"Araaaaaaa."
Ara yang mendengar itu langsung terduduk. Kenapa Meyra memanggilnya?
Ceklek
Terlihat Meyra yang sudah berpenampilan rapi. Mau kemana dia?
"Mau kemana?" tanya Ara.
"Ke mall, ikut nggak?" tawar Meyra membuat Ara bingung, tumben sekali Meyra menawarinya untuk ikut.
"Temenin gue, yuk." Meyra mendekat ke arah Ara lalu duduk di sampingnya.
"Yaudah, aku mau cuci muka bentar," ujar Ara lalu masuk ke dalam kamar mandi, sedangkan Meyra keluar dari kamar Ara menuju kamarnya sendiri.
Ara berdiri di depan lemarinya lalu memandang baju baju yang terletak disana. Jika dipikir pikir, banyak sekali bajunya ini. Kapan dia membelinya ya?
Akhh ini bukan waktunya untuk memikirkan itu, sekarang waktunya untuk bersiap siap karena sepertinya Meyra sudah menunggu.
Ceklek
Meyra menyembulkan kepalanya lalu melihat ke arah Ara yang berdiam diri di depan lemari.
"Astaga Ara, lo belum siap siap juga." Meyra mendekat ke arah Ara yang berdiam diri di depan lemari.
"Baru selesai cuci muka juga," jawabnya.
"Lo mau pake baju apa?" tanya Meyra sembari ikut memperhatikan baju baju Ara. Jika dilihat lihat, baju Ara lumayan banyak juga, padahal Ara jarang sekali berbelanja.
Ara menoleh ke arah Meyra dan menatapnya dari atas ke bawah. Meyra ini anaknya fashionable sekali. Jarang dia terlewat trend trend pakaian yang sedang booming. Winda selalu membelikannya barang barang branded yang sedang ngetrend.
Sebenarnya baju yang digunakan Meyra sangat simple, hanya rok pendek sepaha, tanktop putih dan cardigan sebagai luarannya. Rambut yang dikuncir kuda dan polesan make up tipis membuat dirinya tampak cantik bak model.
"Ngapain liatin gue kayak gitu?" Meyra bertanya karena sedari tadi Ara terus memandanginya. Ara menggeleng lalu pandangannya kembali mengarah ke lemari.
"Baju lo ini terlalu tertutup, coba deh sekali kali lo pake baju kayak gue," ujar Meyra setelah melihat lihat baju milik Ara. Ara memang sengaja tidak pernah membeli baju baju terbuka seperti milik Meyra, dia lebih senang berpakaian panjang, mentok mentok celana yang dia punya hanya sebatas lutut.
Meyra menarik tangan Ara keluar menuju kamarnya. Dibukanya lemari miliknya lalu memilihkan baju yang pas untuk Ara.
Setelah hampir setengah jam, Ara keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang dipilihkan Meyra.
Meyra menatap Ara dari atas hingga bawah lalu menjentikkan jarinya.
"Perfect," ucapnya kala melihat Ara yang berpenampilan feminim dan tidak terkesan tomboy.
Ara suka suka saja dengan style yang dipilihkan Meyra, namun dia tidak nyaman dengan celana jeans yang sepaha seperti ini, ketika akan protes, Meyra langsung menarik tangan Ara keluar dan mereka langsung berangkat ke mall.
Penampilan yang dipilih oleh Meyra untuk Ara tadi cukup simple. Celana jeans sepaha dengan kaos lengan pendek dan juga cardigan yang sama dengan yang Meyra gunakan.
Kini mereka sudah sampai di mall, tadi saat berangkat mereka hanya menggunakan taxi karena dari mereka berdua tidak ada yang bisa menyetir mobil.
"Kita nonton dulu, yuk," ajak Meyra sembari menggandeng tangan Ara. Ara hanya mengikuti saja, toh jarang jarang jalan berdua dengan Meyra.
"Lo pesen popcorn, gue pesen tiket ya," ucap Meyra lalu bergegas untuk memesan tiket. Ara pun sama dia bergegas berjalan untuk memesan popcorn
"Aduhhh.."
Saat berjalan, Ara ditabrak oleh seseorang.
