?

Sesampainya di rumah, kulihat mobil Fortuner berwarna putih milik Mas Frengky juga sudah terparkir di garasi.

Ah ... rupanya suamiku sudah pulang.

Sengaja aku memarkirkan mobil di luar, tanpa suara dan mengucapkan salam dengan suara lirih, aku hanya ingin memastikan, apa yang sedang terjadi di dalam. Benarkah mereka ada sesuatu seperti yang ada dalam pikiranku?

Sesampainya di ruang tamu, terlihat sepi. Aku melangkahkan kaki menuju ke dapur, sepi juga. Tak terlihat batang hidung Mas Frengky, Rosa maupun Cahaya.

Ke mana mereka?

Kubuka pintu kamarku, tak ada siapa-siapa. Begitu juga dengan kamar Cahaya. Dadaku mulai berdebar-debar, jantung pun ikut berdetak beberapa kali dari biasanya. Aku menaiki anak tangga tanpa suara, mengendap-endap seperti pencuri, kupercepat kakiku menuju ke lantai dua, apa mungkin mereka berada di sana?

Di lantai dua hanya berisi 2 kamar tamu, dapur, dan juga kebun yang sedikit luas berisi koleksi tanaman hiasku. Di sebelahnya juga ada kolam ikan dengan ukuran sedang, sengaja aku membuat space khusus di lantai dua untuk wahana bermain putriku.

Mungkin saja Mas Frengky dan Cahaya berada di sana, atau dengan ditemani Rosa?

Pikiranku berkecamuk, emosi di dalam jiwa sudah naik ke ubun-ubun. Napasku pun semakin tak karuan, naik turun seperti habis maraton. Kubuka pintu dapur yang terhubung dengan taman belakang. Benar saja, di sana ada Mas Frengky yang sedang asyik menemani Keysa bermain pasir warna. Sedangkan di sebelahnya, ada Rosa yang tampak serius menyiram tanaman hias milikku, jika dilihat, mereka sudah tampak serasi sebagai figur keluarga yang sempurna dan bahagia.

Entah kenapa, melihat kerukunan mereka membuat hatiku nyeri. Memang pemandangan tersebut merupakan hal yang biasa jika dilihat sekilas. Namun saat diperhatikan, diamati dan ditatap dengan seksama, mereka cocok sebagai potret keluarga cemara.

Aku masih asyik dengan pikiranku hingga panggilan Cahaya membuatku tersadar.

ā€œBunda sudah pulang? Kok diem di sana, ayo, sini, main sama Cahaya sama Ayah!ā€ kata Cahaya membuat Mas Frengky dan Rosa melihatku berbarengan.

Bisa kuamati dengan jelas, perubahan wajah yang terjadi pada Rosa, sedangkan Mas Frengky nampak biasa saja.

Lelaki yang sudah menjadi suamiku selama 7 tahun tersebut, hanya mengangguk sambil tersenyum. Aku tak melewatkan kesempatan ini, segera kuseret kakiku menghampiri mereka. Dengan wajah yang kubuat bahagia dan senyuman terbaik, kuelus lembut rambut Cahaya dan kucium sekilas pipi Mas Frengky.

Kulirik sekilas wajah Rosa yang memerah dan berusaha memalingkan muka. Kenapa dia bersikap seperti itu? Bukankah wajar jika aku bersikap manja dan lembut kepada anak serta suamiku? Rosa langsung menghentikan aktivitasnya, ia menggulung selang dan merapikan ke tempat semula. Tanpa pamit, ia beranjak pergi dan turun ke bawah. Aku yang memperhatikan hanya diam tanpa menegur atau menyapanya.

Jujur saja aku masih kesal atas sikapnya tadi pagi. Dan lihat saja barusan, penampilannya bak montir seksi yang mencuci mobil di iklan tv yang sering kulihat. Kaus singlet berwarna hitam, celana kain pendek berwarna senada dan rambut yang dibiarkan terurai, aku juga bisa melihat tadi sebagian baju dan rambutnya sedikit basah. Apa dia sengaja memancing Mas Frengky?

Hanya menyiram tanaman hias, apa bisa membuatnya hampir kuyup seperti disemprot selang pemadam kebakaran?

Aish ... makin lama makin ada-ada saja tuh sikap asisten. Aku bergabung bersama Cahaya dan Mas Frengky. Baru saja duduk, suamiku sudah berpamitan dengan dalih mau mandi dan menunaikan salat.

