Share

Part 6 Dipersulit

Part 6 Dipersulit

“Tapi, Nak. Kalau kalian tinggal di rumah Ibu, setidaknyabisa menemani Ibu yang tinggal sendirian. Lagian kalian bisa pasang AC.” Aku berusahamembuat Mila dan Haris menerima tawaranku.

“Bu Yuni, rumah kami cukup besar dan nyaman kok. Kalau Ibumau, Ibu bisa berkunjung setiap hari ke sini.” Bu Ida berucap terdengar sangatbaik.

“Iya, Bu. Lagian kita tinggal juga tak jauh kok.” Haris jugamenolaknya.

Kutatap wajah Mila. Ia masih memperlihatkan senyum sepertitak ada beban. Pasti ada yang disembunyikannya hingga tak mau cerita denganku. Hatikutak akan puas sebelum mengetahui apa yang terjadi.

Ya Tuhan, kali ini aku buntu ide. Bagaimana caranya membuatMila bicara terbuka. Ia bukan seperti Mila yang aku kenal. Namun, siapa punyang melihatnya kini, pasti tak akan percaya kalau ia menantu di rumah ini. Pastidisangka pembantu.

“Mil, tadi aku beliin baju baru. Ada di kamar. Masa kamupakai baju jelek. Aku udah bilang buang baju ini tapi kenapa masih dipakai?”

Hah? Haris seolah tahu saja apa yang aku pikirkan. Ya, akumenatap Mila berkali-kali dari ujung kaki sampai ujung rambut, pun ibumertuanya. Mungkin Haris membaca dari gerak mataku.

“Iya, Mas. Aku juga nggak sempat ganti baju karenaterburu-buru.”

“Bu Yuni, diminum dulu tehnya. Maaf ya, hanya teh aja. Karenakami baru aja sampai dari Bekasi.”

Aku mengambil segelas teh depanku, lalu meneguk sedikit saja.Mila dan Haris mulai duduk di sofa panjang. Posisiku duduk di kursi antara sofapanjang dan sofa yang diduduki Bu Ida.

“Gimana jualannya, Bu?” tanya Haris.

“Alhamdulillah selalu habis. Kerjaan kamu gimana, Ris?” Akupun balik tanya berbasa basi.

Haris duduk sambil menggenggam tangan Mila seolah merekaseperti pengantin baru saja. Mila pun tampak senang dengan senyum cerah di wajahnya.

‘Sandiwara apa yang kamu mainkan, Nak?’ hanya bisa bertanyadi hati melihat putriku.

“Baik, Bu. Untung bisa mutasi pulang kampung. Lagian diBekasi, Ibu dan Bapak sudah tak ada usaha lagi semenjak toko jamu kamiterbakar. Kalau di kampung, Ibu rencananya mau jalankan usaha lagi.”

Setahu aku mereka punya sawah yang disewakan. Bagi hasilsetiap kali panen. Keluarga ini termasuk punya tanah warisan yang cukup luas.Itulah kenapa keluarga ini termasuk keluarga terpandang di kampung ini.

“Jadi udah netap tinggal di kampung ya, Ris?”

“Iya, Bu.” Bu Ida yang menjawab. “Lagian di Bekasi kami bisatak makan karena tak ada pemasukan kecuali gaji Haris. Sudah coba jualandaster, tetap aja nggak mencukupi. Bukannya untung malah rugi karna barangkurang jalan. Ujung-ujungnya pulang ini kami lelang rugi daster tiga karung.”

Ia punya banyak perhiasan emas, tak mungkin kesulitan uang.Entah kenapa apa yang diucapkan tak sesuai yang terlihat.

Aku pulang dengan perasaan tak tenang. Semua masih tandatanya besar. Kesulitanku di sini adalah tentang Mila. Ia terkesan tidak inginaku ikut campur.

‘Nak, kenapa kamu seperti ini? Kenapa, Nak?’ batinku denganair mata berjatuhan kala motor terus melaju pulang.

Akan tetapi, aku tak langsung pulang. Singgah ke rumah Jeniuntuk menumpahkan semua rasa sedih. Hanya dia teman seperti saudara. Bahkankami saling bantu membantu dalam masalah hidup.

“Aku kira kamu datang malam. Kok udah pulang aja?” tanyaJeni. Kami duduk di bangku kayu bawah pohon mangga depan rumahnya. Ini tempat favoritkami kalau berbagi cerita sambil melihat orang-orang lalu lalang sekedarmencuci mata melihat keramaian.

“Jen, aku ..., aku ....” Air mata ini tumpah lagi. Taksanggup menahan rasa sedih, menangis adalah cara membuat hati lega. Namun bukanberarti aku lemah mengalah. Tidak! Aku akan terus berusaha mengeluarkan anakkudari lingkaran hidup rumah tangganya, jika itu membuatnya tak bahagia.

“Aku tahu kamu sedih masalah Mila. Maaf ya, aku hanya maujujur kalau Mila seperti ....” Jeni tak melanjutkan kata-katanya. Aku tahu apayang ada dalam pikirannya tentang anakku.

