Aku tahu betul, skenario hidup bukanlah di tulis masing-masing pribadi, sang pemegang kehidupanlah yang mengendalikan pena-nya.
Garis nasibku sudah ditetapkan. Takdirku sedang berjalan pelan. Dan aku paham hal buruk yang terjadi padaku bukan tuhan yang inginkan. Aku yang memilih jalan itu, jalan berkelok penuh air mata yang kemudian tak ada habisnya aku sesali.
Selalu percaya tuhan telah memberiku pilihan terbaik, hanya saja seperti manusia kebanyakan, sifat serakah selalu menyabet tropy dalam setiap pertarungan di kehidupanku, lalu menjerumuskan pada derita tak berujung.
Malam itu setelah mendengar kenyataan tentang statusku, Mas Sayhan langsung mengajakku pulang. Dalam perjalanan ia tidak mengeluarkan sepatah kata, melirik diriku pun tidak. Aku sedih, tapi aku cukup memahami posisinya. Di negara ini status janda bukanlah sesuatu yang dapat diterima dengan mudah. Lagipula orang tua mana yang menginginkan menantu yang pernah gagal menjalin rumah tangga dengan pria lain? Hampir tidak ada.
[ Bisa kita bertemu? Di cafe biasa, jam 20.00 Wita, jangan terlambat! ]
Pesan pertama yang aku terima setelah tiga minggu mengabaikanku. Tak pernah lagi mengantar maupun menjemputku untuk berangkat bekerja bersama. Beberapa kali aku bertemu dengannya, namun seperti kasat mata ia acuh akan hadirku.
[Bisa. Aling tidak akan terlambat, Mas.]
Aku bergegas pulang setelah menerima pesan Mas Sayhan, tidak ingin kehilangan teman itu satu-satunya yang ada dipikiranku saat ini. Masa bodoh dengan status pasangan. Setelah dulu merasakan gagal, aku tidak pernah memikirkan untuk kembali menjalin kasih. Bagiku cukup merasa terpuruk dan merana satu kali, tak perlu merasakannya berkali-kali dengan orang yang sama maupun yang berbeda.
***
Pukul 19.30 Wita, aku sudah berdiri di depan salah satu cafe di daerah Samarinda. Suasana hangat menyambutku ketika menginjakkan kaki pada anak tangga cafe yang di dominasi warna coklat. Seorang pemuda berumur sekitar dua puluhan terlihat sedang berusaha menghibur pengunjung dengan stand up comedy. Dari kejauhan aku bisa mendengar ia sedang membahas masa kecilnya dan beberapa pengunjung tertawa terbahak-bahak.
Mataku memindai setiap sudut cafe, mencari di mana Mas Sayhan duduk. Seperti malam minggu lainnya tempat ini selalu penuh sesak oleh muda-mudi, lokasinya yang berada di pinggiran kota dan di atas ketinggian menjadi destinasi tersendiri untuk melihat seluruh sudut kota Samarinda di malam hari.
"Aling! di sini," Mas Sayhan melambaikan tangan memanggil. Ia tidak sendiri, di sebelahnya duduk seorang wanita berbaju putih lengan panjang berkerah V, yang dipadukan dengan jeans berwarna hitam. Gadis itu mengikuti arah pandang Mas Sayhan, wajahnya cantik dan semakin terlihat sempurna dengan rambut sebahu dan liontin huruf berinisial M yang menggantung indah di leher jenjangnya.
"Assalamualaikum, Mas." Aku mengucap salam, "Siapa ?" Tanyaku sambil tersenyum ke arah wanita di samping Mas Sayhan.
"Hai. Kenalin aku Nirmala, panggil aja Mala." Wanita itu menyodorkan tangannya.
"Kalling, biasa dipanggil Aling," balasku menggenggam tangannya.
"Siapanya Sayhan?" tanyanya padaku sambil menggoda Mas Sayhan dengan memainkan alisnya naik turun.
