Share

Panas

Author: QurratiAini_
last update Last Updated: 2021-08-20 21:31:03

Sekilas info, rumah paman dan bibi Rio ini berbahan dasar kayu. Selain itu juga model panggung, asli macam rumah orang Banjar sana.

Sejujurnya ada penyebab lain. Yakni untuk kesiapan menghadapi peristiwa yang sering kali terjadi di kawasan tempat tinggal mereka ini.

Jika banjir datang, sebagai kesiagaan semisal air naik ke permukaan, setidaknya kedudukan rumah ini tinggi. Rumah tak akan dimasuki oleh air banjir tersebut. Walau di sekitar sini hanya rumah paman dan bibinya saja yang panggung seperti ini.

Suara tapakan kaki menggema di ruang tengah sampai pada ruang tamu. Dengan sengaja Rio berlaku demikian, menghentak-hentakkan kaki seiring langkah kakinya. Ia melirik seorang bayi laki-laki yang tengah pulas tertidur di ayunan. Kembali ganas pada tindakannya tadi, Rio makin sengaja menghentak kaki dengan kuat hingga timbulkan bunyi tak nyaman bagi orang yang sedang tertidur.

Sampai di ruang tamu Rio nengok lagi ke belakang. Dengusan kasar keluar dari lubang hidungnya yang mancung. "Gilak bocah gak bangun. Tidur atau mati," umpatnya.

Cowok itu mendudukkan diri di sofa yang tersedia di ruang tamu. Ia kembali main game. Belum puas rasanya kalau belum menang. Mottonya, sih, 'Pantang Mundur Sebelum Menang'. Keren, 'kan?

Tak nyaman duduk, Rio ambil posisi tiduran. Kali ini ia akan main dengan serius dan tentunya lebih fokus lagi. Pokoknya harus menang! Percayalah ... Rio tak akan berhenti main game sampai jam berapapun kalau ia tak menang-menang. Baginya menang adalah suatu keharusan. Rio memang sebatu itu.

Lama di posisi itu Rio jadi makin kegerahan, padahal ia sudah buka baju. Tak ada AC, tak ada juga kipas angin, bikin Rio emosi saja. Matanya menemukan kotak susu yang tergeletak di atas meja. Lantas saja ia keluarkan isi bungkusnya itu dan melipat-lipat asal kardus kotak tersebut untuk kemudian ia gunakan berkipas.

"Adem, sih, adem," monolognya. "Tapi kalo gue kipasan mulu kapan gue mainnya, dong?"

Terdiam sejenak memikirkan sesuatu. Rio berdecak lagi kala otaknya dapat pencerahan. "Bodo ah, gue panas!"

Rio melangkah cepat ke tempat ayunan anak dari paman dan bibinya itu. Terdapat kipas angin mini di sampingnya, bikin Rio iri saja. "Masih bocil aja sok-sokan pake kipas angin lo!" ujarnya ngegas.

Mata bayi mungil itu sedikit terbuka, tetapi hanya sebentar. Setelahnya ia kembali tertidur nyenyak. Bibir mungilnya itu mengapit dot mini yang seukuran dengan mulut kecilnya. Sungguh lucu dan menggemaskan sekali.

"Gue ambil kipasnya, gue juga panas bukan lu doang," tukas Rio lagi. Cowok itu menarik kasar colokan kipas dan mengangkatnya dengan 1 tangan saja.

"Lo bocil kipas manual aja. Masuk aingin oek oek nyusahin doang kerjaan lo bisanya." Rio ngoceh.

Ia segera berlalu dan menaruh kipas tersebut di atas meja kemudian mencolok cucukannya pada terminal yang tersedia. Diarahkan menghadap pada dadanya yang bertelanjang. Wiuhhhh, adem banget rasanya ... ah mantap!

"Perut gue udah kelemer-kelemer gini," gumam Rio meraba-raba bagian perutnya dan memencet pelan pusatnya itu. "Entaran gue olahraga biar bisa sixpacks, biar maco."

Rio tak mau pikirkan masalah perut lagi. Ia sudah ambil posisi wuenak untuk kembali main game. Akan tetapi, baru saja hendak login suara anak bibinya yang menangis memenuhi seisi rumah. Bunyinya sangat kencang bikin Rio tutup telinga saking berisiknya.

"Woilah, berisik banget! Gue main game butuh fokus! Ngerti gak lu, hah?!" geramnya.

