Anak-anak berlarian keluar kelas, bel sekolah berdering tiga kali. Menandakan istirahat telah tiba.
Ibu guru mengakhiri penjelasannya. Menutup buku, membawanya pergi kembali ke kantor.
"Yee... Istirahat..." Anak-anak berkejaran menuju kantin sekolah. Beberapa yang lain besiap untuk makan bekalnya.
"Hey Stevanus! Bawa sini loh," teriak Ilona, salah satu teman Erika. Ia mengejar sebuah barang yang dibawa lari Stevanus.
"Bawa sini, jangan dibawa keluar," Stevanus malah langsung membawanya keluar.
"Ini.... Ambil aja, cepet," ujar Stevanus.
"Stevanus!" Ilona kembali berkejaran di teras sekolah, berteriak-teriak memperingatkan Stevanus yang tetap tak hirau. Berbolak-balik sedari tadi.
"Stevanus, bawa sini! Kembalikan," kata Ilona tidak memperhatikan arah larinya.
Tak beberapa lama, mereka berkejaran.
Kaki Ilona tersandung kotak sampah besi.Ilona terjatuh, giginya menggigit bibir bawahnya teramat keras. Sampai bibirnya mengucur darah."Aduuuh!..." Ilona mengaduh keras, membuat semua siswa terhening sejenak.
Anila baru pulang dari perpustakaan. Jalan yang Anila tempuh kebetulan sama dengan tempat jatuhnya Ilona. Anila melihat bibir Ilona mengalir darah.
"Ilona, kamu kenapa? Kamu tidak papa?" tanya Anila pias. Wajahnya tampak ngeri dan tidak mengerti harus berbuat apa.
Semua anak dengan cepat berkerumun melihat Ilona yang menangis tersedu-sedu.
Berisiknya suara kerumunan membuat beberapa guru datang."Ada apa ini sebenarnya?" tanya Pak Radit, seorang Guru Bimbingan Konseling.
Stefanus telah pergi. Mungkin dia kabur ketakutan saat melihat bibir Ilona berdarah.
Anila yang berdiri tepat di hadapan Ilona hanya terdiam mematung.
"Kenapa Ilona kok bisa sampai berdarah?" tanya pak Radit lagi.
Erika dan kedua temannya datang. Berburu-buru memeluk Ilona, mereka menghujani tanya.
"Kamu kenapa, Na? Kok bibirmu berdarah? Semua ini pasti sebab–" Erika menatap Anila jahat, "Sudah, diam. Tidak usah menangis, kita balas saja dia nanti."Ilona menggeleng matanya menyiratkan "Bukan dia pelakunya,"
Maya ikut bertanya, "Siapa dong?"
"Aku tahu," seloroh Erika.
Erika membisikkan sesuatu pada Ilona, dan mereka saling menatap sebentar.
"Aaa... Huft..." Ilona masih melanjutkan tangisannya sembari memegangi bibirnya. "Semua ini gara-gara Anila, Pak," adu Ilona, menunjuk Anila.
Anila melotot diam, 'Aku?' begitulah maksud matanya demikian.
"Dia ngejarku pak, ga berperasaaan, sampai aku terjatuh."
Semua pandangan pindah kepada Anila.
Dengan mudahnya mereka lantas membicarakan bahwa Anila gadia yang jahat."Benar begitu Anila?" tanya pak Radit memastikan.
Anila menggeleng.
Erika dan teman-temannya izin untuk segera membawa Ilona ke UKS, agar segera diobati. Darahnya tidak berhenti. Pak Radit mendukung.
"Kamu ya, Anila, bener-bener bebal banget dibilangin!"
"Tidak pak, saya tidak melakukan itu," sangkal Anila dengan suara rendah.
"Kukira kamu anak yang baik Anila, bukannya kamu tahu bermain kejar-kejaran di usia sudah 17 tahun itu sangat kekanak-kanakan!"
"Tapi pak, bukan saya, Pak," Anila tetap berusaha menyangkal.
"Lantas, jika bukan kamu? Siapa lagi?!"
"Tidak mungkin kan Ilona jatug sendiri? Atau dia mengada-ada cerita demi menuduhmu! Kau tahu ayah dia juga orang penting di sini!"
"Katakan! Kalau bukan kamu! Katakan siapa?! Ayo katakan Anila! Katakan!" hardik pak Malik membuat Anila meringis ketakutan hingga menitikkan air matanya di sudut.