"Teman kerja," jawabku melirik Mas Sayhan, "Mala sendiri?" aku balik bertanya sambil menarik kursi kosong di depan Mas Sayhan, riuh canda tawa pengunjung memenuhi seluruh ruangan, memaksaku memasang telinga waspada.
"Oh. Saya sepupunya. Hmm..." Meneliti wajahku, ia tampak berpikir. "Ya ampun, ini wanita itu?" Mas Sayhan menghentikan kunyahan-nya, lalu mengangguk.
"Sepupuku jangan di tolak dong, kasian. Umurnya sudah tua, tapi belum punya pasangan," ucapnya memainkan sendok di piring bercorak emas di depannya. Pipiku seketika memerah, malu tepatnya.
"Kamu duluan ya, Mal? Aku ada yang penting mau diomongin sama Aling." Mas Sayhan mengusir Mala.
"Baaaiiklaahhhhh, demimu, demi tante dan om, terlebih demi kelangsungan generasi Subroto, aku dengan senang hati akan undur diri dari hadapan tuan Sayhan Subroto yang terhormat." Mala menyeruput tandas minumannya dalam satu tarikan. "Aku permisi, assalamualaikum, semoga usahanya sukses dan disegerakan." Ia mengerling jahil, menarik satu lembar tisu di meja kemudian berlalu tanpa menunggu kami menjawab salamnya.
Langit cukup cerah di atas sana, alunan musik yang dimainkan mengalun memenuhi ruangan. Kami sama-sama terdiam sepeninggallan Mala. Rasa canggung menyelimuti.
"Makan apa?" Tanyanya membelah kediaman kami.
"Kenyang, sore tadi makan sama anak-anak. Minum aja, kopi pahit."
Mas Sayhan melambaikan tangan ke arah waitress lalu menyebutkan pesananku. Setelahnya kami kembali sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Dia cantik." Aku membuka percakapan.
"Dia sepupuku," ucapnya jengah. Merasa gagal membuka obrolan, aku memilih diam.
"Tiga Minggu ini aku memikirkan alasan kamu menolakku, walaupun sejujurnya aku kurang percaya, tapi aku sudah memutuskan untuk tidak keberatan dengan statusmu itu. Tak apa kalau kamu janda, asal itu kamu, tidak masalah."
"Mas..." Lelah, pembahasan ini menguras pikiranku dalam tiga minggu ini.
"Ling, aku tidak tau apa yang sudah kamu alami di masa lalu, seberat apa atau semenderita apa kamu. Yang aku tau aku jatuh cinta padamu, aku mau kamu jadi bagian dari hidupku. Aku mungkin tidak bisa menghapus luka, kecewa, sakit atau apapun itu, tapi aku akan berusaha sebisa dan semampuku untuk membuatmu tidak meneteskan air mata." Ia menggenggam tanganku lembut, berharap diriku percaya katanya.
"Mas... Ini bukan sekedar tentang bertemu, tertarik, jatuh cinta lalu menikah, bukan Mas, ini tentang membangun rumah tangga yang waktunya bukan hanya satu, dua, tahun tapi selamanya. Masa laluku terlalu hitam, biar aku menyantapnya sendiri tanpa membagi kesialan itu kepadamu."
Mas Sayhan terdiam, aku pun demikian. Kulirik jam di pergelangan tanganku, pukul 20.30 Wita.
"Aku akan tetap menikahimu! Alasanmu menolakku tak cukup kuat, jadi aku anggap kedatanganmu dipertemuan kita malam ini sebagai bentuk persetujuanmu atas lamaranku tiga minggu lalu. Keluargaku, keluarga yang terbuka, jadi jangan khawatir tentang statusmu." ucapnya final tak ingin di bantah. Aku tersedak.
***
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 20.00 Wita, sudah satu jam setengah dari waktu kedatanganku tadi. Belum seorangpun muncul di rumah ini. Perjalanan panjang juga meletihkan membuat aku mulai mengantuk, padahal saat di kontrakan aku terbiasa tidur di atas jam dua belas malam.