Kepala Rio celingukan melihat ke dalam karena tangisan bocah itu tak berhenti juga. "Emaknya kemana, sih? Anaknya nangis malah dibiarin aja." Rio mencak-mencak. Cowok itu kesal setengah mampus. Mood bermainnya jadi hilang seketika.

Memilih menutup telinganya dengan earphone yang tersambung dengan hape, Rio lantas memutar lagu viral tiktok. Sejenak ia merasa lebih tenang sampai suara cempreng bibinya mengagetkan dan memenuhi seisi ruang tamu.

"RIO!"

"Babi!" Rio kaget sampai terlonjak dari sofa. Netranya menyorot bibinya yang tengah menggendong anaknya itu dengan tatapan tak suka. Ingatkan bahwa di rumah ini hanya terdiri dari 3 orang saja. Rio, bibinya, dan anaknya yang masih bayi itu. Suaminya yang tak lain ialah paman Rio telah pergi bekerja sejak jam 8 pagi tadi, sementara sekarang jam sudah tunjukkan pukul 2 siang.

"Kipas angin buat anak gue ngapa lo ambil, hah?!" murkanya. Wajah mengerikannya itu berbanding terbalik dengan perlakuan tangannya yang secara lembut dan teratur mengelus-elus kepala anaknya itu.

Wajah Rio berubah jadi masam. "Pelit banget, Bi. Gue kegerahan, nih," pundungnya.

"Lo kira gue gak kepanasan? Gue di dapur lagi sibuk masak lo malah berulah gitu nangisin Rafa. Apa gak puyeng gue?"

Rio menunduk dengan wajah melas. Ia hanya mendengarkan omelan bibinya itu tanpa menjawabnya sama sekali. Beberapa waktu terlewati dengan keterdiaman Rio, kemudian secara perlahan cowok itu mengangkat tungkai dan mendongakkan kepalanya hingga obsidian terhunus tepat pada retina adik abahnya tersebut.

Rio menarik napas dalam mengumpulkan mental untuk ungkapkan pemikiran yang sedari tadi mengganjal di otaknya. Cengiran lucu tercipta di sana tampilkan deretan gigi putih yang tersusun rapi.

"Bibi lagi PMS, yah?" tanyanya dengan amat kurang ajar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ASHOLE   Parah

    Naya melotot bungkam atas apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Telapak tangannya menutup mulut. Terlalu syok atas apa yang disaksikannya.Bagaimana tidak? Secara jelas Naya melihat bahwa Rio baru saja menampar kepala anak kecil itu hingga kepalanya terputar dan tubuh mungil itu tersungkur.Tidak ingin Rio berbuat lebih lagi, Naya terburu-buru menyampirkan tas yang ia kenakan di pundak kemudian segera mengambil langkah menuju posisi Rio berada.Bukankah Rio terlalu berlebihan? Ini hanyalah masalah sepele. Cuma soal es fanta harga lima ribuan, tak seharusnya Rio melakukan hal sejahat itu. Emosi Naya benar-benar terpancing untuk datang."Rio!" teriaknya saat sudah dekat.Membuat si empunya nama menoleh pada panggilan dari suara yang sudah ia kenali jelas siapa pemiliknya.Raut Naya tampak datar. Tatapan matanya amat tajam menghunus Rio. Ia hanya melirik laki-laki itu sekilas dengan ekor matanya, terlalu menunjukkan secara terang-ter

  • ASHOLE   Basah

    "Neng, beli fanta gak?"Teguran tersebut mengalihkan atensi Naya dan Rio yang sedang bercengkrama. Terlihat seorang laki-laki paruh baya berkulit hitam legam menghampiri mereka dengan membawa sebuah nampan berukuran cukup besar yang di atasnya tersusun gelas-gelas plastik yang biasanya dipakai untuk wadah pop ice. Namun, kali ini wadah tersebut diisi oleh air fanta berwarna merah, oren, dan biru keunguan.Rio menelisik pedagang tersebut. Sudah sangat biasa jika berkunjung ke sebuah tempat wisata atau pun tempat-tempat sejenisnya, maka ada saja pedagang-pedagang es, gorengan, jajan-jajanan tusuk, yang berniaga dengan berjalan-jalan menghampiri para pengunjung. Baik yang sedang berjalan menulusuri tempat, terlebih sedang duduk bersantai pada bangku yang telah disediakan, contohnya mereka.Ia tak mau beli. Sayang duit jika dibelikan barang tak berguna. Membiarkan pedagang tersebut tetap di sini, Rio hendak melihat Naya. Apaka