"Eh, maaf. Sini saya bantu." Laki laki yang menabrak Ara tersebut mengulurkan tangannya untuk membantu Ara berdiri. Dengan ragu ragu, Ara menerimanya dan berusaha berdiri.
"Ehm, sekali lagi maaf," ucapnya dan diangguki oleh Ara.
"Kalau begitu, saya permisi." Ara segera pergi dari hadapan laki laki itu lalu segera memesan popcorn.
"Lama banget," protes Meyra yang sedari tadi menunggu Ara yang tak kunjung kembali membeli popcorn.
"Tadi nggak sengaja ditabrak orang," jawab Ara membuat kening Meyra berkerut.
"Siapa yang nabrak?" tanyanya membuat Ara mengendikkan bahunya pertanda tak tahu. Meyra pun hanya menggeleng dan langsung menarik Ara masuk karena sebentar lagi filmnya akan dimulai.
Setelah hampir 2 jam mereka menonton film, akhirnya selesai juga. Mereka berdua keluar dari bioskop dengan napas yang ngos-ngosan.
"Ih gila serem banget sih," keluh Meyra yang langsung duduk lesehan di lantai. Tidak tahu malu, pikir Ara. Karena lelah juga, akhirnya Ara pun turut serta duduk di samping Meyra. Banyak yang memandang mereka aneh namun biarlah, mereka harus benar-benar menetralkan detak jantung masing masing.
"Habis ini kita makan, gue traktir," ucap Meyra yang langsung berdiri dari duduknya disusul dengan Ara yang langsung mengangguk.
"Aduhh," keluh Meyra membuat Ara menoleh dan mengangkat alisnya.
"Kenapa?"
"Lo tunggu sini bentar, gue ke kamar mandi dulu. Jangan kabur," ucapnya lalu berlari mencari kamar mandi. Ara yang melihat itu hanya menggeleng dan duduk di tempat yang sudah disediakan. Ara berpikir, Meyra ini sifatnya random sekali. Sudah hampir 3 tahun ia hidup bersama Meyra, namun baru kali ini ia bisa sedekat ini dengan saudara tirinya itu. Ya, awalan yang baik mungkin untuk hubungan mereka kedepannya.
Ara membuka handphone nya yang sedari tadi ia silent. Banyak panggilan tidak terjawab dari Reisya membuat Ara mengerutkan keningnya.
"Reisya kenapa ngespam?" gumamnya.
Ara berniat untuk menelepon balik Reisya namun urung karena ada yang memanggilnya.
"Eh, yang tadi kan?" ucap seseorang itu. Ara langsung menoleh dan tersenyum simpul.
"Iya, ada apa ya?" tanya Ara balik membuat laki laki itu duduk di samping Ara.
"Kenalin, saya Satria." Laki laki itu mengulurkan tangannya untuk sekedar berkenalan dengan Ara dan disambut baik oleh Ara.
"Ara," ucapnya.
"Nama yang bagus," puji Satria membuat Ara hanya tersenyum simpul.
"Sendirian aja?" tanya Satria basa basi.
"Nggak, sama saudara."
Satria hanya mengangguk lalu melirik ke arah Ara.
"Emmm boleh minta nomor W******p nya?"
"Buat apa?" Kening Ara berkerut. Orang ini tiba tiba saja meminta nomor W******p nya. Ada apa? Ahh mungkin hanya ingin berkenalan. Pikirnya.
"Ya cuman mau kenal lebih dekat aja," ujarnya membuat Ara percaya percaya saja. Toh hanya kenalan kan?
Setelah memberikan nomor teleponnya, Meyra menelepon dan katanya dia berada di depan Starbucks karena haus dan menyuruh Ara untuk menyusulnya saja kesana.
"Kalau gitu saya permisi dulu. Udah ditungguin," ucap Ara sembari berdiri dari duduknya dan diikuti dengan Satria.
"Bareng?"
"Loh, nggak nonton?"
"Masih lama," ucapnya membuat Ara mengangguk.
Ara mengedarkan pandangannya mencari dimana Meyra berada. Sudah sekitar lima menit Ara berputar putar hanya karena mencari Meyra yang tidak tahu keberadaan nya dimana.
