Share

LAMARAN

Sejak kedatangan Pak Sayhan malam itu, hubungan antara kami berdua menjadi lebih dekat.

Sering kali dirinya menyempatkan untuk mampir di toko sekedar untuk menyapa atau bahkan menawarkanku tumpangan pulang.

Kalau boleh jujur aku tidak begitu nyaman dengan sikap Pak Sayhan. Pegawai toko diam-diam membicarakan kami. Skandal antara atasan dan bawahan selalu menjadi topik menyenangkan untuk dibahas di pagi hari sebelum memulai pekerjaan atau saat jam istrahat. Mereka berpikir aku dan Pak Sayhan memiliki hubungan spesial. Mengingat rupa Pak Sayhan selalu menghiasi jam pulang kerjaku, tidak heran jika desas desus antara kami semakin menyebar.

Aku tidak menyalahkan mereka, apa yang dilihat mata tentu mempengaruhi indra perasa untuk berkomentar. Dan lagi aku tidak merasa harus meluruskan kesalahpahaman yang sengaja dibuat Pak Sayhan.

Berulang kali aku menolak ajakan untuk pulang bersama, berulang kali pula ia menyeretku memasuki Toyota Rush miliknya. Pernah kuceritakan tentang gosip yang beredar, bukannya menjaga jarak dia malah semakin bertingkah.

Jika sebelumnya dia hanya akan datang menjemputku maka setelahnya setangkai bunga selalu menemani. Ujarnya, bunga itu salah satu tanaman yang tumbuh di pekarangan rumahnya. Bukan mawar melainkan azalea.

Saat aku bertanya apa makna bunga itu, dengan sombong dia akan berkata, "Azalea itu lambang cinta yang terjaga, Ling. Diberikan kepada wanita yang akan dilamar atau wanita yang baru saja melewati masa sulit dalam hidupnya. Dan jika aku tak salah menebak, saat ini kau berada dalam titik terendah hidupmu. Apa aku benar? Tak perlu dijawab. Sekarang mungkin aku bukan siapa-siapa di matamu, tapi entah kenapa aku yakin kalau aku cocok menjadi temanmu. Pernah mendengar tentang teman menjadi sahabat lalu menjadi pasangan? Aku berharap kitapun begitu." Lalu aku hanya bisa mencibir.

Hubungan kami bukanlah hubungan seperti orang kebanyakan yang sedang menjalin kasih, tidak. Kami memang dekat tetapi sebatas atasan dan bawahan, meski acap kali menghabiskan waktu bersama menikmati dinginya angin malam sungai Mahakam, ditemani segelas wedang jahe hangat.

Di dekat Pak Sayhan aku menjadi Aling yang ceria. Ia seakan memiliki semua alasanku untuk sejenak melupa. Ngilu yang membayangi bertahun lamanya menjadi samar. Seperti tak punya kisah na'as di masa lalu, kini tawa menjadi warnaku. Terkadang bertanya pada diriku, apakah aku yang sekarang adalah Aling yang sesungguhnya ataukah Aling palsu yang sedang bermain peran menjadi wanita bahagia?

***

Setelah dua belas candra terlewati, malam itu di tepian sungai Mahakam dekat taman cerdas, dalam bising suara anak-anak yang menikmati permainan, Pak Sayhan membisikkan sesuatu yang membuat keningku berkerut tidak paham maksudnya.

"Beberapa minggu belakangan, aku selalu suka melihat bocah yang sedang bermain di taman ini," katanya sambil menunjuk pada sekumpulan anak yang sedang bermain. "Bayangkan kalau kita memiliki satu yang seperti mereka."

"Kita?" tanyaku tak mengerti.

"Hmm," gumannya mengarahkan tatapan kearahku. Lembut sekali. Dadaku sampai bergemuruh dibuatnya.

Semilir angin menerbangkan ujung jilbab segi empat maptun yang aku kenankan. Ku rapatkan kedua lengan tangan untuk mengusir dingin yang menghampiri. Kemana sesungguhnya arah pembicaraan ini.

"Berbicara yang jelas, Pak. Agar aku paham maksud Bapak."

"Bisakah kau hanya memanggilku Sayhan saja, tanpa embel-embel Bapak? Selama ini aku membiarkanmu, bukan berarti aku menyukai dirimu memanggilku demikian." Ia meraih jemariku dari pangkuan lalu menggenggamnya lembut. "Ling... Aku dan kamu. Apakah kita hanya akan seperti ini?" tatapnya sendu.

"A... aku, semakin tidak mengerti maksud, Bapak," kataku terbata. Sedikit mulai mengerti muara pembicaraanya, dadaku berdetak gelisah.

Suara bising tugboat yang sedang menyeret kapal tongkang di tengah sungai memberi jeda pembicaraan kami.

"Mas. Panggil aku Mas, jika menyebut Sayhan terasa berat buatmu. Dan kumohon berhenti berpura-pura tidak mengerti maksudku!" Dengan raut yang terlihat kesal dia melempar pandangannya kearah seberang sungai. "Kita tidak bisa seperti ini terus, Ling! Maksudku, aku bukannya tidak suka dengan hubungan pertemanan kita, hanya saja aku ingin menghindari dosa. Setiap hari, bahkan setiap jam, otakku yang kurang ajar ini dengan lancang selalu memikirkanmu. Bantu aku menghindari dosa itu," tatapnya menembus iris hitamku. Boleh aku menyelam di sana? Mencari kesungguhan ucapnya.