“Aku ke rumah mertuanya, tapi semuanya berubah dalam sekejapsaat Mila keluar dengan Haris setelah membuatkan aku minum. Aku yakin iadimarahi Haris hingga secepat itu wajah anakku berubah bahagia, Jen. Padahaldari rumah saja ia menangis meratapi anaknya telah meninggal.”

“Ya Allah, kasihan Mila. Lihat aja pakaiannya, tidakterlihat seperti menantu anak orang kaya.”

“Banyak ucapan Mila tak masuk akal. Masa tak sempat gantibaju. Padahal sebelumnya sudah beritahu akan pulang kampung. Kalau ia sudahberada di rumah mertuanya, kan bisa ganti baju dulu baru menemuiku. Ini sepertiia tak punya baju lagi, Jen.” Aku berucap dengan suara parau karena menangis.

“Sudah, hapus air matamu. Kita bisa dilihat orang yanglewat, Yun.”

Jeni benar, aku menyeka air mata dan menghela napas panjangagar hati tenang.

“Yun, semua belum terlambat. Mila masih bisa mendapatkansuami yang lebih baik. Toh umurnya masih muda. Sekarang, kalau benar Mila takbahagia dengan pernikahannya, kita usahakan mereka bercerai. Aku tak masalahmenanggung dosa ini membantu karena Mila seperti anakku juga.”

Malam ini, mataku tak bisa tidur memikirkan nasib Mila.Apakah ia sedang dimarahi ibu mertuanya? Apakah Haris memperlakukannya burukhingga ia semakin kurus? Atau ..., argh! Aku tak bisa tenang sebelum mengajakMila tidur di sini dan akan kutanyakan kenapa ia tak mau jujur. Apa sebenarnyayang ia sembunyikan.

Kuputuskan menemui Mila lagi. Sudah jam sebelas malam mata initak bisa tidur. Bahkan air mata terus berjatuhan.

Aku harus punya alasan ke sana. Mungkin dengan membawa sayuradalah sebuah alasan. Malam ini kupetik sayur dua ikat, lalu meletakkannya dimotor. Barulah melaju motor ini dalam kegelapan.

Sampai di rumah mertuanya Mila. Kutelepon Mila mengajaknyapulang. Namun, lagi-lagi penolakan yang aku terima.

“Ibu nggak usah ke sini, ini udah malam.”

Aku belum beritahu kalau sudah depan rumah mertuanya.

“Ibu mau jemput kamu tidur di rumah.”

“Besok siang aja aku ke rumah Ibu kalau Mas Haris sudah berangkatkerja, Bu.”

“Tapi Ibu sudah ada depan rumah mertuamu, Mil.”

“Aduuh, Ibu kenapa nekat sih? Kalau Ibu sakit masuk angingimana? Ini kan udah malam.”

“Ibu pengen kamu tidur di rumah malam ini! Bilang Haris! Ibusudah depan rumah.”

“Tapi, Bu, Mas Haris nggak ada di rumah.”

“Apa nggak bisa kamu keluar temui Ibu sekarang?”

Mila seperti tak mau bertemu. Padahal aku sudah di depanrumah yang dibuninya kini. Karena kesal dengan jawabannya, aku berucap dengannada emosi.

Tak lama kemudian, pintu dibuka. Mila keluar dan melangkahmendekat. Aku masih duduk di atas motor yang tidak menyala.

“Ibu,” sapanya.

“Matamu sembab. Kamu habis menangis?” Cahaya lampu terasrumah ini masih menerangi wajah putriku.

Jadi ini penyebabnya dia tak mau menemui aku. Yaitu tak mauaku tahu ia menangis.

“Mmm nggak kok, Bu.” Ia masih menyangkal.

“Sekarang kamu naik motor dan ikut Ibu pulang!”

“Tapi, Bu. Mas Haris pasti marah kalau aku pergi tanpaizin.”

“Biar Ibu yang meneleponnya! Lagian kenapa ia melarang? Kankamu ke rumah Ibu!” Aku muak dengan sikap Mila bertele-tele seolah aku inibukan siapa-siapa.

“Tapi, Bu. Aku harus tunggu Mas Haris pulang dulu.”

“Malam begini ke mana suamimu?”

“Mm katanya mau minum kopi kumpul dengan teman lamanya. Kan barupulang kampung, kami tak mau dibilang sombong.”

“Sekarang kamu naik dan ikut Ibu! Kalau tidak, Ibu akan menabrakkandiri ke jalan raya!” Hanya ini caraku membuat Mila menuruti perintahku. Yaituancaman.

“Jangan, Bu! A-aku tutup pintu dulu dan ambil jaket.”

“Lima menit aja, cepat lakukan!”

Mila berlari masuk rumah karena takut dengan ancamanku. Akan kulihat apa reaksi Haris dengan membawa Mila tidur di rumahku.

Bersambung

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Hui Angel
good ibunya pengertian
goodnovel comment avatar
Endah Hadijah
cari sponsor dong biar pembaca gak berbayar
goodnovel comment avatar
Asa
seorang ibu yg keren bgt...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status