"Araaaa," teriak seseorang membuat Ara menoleh. Ahh itu Meyra. Lalu ia menoleh ke arah samping untuk melihat Satria, namun Satria sudah tidak ada. Kemana perginya?
Ara menggeleng dan langsung menghampiri Meyra yang sedang duduk di kursi sambil menikmati minumannya.
"Nih, punya lo." Meyra menyodorkan segelas boba kepada Ara. Meyra tahu Ara menyukai boba, jadinya ia membelikan boba khusus untuk Ara. Entah kenapa Meyra merasa nyaman berjalan berdua bersama Ara.
"Tadi lo sama siapa kesini? Kayaknya sama cowok, ya nggak sih?" tanya Meyra.
"Ohh, itu tadi orang yang nabrak aku pas mau beli popcorn," jawab Ara santai sambil menyeruput boba miliknya.
"Cowok?" tanya Meyra membuat Ara mengangguk.
"Ganteng, gak?" lanjutnya membuat Ara menggeleng. Dibilang ganteng juga nggak terlalu, dibilang nggak ganteng juga nggak. Biasa saja sih, pikir Ara.
"Ohhh jelek," gumamnya. Meyra menoleh kembali ke arah Ara.
"Namanya siapa?" tanyanya lagi penasaran. Jika menyangkut masalah cowok, Meyra akan menjadi orang yang sangat kepo dan bersemangat. Bertanya apa yang ingin dia tanya, tidak akan berhenti sebelum jiwa kekepoannya ini hilang.
"Namanya." Ara memberi jeda sembari meminum bobanya membuat Meyra menatapnya penasaran.
"Satria," ucap Ara membuat Meyra mendelik. Satria?
"Satria," gumamnya sambil menatap ke arah meja. Ara yang melihat perubahan raut wajah Meyra mengernyit. Ada apa dengan Meyra?
"Loh? Kok kamu udah dateng sih?" tanya Ara yang baru turun dari mobil bersama Reisya. Mereka kaget karena Satria yang tiba-tiba sudah nangkring di depan rumah Reisya."Ya ngga boleh cepet-cepet?" tanya Satria membuat Ara menggeleng. "Ya boleh. Siapa bilang nggak boleh," jawabnya membuat Satria mengangguk."Yaudah yuk masuk, nggak enak kalo di luar terus," ajak Reisya. Mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah. Keadaan rumah sangat sepi karena Reino yang pergi ke luar kota bersama temannya dan orang tua Reisya yang berada di luar negeri."Om sama Tante nggak pulang, Sya?" tanya Ara membuat Reisya menggeleng. Ara hanya ber-oh saja."Gimana Meyra? Udah sampe rumah kan?" Ara bertanya kepada Satria dan dibalas dengan gelengan."Loh?""Aku tinggalin. Lagian ya, Ra. Si Ellen sama Sisca tuh belum pulang. Jangan percaya deh sama sandiwara mereka," jelas Satria membuat Ara menghela napas lalu mengangguk."Oke,"
Tidak ada yang spesial di hari Minggu ini. Besok sudah Senin saja, waktunya upacara. Sebenarnya, meskipun Ara pintar, ia juga seperti murid pada umumnya yang tidak menyukai upacara. Panas, capek, keringetan, pegel semua.Ara sudah selesai belajar dan menyiapkan buku mapel untuk besok. Rencananya, besok setelah pulang sekolah ia akan mampir sebentar ke rumah Reisya untuk mengerjakan tugas kelompok.BrukAra merebahkan dirinya di kasur. Ia menatap langit kamarnya lalu tersenyum. Beberapa hari ini, kehidupannya berjalan dengan baik. Hari-harinya menjadi bahagia. Tidak ada yang melakukan kejahatan pada dirinya, ia selalu diperlakukan baik oleh semua orang. Senang? Tentu saja. Akhirnya kehidupannya yang dulu kembali walaupun tak sepenuhnya."Kangen bunda," lirihnya lalu menatap pigura yang selalu ia letakkan di atas nakas."15 September, sebentar lagi bunda ula
