Share

Bab 4 Merasa Terlena

##BAB 4 Merasa Terlena

“Iya, kemarin memang untuk modal. Resto akhir-akhir sangat sepi, Bun. Sering kali bahan masakan sisa karena nggak laku, jadi uang terpakai untuk modal. Muter gitu terus, puncaknya, sih, minggu ini, Bun. Gara-gara ekonomi yang semakin krisis, orang-orang jadi berhemat dan jarang makan di Resto,” ujar Mas Frengky dengan tatapan yang sulit kuartikan benar atau tidaknya. Tapi, memang ada gurat kesedihan di wajah tampannya.

Ah ... lagi-lagi aku jadi tak tega.

“Oke, nanti aku transfer. Tapi janji, ya, dibalikin? Nyicil sejuta-sejuta juga nggak papa, asal ada pemasukan untuk kembali,” cengirku.

“Siap, Bundaku Sayang!” kata Mas Frengky sembari menarikku dalam pelukannya.

“Eh, udah ah. Nanti kelamaan batal berangkat, deh,” sahutku sembari berlanjut memoleskan bedak.

Kali ini pilihanku jatuh pada gamis berwarna gading dengan hijab pashmina serut. Karena malam hari dan kami akan dinner di tempat elite, maka aku membubuhkan makeup yang sedikit tebal agar kentara. Setelah siap, aku menghampiri putriku yang sudah siap dengan balutan dress berwarna gading.

“Bunda cantik banget!” puji Cahaya yang membuat Rosa seketika ikut menoleh ke arahku.

Aku hanya tersenyum sembari memeluk putri kecilku.

“Kita berangkat dulu, ya, Ros. Tolong pintu dan pagar dikunci setelah kita berangkat. Kamu nggak usah nungguin ya, tidur aja kalau mau istirahat. Aku bawa semua kunci cadangan kok!” kataku pada Rosa sembari mengayunkan beberapa kunci yang terikat menjadi satu.

“Iya, Mbak, siap!” kata Rosa datar.

Aku bisa melihat sorot matanya menatapku dari atas ke bawah. Bukannya GR, sih. Tapi sebagai sesama wanita, aku punya insting kalau dia menatapku kagum. Kali ini giliran aku yang menatapnya, Rosa mengenakan stelan baby doll sepaha dengan motif panda berwarna hitam putih. Kulitnya yang berwarna kuning langsat terlihat kontras dengan pakaian yang digunakan. Rambutnya dikuncir membentuk ekor kuda, menampilkan leher jenjangnya yang mulus. Bahkan dengan penampilan sesederhana itupun Rosa terlihat memikat.

Tak ingin menatapnya lama-lama, yang ada dia semakin GR. Aku bergegas menyusul Mas Frengky dan Cahaya masuk ke dalam mobil. Hatiku bahagia bisa merasakan kehangatan keluarga yang jarang sekali bisa kunikmati akhir-akhir ini. Semenjak kehilangan Pelangi, duniaku memang serasa berhenti. Semangat untuk bertahan hidup pun rasanya sirna. Namun, lambat laun, aku bisa bangkit dari keterpurukan. Bukan untuk melupakan kehadirannya, namun lebih ke rasa ikhlas yang bisa membuatnya hidup tenang di surga. Semoga bisa menjadi tabunganku di akhirat nanti. Aamiin. Setiap kali mengingat Pelangi, tak terasa bulir kristal menetes membasahi pipi.

“Loh, Bunda kenapa nangis?” tanya Cahaya dari belakang, ia memang lebih suka berdiri di jok belakang, tepat di belakang kami. Pertanyaan Cahaya membuat Mas Frengky ikut menoleh, ia tampak khawatir.

“Kenapa Bunda?” tanya Mas Frengky perhatian, tangan kirinya mengusap air mataku yang jatuh sedangkan tangan kanannya fokus pada kemudi.

“Nggak papa, Mas. Aku hanya teringat akan Pelangi, coba saja dia hidup sampai sekarang, pasti sudah duduk di pangkuanku saat ini,” ujarku dengan suara serak.

“Udah, ah. Jangan seperti itu, kasihan Pelangi nanti tak tenang di sana kalau melihatmu begini,” kata Mas Frengky sambil membelai pipiku lembut.

Cahaya juga ikut memelukku dari belakang, ia menyandarkan kepalanya tepat di bahu kananku. Kuraih kepala Cahaya, dan kuelus dengan lembut. Hanya mereka saat ini yang kupunya sebagai pelengkap hidup, selain kedua orang tuaku pastinya.

Oh, ya. Bicara soal orang tua. Aku berasal dari keluarga yang sederhana. Dua bersaudara, adikku perempuan, Carissa namanya, saat ini sedang kuliah di luar kota, mengambil jurusan hukum. Cita-citanya sedari kecil selalu ingin menjadi pengacara, ingin menyelamatkan orang-orang yang tak bersalah dari jeratan hukum katanya. Bersyukurlah aku bisa membantu membiayainya, hingga lulus dua tahun ke depan, semua biaya sudah aku persiapkan untuknya. Tentu saja hasil dari keringatku mengelola butik. Ayah dan Ibuku tinggal di kota yang sama, hanya berbeda kabupaten. Kurang lebih satu jam yang kami tempuh dari rumah jika ingin main ke sana, begitu juga sebaliknya. Berkat butik yang berhasil aku dirikan, aku mampu menanggung biaya hidup keluargaku, bahkan terkadang mertua dan adik iparku.