Deru mesin mobil yang memasuki halaman rumah menerbangkan kantukku. Aku membeku, terpaku tanpa berani menoleh kebelakang. Nyaliku ciut untuk sekedar menyambut kedatangan seseorang yang ada di balik kemudi itu.
Aku memejamkan mata memikirkan kata apa yang harus ku keluarkan ketika berhadapan dengan iparku. Semakin panik mendengar suara pintu mobil yang terbuka dan langkah kaki yang mendekat, tak henti-hentinya aku beristigfar dalam hati.
Dingin angin malam yang mengigit tak mampu menahan titik-titik keringat yang mulai bermunculan di dahi. Aku merasa pasokan oksigen yang aku hirup semakin menipis ketika langkah kaki itu tepat berhenti di belakangku. Tuhan tolong bantu aku.
"Permisi... Dengan siapa?" Suara berat pria bertanya dari arah belakangku.
Aku yakin itu bukan suara abangku. Seperti pernah mendengar, tapi dimana dan kapan? Aku memejamkan mata dan menghirup napas dalam saat memberanikan diri membalikan tubuh kearah datangnya suara itu. Bismillah.
Dan saat aku membuka mata, pemandangan yang ada di depanku bukanlah pemandangan yang ingin aku lihat setelah dua belas tahun meninggalkan desa.
****
"Berantem?" Kak Alfi menjatuhkan pantatnya pada susunan bambu bulat yang mejadi lantai dari gubuk tempatku melarikan diri setelah cekcok bersama Yusuf."Hm." Dia pura-pura bertanya, padahal tadi jelas dia melihat kami berkelahi."Mau cerita?" Aku menggeleng. Buat apa? Ujung-ujungnya aku juga di paksa mengalah."Kakak?""Apa?" tanyaku menoleh bingung."Yang cerita.""Kalau mau, silahkan. Tapi tidak janji setelah bercerita akan memberikan apresiasi melalui uang banyak. Adikmu pengangguran sekarang. Ceritalah. Tapi gratis," usahaku membangun obrolan sangat payah.Kak Alfi tertawa."Kakak tidak tahu, apa cerita ini sudah ada yang sampaikan padamu, Dek atau belum. Kakak hanya ingin menceritakan menurut versi Kakak." Kak Alfi menoleh tersenyum meminta pemakluman. Aku balas menarik sudut bibir sebagai tanda mempersilahkan."Kebun dan rumah kita dulu tergadai, Dek!" Netraku melebar. Kaget. "Penyakit Mamak butuh uang besar.
Sabar kuhampar tak ujung.Bencinya kutelan bagai bara merapi.Harga diri kutunduk serendah maunya.Harapku di akhir cerita kembali dapati hatinya.Sial...Dia memintaku mati.________________________________Menghilangkannya demiku.Menghilangkannya demiku.Menghilangkannya demiku.Kamu tega?Kamu tega?Kamu tega?Isi chat terakhir dari mas Sayhan menari di benakku. Aku mencibir pertanyaannya 'apa aku tega'? Hah, tentu saja! Aku tidak menginginkan bayi ini. Kalau menyingkirkannya dia mau menerimaku, akan kulakukan.Cinta butuh bukti bukan? Akan kubuktikan!Sepertinya aku benar-benar gila. Nuraniku sungguh habis tergilas kesumat bertahun. Bagaimana mungkin bibirku melengkung ke atas membayangkan hancur Yusuf saat kujatuhkan anaknya dari rahimku. Yusuf akan mati. Pasti dia mati!Deheman seseorang menarik kembali dari liar imajinasi. Sosok dalam pikiran muncul. Alis naik sebelah, heran melihat senyumk
