Telah menjadi kebiasaan Anila mencurahkan semua keluh-kesahnya pada sebuah buku.
Bukan karena tidak percaya pada orang lain, tetapi memang orang lain lah yang enggan membagi telinganya untuk mendengarkan Anila.
Telinga terbaiknya kini telah pergi. Satu-satunya orang yang berbaik hati menyumbangkan seluruh panca indranya hanya untuknya.~•~
[GATA]
Anila mulai menulis sebuah puisi di buku diary aneh, yang tiba di kamarnya kemarin.
[Setega itu dirimu hadir,
dan setega itu pula dirimu menyingkir.]Tangannya masih terus menggores tinta, bahkan tinta dari matanya pun ikut keluar.
[Bersuka ria kita hardik waktu bersama-sama
bisa-bisanya kau pergi hanya sebab ku pinta.]Otaknya mulai berantakan. Tidak mau berhenti memikirkan kejahatannya tidak mendengarkan penjelasan Gata kemarin.
[Bukankah kamu temanku?
atau dirimu sama seperti mereka yang hanya memanfaatkanku.][Jika begitu benar kata mereka. Benar tiada yang mencintaiku. Tiada.. tiadaaaa...]Air matanya masih terus mengalir.
Tepat di bait terakhir. Anila tidak menuliskan hurufnya dengan rapi di garis, bahkan di huruf A, Anila mencoret sesukanya. Padahal buku bersampul Mereya itu masih baru.
Anila tidak perduli. Dia terus mencoret-coret secara asal. Tangisannya menggelegar di dalam kamarnya yang tertutup.Pintu kamarnya dikunci. Agar tidak ada yang menganggu.Mendung tiba-tiba membuat seluruh awan berubah hitam. Sore yang akan gelap itu semakin pekat.
Maghrib akan segera tiba, Anila tetap tidak perduli. Sedari tadi dia tidak keluar kamar, tidak makan, tidak mandi, tidak minum, buang air, atau apa pun.
Anila tetap membaringkan kepalanya di kamar yang berceceran buku. Buku-buku itu jatuh dari rak saat Anila mengambil diary-nya secara lunglai tak mau beranjak.Coretannya semakin berantakan. Menekan pena secara kuat-kuat membuat bukunya tergores robek.
Goresan yang dibentuknya. Tanpa disengaja itu membuat sebuah lambang segitiga berhuruf A kapital.Malam benar sudah tiba. Kegelapan telah datang menghempas matahari pergi. Bulan kalah bersinar dengan tertutupnya awan hitam.
Lampu kamar Anila tidak dinyalakan, hanya lampu tidurlah satu-satunya memberikan sedikit penerangan.Tiba-tiba kamar menjadi terang berderang. Anila dengan mata sembab menjauhi cahaya yang berasal dari buku di hadapannya itu.
Terus-menerus cahaya yang keluar semakin terang. Anila semakin tak kuasa membuka matanya. Bahkan, tangannya harus membantunya menahan silau.
Buku itu membesar semakin terus besar. Tetapi, keanehan yang terjadi saat buku itu membesar semua itu terjadi tidak di dalam kamar lagi.
Anila tidak melihat apapun. Dia menutup matanya rapat-rapat.
Ketika cahaya yang mulai memudar dan menghilang perlahan. Barulah Anila perlahan membuka matanya.Benar-benar aneh. Anila tidak berada di dalam kamarnya lagi. Tidak ada sedikitpun dalam benaknya. Sekarang dirinya telah berada di alam bebas. Di depannya terdapat buku diary yang ia tulis tadi dengan ukuran sangat besar.
Sebesar bangunan rumah gubuk.Buku itu telah terbuka pada lembaran sebelah kanan yang Anila tulis tadi. Dia telah menggores lambang mantra sebuah huruf A ditengahnya tertambah angka 3 yang membuka sebuah pintu menuju suatu tempat lain.
