"DIRIMU AKAN MENJADI DIRIKU, KAU AKAN MENERIMA BALASAN ATAS APA YANG TELAH ENGKAU KATAKAN!" pekik Dewi angin mengudara.
Tubuh Anila yang berada dalam genggaman Dewi angin dilempar jauh ke langit, tubuhnya digulung habis oleh pusaran angin. Tangan kiri sang Dewi membuat sebuah kabut tebal berwarna merah kehitaman.
Wajah geram Dewi angin sangatlah menakutkan, ditambah kabut yang berada dalam cengkramannya telah siap diarahkan kuat menerjang tubuh Anila.
Tubuh mungil kecil itu terpanting jauh ke angkasa, Anila tidak jatuh, tubuhnya menggantung, tertahan di udara.
Wajahnya digulung sedemikian rupa, dadanya terasa sesak seperti di timpa seribu batu yang menghantam tiba-tiba.
Jantungnya seperti hendak dikeluarkan paksa, hingga tiada lagi satupun kata yang mampu keluar dari mulutnya. Namun, matanya masih terus terpejam."Aeh..."
Hanya sebuah hembusan kasar nafas terakhir yang mampu Anila tunjukkan dari rasa sakit yang sungguh luar biasa. Kalau kalian coment, aku update...Aku nungguin kalian tau :')
"Bukankah tadi Erika membentak-bentak memanggil, kok malah diam?" "OMG... Bidadari masuk ke kelas kita..." atur Dasha terpukau. Teet Teet Teet! Bel tiga kali telah berbunyi, semua siswa lekas berlarian masuk ke dalam kelas. Pak Malik dengan muka garangnya, berjalan sangat buru-buru menuju kelas Anila. "Ayo anak-anak kita sege–" perkataan dan perjalanannya berhenti mendadak di bingkai pintu.Tubuhnya senyap. "Oh, siapa dia ini?" Matanya berkedip satu kali saja. "Ya Tuhan! Ini pelajaran pak Malik! Bolanya belum aku ambil..." seru otak gadis itu tiba-tiba. "Maaf, Pak, saya akan segera pergi mengambil bolanya sekarang..." Gadis itu segera menaruh tasnya dan berlari keluar. "Eits, sudah, tidak usah, mari duduk!" Pak Malik kembali mendorong punggung gadis itu untuk duduk. Menyuruh Ilona yang duduk di depan, berganti tempat dengannya. "Kenapa si dengan orang-orang? Kok pada aneh sikapnya?" Gadis itu mengerut
Anila baru pulang sekolah ketika senja tiba. Dia merasa sangat tidak nyaman berada di sekitar banyak orang. Semua orang menatapnya dengan tidak biasa. Padahal menurutnya mukanya tidak berubah sama sekali. Anila melepas sepatu, memasuki rumah. "Kenapa mukamu kusut begitu? Gimana sekolahnya tadi?" tanya Ibunya menyiapkan makan untuk sore hari itu. "Semuanya sama," jawab Anila tetap menekuk mukanya. "Sama?" tanya Ibunya lagi, Anila berkata di dalam hati, "Iya sama, kaya pertama kali aku masuk ke rumah selumbari," Saat pertama kali Anila baru keluar kamar dengan muka berbeda, Ibu,Kakak, Adiknya tidak percaya, mengintrogasi terus-menerus, hingga hampir saja Anila diusir dari rumah gara-gara dikira penyusup. Untung saja, keluarganya masih percaya pada ucapan Anila. Dapat menjawab seluruh pertanyaan yang dilontarkan oleh Kakak, Adik, dan Ibunya. "Bagaimana mukamu dapat menjadi cantik?" tanya kakaknya. "Aku gatau, kak,
Pertandingan basket yang dibicarakan pak Malik pada saat menduga Anila, kini telah sampai.Kata esok pekan telah berubah menjadi pekan ini.Sekolah Anila terpilih menjadi tuan rumah pertandingan bola basket antar provinsi. Semua anak-anak organisasi sibuk mempersiapkan acara yang akan berlangsung, dimulai hari ini. Beberapa di antara mereka sedang memasang sebuah poster besar di gerbang depan. ~ Welcome to Cassandra High Schoolin Summer Competition ~ Beberapa anak lain heboh berlatih untuk pertandingan yang akan membawa nama baik sekolahnya masing-masing.Bus-bus dari luar kota berdatangan siap untuk menginap dan mengikuti jalannya pertandingan sengit antar sekolah hingga usai. Anila berniat berangkat telat hari ini. "Gapapalah telat, ga ada pelajaran juga," ucapnya yang baru bergegas pukul delapan pagi itu. "Semoga hari ini, gaakan ada kejadian aneh-aneh, Ya Allah.... Mukakuu..." batinnya dengan meraba-raba mukanya.
