Share

6. Really?

Kamu adalah kata hati yang tidak pernah disetujui oleh langkah kaki. 

–Annora

*****

Gema sedang asik bermain Play Station di ruang tengah apartemennya sendirian. Sebenarnya, tadi Devan mengajaknya untuk sekedar nongkrong di cafe, tapi dia menolak karena ingin istirahat saja usai membuat poster untuk Pensi diruang jurnalistik tadi.

Sejujurnya Gema heran, karena Pensi saja diadakan dua bulan lagi, tapi posternya sudah minta dibuatkan untuk disebar. Tapi katanya, Pensi kali ini tidak hanya menampilkan dari sekolah sendiri saja namun dari sekolah lain yang akan ikut berpartisipasi juga diperbolehkan. 

Sudah tidak diragukan lagi, karena SMA Flamboyan adalah sekolah besar dan sebagian muridnya berasal dari kalangan atas, jadi tidak mungkin sedikit yang ingin masuk kesana. 

Dia menghentikan aktifitas bermain gamenya kala mendengar handphone nya berbunyi menandakan ada panggilan masuk, dia tersenyum saat tau siapa yang meneleponnya. Dengan sigap dia menggeser tombol hijau lalu menekan loudspeaker dan meletakkan benda itu dipahanya. 

"Halo, kakekku sayanggg, yang paling ganteng sejagat raya dan paling dicinta sama nenekk, " ucapnya heboh sendiri, dengan mata yang masih menghadap kearah televisi dan tangan sibuk memainkan stik PS-nya. Bahkan sebelum kakeknya menyapanya duluan. 

"Heh,kamu ini. Kebiasaan, nggak pernah ilang hebohnya," ucap orang diseberang sana.

Jika kalian berpikiran kalau kakek Gema sudah sangat tua, berambut putih total, sakit - sakitan atau semacamnya, kalian salah besar. Karena kakek Gema masih sangat sehat, bahkan penampilannya saja tidak bisa disebut sebagai penampilan orang tua, sebut saja kakeknya itu awet muda. Karena saat usianya sudah menginjak kepala enam pun masih aktif dalam bidang bisnis. 

"Terserah Gema, lah. Kangen banget sama kakek."

"Salah siapa, pakai acara pindah segala."

"Kan, ada masalah yang harus diurus, kek."

"Emang punya masalah apa kamu?"

"Biasalah, anak muda," jawabnya sambil tertawa. 

"Gimana sekolah kamu disana?"

"Baik, kek."

"Jangan kebanyakan ngikutin lomba kenapa, Gem. Piala sama sertifikat kamu udah banyak, tuh, dirumah. Uang jajan juga selalu kamu tolak pas kakek mau transfer. Kasihan, nih, kebanyakan duit kakek dirumah."

Sontak tawa Gema pecah. "Ya-Allah, kek. Istighfar, haha. Udah tua masih aja suka sombong, duit banyak, ya, disyukurin. Asal kakek nggak nyari istri baru aja, Gema, mah, nggak apa apa," ejek Gema disela - sela tawanya. 

"Nggak mungkin, lah. Nanti nenek kamu marah lagi disana."

Kakeknya memang sangat setia kepada neneknya, katanya saja sedari dulu beliau tidak pernah mempunyai kekasih lain selain neneknya, hingga akhirnya berlanjut ke jenjang pernikahan dan sampai tua bersama. 

"Siapa tau, aja."

"Kamu nggak ngunjungin orang tua kamu?sudah lama kakek nggak dengar kabar dari mereka." 

Sejenak Gema terdiam mendapat pertanyaan seperti itu dari kakeknya. Wajar saja, karena kakeknya ini adalah ayah dari ayahnya Gema, tidak mungkin seorang ayah tidak menanyakan kabar dari anaknya. Tapi ada pengecualian untuk ayah Gema. Sedari dia pindah dulu, Gema tidak pernah sama sekali mendengar ayahnya mencari tau tentang keadaannya, atau sekedar merindukannya—mungkin.

"Halo? Kok diem?"