ā€œCahaya gantian, ya, main sama Bunda. Ayah mau mandi dulu sebentar, terus kita salat Maghrib bersama, ya?ā€ ujarnya pada bocah yang masih asyik membangun istana menggunakan pasir.

ā€œIya, Yah!ā€ Cahaya hanya mengangguk tanpa menatap ayahnya.

ā€œKenapa buru-buru, Mas? Ini ā€˜kan masih jam 4. Adzan Maghrib masih beberapa jam lagi ā€˜kan?ā€ tanyaku dengan mata memicing.

ā€œMau bebersih dulu, Bun, gerah banget. Tadi sepulang dari Resto, aku mau langsung mandi, tapi Cahaya ngajak main, jadi deh batal mandi!ā€ ujar Mas Frengky sambil terkekeh.

ā€œOke, deh. Sekalian bilang ke Rosa, ya. Nggak usah siapin makan malam. Aku pengen kita dinner di luar malam ini, lama nggak menikmati quality time ā€˜kan?ā€ ujarku dengan lembut.

ā€œSiap!ā€ jawab Mas Frengky sembari mengacungkan kedua jempol. Lalu berjalan menjauh dari kami.

Ah ... kenapa suamiku ini bersikap biasa saja, ya? Tidak ada satupun sikapnya yang menunjukkan dia telah mengkhianatiku, atau mungkin bermain serong dengan asisten di rumah ini. Semua sikapnya masih wajar dan perhatiannya pun tak kurang atau lebih, masih sama seperti tahun-tahun berikutnya. Apa aku salah mengartikan celotehan Cahaya tempo lalu? Ah ... memikirkan hal yang belum pasti memang kerap membuat diri ini hampir gila. Aku mendesah panjang.

ā€œBunda kenapa, capek, ya, nemenin Cahaya main?ā€ tanya Cahaya dengan tatapan polosnya.

ā€œNggak lah, Sayang. Bunda Cuma meregangkan otot,ā€ sahutku sembari tersenyum.

ā€œCahaya ... udahan, yuk, mainnya. Kita mandi, terus pake baju bagus. Ayah sama Bunda mau ajak Cahaya main dan makan di luar, mau nggak?ā€ tawarku pada bocah berpipi gembul tersebut.

ā€œMau, dong! Tapi Tante Rosa diajak juga, ya?ā€ tanyanya.

Hampir saja aku terjatuh karena pertanyaan spontan yang meluncur dari bibir putriku, membuatku hampir kehilangan keseimbangan.

ā€œNggak, Sayang. Ini spesial, Cuma keluarga,ā€ jawabku sembari meraih tangannya.

ā€œLoh, ā€˜kan Tante Rosa juga keluarga kita Bunda?ā€ tanyanya sambil mendongak, mencari jawaban melalui mataku.

ā€œKata siapa?ā€ Dahulu mengernyit.

ā€œKata Bunda, kata Ayah juga. Kan bilang kalau Tante Rosa sudah dianggap sebagai keluarga juga. Kata Ayah kasihan Tante Rosa di sini sudah nggak punya siapa-siapa lagi. Jadi Cahaya, Bunda dan Ayah harus bersikap baik jadi keluarga buat Tante Rosa,ā€ seru Cahaya dengan binar bahagia.

ā€œOh, iya. Tapi kali ini Bunda pengen bertiga aja, ya. Cuma ada Bunda, Ayah dan Cahaya,ā€ ujarku memberi pengertian.

Cahaya hanya mengangguk, lalu tersenyum.

Untunglah anakku tak banyak bertanya lagu, beruntungnya juga dia tipe gadis penurut yang mau mengerti perkataan orang tuanya.

Setelah menyerahkan Cahaya untuk dimandikan dan dilayani oleh Rosa, aku bergegas masuk ke dalam kamar untuk mandi dan berganti pakaian. Mas Frengky sedang sibuk memilih pakaian di dalam lemari. Ia mengenakan celana chinos pendek dan kaos berwarna hitam. Sangat pas dengan tubuh atletisnya, semakin membuatnya terlihat tampan dan jauh lebih muda dari usia sebenarnya.

ā€œBunda ngajak makan-makan lagi banyak uang, ya? Kenapa kita nggak makan di Resto aja, sih?ā€ tanyanya seraya menyisir rambut dengan tangannya.

