Share

Peringatan sang arwah

"Loh, kenapa harus pakai persyaratan segala? Apa Kamu tidak tau malu Dir, semua ini terjadi juga karena kamu" Ibu tak terima dengan permintaan Mas Dirga.

"Ah sialan , seharusnya memang aku tak membicarakan hal ini di depan Ibunya Dewi. Bisa gawat juga kalau tahu aku minta syarat akan menceraikan Dewi setelah anak itu lahir," batin Dirga.

"Ya sudah Bu, Ibu atur saja pernikahan kami. Aku sudah pusing memikirkan semua ini." Dirga memijit kening yang tak pegal itu.

"Baiklah, secepatnya Ibu akan urus segala sesuatunya, tapi setelah anak itu lahir ,kalian harus menikah ulang agar pernikahan kalian sah di mata agama," Ibu nampak lega walau kekecewaan itu masih nampak jelas.

~~~~~

    Pernikahanku dan Mas Dirga baru saja selesai terlaksana , dalam kesederhanaan tanpa mengurangi kesakralan prosesinya.

Aku bahagia bersanding dengan lelaki yang sangat ku cintai, meskipun sekarang Mas Dirga sudah banyak berubah semenjak mengenal Tari.

Oh iya aku sampai lupa mencari tahu tentang hubungan Mas Dirga dan Tari, setelah kejadian di rumah Mas Dirga beberapa waktu lalu.

Mas Dirga hanya diam duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosongnya.

Lalu aku menghampirinya dan mengatur posisi tepat di sampingnya.

"Mas, sekarang kita sudah resmi menjadi sepasang suami istri, aku hanya ingin memastikan bahwa kamu sudah meninggalkan Tari 'kan, Mas?" 

"Heh! Aku 'tu menikahi kamu hanya karena tidak mau Ibumu itu melaporkanku ke Kantor Polisi. Ingat ya setelah anak ini lahir, aku akan segera menceraikanmu dan menikahi Tari." Mata Dirga memerah dengan rahang yang mengeras mengeluarkan kata-kata yang penuh penekanan.

Dadaku berdegup kencang seperti akan meledak mendengar penuturannya. Mataku seketika terasa panas.

Tiba-tiba aku merasa seperti ada yang menjalar masuk kedalam tubuhku.

Lalu aku menampar Mas Dirga . Ku banting tubuhnya ke atas ranjang. Dan aku mulai mencakari wajahnya.

Batinku berteriak ingin menolak tetapi tenaga ini begitu kuat tanpa bisa untuk ku kontrol.

"Ya Allah ... Apa yang sebenarnya terjadi

     Aku berusaha sekuat tenaga untuk melawan diriku sendiri.

Sungguh otakku bertolak belakang dengan motorik ku.

Aku berusaha beristigfar sebanyak-banyaknya.

Hingga akhirnya aku terhuyung turun dari ranjang dan tubuhku membentur tembok.

Seketika tenagaku lenyap.

Kakiku terasa seperti tak memiliki tulang dan tubuhku luruh ke lantai.

Ku pandangi Mas Dirga yang mengerang kesakitan.

"Aaargh! Apa-apaan kamu Dew, bangs*t!" Sumpah serapah terus keluar dari mulut Mas Dirga.

Aku benar-benar kehilangan sosok Dirga yang dulu begitu lembut dan romantis.

Aku masih terpaku dan tak berani mendekati Mas Dirga.

"Maafkan aku, Mas." Hanya kata itu yang terus keluar beriringan bersamaan dengan kampa pada bibirku.

Tak sengaja mataku menatap sosok di dalam cermin yang tepat berada di sebrang ranjang.

Sosok itu memandang Mas Dirga dengan tatapan murka, lalu beralih menatapku dengan senyum manisnya.

Aku tertegun sepersekian detik, mulutku terasa terkunci untuk sekedar berteriak.

Sosok itu ... Dia adalah aku.

Bagaimana mungkin?.

Kukucek mataku beberapa kali tanpa memperdulikan Mas Dirga yang mulai mendekatiku seolah ingin menyerang balik.

"Ya, benar itu aku, tapi ta-ta-tapi ... "

Belum sempat menyelesaikan adegan menerka-nerka ini, tangan Mas Dirga berhasil menggapai pundakku, lalu menarikku secara brutal.

Tapi seketika, lampu berkedip berulang kali seperti ada yang korslet, lalu [tap]. Padam begitu saja.

Dalam kegelapan, terdengar suara sesuatu menghantam tembok, yang ku yakini itu adalah tubuh suamiku.

Mas Dirga berteriak memakiku, mungkin ia mengira aku yang melakukannya.

"Dewi! Dasar istri durhaka kamu."

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dari luar, lebih tepatnya digedor.

[Dor..dor..dor]

"Dewi Dirga, kalian kenapa, Nak? kok teriak-teriak, buka pintunya Nak," terdengar suara Ibu dari balik pintu.

Seketika lampu menyala dan Mas Dirga terlihat kebingungan melihatku yang masih berada di posisi semula tanpa bergeser se-centi pun, yang masih meringkuk sembari memeluk lutut.

"Dewi tak berpindah posisi , lalu siapa tadi yang mendorongku sampai membentur dinding?" batin Dirga.

Aku masih syok, aku tak bergerak dari posisiku.

Dirga berjalan sesantai mungkin menuju pintu lalu membukanya.

"Ada apa, Nak? Ibu dengar seperti ada kegaduhan, apakah kalian bertengkar?" nampak kecemasan dari raut wajahnya lalu berjalan tergopoh mendekatiku yang masih meringkuk memeluk lututku, tanpa menunggu jawaban Mas Dirga.

"Ya Allah, Nduk ... kamu kenapa? Apa yang terjadi, Nduk?" ucap Ibu sembari mengusap punggungku.

"Jadi begini, Bu, tadi kami hanya terkejut, karena tiba-tiba lampu di kamar ini padam," jawab Mas Dirga.

"Loh, emangnya tadi mati lampu? Ibu dari tadi beres-beres di depan tapi tidak mati lampunya." 

"Mungkin ada kabel yang korslet, Bu di kamar Dewi," aku tak mau Ibu mengetahui kejadian sesungguhnya.

"Oh ya sudah, Nak, kalian istirahat ya kalian pasti capek, pikirkan juga anak di dalam kandungmu, Nduk." Titah Ibu sambil memapahku berbaring di atas ranjang.

Setelah sepeninggalan Ibu, aku dan Mas Dirga saling diam membisu, kami sibuk dengan pemikiran kami masing-masing.

Bagaimana tidak, malam pertama ini diawali dengan hal janggal yang sulit dinalar oleh akal sehat manusia.

Lama-kelamaan Aku terbuai ke alam mimpi setelah lelah mencerna apa yang baru saja terjadi. 

[Kriet ... kriet ... kriet]

Aku tersentak ketika mendengar bunyi yang entah berasal dari mana.

Kubuka mata perlahan dan kukerjap-kerjapkan hingga penglihatanku kembali terang.

Kusapu pandangan keseluruh ruangan hingga mataku menangkap pemandangan yang cukup menarik perhatianku.

Pintu itu , kenapa seperti ada yang memainkan hingga menimbulkan suara yang cukup mengusik gendang telingaku.

Aku berusaha duduk dan menyandarkan tubuhku di kepala ranjang, kupandang benda bulat yang terpajang di dinding, waktu menunjukkan pukul dua dini hari.

"Siapa yang iseng memainkan pintu pagi-pagi buta begini, kurang kerjaan banget sih," gerutuku.

Dengan mengendap-endap, kuberanikan diri mendekati asal suara, kudorong pintu secara perlahan bahkan pelan sekali.

Hingga aku mendapati diriku ada tepat di hadapanku.

Ah, rasanya aku pun tak percaya, dia sama persis denganku, bedanya dia lebih putih dariku, lebih tepatnya putih pucat.

Pandangan matanya yang sayu seolah menghipnotisku. Kulihat netranya mengembun.

Aku ingin lari tapi kakiku terasa kaku tak dapat bergerak, ingin berteriak tapi lidahku kelu, mulutku mengatup rapat.

Peluh dingin telah berderai sebesar biji jagung membasahi dahiku.

Mungkin sudah satu menit lebih aku mematung, aku benar-benar takut, fikiranku tak karuan.

Dan akhirnya ... 

[Brug] 

Seketika semua gelap dan aku tak ingat lagi apa yang terjadi.