Paginya, Ara sudah sampai di sekolah. Betapa kagetnya dia karena sepanjang perjalanan menuju kelas, banyak teman-teman lainnya yang meminta maaf kepada Ara."Ra," panggil Reisya ketika Ara sudah duduk di sampingnya."Ini semuanya beneran minta maaf tau, Sya," jelas Ara membuat Reisya mengangguk. Reisya juga tidak habis pikir, sebenarnya mereka benar-benar berubah atau tidak."Tapi kamu jangan langsung percaya gitu aja, Ra. Takutnya kamu dijebak," ujar Reisya serius membuat Ara mengangguk. Benar, ia jangan terlalu percaya begitu saja kepada Meyra dan yang lainnya. Siapa tau ini hanya bualan mereka semata."Oh iya, Minggu depan Meyra ulang tahun, kayaknya kamu juga bakalan diundang deh."Reisya terkaget, "hah? Dirayain lagi?""Ya iya, kan emang biasanya gitu," ujar Ara membuat Reisya menggeleng."Terus ka
"Salepnya digunakan secara rutin ya, agar segera pulih dan bekasnya tidak terlihat," jelas dokter membuat mereka mengangguk."Baik, dok. Terima kasih,"Setelah kepergian dokter, mereka bertiga berdiam di ruangan. Tanpa mengucapkan kata sedikitpun.Lalu atensi mereka teralihkan karena mendengar pintu ruangan yang terbuka."Araaa," teriak Meyra, Ellen dan Sisca. Hah? Mereka kenapa?Satu-persatu mereka memeluk Ara yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit. Sedangkan Reisya dan Satria saling tatap."Ara, maafin kita karena udah buat jahat sama kamu," ujar Ellen tiba-tiba membuat semuanya kaget.Bisa gitu ya?"Iya, Ra. Maafin juga ya kita udah bikin kamu masuk rumah sakit terus. Aku bakal bayarin biaya rumah sakitnya.""Ga perlu," tolak Satria dengan tegas. Wajahnya yan
Pagi ini, Ara sudah bersiap-siap untuk pergi sekolah. Berusaha mungkin ia akan menguatkan mentalnya karena pasti saat disekolah ia akan dibully habis-habisan mengingat kejadian kemarin yang tersebar luas seantero sekolah."Sayang, sini duduk," ajak Evan membuat Ara tersenyum dan duduk di samping ayahnya."Berani juga, Lo masuk sekolah," batin Meyra sembari menatap Ara sinis."Ada apa, Mey?" tanya Evan yang tidak sengaja melihat Meyra yang sedang menatap Ara."Eh, nggak yah." Meyra gelagapan sendiri lalu beralih memainkan ponselnya. Semoga saja ayahnya tidak ada curiga terhadapnya."Ara nanti ayah yang antar ya?" tanya Evan membuat Ara terdiam sejenak kemudian mengangguk."Meyra?" Evan beralih bertanya pada anaknya itu. Ya walaupun bukan anak kandungnya setidaknya Evan berusaha adil kepada mereka berdua.
Disini Ara sekarang, gudang belakang rumahnya. Tadi setelah di siksa oleh Angel dan Sisca, Ara langsung dimasukkan ke dalam gudang belakang. Badannya menggigil karena kedinginan. Bahkan ia saja masih memakai seragam."Aakhh, bunda," lirihnya. Suasana gudang yang gelap ditambah dengan cuaca yang mulai dingin membuat Ara semakin menggigil.Ia ingin meminta bantuan juga tidak mungkin, kepada siapa ia akan meminta bantuan. Berteriak pun percuma, ini gudang belakang tidak ada seorangpun yang akan mendengar."Tolongin Ara," lirihnya. Bibirnya sudah pucat pasi, terlebih dia belum makan sejak siang tadi. Kepalanya sudah mulai berkunang-kunang, tubuhnya siap untuk ambruk namun tidak jadi karena pintu gudang sudah dibuka."Heh, keluar lo," teriak Meyra dari luar membuat Ara berdiri dan berjalan pelan menuju pintu gudang."Buruan, lama banget sih." Meyra menarik lengan Ara dan dibawanya masuk ke dala