Gema tersadar dari lamunannya mendengar suara kakek dari handphonenya. "Eh, nggak kek. Gema nggak pernah kesana."

"Nggak apa apa, kakek tau perasaan kamu gimana."

"Kakek, mah, paling the best, deh. Peluk jauh kekkk."

"Ah, kamu ini. Sudah, ya, kakek masih ada pekerjaan. Baik baik,ya,disana."

"Bye, kek. Semangat, ya!"

Tak lama panggilan dari kakeknya terputus. Dia termenung sejenak, menghela napas panjang lalu mematikan PS-nya. Dia mengambil jaketnya dikamar dan mengambil kunci sepeda motornya lalu keluar dari apartemennya. 

Gema saat ini berada didepan gerbang rumah mewah yang dulu menjadi tempat tinggalnya waktu kecil. Iya, dia berada dirumah orang tuanya. Perlahan dia turun dari motor dan menekan bel yang ada di samping gerbang, tak lama satpam muncul dan membuka gerbang tersebut. 

"Maaf, nyari siapa mas?"

"Ya, nyari tuan rumah, lah, pak. Yakali nyari bapak, " ucapnya rada tengil, Pak satpam yang berada di didepannya pun menaikkan alisnya bingung lalu perlahan mengerti. 

"Oh, silahkan masuk, " ucap satpam itu, lalu perlahan membuka gerbang lebar - lebar. 

Dia memarkirkan motornya tak jauh dari pohon besar yang berada di depan rumah. Lalu berjalan santai kearah rumah itu. Saat akan mengetok pintu yang sebenarnya sudah terbuka, tapi Gema malas bersuara. Dia sayup - sayup mendengar suara cewek yang cukup familiar, Gema mengintip pada jendela yang gordennya sedikit terbuka. 

"Manda? Kok kayak marah gitu?" tanyanya pelan. 

Dia terus memperhatikan Gara dan Manda yang sedang berdebat didalam, sebelum foto yang diletakkan Manda ke meja menyadarkannya akan sesuatu, foto itu diletakkan mengarah ke jendela tempat Gema berdiri. Gema terkesiap, foto itu adalah fotonya dengan Gara saat masih kecil dulu. Gema berusaha mendengar apa yang mereka debatkan, tapi tidak berhasil karena posisinya terlampau jauh dari tempat Gara dan Manda berdiri. Ditambah lagi, mereka mengecilkan suaranya. 

Gema sontak berlari kearah pohon besar tempat motornya dia parkirkan tadi dan bersembunyi dibalik pohon itu, kala Gara membawa Manda keluar rumah. 

"Abang udah meninggal, Man. Dia kecelakaan beberapa tahun lalu."

Gema menolehkan kepalanya kearah mereka berdua, saat mendengar ungkapan Gara yang sangat mengejutkan baginya. Dia menatap Manda terduduk lemas didepan Gara dengan sorot sedih, jika saja dia tidak memikirkan perasaan Gara yang notabene adalah kekasih Manda, dia sekarang sudah berlari dan memberitahu cewek itu jika dia masih ada dan belum pergi dari dunia ini. 

Gema sungguh tidak percaya, setelah sekian tahun berlalu. Ternyata masih ada ketidak adilan yang dia terima dari keluarga ini, Dirinya sudah meninggal? Omong kosong apalagi ini? Sungguh, Gema juga tidak akan merebut Manda dari tangan Adiknya. Dia tersenyum miris,hal ini bagai luka lama yang mati - matian Gema sembuhkan, akhirnya tergores kembali juga. 

****

Karena paksaan dari Manda, saat ini dia dan cewek itu sedang berada di sebuah tempat pemakaman umum di daerah jakarta. 

Sebenarnya dia tidak mau, karena hari sudah sore. Tapi Manda terus memaksa diperjalanan hingga akhirnya dia mengalah. Cewek itu mengelus batu nisan yang bertuliskan nama sahabat kecilnya, sedangkan Gara hanya mengamati wajah sembab kekasihnya dari samping. 

"Sorry, gue baru tau," lirihnya. 

"Sorry, gue baru sempat ngunjungin lo."