~~~~~

 "Dew bangun sayang,"

Suara itu yang pertama kali kudengar diiringi tepukan lembut pada kedua pipiku.

Ku buka mataku secara perlahan, ternyata Mas Dirga yang berada di hadapanku tengah memangku kepalaku.

"Apakah aku tak salah dengar, Mas Dirga kah yang baru saja memanggilku dengan sebutan sayang?" Aku tersenyum memandangi lelaki yang sudah sah menjadi suamiku itu, tengah memandangiku dengan tatapan hawatir.

"Kok malah senyum-senyum sih, Dew, Kamu kenapa kok bisa tidur di depan pintu begini?"

Rasanya Aku tak perlu menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya kepada Mas Dirga.

Aku harus mencari tahu sebenarnya siapa sosok yang mirip denganku itu.

" Tadi senyum-senyum , sekarang malah bengong, Kamu sehat?" ucapnya sambil menempelkan punggung tangan ke keningku.

"Eh , anu Mas, mungkin Aku ngigau , tidur sambil jalan, jadinya malah ketiduran disini," jawabku sambil cengegesan.

 "Kok tiba-tiba Mas Dirga berubah drastis jadi perhatian begini?" batinku heran.

"Yuk pindah ke ranjang, oh iya, Dew, maafin Mas ya karena akhir-akhir ini Mas kasar dan cuek sama Kamu, Mas cuma syok aja sama kehamilan kamu ini, Mas belum siap." Tutur Mas Dirga sembari menuntunku duduk di tepi ranjang.

"Iya Mas, Aku juga minta maaf ya Mas, karena kejadian semalam, Mas jadi luka-luka gitu pipinya.

Sebenernya aku nggak tau kenapa bisa begitu Mas" 

Aku menunduk, tak terasa lagi dan lagi bulir bening mengalir dari netraku.

Sebenarnya aku masih takut dengan apa yang telah ku alami , dan kenapa Mas Dirga bisa secepat ini berubah.

Mas Dirga mengangkat daguku lalu mengusap pipiku " sudah jangan nangis terus kasian nanti adek ikut sedih." Hiburnya sambil mengusap perutku.

Seketika ketakutanku sirna karena rasa nyaman dan bahagia yang luar biasa.

Mas Dirga memelukku dan kami kembali tertidur karena matahari belum menampakkan diri.

--------------

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status