Share

Part 5 Di Rumah Mertua Mila

Part 5 Di Rumah Mertua Mila

Sekilas saja aku bisa merasakan kalau Mila diperlakukan tidakbaik di rumah ini. Ibu Ida mertuanya, berdandan dengan pakaian bagus danperhiasan melingkar di leher, pergelangan tangan dan beberapa jari tangannya.Mirip dengan toko emas berjalan. Sementara putriku, pakaian lusuh bahkan badankurus kering.

“Eh, Bu Besan,” sapa bu Ida, lalu melangkah mendekat.

Cuih! Dia sok ramah.

Aku masih diam menatapnya dengan gejolak emosi ingin rasanyamenamparnya. Akan tetapi Mila langsung memegang tangaku seolah memohon agar akujangan cari keributan. Sorotan mata Mila membuatku tak tega kalau tidak menurutinya.Namun, bukan berati aku diam. Aku akan bicara dengan Haris agar tinggal saja dirumahku agar Mila bisa jauh dari mertuanya yang berlagak seperti majikan yangsuka memerintah-merintah pembantu.

‘Oke, aku akan lihat permainan kalian,’ batinku. Kulihat difoto di dinding, ada seorang lelaki berpakaian seragam polisi. Aku tahu, ia adalahkakak iparnya Mila.

Kalau aku bertindak kasar, akan mudah bagi wanita bergelaribu mertua anakku ini akan bertindak. Biar aku hidup sederhana dengan profesipenjual daging, bukan berati bodoh. Dandanan boleh kampungan, tapi pikiranharus panjang. Itulah gunanya aku sering menghabiskan waktu jika waktu luangsekedar membaca-baca artikel di inernet.

“Apa kabar Bu Ida?” sapaku berusaha ramah.

Kami bersalaman.

“Baik, Bu. Maaf ya, kami nggak bawa oleh-oleh karna balikkampung mendadak aja.”

Setahu aku, Mila menelepon memberitahu kalau ia dan mertuanyaakan pulang kampung tiga hari yang lewat. Makanya aku merasa aneh saja tentangsikap Mila tak sempat pakai baju bagus karena terburu-buru takut ketinggalanpesawat.  

“Nggak apa-apa, Bu Ida. Pasti cuciannya banyak ya sakingsibuknya dan terburu-burunya,” jawabku menyindir dengan gejolak hati amarah.

“Mmm, masuk dulu, Bu Yuni. Lagian nggak enak bicara sambilberdiri.”

Aku tahu ia terpaksa menyambutku dengan ramah. Matanya takbsa berbohong betapa ia tak suka melihatku.

Aku masuk dan duduk. Biar ini rumah mewah bagiku, tak adarasa takut walau ada foto iparnya Mila berseragam polisi terpajang di dinding.Aku hanya tak mau terjebak dalam emosi dengan bersikap bar bar melukai Bu Idahingga terpaksa berakhir di penjara. Tidak! Aku akan cari cara lain. Kapanperlu aku minta Mila untuk bercerai.

“Mila Sayang, bikinin ibumu minum.”

“Iya, Bu.” Mila berlalu secepatnya ke dalam.

Wah, ia bersikap baik depan aku. Jika aku tak secepatnya menunjukkandiri tadinya, mungkin semakin banyak yang didengar dari mulutnya memerintahanakku seperti pembantu.

“Mila sangat rajin, aku beruntung punya menantu seperti dia.Masakannya juga enak.”

Hah? Manis sekali ia memuji anakku.

“Iya, tapi rajin bukan berarti semuanya dia yang kerjakanloh, Bu. Lihat aja badanya kurus kering,” jawabku sinis.

Ya Tuhan, sulit sekali bersikap manis pada besan.

“Ibu Yuni salah paham deh.” Ia menyilangkan kakinyamemperbaiki duduk. “Tadi aku sedang kesal dengan Rosi, masa pakaian ditumpukaja. Trus marahnya terbawa ke Mila. Padahal niatnya mau antarkan pakaian kotorke laundry. Tinggal bayar aja, pakaian bersih dan wangi. Ibu pernah bawapakaian ke laundry nggak?”

Apa ia mau menghinaku dengan bertanya ini?

“Aku cuci pakaian sendiri, Bu. Maklumlah, pakaianku agakamis darah daging sapi, dan butuh pewangi pakaian lebih banyak. Lagian akumasih kuat nyuci sendiri.”

Aku tahu dia pura-pura. Oke, aku akan ikuti alurnya denganpura-pura baik juga hingga nanti aku bicara dengan Haris. Jika Haris tak bisamembahagiakan Mila, aku sendiri yang akan memintanya menceraikan Mila.

“Oh, pantas ya Bu Yuni lengannya terlihat berotot karenasering keluarkan tenanga.”

Hah? Aku memakai jilbab tapi ia masih melihat lengankuberotot. Apa ini hanya bentuk basa basi ingin memperjelas perofeiku yang rendahmenurutnya.

“Iya, Bu. Aku sudah biasa mencincang daging makanya lengankuberotot. Pernah waktu Mila SD, dia digigit kucing, aku kesal karena kucing itu menyakitianakku. Hari itu juga aku c*ncang kucing itu depan pemiliknya.”

“A-apa? C*ncang kucing?” Suaranya keras dengan matamembelalak.

“Iya, Bu Ida. Ini bentukku melindungi putriku.” Semoga dengansindiran ini ia merubah sikapnya pada Mila.

Bu Ida terlihat menelan air ludahnya dengan mimik wajahtegang. Entah memikirkan apa. Bisa jadi memikirkan aku menc*ncang dagingkuc*ng. Ya Allah, mana tega aku membunuh binatang kesayang nabi. Tentang Milaitu hanya cerita bohong untuk menakut-nakuti Bu Ida.

“Eh, Ibu.” Tiba-tiba Haris muncul. Ada Mila di belakangnyasambil membawa nampan berisi tiga gelas teh.

“Apa kabar Haris?” tanyaku kala Haris mencium punggung tanganku.

“Baik, Bu. Maaf aku belum sempat berkunjung karena sibukngurus surat-surat. Tadinya mau jemput Mila, tapi Mila bilang nggak usah karnaia mau diantarkan Ibu.”

Kok berbelit-belit ceritanya? Mila malah menolakku untukdiantarkan. Dan tadi saat aku menguping pembicaraan Mila menelepon, ia mintadijemput tapi Haris seperti keberatan karena Mila terdengar mengeluh.

Aku yakin kehidupan rumah tangga putriku tidak beres. Kebohongandan kepura-puraan terlihat jelas.

“Haris, kerena kalian sudah balik kampung, sebaiknya tinggaldi rumah Ibu aja. Lagian Ibu sendirian.”

Sebaiknya Mila keluar dari rumah ini.

“Nggak bisa, Bu Yuni!” sanggah bu Ida secepatnya.

Kualihkan pandangan pada Bu Ida. “Loh? Kenapa Bu Ida?”

“Mm kan rumah ini besar, kenapa menantu dan anakku harustinggal di luar.”

“Bu Ida, rumahku bukan rumah asing kok.”

Haris merangkul bahu Mila sambil berdiri. “Bu, aku tinggaldi sini aja, lagian Mas Haris tidak terbiasa tidur tanpa AC,” kata Mila menolakmentah-mentah. Wajah Mila terlihat ceria seperti tidak tertekan lagi. Ada apadengannya? Kenapa ia mau bertahan di sini? Saat bersama Haris, mimik wajahnyalangsung berbeda.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status