Anila belum pernah melihat hal ini sebelumnya. Apa lagi melihat kejadian seaneh ini. Baginya ini suatu ketidak mungkinan.
Anila sangat bingung harus pergi kemana, di sekitarnya hanya terdapat alam luas tanpa ada tujuan satu pun. Hanya buku itulah satu-satunya tempat yang dapat dia tuju.
Ia memutuskan akhirnya untuk memasuki pintu buku yang membentuk segitiga huruf A tadi.
Anila melangkah masuk dengan perlahan. Rasanya ada yang seperti mendorongnya.Setibanya dia di dalam, pintu itu tiba-tiba sudah tertutup lagi. Di belakangnya tidak ada apapun. Pintu itu telah hilang, dan di dunia aslinya, buku itu telah kembali ke bentuk semula.
"Wah.. Dimana aku?" kata Anila takjub dan heran.
Tangisannya tiba-tiba menghilang, sepertinya tidak pernah menangis sebelumnya.
Mata Anila terus mengamati sekitar langkahnya. Perlahan, berdiri di depannya sebuah gerbang seperti gapura yang menjulang tinggi serta kokoh. Ada sebuah tulisan yang menghiasi gapura itu,
"Wel-come to the world of Ma-gic books" baca Anila terbata. Dahinya mengerut binggung.
Pintu Gerbang gapura itu terbuka otomatis, saat Anila menambah langkahnya.
Anila sangat takjub dibuatnya,
"Wow... " ucapannya sembari terus berjalan maju. Pandangannya tetap terpaku kebelakang. Mengamati gerbang itu tertutup.
Anila melanjutkan langkahnya. Menangkap sebuah desa dihadapannya.
Itu benar-benar di luar dugaan anila.
"Its, Amazing! "
Anila menatap rumah dan orang-orang yang sedang beraktivitas. Rumah disana tidak biasa. Dibangun dari buku-buku yang disusun berdiri seperti sebuah kompleks apartemen. Namun, bedanya itu menggunakan buku tersusun berdiri disamping.
Di barisan iringan buku terdapat jendela dan pintu-pintu rumah yang terbuka. Beberapa anak bermain dengan tali penanda buku.
Orang-orang beraktivitas dengan sangat aneh. Ada yang memetik dari pohon yang berbuah buku.
Dan anak-anak lainnya sedang menyirami tanaman yang berujung buku juga."Bagaimana bisa semua hal disini berkaitan dengan buku?" Pandangan Anila menyapu sekitar, "Semuanya adalah buku."
Anila terus berjalan mendekat, mengamati setiap jengkal alam buku itu.
Jalannya melamun melihat orang-orang yang ramai hilir mudik melintas.
Anila melihat ada ibu-ibu yang sedang mengambil air dari sungai, saat pandangan Anila mengikuti arus sungai, ujung aliran sumber sungai itu, juga sebuah buku.
Anila masih tidak mengerti dimana dia.Tiba-tiba ada dua orang anak kembar yang tidak bisa diam, mereka selalu berdebat dan menjahili satu sama lain. Kedua anak kembar yang sedang berebut sebuah buku itu, menabrak jalan Anila.Brugh!
Anila terjatuh.
"Aw!" desis Anila.Kedua anak itu terdiam tiba-tiba.
Mereka sungguh kaget melihat penampilan Anila paling berbeda di antara yang lainnya."Ouh," mereka kompak menutup mulut heran.
Satu anak diantara mereka mengangguk memberikan sebuah kode. Kemudian, keduanya kompak menarik tangan Anila bersamaan. Membawa Anila pergi ke sebuah tempat."Lepaskan aku," Anila memberontak "Lepaskan!" Anila terus berteriak untuk meminta dilepaskan, tetapi mereka tetap membawanya ke sebuah tempat.