"Aku," sebuah suara pengakuan, memecah keramaian dari balik kerumunan.
Anila menengok ke belakang perlahan, semua mata tertuju pada seorang pria yang berjalan maju.
"Aku yang lakukan itu," ucapnya lagi.
"Gata! kamu?" Pak radit seperti tidak heran. Ia tidak perlu menanyakan dua kali untuk memastikan. Gata termasuk siswa yang tidak menurut pada peraturan dan ucapan para guru.
"Ikut Bapak sekarang, ke ruang BK!" perintah Pak Radit meninggalkan semua kerumunan.
Pak Radit meminta seluruh anak untuk bubar dan beraktivitas kembali.
Anila menghentikan langkah Gata. Menyambar tangannya cepat.
"Kenapa kamu berbohong?" tanya Anila cemas. Matanya berkaca-kaca.
"Nggak papa, aku pengen," balas Gata santai.
"Gata, ini berbahaya bagi kamu!" Anila mengigit bibirnya semakin cemas.
"Sudahlah tidak papa, semuanya akan baik-baik saja." Gata melepas genggaman tangan Anila. Dirinya tersenyum ringan mengikuti punggung Pak Radit menuju ruangan BK.
Mata Anila memanas, dirinya meringis sedih. Tidak percaya apa yang telah dilakukan Gata barusan? Dia sudah banyak mengumpulkan poin BK, dan Anila takut akan terjadi sesuatu yang buruk padanya.
"Aku harus mengetahui apa yang terjadi di ruang BK!"
Anila berlari mengikuti Pak Radit dan Gata yang sudah masuk dan mengunci pintu ruangan.
Anila rela tidak mengikuti pelajaran hari itu. Dia terus menanti apa yang dikatakan Pak Radit pada Gata di dalam sana.
30 menit telah berlalu.
Tetapi Gata tidak keluar juga.Setelah satu jam. Bukannya Gata yang keluar, justru malah ayah dan ibunya yang datang.
Anila terkejut bukan main. Mengapa masalah sepele, bisa menjadi sebesar ini?
Apakah hanya karena Ayah Ilona seorang Guru di sekolahan ini?Anila hanya berharap tidak terjadi apapun atau tercipta kekacauan apapun terhadap Gata.
Setelah begitu lama menunggu. Akhirnya Gata dan kedua orang tuanya keluar.
Ayahnya tampak sangat marah, dan Gata seperti tetap tidak hirau."Nak, Anila," sapa Ibu Gata pada Anila yang berdiri di luar pintu ruangan.
"Ee... Nak Anila, sudah dari tadi ya?"
"Lumayan, Bu," Anila menundukkan kepalanya.
Ayah Gata tetap memasang muka garang.
"Ayo yah kita duluan," ajak ibu Gata pada Ayahnya, ibunya jelas mengerti apa tujuan Anila dari tadi di luar. Ibu Gata menarik tangan ayahnya yang masih menatap Gata penuh amarah.
"Nanti kamu menyusul, ya," bisik Ibu Gata.Tersisa Anila dan Gata di sana, keduanya terdiam berapa detik.
"Ekhem" Gata berdehem pelan.
Anila langsung menyerobot kata,
"Mengapa kamu melakukan itu?" tanya Anila cepat.Gata terdiam beberapa saat,
"Katakan padaku, KENAPA?!" Anila berganti menghardik Gata.
"Karena aku pingin," Gata tetap menanggapinya santai.
"Kamu tahu kan? Poin-mu di sekolah ini sudah banyak! Kamu sering melanggar peraturan, terlambat, berkelahi dan... dengan membuat seseorang terluka itu, cukup untuk..." Anila mendesis pelan sebentar.
Hidung Anila mulai panas.
"Aku tahu Anila, bukan kamu yang melakukan itu," atur Gata.
"Aku pun tahu," geram Anila. "Kenapa kamu lakukan itu?"
"Aku pengen,"
"Seharusnya kamu ga lakukan itu,"
"Aku pengen"
"Gausah lakukan itu demi aku,"
"Aku pengen,"
"GA semua yang KAMU pengen itu bisa jadi Nyata GATA!" bentak Anila, menaikkan nadanya. Emosinya memuncak.
"KITA ITU MANUSIA, PERANNYA DI SKENARIO TUHAN. KITA ITU BUKAN PEMERAN FILM ATAU KARAKTER NOVEL YANG BISA SELALU HAPPY END," Air mata Anila jatuh.