Ya ... kalian benar.

Setelah Bapak mertuaku meninggal beberapa tahun yang lalu, semua kebutuhan dan keperluan ibu mertua dibebankan kepada Mas Frengky sebagai anak lelaki tertua. Sedangkan kedua adiknya, Rini dan Reno pun tak ketinggalan. Biaya kuliah mereka juga Mas Frengky yang menanggung. Itulah alasanku juga, terkadang merasa kasihan pada suamiku. Tak hanya menafkahi untuk anak dan istri di rumah, terpaksa ia juga harus membanting tulang lebih keras untuk membiayai ibu dan kedua adiknya. Tak jarang mertua dan iparku main ke rumah. Apalagi yang dibutuhkan ke rumah kami kalau bukan uang?

Setiap kali mereka kehabisan uang, selalu saja mereka ke rumah. Sudah seperti jadwal rasanya kehadiran mereka. Hari ini Ibu mertua, esok Rini, esok lagi Reno, begitu terus menerus. Kabarnya Reno akan lulus tahun ini dan ia segera menikah. Entahlah, kenapa buru-buru sekali, kenapa tak mencoba bekerja dulu untuk meringankan beban kakaknya terutama. Sedangkan Reni, masih semester dua, mungkin terpaut sekitar satu tahun dengan adikku, Carissa. Di bawah Carissa tepatnya.

Ah ... membicarakan orang tua jadi tak sadar kalau sudah sampai.

Kami menaiki lift menuju rooftop yang telah direservasi. Memang aku sudah meminta tolong Keysa untuk mengurus hal seperti ini, jiwa mudanya soal kekinian patut diberi penghargaan. Itulah kenapa, butikku semakin pesat perkembangannya, salah satunya juga karena ide Keysa tentang fashion yang digemari wanita millenial.

Ah ... Keysa ... aku sangat berterima kasih padamu.

Kami sangat menikmati malam ini, terlihat Cahaya makan dengan lahap, wah, lihatlah! Putriku mau makan masakan ala resto bukan? Tak hanya lahap di makanan instan. Oh, ya, bicara soal makanan instan, aku jadi ingin membicarakannya dengan Mas Frengky.

“Mas ...,” panggilku kepada lelaki yang sedang memotong daging steak di depannya.

“Hmm ...,” sahutnya tanpa melihatku. Ia masih sibuk dengan irisan daging yang berhasil dipotong.

“Gimana kalo kita ganti asisten?” tanyaku dengan lembut.

Klontang!

Garpu di tangan Mas Frengky jatuh mengenai lantai, menimbulkan suara yang sedikit mengusik tamu lain.

“Pelan, dong, Mas, kenapa harus kaget gitu?” tanyaku tak suka.

“Bukan gitu, Bun. Maaf, aku kaget aja kenapa tiba-tiba ganti asisten?” kata Mas Frengky terlihat netral.

“Aku nggak suka sama Rosa, masak dia kasih Aya makanan instan terus, aku udah capek-capek belikan amunisi terbaik, eh di rumah dicekoki makanan instan terus. Kan sia-sia?” kataku dengan nada sedikit jengkel.

“Nggak setiap hari kok, Bunda. Aku tahu sendiri, Rosa kasih Aya makanan instan Cuma di waktu tertentu, itu juga karena Aya yang mau ‘kan?” tanya Mas Frengky sembari melirik ke arah Cahaya, lalu bergantian menatapku.

“Iya, kok, Bunda. Maafin Cahaya, ya. Habis Cahaya suka banget lihat orang mukbang di tik-tok, kayaknya enak banget, Jadi, deh, Aya pengen. Bunda jangan salahin Tante Rosa, dong!” kata Cahaya malah membela Mas Frengky.

“Apa, tik-tok? Sejak kapan Aya lihat begituan, pake tau bahasa mukbang? Bukannya Bunda sudah bilang, Aya hanya boleh nonton youtube di tv ruang keluarga, itu pun harus ditemani Ayah, Bunda atau Tante Rosa. Coba jelasin ke Bunda!” ujarku sambil menatap putriku dengan hati-hati. Aku harus bersabar jika ingin mendapatkan informasi yang banyak mengenai Rosa melalui Cahaya.

“Maaf, Bunda. Habisnya Aya bosen, masa liatnya Upin-Ipin, vlog kenzo dan zahra, kalau nggak gitu coco melon, atau lagu anak-anak dan kartun lain. Aya juga pengen lihat orang joged dan ngedance di hp, kayak Tante Rosa gitu!” ujarnya dengan menikmati sepotong sosis lada hitam.

“Ngedance, joged, maksud kamu?” tanyaku semakin geram.

