Part 17 BerbalikSemua mata tertuju pada Gibran anaknya Jhoni. Tak disangka Allah membuka dan memberikan jalan padaku dan Mila. Aku yakin, doa orang-orang teraniaya akan terkabul. Seperti anakku yang teraniaya dalam kasus ini.“Ooh, jadi Gibran dikasih lilin sama Raka?” Kuulangi yang terdengar. Ajeng belum melepaskan tangan dari mulut anaknya.Raka hanya terdiam seperti patuh pada ibunya. Sementara semua mata sudah tertuju pada Raka dan Ajeng.“Apa kamu bilang, Nak?” tanya Jhoni menatap putranya.“Apa kamu nggak dengar kalau anakmu kasih lilin pada Gibran yang hanya berumur dua setengah tahun dan tentu belum mengerti!” Saking geramnya, kuucapkan dengan lantang. “Dan kalian semua menuduh dan menekan anakku hingga ia stres! Anakku yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari rumah ini justru sebaliknya. Malah yang bukan kesalahannya dia membayar dengan tenaga dalam ketakutan!” Rasanya aku mau cab*k-c*bik mereka semua. Anakku sudah mengalami tekanan hidup yang bukan kesalahannya tetapi
Part 18 DiceraikanAneh sekali, Bu Ida dan Haris datang dengan wajah baik, sambil membawa buah tangan. Perubahan yang hanya hitungan jam saja. Aku tahu maksud kedatangan mereka. Tetapi, bukan karena buah dan beras ini aku akan luluh. Apa yang terjadi degan Mila tidak bisa dimaafkan. Luka batin tak semudah mengobati luka fisik.“Ini, Mila.” Bu Ida masih menyodorkan kantong berisi buah-buahan itu pada putriku.Mila diam tanpa menjawab. Hanya terpana saja dengan tatapan ..., ah, aku tidak bisa mengartikan tatapan putriku kali ini.“Buat apa kalian datang ke sini?” tanyaku ketus. Untuk mereka tidak perlu berbaik-baik. Baik hanya ada maunya saja. Lebih baik kibarkan bendera peperangan biar jelas kalau aku sangat geram dengan mereka.“Oke, kalau pemberianku ini ditolak, tak masalah.” Bu Ida menurunkan tangannya karena buah tersebut tidak diterima Mila.“Bu, aku ke sini dengan niat baik.” Haris bicara terdengar sangat ramah. Loh? Ke mana ucapannya menghina anakku kala di rumah makan ketahua
Part 19 Fitnah tersebar di kampungAku berlari mengejar mereka dengan memegang pisau dapur. Kala anakku tersakiti, melukai mereka rasanya tak ragu. Keberanian ini muncul karena tak ingin mereka semakin menjadi menyakiti Mila dengan kata-kata. Biar mereka berduit, aku tak takut karena makan bukan dari uang mereka. Intinya tidak bergantung mereka kenapa harus takut. Selagi aku sehat dan kuat, apa saja dilakukan melindungi putriku satu-satunya.“Jangan pernah kalian kembali! Awas kalau menginjakkan kaki di rumahku lagi!” teriakku mengejar mereka. Namun sayang, Haris dan ibunya sudah meninggalkan rumah ini dengan melaju mobil seperti ketakutan. Bahkan ladang sayurku sedikit hancur karena diinjak mobil.Astagfirullahalaziim, kalau mereka tidak cepat lari meninggalkan rumah ini, mungkin aku khilaf dengan melukai mereka. Bahkan Mila tetap santai berdiri tanpa mencegah.“Ibu nggak usah capek-capek. Aku tak akan sedih dengan perceraian ini.” Mila mengambil pisau dari tanganku. “Aku mau lanjutk
Part 20 Pembawa Sial?“Uangku! Uangku!” teriak bu Ida kala jambret tasnya sudah tak terlihat lagi.Orang-orang berkerumun melihat Bu Ida terduduk di lantai pasar meratapi tasnya. Raka ikut menangis melihat neneknya. Namun tak ada yang bisa dilakukan bocah itu, kecuali mengadu ke papanya yang seorang polisi nantinya, mungkin.Aku ikutan mendekati Bu Ida. Teman-teman sesama penjual di sekitar lapak juga tahu kalau Bu Ida adalah besanku. Namun mereka belum tahu kalau anakku sudah dicerai dan mungkin proses cerai pengadilan sedang diajukan karena mereka orang-orang berduit dan mungkin lebih cepat bergerak.“Sabar, Bu. Sabar.”“Cepat sekali jambretnya lari.”“Iya, tadi aku sempat kejar tapi ia sudah naik motor duluan.”“Sepertinya mereka sudah mengikuti dari tadi.”Terdengar beberapa orang-orang mencoba menenangkan Bu Ida.“Raka, telpon papamu pakai hp ini.” Aku menawarkan ponselku pada Raka. Kasihan bocah ini tampak kebingungan.“Ya, Nek,” jawab Raka bangkit dan mengulurkan tangan mau men