"Aku hanya takut gata... Aku takut... Bagaimana jika semua ini nanti...?"
Gata memeluk Anila. Anila memukul-mukul tubuh Gata sembari meluapkan tangisannya."Aku takut, jika aku harus kehilanganmu... Eee... huft,"
Gata mengelus kepalanya perlahan."Tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa. Aku akan tetap disini, bersamamu, menjagamu dari kejamnya dunia dan teman-teman yang membencimu," Suara Gata terdengar hangat di telinga Anila.
Sesaat ia merasa tenang. Tapi pikirannya selalu saja berpikir di luar kata biasa.
"Aku harus marah pada Gata. Agar gata tidak lagi melakukan pengorbanan demi diriku. Aku tahu orang tuanya bagaimana dan aku tidak mau kehilangan dia,"
Anila mendorong tubuh Gata. Mengusap air matanya dan pergi meninggalkan Gata.
"Aku harus marah, walaupun ini pasti sulit,"
* * 彡* *
Keesokan harinya, Anila masih merasa kecewa. Sebenarnya bukan itu, Ia harus marah pada Gata dan bertekat tidak akan mau bicara padanya sampai Gata benar-benar menyadari kesalahannya.
Beberapa kali Gata menyapa dan memanggil Anila. Namun, kali ini Anila benar-benar tidak mengacuhkan Gata.
Bahkan, kemarin Gata sampai memberikan surat kepada Anila. Pikiran Anila buntu, Dia harus terlihat benar-benar marah dan Gata harus percaya padanya. Jadi dia menolak semuanya mentah-mentah. Membuang surat itu ke kotak sampah. Di hadapan Gata.
Hari-hari berikutnya masih sama, seminggu terakhir, sikap Gata teramat berubah pada Anila. Gata berusaha keras untuk bicara pada Anila. Beberapa bingkisan dalam tas kecil yang ditaruh dikelasnya pun langsung Anila buang begitu tahu itu dari Gata.
"Aku menunggumu di taman sekolah, nanti setelah pulang," ucap Gata halus, saat tak sengaja berpapasan dengan Anila.
Pulang sekolah tiba. Anila juga langsung beranjak pulang, tanpa hirau bahwa tadi gata memintanya untuk menemuinya.
Beberapa hari setelahnya. Hampir sudah seminggu tidak ada lagi yang menggangunya.
Anila mulai merasa kehilangan. Dimana sahabat sedari kecilnya itu? Kenapa Dia tidak melihatnya berangkat, atau pulang sekolah?
Anila bertanya kepada beberapa anak di kelas Gata. Betapa terkejutnya Anila.
"Gata sudah pergi Anila, beberapa hari yang lalu dia pindah sekolah. Memangnya dia tidak memberi tahumu tah?" jelas salah satu teman Gata.
"Pindah sekolah?" Anila bertanya lagi.
"Iya An, dia pindah bukan semata-mata karena poin BK kemarin. Dia pindah karena orang tuanya yang meminta. Katanya sih, agar tidak ada lagi alasan mendapat poin demi melindungi seseorang. Aku gak ngerti sih kalau soal ini."
Anila berterima kasih. Matanya sudah tidak bersahabat. Ia menyeka pipinya yang mulai basah.
"Maafkan aku Gata...," sesal Anila. Dirinya merenung, duduk sendirian di taman, tempat dia dan Gata sering berbincang.
"Bahkan aku tidak sempat berterima kasih atau meminta maaf darinya. Aku benar-benar kejam!" tangisan Anila semakin pecah. Terlebih mengingat perjuangan Gata seminggu terakhir untuk bicara padanya selalu Ia campakkan.
Anila menyesal hebat. Tak peduli sekolah telah lengang dan anak-anak lain sudah pulang.
Ingatan menyesalnya membuat dia beranjak mencari surat Gata yang telah Ia buang di kotak sampah. Terburu-buru Anila mencarinya.
Tote bag kecil yang entah berisi apa itupun, Ia telusuri sampai di kotak pembuangan sampah terakhir.Usahanya tak sia-sia. Ia membawanya pulang. Sembari menangis yang tiada hentinya. Kemana sahabat satu-satunya itu pergi?.