Kedua anak itu membawa Anila dibawah sebuah pohon yang tumbuh diatas buku yang amat besar.Anila terdiam mengamati sekitar sebentar.
"Kalian ini–"
"Kamu siapa?! " tanya kedua anak itu kompak dan cepat."Kalian berdua ini–"
"Kamu berasal dari mana?" mereka memotong perkataan anila lagi, bersamaan."Aku Manusia juga kok–"
"Hah manusia?!" Mereka bergegas mundur menjauhi Anila. Keduanya saling berbisik tidak tahu apa.
"Sepertinya mereka sangat terkejut mengetahui bahwa aku ini manusia, mengapa? Bukankah mereka juga manusia?" batin Anila menatap kedua anak itu berbisik.
"Aku ini dimana?" Saat Anila bertanya dan beranjak berdiri untuk mendekat kepada kedua anak itu, mereka justru malah berlari kencang.
"Hei! jangan lari!" Anila mengajar kaburnya kedua anak kembar itu.Mereka berkejaran mengelilingi kota. Melewati sebuah jembatan buku, melewati pohon buku, perpustakaan terbuka, dan melewati ramainya pasar buku.
Jalanan semakin ramai.
Anila berjalan perlahan kehilangan jejak kedua anak itu. Anila fokus mengamati sekitarnya dengan lamat. Mencari di mana anak itu bersembunyi.
Di sebuah toko buku, semua buku terdiam, kecuali, ada satu buku yang lembarannya terus bergerak-gerak tanpa adanya angin.
Anila bergegas membalik lembaran kertas setinggi mobil truk. Tepat, Anila melihat kedua anak itu sedang bertengkar di dalamnya."Nah, ketahuan kan kalian!" Anila menyeringai senang. Menggandeng tangan keduanya berseberangan.
"Katakan padaku, kenapa kalian berdua lari?"Mereka sering menatap dan menggeleng-gelangkan kepala. Pura-pura tidak tahu.Anila mengancam akan merobek buku yang mereka rebut kan tadi, jika tidak mau berkata jujur. Buku itu berada di tangan Anila.
"Jangan kak, jangan..." Larang mereka bersamaan."Ayo cepat katakan..." Anila mulai menggoda.
Mereka tetap menggeleng tidak mau. "Oke, kalau kalian tidak mau, buku ini..." Anila mengambil satu lembar untuk segera dirobek."Tidakkk... Tidakk!" Mereka berteriak.
"Ayo katakan" ancam Anila dengan tanda-tanda akan segera merobek buku itu.
"Oke, oke kami akan katakan..."
"Ikut kami kak,"
Mereka membawa Anila pergi ke sebuah rumah. Rumah itu dibangun atas susunan beberapa buku sebagai batanya. Atapnya juga buku yang dibuka, beberapa tali penanda buku pada batanya keluar rumah.Ada sebuah teras kecil dari kayu dan tingkat kecil dari buku-buku kecil. Seorang wanita tua duduk di halaman rumah. Ia sedang membaca buku. Di hadapannya terdapat meja dengan tumpukan buku yang tingginya sekitar satu meter. Anila lagi-lagi dibuat heran dan takjub, yang dia tahu buku, ya hanya buku diary. Anila tidak pernah menyangka ada alam yang benar-benar menjaga buku. "Nenek," sapa kedua anak kembar itu. "Oh cucuku, kemarilah, Nak," hatur sang Nenek tua yang kulitnya telah keriput dan rambutnya yang panjang telah memutih. Anila melangkah."Siapa yang bersama kalian?," tanya sang nenek. "Maafkan kami nek," ujar salah satu dari mereka. "Ada apa, Cucuku?" "Semua ini salah Takbaku, Nek," tuduh salah sa