"Sorry juga, karena gue nggak bawa bunga."

"Kapan - kapan, deh, gue bawain bunga yang bagus."

Gara menyentuh bahu Manda menenangkan. "Bang, tenang aja orang yang lo sayang aman, kok, sama gue, " ujar Gara. 

Manda melihat kearah Gara. Tidak seharusnya dia marah dengan Gara, karena tidak mudah juga untuk cowok itu menerima kepergian kakaknya. 

"Dunia sempit banget, ternyata pacar aku adik dari orang yang aku cari selama ini."

"Dunia emang penuh kejutan, yang dikira bakal lama tinggal di dunia, malah cepet banget perginya, " ucap Gara sambil memandang langit yang mulai menguning di ufuk barat. 

"Udah, yuk, pulang. Kamu juga butuh istirahat."

Manda mengangguk, berdiri, lalu perlahan mereka pergi dari sana. 

****

"Man,Kemarin lo kemana dah? Gue kerumah lo katanya bi Ani lo keluar sama cowok," tanya Luna sambil mendudukkan dirinya di kursi samping Manda usai upacara berakhir. 

"Oh, itu gue keluar sama Gara," jawab Manda sambil memeriksa PR-nya yang dia kerjakan kemarin malam.

Luna menyipitkan matanya kearah Manda. "Lo kok sering keluar sama Gara belakangan ini?"

Manda menoleh kearah Luna. "Kan, latihan buat pensi."

Luna mengamati penampilan Manda yang sedikit berbeda dari biasanya. Mata Manda membengkak seperti habis menangis. 

"Mata lo, kok, gini, sih. Habis nangis, ya? Kenapa? Kok, nggak cerita?" tanya Luna sambil memegang pipi Manda lalu melepaskannya kembali. 

Manda terdiam. Sebenarnya, setelah pulang dari rumah Gara dan dari pemakaman, dia menangis semalaman. Entahlah, dia hanya sedih. Seharusnya, dia mengetahui hal ini sejak awal. Kenapa Tuhan tidak mengizinkan dia untuk sekedar menyapa Radit sebelum cowok itu pergi selamannya? Kenapa takdir kejam sekali, merebut dua orang yang punya posisi sangat penting di kehidupan Manda? 

"Man? Kok malah bengong, sih?" tanya Luna menyadarkan lamunan Manda. 

"Radit...Lun."

Luna memajukan badannya kearah Manda, antusias. "Radit? Lo udah nemuin dia?"

"Radit udah meninggal..." lirihnya lalu menundukkan kepalannya. 

Mata Luna sontak melotot tak percaya.    "W-what? Nggak mungkin kan Man?Lo dapet informasi ini dari mana?"

Manda mendongak menatap Luna. "Gara saudara kembarnya Radit, Lun."

Luna terkesiap, kenapa begitu mengejutkan sekali? Dia melihat sahabatnya yang sedang menahan tangis didepannya. Tanpa basa - basi, dia menarik Manda kepelukannya. Dia sangat mengenal Manda sedari kecil. Saat memasuki sekolah dasar, Manda adalah anak pendiam yang bahkan jarang sekali tersenyum, dan satu hal lagi yang tidak pernah Manda keluarkan, air mata. Manda sangat tidak suka melihat orang menatapnya kasihan, lebih baik orang orang mencapnya sebagai orang sombong karena jarang berinteraksi daripada seperti itu. 

"Nangis, aja. Jangan sok kuat." Saat itu juga isakan Manda terdengar samar - samar, bahkan orang yang berada di sekitar mereka pun tidak menyadari bahwa Manda sedang menangismenangis di pelukan Luna. 

Tapi, entah kenapa Luna merasa aneh. Saudara kembar? Bukannya nama Gara dan Radit terlalu tidak sinkron untuk ukuran saudara kembar? Luna hanya takut jika ini adalah tipuan untuk mengalihkan perhatian saja. Tapi apa untungnya orang melakukan hal itu? 