Telah menjadi kebiasaan Anila mencurahkan semua keluh-kesahnya pada sebuah buku. Bukan karena tidak percaya pada orang lain, tetapi memang orang lain lah yang enggan membagi telinganya untuk mendengarkan Anila.Telinga terbaiknya kini telah pergi. Satu-satunya orang yang berbaik hati menyumbangkan seluruh panca indranya hanya untuknya. ~•~ [GATA] Anila mulai menulis sebuah puisi di buku diary aneh, yang tiba di kamarnya kemarin. [Setega itu dirimu hadir,dan setega itu pula dirimu menyingkir.] Tangannya masih terus menggores tinta, bahkan tinta dari matanya pun ikut keluar. [Bersuka ria kita hardik waktu bersama-samabisa-bisanya kau pergi hanya sebab ku pinta.] Otaknya mulai berantakan. Tidak mau berhenti memikirkan kejahatannya tidak mendengarkan penjelasan Gata kemarin. [Bukankah kamu temanku?atau dirimu sama seperti mereka yang hanya mema
Mereka membawa Anila pergi ke sebuah rumah. Rumah itu dibangun atas susunan beberapa buku sebagai batanya. Atapnya juga buku yang dibuka, beberapa tali penanda buku pada batanya keluar rumah.Ada sebuah teras kecil dari kayu dan tingkat kecil dari buku-buku kecil. Seorang wanita tua duduk di halaman rumah. Ia sedang membaca buku. Di hadapannya terdapat meja dengan tumpukan buku yang tingginya sekitar satu meter. Anila lagi-lagi dibuat heran dan takjub, yang dia tahu buku, ya hanya buku diary. Anila tidak pernah menyangka ada alam yang benar-benar menjaga buku. "Nenek," sapa kedua anak kembar itu. "Oh cucuku, kemarilah, Nak," hatur sang Nenek tua yang kulitnya telah keriput dan rambutnya yang panjang telah memutih. Anila melangkah."Siapa yang bersama kalian?," tanya sang nenek. "Maafkan kami nek," ujar salah satu dari mereka. "Ada apa, Cucuku?" "Semua ini salah Takbaku, Nek," tuduh salah sa
Terpaksa malam itu, anila harus makan dua kali. Walaupun, perutnya benar-benar menolak. Tetap saja dia harus makan. Akibatnya, selama 12 tahun dia bersekolah. Pagi ini Anila mencetak rekor pertamanya terlambat datang ke sekolah. "Hey, Anila kok bisa terlambat, biasanya kan jam enaman udah minta dibuka,–" tanya Pak Wandi "–Apa semalam kamu harus lembur juga keliling sekolahan gantiin bapak buat jaga? Hahaha," goda Pak Wandi terpaksa membuka ulang gerbang. Anila terburu-buru hanya menaikkan dagunya cemberut. Lantas berlari menuju kelas. * * 彡* * Hari ini diadakan ulangan harian. Anila yang menduduki absen termasuk abjad atas, membuatnya pindah menjadi barisan bangku paling depan. Kemarin lusa, Bu Guru meminta agar duduknya disusun menurut absen. Hari-hari Anila kini tampak sangat berat serta sulit tanpa kehadiran Gat
Anila kembali datang ke sekolah pagi ini dengan ceria, kemarin Baku dan Takbaku telah membuatnya berkeliling alam buku, melupakan beberapa masalahnya. Anila berjalan santai, hendak masuk ke dalam kelas. "Heh, Nenek reot, baca tuh tulisan di mading. Semoga nggak kena mental ya..." kata Erika yang dengan sengaja menabrak pundak Anila, menatap Anila sinis. Anila masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Erika barusan. Dia langsung saja bergegas berdiri di hadapan sebuah papan majalah dinding sekolah. "Lomba video content creator bersama ayah ini wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas 12 sebagai syarat kelulusan." Anila melongo, mengerutkan dahinya, tidak menyangka ada sebuah kewajiban gila. "Ini pasti ulah Erika, mentang-mentang Ayahnya kepala sekolah, terus bisa seenaknya," batin Anila menarik dagunya ke atas. Anila masih terpaku di hadapan papan, membaca, memastikan tulisan di hadapannya itu ada dispensasi untuk tidak ikut.
Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah Anila, Ayar dan Anala duduk rapi tinggal menyantap sarapan di meja makan. Anila masih merasa sedikit sebal atas jawaban Ibunya kemarin, tetapi sifat ibunya sudah kembali normal. Bagaimanapun dan se-benci apapun seorang Ibu kepada anaknya, rasa sayangnya akan melebihi itu semua. Ayar berpamitan berangkat sekolah lebih dulu, karena temannya sudah menunggunya sejak awal dia sarapan, sehingga makan pun dia terburu-buru. Anala sudah tidak bersekolah, santai. Anala berhenti bersekolah sejak SMP. Namun, baginya sekolah itu tidak penting, yang penting adalah mampu memiliki pengalaman. Jadi, Dia berpikir memutuskan untuk mencari pengalaman dalam hidup daripada terpaku urusan sekolah. Prinsipnya tidak melulu benar, begitu juga dengan sikapnya. Sikapnya yang terkesan egois namun memikirkan orang lain setelahnya.Seringkali dia merasa bahwa dirinya selalu benar dan mengerti segalanya.Sudah sejak lama Anila sudah
Anila tidak hirau. "Ayo Ayar! Kita pergi aja dari sini, tidak usah bantu, tidak usah panggil, tidak usah bicara, pada orang yang bukan lagi siapa-siapa." Anila menggeret tangan Ayar dan pergi dari kamar kakaknya. Anala memang seperti itu, sering berkata tanpa berpikir lebih dahulu. Perkataannya kerap kali melukai hati orang yang mendengarkan, tetapi itu menurutnya hal biasa. Karena itu hanya sebuah perkataan 'doang'. Seringkali, setelah Anala menyadari bahwa dirinya lumayan salah. Iya, lumayan. Anala tidak pernah menyadari bahwa dirinya benar-benar salah. Mungkin dia hanya memulai untuk bicara, tetapi tidak untuk meminta maaf. Entah apa yang terjadi atas perbedaan sikap mereka bertiga, kadang-kadang mereka sangat akrab. Terkadang ya seperti itu, berantem tanpa hirau satu sama lain, wajah dan kepribadian mereka bertiga sangat berbeda. Mereka saudara, tetapi Anila merasa aneh. Hatinya selalu merasakan kesedihan yang luar biasa ketika adikn
Pohon kebencian terhadap Ibunya tumbuh subur di dalam jiwa Anila. Ia yang sudah merasa tertekan oleh keadaan dan takdir membuatnya bertindak gegabah. "Aku akan kembali ke alam buku!" Anila kembali menggerakkan tangannya, mengulangi kejadian yang sama. "Aku benci hidup disini! Bahkan jika bisa, tidak usah kembali sekalian!" Napasnya dikulum dengan tekat yang bodoh. Wushh! Ia sampai dalam tujuannya, di Alam buku. "Kok kota sepi? Kemana perginya semua orang?" "Ini sangat janggal. Bagaimana Alam buku dapat sesepi ini?" Anila memandang, menyusuri kota. "Nenek! Ya, aku harus menemui Nenek!" 彡 "Apa kalian Baku dan Takbaku yang berani-beraninya menyembunyikan seorang manusia di Alam buku milikku?!" tegas Dewi angin. "Bukan Dewi, ini salah Takbaku," "Salahku? Tidak Dewi, ini salah Baku," "Kok jadi aku? Kamu kan yang melihatnya lebih dulu," sangkal Baku. "Ya, kamu kan yang memin
"DIRIMU AKAN MENJADI DIRIKU, KAU AKAN MENERIMA BALASAN ATAS APA YANG TELAH ENGKAU KATAKAN!" pekik Dewi angin mengudara. Tubuh Anila yang berada dalam genggaman Dewi angin dilempar jauh ke langit, tubuhnya digulung habis oleh pusaran angin. Tangan kiri sang Dewi membuat sebuah kabut tebal berwarna merah kehitaman. Wajah geram Dewi angin sangatlah menakutkan, ditambah kabut yang berada dalam cengkramannya telah siap diarahkan kuat menerjang tubuh Anila. Tubuh mungil kecil itu terpanting jauh ke angkasa, Anila tidak jatuh, tubuhnya menggantung, tertahan di udara. Wajahnya digulung sedemikian rupa, dadanya terasa sesak seperti di timpa seribu batu yang menghantam tiba-tiba.Jantungnya seperti hendak dikeluarkan paksa, hingga tiada lagi satupun kata yang mampu keluar dari mulutnya. Namun, matanya masih terus terpejam. "Aeh..." Hanya sebuah hembusan kasar nafas terakhir yang mampu Anila tunjukkan dari rasa sakit yang sungguh luar biasa.