Terpaksa malam itu, anila harus makan dua kali. Walaupun, perutnya benar-benar menolak. Tetap saja dia harus makan. Akibatnya, selama 12 tahun dia bersekolah. Pagi ini Anila mencetak rekor pertamanya terlambat datang ke sekolah. "Hey, Anila kok bisa terlambat, biasanya kan jam enaman udah minta dibuka,–" tanya Pak Wandi "–Apa semalam kamu harus lembur juga keliling sekolahan gantiin bapak buat jaga? Hahaha," goda Pak Wandi terpaksa membuka ulang gerbang. Anila terburu-buru hanya menaikkan dagunya cemberut. Lantas berlari menuju kelas. * * 彡* * Hari ini diadakan ulangan harian. Anila yang menduduki absen termasuk abjad atas, membuatnya pindah menjadi barisan bangku paling depan. Kemarin lusa, Bu Guru meminta agar duduknya disusun menurut absen. Hari-hari Anila kini tampak sangat berat serta sulit tanpa kehadiran Gat
Anila kembali datang ke sekolah pagi ini dengan ceria, kemarin Baku dan Takbaku telah membuatnya berkeliling alam buku, melupakan beberapa masalahnya. Anila berjalan santai, hendak masuk ke dalam kelas. "Heh, Nenek reot, baca tuh tulisan di mading. Semoga nggak kena mental ya..." kata Erika yang dengan sengaja menabrak pundak Anila, menatap Anila sinis. Anila masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Erika barusan. Dia langsung saja bergegas berdiri di hadapan sebuah papan majalah dinding sekolah. "Lomba video content creator bersama ayah ini wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas 12 sebagai syarat kelulusan." Anila melongo, mengerutkan dahinya, tidak menyangka ada sebuah kewajiban gila. "Ini pasti ulah Erika, mentang-mentang Ayahnya kepala sekolah, terus bisa seenaknya," batin Anila menarik dagunya ke atas. Anila masih terpaku di hadapan papan, membaca, memastikan tulisan di hadapannya itu ada dispensasi untuk tidak ikut.
Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah Anila, Ayar dan Anala duduk rapi tinggal menyantap sarapan di meja makan. Anila masih merasa sedikit sebal atas jawaban Ibunya kemarin, tetapi sifat ibunya sudah kembali normal. Bagaimanapun dan se-benci apapun seorang Ibu kepada anaknya, rasa sayangnya akan melebihi itu semua. Ayar berpamitan berangkat sekolah lebih dulu, karena temannya sudah menunggunya sejak awal dia sarapan, sehingga makan pun dia terburu-buru. Anala sudah tidak bersekolah, santai. Anala berhenti bersekolah sejak SMP. Namun, baginya sekolah itu tidak penting, yang penting adalah mampu memiliki pengalaman. Jadi, Dia berpikir memutuskan untuk mencari pengalaman dalam hidup daripada terpaku urusan sekolah. Prinsipnya tidak melulu benar, begitu juga dengan sikapnya. Sikapnya yang terkesan egois namun memikirkan orang lain setelahnya.Seringkali dia merasa bahwa dirinya selalu benar dan mengerti segalanya.Sudah sejak lama Anila sudah
Anila tidak hirau. "Ayo Ayar! Kita pergi aja dari sini, tidak usah bantu, tidak usah panggil, tidak usah bicara, pada orang yang bukan lagi siapa-siapa." Anila menggeret tangan Ayar dan pergi dari kamar kakaknya. Anala memang seperti itu, sering berkata tanpa berpikir lebih dahulu. Perkataannya kerap kali melukai hati orang yang mendengarkan, tetapi itu menurutnya hal biasa. Karena itu hanya sebuah perkataan 'doang'. Seringkali, setelah Anala menyadari bahwa dirinya lumayan salah. Iya, lumayan. Anala tidak pernah menyadari bahwa dirinya benar-benar salah. Mungkin dia hanya memulai untuk bicara, tetapi tidak untuk meminta maaf. Entah apa yang terjadi atas perbedaan sikap mereka bertiga, kadang-kadang mereka sangat akrab. Terkadang ya seperti itu, berantem tanpa hirau satu sama lain, wajah dan kepribadian mereka bertiga sangat berbeda. Mereka saudara, tetapi Anila merasa aneh. Hatinya selalu merasakan kesedihan yang luar biasa ketika adikn