Part 21 Tuduhan Lagi“Sebaiknya nggak usah diterima, Bu,” ucap Mila melanjutkan mengiris daging.“Aneh, kenapa Pak Yoyok perhatian sekali padamu? Kok tiba-tiba aja ya, Mil?” “Entahlah, Bu. Aku nggak mau pusing masalah dia.”Pak Yoyok juga teman almarhum suamiku. Masa ia berniat mau dekat dengan Mila? Lagian anaknya juga seumuran Mila. Lagian istrinya baru dua tahun ini meninggal karena serangan jantung. Selama ini, ia termasuk orang yang tidak banyak berulah di kampung ini. Malah sangat aktif dalam kegiatan warga.Baru saja mau mencuci beras, ponselku berdering. Aku beranjak ke meja mengambil ponsel, ternyata ada panggilan masuk dari Bu Ida.“Mau apa dia? Apa belum puas perang mulut di pasar,” gumamku.Ada rasa ragu menerima ponselnya, karena mengingat pasti hanya akan cari masalah. Kuputuskan mengabaikan dan melanjutkan mencuci beras.Akan tetapi, ponselku berdering lagi hingga Mila keluar dari kamarnya dan melihat ponselku di meja. Alisnya berkerut melihat siapa yang menelepon. Tan
Part 22 Semakin Runyam“Diam!” teriakku.Enak saja menuduh Mila selingkuh dengan Pak Joko. Fitnahan Ajeng sangat keterlaluan. Apa dia tidak memikirkan kalau Pak Joko adalah bapak mertuanya dan tidak jahat. “Aku bisa saja melaporkan perselingkuhan ini dan Mila akan dipenjara!” Bukannya diam, bu Ida semakin menjadi menumpahkan amarahnya.“Ini tidak benar, Bu. Aku ke sini hanya kasihan pada Mila karean sudah kuanggap anak kandung. Aku tidak selingkuh! Demi Allah!” Pak Joko berusaha meluruskan yang terjadi, namun sepertinya itu sia-sia karena wajah marah anak-anak dan istrinya belum juga hilang.“Bapak di sini ngapain? Trus uang ini kenapa diberikan pada Mila?” Ajeng memperkuat fitnahannya.“Kamu penyebab semua ini!” Pak Joko bangkit berdiri. Nafasnya sesak karena memegang dadanya.“Bapak jangan salahkan istriku! Justru ia telah membuka kebusukan yang Bapak lakukan. Apa begini cara Bapak melepaskan hasrat? Apa Bapak tidak peduli kalau ia mantan istri Haris!” Jhoni lebih percaya pada istr
Part 23 Menghadapi WargaTerlihat warga berbondong-bondong ke sini. Tentu ini membuatku panik karena yang dihadapi bukan satu atau dua orang saja. Bahkan mungkin puluhan warga. Ya Allah, tolong beri kami jalan keluar karena aku yakin hanya engkau tempatku mengadu. Aku hanya janda dengan satu orang putri teraniaya di rumah mertuanya hingga diceraikan, dan kini aku berjuang melindungi putriku satu-satunya.“Apa yang harus kita lakukan, Bu?” Mila memegang tanganku. Terasa dingin, mungkin saking cemasnya.“Waduh, ternyata lebih cepat dari yang terdengar.” Jeni juga berdiri menatap warga yang semakin dekat.Aku harus tenang biar bisa berpikir panjang. Lagian kalau tidak salah kenapa harus takut? Ini negara hukum, kalau nasib membuat aku dan Mila meninggal diamuk warga karena difitnah, mungkin ini jalan terbaik yang diberikan Allah dalam takdir hidup kami. Aku ikhlas, ya Allah ....“Cepat tutup pintunya!” Aku menutup pintu agar tidak terlihat. Pintu samping berhubungan dengan halaman sampin
Part 24 Tuhan Tidak TidurSemua orang-orang yang berkerumun di depan rumahku langsung terdiam dengan apa yang aku ucapkan. Tak ada jalan lain selain meminta sumpah Al Quran karena warga kampung ini masih kental dengan agama. Makanya mereka berdatangan karena menuduh anakku berzina dengan mantan bapak mertuanya sehingga bisa mengotori kampung. Sebuah pemikiran menurut ajaran agama kami. Itulah kenapa aku minta sumpah di atas kitab suci Allah. “Bu Yuni yakin mau mengadakan sumpah Al Quran depan semua warga?” Pak RT bertanya seolah tidak percaya dengan apa yang aku katakan.“Ya, Pak. Aku yakin seribu persen,” jawabku lancar tanpa ragu.“Ya! Aku juga mau bersumpah agar semua lihat kalau aku tidak pernah selingkuh dengan Bapak. Memang aku yang mengurus kala Bapak sakit dan hanya bisa berbaring di tempat tidur karena kecelakaan dulu, aku yang membersihkan kotoran Bapak sehingga kami dekat seperti anak dan Bapak kandung. Makanya setelah aku diceraikan, beliau datang berkunjung. Saat itu jug