Anila mengisak ingusnya beberapa kali, air matanya deras terurai. Para juri sudah berkaca-kaca. Menunggu kelanjutan lagu yang dinyanyikan oleh Anila. "Ayo, Anila!" desus sang pembawa Acara geram. Sekolahnya harus menang, dan mengapa mengapa ia menghentikan lagunya di tengah jalan seperti ini. Aldrich menatap Anila sendu, Ia mengulum senyum di antara kerumunan. Tangannya tetap tersaku, dan tudungnya tetap utuh, walau beberapa kali ia menunduk terbawa perasaan oleh gadis cantik yang bernyanyi di hadapannya. Instrument tetap berjalan kosong.Aldrich kembali tersenyum simpul.Aldrich mengisi nada yang kosong dengan suaranya. °°° .•♫ It's time to face the music, you're my inspiration.•♫(Ini saatnya untuk menghadapi musiknya, kamu adalah inspirasiku.) .•♫ In another life, you would be my girl.•♫(Di kehidupan selanjutnya, kamu akan menjadi kekasihku) .•♫ We keep all our promises, be us aga
Anila menatap sejenak kotak sampah di depan langkahnya. Tetapi tiba-tiba ia merasa ada yang aneh.Saat Anila berniat mengintai sekitar, ternyata itu, tangannya. Tangannya mulai menghilang."Oh, Tidak! Bukankah ini belum waktunya? Ini masih siang, dan matahari masih terik di atas," kata Anila terkejut. Dengan sigap, dirinya menutupi tangannya di depan, membawanya berlari,"Tasku!" Anila mengambil tasnya saat melewati kelas, membawanya masuk ke kamar mandi. Banyak siswa menatap heran, sikapnya sungguh tak biasa bagi mereka.Anila menutup pintu, dia harus mengerti apa yang harus segera dia lakukan. Mencoret asal pada buku 'Mereya' itu. Sesegera mungkin, sebelum seluruh tubuhnya benar-benar raib. "Apa kalian melihat Anila?" tanya salah satu siswa pada murid yang berlalu-lalang. "Dia masuk ke kamar mandi, sebelah sana, sepertinya," "Terima kasih," ucapnya. "Anila! Apakah kamu di dalam? Dirimu menang lomba solo
Deg!Matanya kembali terbuka. Anila tersadar, dan dia mengerti sekarang. Semuanya tampaknya lebih mudah dari yang dia bayangkan. Menemukan orang? Memasuki orang tersebut? Itu sangat mudah bukan? Intinya, yang terpenting adalah dia harus selalu berada dalam keramaian orang-orang. Harus selalu berada di sisi seseorang untuk menjaganya tetap menjadi manusia. "Yas!" Anila mengepalkan tangannya, memasukkan buku 'Mereya' itu kembali ke dalam tas. Sekarang dia tahu bagaimana caranya berubah dari angin menjadi manusia tanpa harus bolak-balik dari Alam buku. Yaitu, menumpang jiwa ke manusia lain, memasukinya. Buku itu banyak membantunya, saat Anila menuliskan '3A' di atasnya. Anila selalu menemukan jawaban atas apa yang dipikirkannya, begitupun dengan detik ini. Babak kedua pertandingan bola basket telah usai. Aldrich memang menang babak pertama, babak kedua team-nya kalah.Bukan sebab kemampuannya berkurang. Team SMA Alegars bermain dengan tidak s
Anila duduk di meja belajarnya, menghadap sebuah buku 'Mereya' dan beberapa buku pelajaran.Niatnya belajar, tapi pikirannya ruwet. Tiap kali dia membaca sebuah judul dan sedikit penjabaran. Otaknya selalu berkeliling ingin mengartikan penjabaran tersebut secara lebih detail dari yang dituliskan. "Halah! Taulah!" Anila menutup buku sekolahnya, melemparkannya di meja, sembarang. Bergantian mengambil pena. Lebih baik dia menulis puisi saja, jika begini. "Kakak! Kakaaaakk!!" teriakan tidak sabaran Ayar terdengar dari balik pintu. "Apa, sih.... Masuk Ayar sayang, masuk...." ucap Anila berusaha menetralkan kembali emosinya. Ayar duduk di ranjang Anila. Mukanya menyiratkan rasa sebal kepada seseorang, pipinya ditahan membesar. Matanya hampir hilang tertutup besarnya pipi chubby-nya itu. Anila mencubitnya, "Ada apa? Kenapa si Adikku sayaaang...?" "Ayar sebel kak," dengusnya. Anila ikut duduk di samping Ayar. Kakinya disatuk
"Kakak! Itu Ayar–" Candra menunjuk Ayar yang berada sedikit jauh dari posisi Anila berdiri. "–dan itu kakaknya, dia berniat memarahiku sedemikian rupa, makanya aku mengadu pada kakak dan meminta kakak kemari. Untung saja kakak tadi datang tepat waktu," jelas Candra dengan nada manja, tetap memeluk erat pinggang Aldrich. Ayar tak mau kalah. Dia ikut menghampiri Anila lantas juga memeluknya. Candra dan Ayar saling mendengus satu sama lain. Sifat anak-anak mereka masih sangat tampak walaupun di usia yang sudah delapan tahun. Itu adalah usia sifat anak SD paling imut. "Jadi, kamu kakaknya gadis cantik ini?" Tangan Aldrich maju, mencubit pipi Ayar. Terpaut sebuah lesung pipi diwajah Ayar setelah Aldrich menarik kembali tangannya. "Ya, apakah pria menggemaskan ini adalah pangeran kecilmu?" Anila mengikuti gaya Aldrich, menarik ke bawah topi yang digunakan Candra. Rambut tebalnya yang terlihat rapi, ikut tertarik ke bawah mata. Candra mengaduh, lantas memben