  • ASHOLE   Membantu

    Naya meraih nampan yang ada di samping kaki Rio. Kemudian ia menaruh gelasnya di atas sana. Ia juga mengambil gelas kosong Rio untuk ditaruh di atas nampan juga."Taruh aja di bawah nanti mamangnya ngambil ke sini sendiri," kata Rio."Eh, iyakah?"Rio mengangguk ringan sebagai respon untuk pertanyaan Naya. Maka gadis itu menurut. Ia menaruh nampan berisi dua gelas yang telah kosong tadi di samping kursinya.Setidaknya ia sudah merasa segar dan lebih baik dari kondisi tadi meski sinar mentari bersinar terang di bumi Jakarta. Namun, rasanya lega sudah melepas dahaga dengan minum es tebu yang sangat menyegarkan.Pun di belakang tempat duduknya terdapat pohon bintaro yang melindungi dari paparan sinar matahari."Ayok, tadi mau cerita apa? Biar aku dengerin, deh.""Oh." Rio mengangguk. "Aku sebenernya ke Jakarta itu gak serta merta ikut kata hati aja, sih, kare

  • ASHOLE   Es Batu

    Naya memiringkan kepala hendak lebih fokus mendengar jawaban apa yang akan Rio berikan."Maybe karena tebu itu cuma diambil airnya doang terus tebunya dibuang. Kalo buah lain, 'kan, sekalian sama buah-buahnya diblender terus ditambahin air. Kalau jus teksturnya juga kental karena buahnya ikut nyatu sama airnya pas diblender. Kalo tebu, kan, tektsurnya cair karena cuma diambil airnya doang. Eh, tapi gak tau, deh, soalnya gue ngarang."Seketika Naya terbahak dengan kencang. Memang asem si Rio. Padahal dirinya sudah sangat serius mendengarkan penjelasan dari awal, tapi keterangan diakhir tadi sangat membagongkan, huh!"Lagian kalo masalah buah nyatu atau enggak, jus timun disaring loh. Kan, buahnya keras tuh. Nah, selesai diblender ampasnya dibuang yang diminum cuman airnya aja. Hayoloh, namanya tetep jus timun bukan es timun. Malahan bikinnya dicampur air pemanis gitu, 'kan? Gak asli air sari dari buah itu sendiri k

  • ASHOLE   Jus / Es

    Rio menerima nampan berisi dua gelas es tebu yang diulurkan oleh penjualnya. Minuman berwarna kuning itu tampak menyegarkan sekali. Terlebih dahulu Rio menaruh nampan tersebut di atas kaca berisi tebu yang telah dipotong sekira-kira berukuran seperempat meter.Kemudian ia mengeluarkan dompet dari saku celana. "Berapa, Mang?""Kayak biasa," jawab si mamang seadanya.Rio tak menjawab lagi. Ia mengangguk saja lalu mengeluarkan satu-satunya lembar uang yang ada di dalam dompet tersebut untuk dibayarkan."Uangnya gede banget. Uang kecil gak ada?"Gelengan kepala Rio berikan sebagai jawabannya. Mau tak mau si mamang memberi kembalian uang berwarna biru satu dan yang berwarna hijau dua.Namun, beberapa selang pembelinya ini tak jua beranjak dari stand-nya padahal uang kembalian sudah diberi? Maka dari itu ia bertanya, "Kenapa lagi?""Loh ini cuman 90 ribu sosokny

  • ASHOLE   Es Tebu

    Dua pasang manusia yang menjadi sorot titik fokus dalam cerita ini akhirnya tiba di kedai ice cream yang mereka hendak tuju.Wanita itu bahkan sampai menge-cek hape-nya sekedar untuk mencocokkan sebuah foto temannya—yang kemarin merekomendasikan tempat es krim enak padanya—sedang berpose tepat di depan pintu kedai."Bener, 'kan?"Entah berapa kali Naya mengajukan pertanyaan yang sama sampai Rio bosan mendengarnya."Udah dicocokin belum? Kalau sama, ya, berarti ini tempatnya," jawab Rio lempeng."Coba, deh, kamu liat."Naya menyuruh Rio untuk mengamati fotonya. Namun, Rio malas nunduk-nunduk untuk melihatnya. Pun matahari sedang bersinar dengan terang membuat pandangan Rio pada benda dengan layar seperti kaca itu silau."Kayaknya bener ini."Akhirnya Rio menjawab asal. Namun, sayangnya Naya tampak belum puas.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status