****

Bel pulang sekolah berbunyi sekitar tiga menit lalu, Manda bersama Luna berjalan beriringan keluar kelas. Sambil sesekali mengobrol dan mengomentari gaya murid yang agak aneh. Lebih tepatnya Luna yang komentar sana sini,sih. Dari penampilannya, cara berjalannya, maupun dandanannya yang kebanyakan menor. 

Kalau dipikir pikir Luna sama Manda, tuh, cocok. Yang satu pendiam yang satu pandai mencairkan suasana, jadinya saling ngelengkapin gitu. 

"Lun, lo yakin mau nungguin gue?", tanyanya, pasalnya Luna memaksa ingin bermain kerumahnya sepulang sekolah, tapi dia ada kumpulan dengan anggota OSIS jadi ia menyuruh Luna untuk menunggunya di rumah saja. Tapi Luna menolak. 

"Iya lah yakin, gih sana."

"Ikut masuk aja yuk, daripada diluar sendirian."

"Gapapa?"

"Gapapa lahh," ucapnya lalu menarik tangan Luna masuk ke ruang OSIS. Luna duduk di pojok ruangan yang sudah tersedia kursi. Lalu Manda bergabung dengan anggota OSIS lainnya. 

"Udah kumpul semua?" tanyanya, disusul anggukkan semua anggota yang terkumpul. 

"Oke,kita mulai," Manda menolehkan kepalanya kearah Gara, mengisyaratkan untuk menjelaskan tentang konsep pensi. 

Gara berdehem. "Kan kemarin kita kumpul ada yang nggak hadir,ya, jadi saya mau jelasin kalo pensi kali ini anggota OSIS disuruh Pak Arya buat berpartisipasi, biasanya kan OSIS cuma nyiapin sama nge-handle semuanya. Kali ini kita bakalan tampil. Dan katanya juga nerima peserta dari sekolah lain, juga."

Tak lama ada salah satu siswa dari kelas sepuluh yang mengangkat kan tangannya. "Iya?" tanya Gara. 

"Kalo kita ikut tampil siapa yang nge-handle acaranya kak?"

"Yang tampil nggak semua dari kita kok, kayaknya kelas sebelas, doang. Biar jadi tradisi gitu, nanti kalian yang kelas sepuluh pas kelas sebelas juga sama. Jadi jangan ngerasa nggak adil."

"Tapi saya sama Manda belum laporan sama pak Arya, kok, jadi kalian masih bisa usul."

"Tapi, kalo menurut saya kalo dance sepertinya jangan, deh. Pembukaan juga anak dance, kan," ucap Farrel. 

"Kalo menurut saya, sih, ya, mending yang tampil itu wakil sama ketua saja, yang penting berpartisipasi. Ya, kalo kita biarin kelas sepuluh yang ambil alih kan mereka aja anak baru disini, kan nggak ada yang mandu dong, Apalagi ini pesertanya bukan hanya dari sekolah kita, saja," usul salah seorang anggota, kalau tidak salah namanya, Maya. 

"Nah, saya setuju. Anggap aja ini kayak kita lagi mengisi posisi ekskul band yang nggak ada di sekolah kita. Biar perfect gitu, loh," sahut Reno membenarkan. 

"Lah, iya, tuh, bener banget, apalagi yang tampil Manda sama Gara. Duh, pasti cocok banget dong," ucap Farrel, Lalu semua tergelak menggoda. 

"Gimana, setuju nggak ,Gar?"

"Saya,sih, setuju - setuju aja." Jawab Gara. 

"Kamu gimana, Man?"

Manda diam, tidak tahu harus menanggapi apa. Sebenarnya tampil didepan publik adalah hal yang paling ia tidak sukai. Kemarin ia menyetujui, karena katanya anggota lain ikut meramaikan jadi dia mungkin tidak terlihat, sedangkan ini hanya berdua.

Ia menatap Luna yang juga menatapnya di pojok ruangan meminta pendapat, Luna tersenyum seraya mengacungkan jempol kearahnya tanda mendukung sahabatnya itu. 

"Oke, saya setuju."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
aduh jadi penasaran ama lanjutannya deh,critanya bagus bangeeet! btw kak author kalo ada sosmed aku pingin follow dong
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status