"Mas..." lirihku pelan tak tau harus berkata apa. Bising wahana permainan anak yang tak lagi terdengar olehku sebab digantikan oleh laju pacu detak jantungku.

"Menikah denganku Ling, ku janjikan kau bahagia. Tolong ijinkan aku... Jangan menolak," lirihnya mengeratkan genggaman tangan. Pasokan napasku habis, terkejut hingga tak sadar membelalakan mata.

"Jangan bercanda, Mas! Tidak lucu sama sekali!" dengusku kasar, membuang muka menghindari tatapnya.

"Apa aku terlihat bercanda?"

Kenapa laki-laki hampir selalu sama dalam hal ini? Tak akan menyerah sebelum mendapatkan sesuatu yang memuaskan ego-nya. "Aku, bukan orang yang tepat. Asal Mas Sayhan tau. Kita tidak perlu lagi membahas ini." Aku semakin kesal. Andai tau dia akan membawaku ke sini untuk mendengarkan omong kosongnya. Tentu demi apapun aku akan menolak.

Ia berpikir, mencerna kataku. "Lalu menurutmu yang tepat untukku siapa, Ling? Ah, maksudku wanita yang seperti apa? Kamu terlalu tinggi untuk aku jangkau?" Matanya tajam menatap meminta penjelasan. Ku yakin dia salah paham saat ini.

"Mas... Jangan memaksakan diri. Mas akan kecewa, aku bukan wanita yang baik. Kita baru saling mengenal dan ini terlalu cepat."

"Begini caramu menolak, Ling? Kamu bukan wanita yang baik? Menurutmu wanita yang baik itu seperti apa? Katakan! Biar aku mencarinya nanti," emosinya memuncak.

"Tidak heran, sopan santun anak muda zaman sekarang sudah jarang ditemui. Lihat saja! Bahkan yang telah matang usianya pun tak memiliki lagi rasa malu untuk bertengkar masalah rumah tangga mereka di depan umum," ujar salah salah satu penggunjung taman tersebut yang aku perkirakan berusia 50 tahun.

"Pulanglah. Selesaikan masalah rumah tangga kalian di rumah, tak baik bertengkar di sini. Anak-anak kecil itu akan terkotori pikirannya melihat pertikaian kalian, urusan rumah tangga tidak baik menjadi komsumsi khalayak. Saya tidak tau apa yang terjadi dalam rumah tangga kalian, tapi tolong ingat satu pesan saya. Segera selesaikan masalah kalian, jangan bawa amarah ke tempat tidur dan membiarkannya sampai esok pagi," katanya berlalu meninggalkan kami. Layaknya kepiting rebus, pipiku memerah menahan malu.

"Mas, kita pulang!"

"Pulang?" Keningnya berkerut bertanya.

"Aling malu, Mas. Ini tempat umum."

"Jadi kamu lebih mementingkan rasa malumu?" Ia menatap tak percaya. "Di bandingkan perasaanku, Ling? Oh. Astaga!" Ia menjambak rambutnya.

"Aku janda!"

***

Aku pernah membaca sebuah buku yang mengatakan bahwa yang paling menyedihkan dalam sebuah hubungan adalah ketika kita jatuh cinta sendiri. Sampai saat ini aku tidak tau, apakah itu lebih menyedihkan dari kisahku yang ditinggalkan setelah berjuang bersama. Menyedihkannya aku bahkan dicampakkan tanpa pernah tahu hanya diriku yang berdebar.

Dahulu aku pernah memimpikan hubungan layaknya dalam dongeng-dongeng pengantar tidur seorang gadis kecil. Jenis hubungan yang bahagianya kekal setelah bertemu pangeran. Namun aku sadar, mimpi adalah mimpi, gelembung asa yang sulit digenggam sebanyak apapun doa yang aku lontarkan untuk mengetarkan langit.

Tapi aku seperti kebanyakan gadis lainya ketika pertama kali mengenal merah jambu yang manisnya mengalahkan coklat valentine, lupa dan aku terlalu mabuk. Ketika pria berkulit coklat dan bermata tajam yang baru menyelesaikan program sarjana itu datang menawarkan debar yang meletupkan dada, aku yang bodoh dengan segala kemurahan hati menyambut dan menguncinya rapat tak bercela.

Sampai pada akhirnya ketika birunya sembilu menggores koyakkan semua percaya. Dengan tertatih aku mencari kuncinya, lalu seperti kisah-kisah lainya, selalu ada yang berkorban dan dikorbankan. Aku memilih berkorban walau nyatanya aku yang mengorbankan semua cahaya dalam duniaku.

Aku kehilangan. Kehilangan semua cinta yang pernah kumiliki. Cinta pria itu, cinta ayah dan cinta keluargaku.

***

EthoyRipo

HAI SELAMAT MEMBACA :)

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status