Pohon kebencian terhadap Ibunya tumbuh subur di dalam jiwa Anila. Ia yang sudah merasa tertekan oleh keadaan dan takdir membuatnya bertindak gegabah. "Aku akan kembali ke alam buku!" Anila kembali menggerakkan tangannya, mengulangi kejadian yang sama. "Aku benci hidup disini! Bahkan jika bisa, tidak usah kembali sekalian!" Napasnya dikulum dengan tekat yang bodoh. Wushh! Ia sampai dalam tujuannya, di Alam buku. "Kok kota sepi? Kemana perginya semua orang?" "Ini sangat janggal. Bagaimana Alam buku dapat sesepi ini?" Anila memandang, menyusuri kota. "Nenek! Ya, aku harus menemui Nenek!" 彡 "Apa kalian Baku dan Takbaku yang berani-beraninya menyembunyikan seorang manusia di Alam buku milikku?!" tegas Dewi angin. "Bukan Dewi, ini salah Takbaku," "Salahku? Tidak Dewi, ini salah Baku," "Kok jadi aku? Kamu kan yang melihatnya lebih dulu," sangkal Baku. "Ya, kamu kan yang memin
"DIRIMU AKAN MENJADI DIRIKU, KAU AKAN MENERIMA BALASAN ATAS APA YANG TELAH ENGKAU KATAKAN!" pekik Dewi angin mengudara. Tubuh Anila yang berada dalam genggaman Dewi angin dilempar jauh ke langit, tubuhnya digulung habis oleh pusaran angin. Tangan kiri sang Dewi membuat sebuah kabut tebal berwarna merah kehitaman. Wajah geram Dewi angin sangatlah menakutkan, ditambah kabut yang berada dalam cengkramannya telah siap diarahkan kuat menerjang tubuh Anila. Tubuh mungil kecil itu terpanting jauh ke angkasa, Anila tidak jatuh, tubuhnya menggantung, tertahan di udara. Wajahnya digulung sedemikian rupa, dadanya terasa sesak seperti di timpa seribu batu yang menghantam tiba-tiba.Jantungnya seperti hendak dikeluarkan paksa, hingga tiada lagi satupun kata yang mampu keluar dari mulutnya. Namun, matanya masih terus terpejam. "Aeh..." Hanya sebuah hembusan kasar nafas terakhir yang mampu Anila tunjukkan dari rasa sakit yang sungguh luar biasa.
"Bukankah tadi Erika membentak-bentak memanggil, kok malah diam?" "OMG... Bidadari masuk ke kelas kita..." atur Dasha terpukau. Teet Teet Teet! Bel tiga kali telah berbunyi, semua siswa lekas berlarian masuk ke dalam kelas. Pak Malik dengan muka garangnya, berjalan sangat buru-buru menuju kelas Anila. "Ayo anak-anak kita sege–" perkataan dan perjalanannya berhenti mendadak di bingkai pintu.Tubuhnya senyap. "Oh, siapa dia ini?" Matanya berkedip satu kali saja. "Ya Tuhan! Ini pelajaran pak Malik! Bolanya belum aku ambil..." seru otak gadis itu tiba-tiba. "Maaf, Pak, saya akan segera pergi mengambil bolanya sekarang..." Gadis itu segera menaruh tasnya dan berlari keluar. "Eits, sudah, tidak usah, mari duduk!" Pak Malik kembali mendorong punggung gadis itu untuk duduk. Menyuruh Ilona yang duduk di depan, berganti tempat dengannya. "Kenapa si dengan orang-orang? Kok pada aneh sikapnya?" Gadis itu mengerut