ā€œKalau makan di Restomu ā€˜kan jadinya main, Mas. Bukan jalan-jalan refreshing. Lagian bosen ah makan masakan di Restomu, sekali-kali kek cobain Resto tetangga!ā€ ujarku seraya menggoda.

ā€œKamu bisa aja. Ya udah, mau ke mana kita?ā€ tanya Mas Frengky sambil memoleskan pomade untuk merapikan tatanan rambutnya.

ā€œMakan di rooftop hotel Marriot, gimana?ā€ ujarku seraya menautkan alis.

ā€œKamu yakin?ā€ ucapnya sedikit berjingkat karena kaget.

ā€œSekali-kali, boleh, dong!ā€ sahutku sembari menyambar handuk bersiap untuk mandi.

ā€œWah, Bunda lagi banyak uang, nih. Pemasukan butik lagi kencang, ya?ā€ tanya Mas Frengky dengan senyum merayu.

ā€œAlhamdulillah, cukup lah kalau untuk makan di sana kita bertiga,ā€ kataku.

Memang selama ini Mas Frengky tak pernah tahu berapa nominal butik yang aku dapatkan, ia hanya sebatas tahu aku mempunyai butik dengan pelanggan yang ramai. Asal dia memberi nafkah sekian juta, semua kebutuhan rumah tangga terpenuhi dan apapun yang diinginkan bisa beli, itu sudah cukup baginya untuk tak terlalu dalam membahas penghasilanku. Bukankah penghasilan dan uang istri akan sepenuhnya menjadi hak seorang istri?

Kembali kulihat mimik wajah Mas Frengky tampak sedikit aneh.

ā€œKenapa?ā€ tanyaku memastikan.

ā€œBertiga aja?ā€ tanya Mas Frengky seperti memikirkan sesuatu.

Aku tak menjawab pertanyaannya, karena kakiku sudah menapaki lantai kamar mandi dengan pintu tertutup. Guyuran air yang keras semakin membuat suara Mas Frengky menghilang.

Setelah mandi, Mas Frengky masih duduk di tepi ranjang. Matanya menyiratkan sesuatu. Aku tahu, jika ia sudah memasang mimik seperti itu, pasti ada sesuatu yang terjadi dan ujung-ujungnya akan melibatkanku. Coba saja kita bertaruh.

Satu ... dua ... tiga ....

ā€œKamu kenapa, Mas? Mendadak wajahmu kusut, perlu aku setrika?ā€ tanyaku berusaha bercanda.

Ia hanya tersenyum, lalu beranjak berdiri. Mas Frengky menghampiriku yang sedang berpakaian, ia memelukku dari belakang, mengendus leher dan turun ke pundak.

ā€œSebenarnya aku pengen cerita, tapi nggak memungkinkan melihat kondisimu kemarin, Bun. Aku mau minta tolong,ā€ ujarnya sambil meletakkan kepalanya di bahuku. Membuatku sedikit kesulitan memakai baju.

ā€œTolong apa?ā€ tanya melirik sekilas.

ā€œEhm ... aku nggak enak ngomongnya, ngerepotin kamu terus!ā€ ujarnya sembari mengangkat kepala dari bahuku.

ā€œApa?ā€ tanyaku tanpa basa-basi. Aku sudah hafal, pasti tak jauh dari perkara uang.

ā€œBoleh pinjemin Ayah uang nggak? Buat menggaji karyawan, Bun. Kasihan mereka, bulan ini Ayah harus putar otak untuk memikirkan upahnya,ā€ kata Mas Frengky terlihat sendu.

Tepat sasaran, ā€˜kan?

ā€œBerapa?ā€ tanyaku seraya melepaskan tubuh dari pelukannya.

ā€œDua puluh juta, aja, Bunda. Janji bulan depan langsung diganti. Sekalian yang tempo lalu, pasti Ayah cicil, kok,ā€ katanya dengan enteng.

ā€œApa? Dua puluh juta? Bukannya minggu lalu kamu sudah pinjam sepuluh juta untuk tambahan modal?ā€ tanyaku memastikan.

Aku membalikkan badan untuk menatap manik matanya, mencoba mencari suatu kebenaran dari sana. Mas Frengky tampak cemas sembari menggaruk rambutnya.

Wah, dikasih nggak, ya?

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kasrumi
kasih aja dulu,buat ngetes
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status