Seminggu sudah aku di Redan. Sehari pertama yang kulakukan hanya mengamuk dan mengamuk. Langit sampai diungsikan ke rumah kak Alfi karena dikhawatirkan psikis-nya terganggu.Bagaimana tidak. Belum dua puluh empat jam aku di kampung ini. Kak Syahrin telah mengumpulkan para tetua adat di rumah mamak. Dihadapan seluruh keluargaku, kak Syahrin meminta Yusuf mengucapkan kata rujuk.Sama halnya ketika belahan jiwa kak Syahrin itu melafalkan kalimat kabul hampir empat bulan lepas. Enam hari lalu, lahir batinku juga terguncang maha dahsyat. Bahkan jauh lebih hebat, karena saat barisan kata yang keluar dari mulut Yusuf sampai di penghujung. Bersamaan dengan itu tubuhku kehilangan separuh fungsinya. Aku pingsan.Begitu sadar, aku langsung melompati yusuf. Kembali mengamuk. Kabar gembiranya, waktu itu aku beruntung bisa meninggalkan luka di wajah suami baruku. Lukisan kuku-ku menghias indah pipinya. Jangam lupakan hidungnya yang terkena tinjuku. Darah merah merembes dari s
"Capek?" Yusuf bertanya dari balik kemudi. "Kita bisa istirahat sebentar kalau mau. Bagaimana?"Seseorang menyentuh pundakku yang menghadap jendela. "Punggungmu sakit?" Istri kak Min bertanya. Aku menggeleng. "Lapar?" Kembali kepala bergerak kekanan dan kekiri. "Istirahat sebentar yah? Kita perlu magriban dan makan malam."Kenapa mereka bertanya padaku? Kenapa seolah-olah mereka mencari apapun yang membuatku nyaman. Aku tidak suka. Seharusnya lakukan saja apa kehendak mereka. Berpura-pura baik padaku tidak akan meruntuhkan secuil saja benciku pada keputusan egois mereka.Lagipula aku masih meratapi nasib karirku. Masih menangisi perjalanan kisah cinta kandasku. Apa mereka tidak bisa memberi sedikit saja ruang agar berpikir? Apa mata mereka buta untuk melihat keping-keping jantungku berserakan bersama bulir darah meranaku. Kenapa mereka menjadi sangat kejam. Kenapa?Minggu ba'da Azhar kami meninggalkan Samarinda. Dadaku menyempit menyaksikan kontrakan yang k
Aku sedang termangu menatap Yusuf dan kak Min memasukkan pakaian-pakaianku dalam tas juga koper.Sedari tadi mereka hilir-mudik menggeledah isi kontrakan ini demi mencari apa lagi kebutuhan yang akan aku bawa dan sekiranya bakal aku perlukan saat di Redan nanti.Hari ini terhitung satu minggu aku keluar rumah sakit, dan selama itu pula, tak sekalipun aku bertemu mas Sayhan.Sudah berkali bahkan tidak terhitung berapa jumlahnya jemari menekan tombol memanggil pada ponsel. Nihil, mas Sayhan tak bisa kuhubungi. Nomornya selalu di luar jangkauan,SMSdanchatku tak terkirim.Setiap hari aku menanyakan keberadaannya pada Niko, meneror mantan bawahanku itu melalui handphone layaknya rentenir menagih utang. Namun, semua orang bungkam, tidak hanya Niko, Ditha yang kuanggap keluargapun mengunci bibir rapat.Aku gelisah, setiap waktu terlewati dengan was-was. Otakku buntu untuk berpikir, belum lagi mual bawaan anak Yusuf di perut semakin membu
Kemarin, beberapa ribu jam yang laluKetika hujan masih asin dan air mata masih darahMenjelang dini hari di tepian mahakamMohonnya, tinggalkan lebam biru masalaluPilih dia, kemudian pelangi tanpa suram janji ia persembahkan.Lalu sekarang.... Siapa yang meninggalkan siapa?__________________________Jam menunjukkan pukul 20.00 Wita. Di luar hujan lebat, rintiknya keras memukul atap, berdentam sampai ke telinga. Tempias air mesrah mencumbu jendela, titik-titik beningnya ciptakan aliran panjang sebelum luruh menyentuh ubin.Suara TV dengan volume rendah mengisi ruang perawatan. Bau obat-obatan masih kental terhidu. Gorden-gorden coklat yang memanjat tepi jendela melambai lemah terkena angin Air Conditioner. Sesekali terdengar bunyi brankar di dorong melintasi ruangan.Aku sedang memperhatikan sosok di samping. Wajah rupawan pembuat taman hatiku selalu bermekaran jika memandang, kini diselimuti muram durja. Kemeja hitam polos tadi pagi masih meleka