“Iya itu, loh. Joged kayak Tante Rosa, aku suka body goyang mamah muda ... mamah muda ... da da da da da ...,” kata Cahaya sembari menirukan gerakan dan musik bak goyangan wanita muda yang lagi ngetrend sekarang.

“Astaghfirullahaladzim ... Cahaya nggak boleh gitu, Nak. Belum cukup umur kayak gitu,” kataku mencoba memberi pengertian.

“Loh, tapi banyak kok Bunda seusia Cahaya yang joged gitu di hp Tante Rosa, coba aja Bunda lihat kalau nggak percaya,” katanya masih dengan menikmati sosis potongan terakhir.

Aku menggeleng lemah, ini benar-benar nggak bisa dibiarin!

Kutatap Mas Frengky yang berhadapan denganku, ia mencoba memalingkan wajah, berusaha menghindari tatapanku. Ia juga tak membuka suara sedikit pun, padahal aku sudah geram bukan main.

“Tuh, Mas. Kamu lihat aja sendiri kelakuan Rosa, bagaimana bisa ia mengajarkan hal dewasa seperti itu kepada anak berusia enam tahun? Coba jelaskan!” kataku dengan nada tinggi, aku sudah tak bisa lagi bersabar. Semakin dibiarkan, aku khawatir Cahaya semakin rusak, mengikuti alur dewasa yang tak sesuai dengan usianya.

“Sabar, Bun, mungkin aja Rosa hanya butuh hiburan, kebetulan Cahaya lihat dan jadi ikutan kepo, deh. Santai aja, ya, selama Cahaya nggak melakukan hal yang buruk, itu masih bisa ditolerir, namanya juga anak-anak,” kata Mas Frengky sembari mengedikkan bahu.

“Apa katamu? Justru masih anak-anak, kita masih bisa dengan mudah mengajari hal-hal baik yang bisa bermanfaat nantinya. Aku bener-bener nggak ngerti sama jalan pikiranmu, Mas!” sahutku kesal.

Aku yang belum mencicipi aneka makanan yang tersaji di sini, seketika menjadi tak berselera.Perutku terasa lapar, tapi mulutku tak bernafsu untuk melahap makanan enak di depanku.

“Udah, ah, Bun. Malu dilihat yang lain. Ayo, dong, katanya kita di sini mau have fun. Kok malah berantem, gini, sih?” Mas Frengky meraih tanganku dan mengelusnya lembut.

Sedangkan Cahaya seakan tak peduli, ia beralih pada dessert red velvet yang tersedia di depannya. Dengan lahap putriku itu menikmati dessertnya.

“Pokoknya aku nggak mau tahu, segera pecat Rosa dan carikan penggantinya!” ujarku sarkasme.

Cahaya melotot tajam ke arahku, membuatku mengernyit heran.

“Aya nggak mau yang lain, Bun. Aya Cuma mau Tante Rosa buat temenin Aya. Titik!” serunya masih dengan pandangan tajam menatapku.

“Tapi Tante Rosa nggak baik buat kamu, Nak!” ujarku seraya meraih tubuhnya untuk kupeluk.

“Nggak mau, kalau Bunda usir Tante Rosa, biar aja Aya ikut Tante Rosa sekalian!” ucapan Cahaya barusan membuatku berjingkat karena kaget.

“Kenapa kamu ngomong gitu?” aku berusaha menahan tangan Cahaya yang memberontak.

“Bunda sibuk sama kerja, Ayah juga. Aya Cuma nyaman ditemani sama Tante Rosa, dia orang yang baik. Aya suka sama Tante Rosa, pokoknya Aya mau Tante Rosa tinggal di rumah Aya selamanya!” kata Cahaya sembari menaruh dessertnya, ia terlihat marah.

Aku menghela napas panjang, kepalaku rasanya cenat-cenut.

“Kita bicarakan ini di rumah, aku sudah nggak mood dengan dinner. Mari kita pulang!” sahutku sembari menyambar tas dan beranjak berdiri.

Cahaya ikut berdiri, membuat Mas Frengky yang sedang menikmati cangkang kepiting menyudahi aktivitasnya.

Kami kembali masuk ke dalam mobil, hingga sampai ke rumah, tak ada yang memulai pembicaraan. Terlihat Cahaya sudah tertidur pulas di jok belakang, aku segera masuk ke dalam kamar, sedangkan Mas Frengky menggendong Cahaya dan menaruhnya di kamarnya.

Setelah memastikan semua aman, Mas Frengky menyusulku ke dalam kamar.

Ia memelukku dengan lembut, “sabar, Sayang. Nggak semuanya bisa berjalan sesuai dengan yang kamu mau. Butuh perjuangan dan pengorbanan untuk mencapai titik tertentu, dan kamu harus sabar.” Aku melepaskan pelukannya, masih malas berdebat dengannya apalagi mengenai Rosa.

Apa yang sudah ia tanamkan pada putri kecilku, sehingga Cahaya lebih memilihnya daripada mendengarkan nasihatku sebagai ibu kandungnya.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
bucin lagi, sdh dpt info dr anaknya nggak ada usaha u cari thu. knp sich kok jadi perempuan pd nutup mata, masukkn ular dlm rumah sendiri.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status