Deras hujan setelah petirMeluruh bening tak mau hentiHari berlalu, tahun bergulirNanah dan darah mengenang bagai belatiPada hati yang berpura bangkitKetentuan takdir kembali mengujiTuhan percayakan sesuatu yang sulitSeperti menatap kiamat unjuk taji_____________________________Ada macam-macam rasa pada manusia. Sedih, marah, kecewa, senang, bahagia, haru dan masih banyak lainnya. Anehnya dari semua rasa itu, aku tidak tahu yang bergejolak dalam dada saat ini masuk dalam kategori mana.Aku seharusnya senang Yusuf melepasku. Bukankah harapan sejak dia menyakitiku memang memutus tali diantara kami.Tapi, apa ini?Ketimbang bahagia hati justru berdenyut ngilu mendapati fakta bahwa ia tak halal bagiku lagi.Bukan. Bukan karena aku masih mencintai dia. Debar untuknya telah lama padam dan aku tidak berbohong.Yang mengganggu hatiku tak lain, perasaan marah. Marah karena dia kembali mencampakkanku setelah mengamb
Senja boleh pergiGerimis bisa menjauhOmbak silahkan surutBiarkan saja ...Nanti pasti mereka kembali.Sepertimu...PergiMenjauhTanpa kabarHilangLalu pulang...Kukira padakuNyatanya bukanKu ingin egoisMerengguhmu kembaliMenjadi milikkuTapi kamu, seolah memilih mati._______________________________Assalamualaikum, wanita yang dirindukan, Langit.Hai ... bagaimana kabarmu? Aku dan yang lainnya baik. Semoga kesehatan dan kasih sayang juga selalu Allah limpahkan padamu.Aku tidak tahu apakah email ini sudi kamu buka atau justru langsung menghapusnya. Besar harapan surat elektronik yang aku tulis tepat saat terhitung dua bulan selepas kepergianmu berkenan di baca. Maaf, karena lancang meminta alamat surel-mu pada Sayhan kekasihmu.Sebanarnya menulis ini membuatku seperti orang bodoh. Dibanding merangkai aksara seharusnya berbicara jauh lebih mudah. Tapi kamu tidak member
Mereka bilang percuma berlari,Ujung dunia kelam menanti.Bersihkan saja noda bathin,Maka sejengkal lega menyebar.Namun....Pongah lantang kupujiMenolak tunduk pada kebenaran.Sebab aku adalah busuk kebencian.Khianat di balas khianat,Iblisku nyalakan kembang api._____________________________"Turunlah, minimal seseorang di dalam sana memberi obat. Wajahmu sepucat kapas." Aku membuka mata saat mas Sayhan menyentuh bahu."Aku hanya butuh kita segera sampai di rumah, Mas. Selain itu, aku tak peduli.""Jangan membantah.""Aku tidak membantah, Mas. Kita sampai dan aku akan kembali sehat. Percayalah." Lagipula tidak ada obat untuk hampaku saat ini, dokter manapun belum menemukannya.Aku akan mengatupkan kedua kelopak lagi, ketika satu cengkraman pelan di lengan mengurungkan niat. "Sekali ini saja, turuti aku.Beberapa detik aku menatap wajah di depanku. Tak ada senyum, hanya raut datar. "Mas marah?"