Elina menatap dengan kesal ke arah Radit, CEO baru yang baru saja memaksanya untuk menerima tawaran kenaikan jabatan yang sebenarnya tidak pernah ia inginkan. Sebagian orang mungkin akan merasa bahagia dengan hal itu, terutama karena jabatan baru berarti lebih banyak pengakuan dan kesempatan. Namun, bagi Elina, ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa begitu saja menerima perubahan ini.
"Kenapa melamun, Elina?" Suara Radit yang berat membuat Elina terkejut. "Eh, iya maaf, Pak Radit." Tanpa banyak bicara, Elina menundukkan kepala dan mengikuti perintah untuk masuk ke ruang kerja pribadi Radit. Begitu berada di dalam, ia terperangah melihat tumpukan berkas yang menggunung di atas meja. Pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab sekretarisnya kini dialihkan padanya. "Kerjakan semuanya dengan cepat," ujar Radit tanpa ragu. "Tapi, Pak... saya..." Elina hendak berargumen, namun Radit dengan cepat memotong kalimatnya. "Kenapa? Mau cari alasan lagi? Jangan sampai ada hal lain yang mengganggu kerjaanmu." Elina terdiam sejenak, merasa ada yang aneh dengan sikap Radit. Ia mengangkat sebelah alis. "Maksud Bapak bagaimana?" Radit mengalihkan pandangannya, lalu dengan nada santai berkata, "Sudah, jangan banyak bicara. Berkas-berkas itu harus segera selesai." Elina memilih untuk menahan segala pikirannya. Tidak ada gunanya menunda-nunda atau berbicara lebih banyak. Dalam diam, ia mulai menyusun berkas yang menumpuk di meja. Tugas ini sebenarnya bukan tanggung jawabnya, tetapi ia tahu, jika tidak segera menyelesaikannya, situasi ini bisa menjadi lebih buruk. Namun, tanpa Elina sadari, Radit memperhatikan setiap gerak-gerikannya. Matanya tak sengaja melirik ke arah lehernya yang tampak jenjang. Sesuatu dalam dirinya membuatnya merasa gelisah, pikirannya mulai berkelana. Radit menelan saliva dengan kesulitan, matanya mulai bergerak dengan pola yang tidak bisa dia kendalikan. Pikirannya melayang ke tempat-tempat yang seharusnya tidak ia bayangkan—berimajinasi tentang apa yang mungkin terjadi jika keadaan ini berbeda. Elina tampaknya fokus pada tugasnya, sementara Radit semakin tidak bisa menahan hasrat yang datang begitu mendalam. Mungkin, dalam benaknya, ada pikiran tentang kekuasaan dan kendali, tapi ia mencoba mengesampingkan perasaan itu untuk saat ini. Tapi, sesuatu dalam interaksi mereka yang terasa tegang ini, membuat keduanya berada di tepi ketegangan yang tak terucapkan. Akankah Elina menyadari apa yang sedang terjadi? Atau, apakah Radit bisa menahan diri dari godaan yang perlahan tumbuh di dalam hatinya? Dia memainkan bunda itu dengan membuka kancing baju kemeja yang digunakan oleh Elina Dia mempermainkan benda tersebut dan mencoba untuk menyentuhnya. "Pak Radit." "Ah iya." Radit mengumpat kesal, dia menggelengkan kepalanya ketika sadar tadi hanya melamun saja. Padahal dia membayangkan ketika main dengan Elina. Sial, Radit mengumpat dalam hati ketika dia hanya melamun saja. Dia sudah membayangkan bermain panas dengan Elina. Elina menaikan sebelah alisnya heran, dalam hati dia mengumpat kesal. Apalagi setelah melihat bosnya itu melamun. Memangnya apa yang ada di dalam pikiran laki-laki tersebut. "Pak Radita lagi mikir kotor yah?" tebak Elina. Radit langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Akan sangat memalukan jika dia mengatakan yang sebenarnya kepada Elina. "Tidak usah sok tahu kamu." Radit mengatakan itu dengan sedikit gugup. Elina malah tersenyum dengan penuh arti ketika mendengar hal tersebut. "sudah mengaku saja." Radit berdiri ketika Elina benar-benar menantang dirinya. Dia berjalan mendekati wanita itu dengan penuh keberanian. Dia memojokkan wanita itu sampai ke dekat mejanya. "Pak Radit mau ngapain?" tanya Elina yang tengah merasa gugup sekarang. Elina benar-benar tidak tahu harus melakukan apalagi setelah ini. Apalagi Elina menatap dirinya dengan penuh arti. Apa yang akan dilakukan oleh bosnya itu. "Menurut kamu, saya akan ngapain?" tanya Radit dengan jarak yang begitu sangat dekat. Membuat Elina merasa gugup sekarang. Radit mendekatkan wajahnya pada telinga Elina dan meniupnya membuat wanita itu merinding dan gugup. Jarak yang begitu sangat dekat dengan beberapa senti saja, membuat jantung Elina menjadi deg-degan. Ingat kalau dia sekarang adalah seorang singel peren, apa Radit sengaja ingin menggoda dirinya. "Kenapa gugup sekali?" bisik Radit pada telinga Elina. Elina tidak menjawab, dia malah berusaha untuk mendorong tubuh Radit agar jauh dari dirinya. Dia tidak mau kalau sampai jarak seperti ini membuat dia tidak tahan. "Jangan macam-macam yah Pak Radit atau saya akan teriak!" ujar Elina dengan nada yang sedikit mengancam. Apalagi dengan perlakuan dari Radit barusan. Radit hanya tersenyum miring sambil melirik kearah Elina yang ada dihadapannya. Dia mendekatkan tubuhnya kearah Elina dan mencoba untuk menggoda wanita itu. Radit menghirup aroma tubuh dari Elina yang begitu sangat memabukkan untuk dirinya. Sampai Radit menarik pinggang Elina dengan jarak mereka tinggal beberapa senti sama. "Tidak akan ada orang yang mendengar kamu beteriak di sini karena tempat ini kedap suara," kata Radit dengan santai. Elina tidak menyangka sama sekali kalau hal ini akan terjadi padanya. Rupanya ruangan ini sudah dipersiapkan oleh Radit. "Pak Radit." Elina tidak bisa berkata apalagi setelah ini. Radit mendekatkan wajahnya dan secara tiba-tiba dia sudah memberikan sebuah kecupan manis pada bibir wanita itu. Elina yang merasakan sensasi tersebut pun hanya memejamkan matanya. Dia tidak bisa mendeskripsikan sentuhan manis itu, sekolah membuat dirinya merasa melayang sekarang. Elina bahkan tidak menyadari kalau tangan Radit kini sudah berkeliaran menyentuh kemeja yang dia gunakan. Sebelum kesadaran dari Elina kini kembali. Dia langsung menyuruh bosnya itu sedikit menjauh dari dirinya. "Eh Pak Radit saya lupa belum menyelesaikan berkas itu," kata Elina yang menjauhi dirinya sendiri dari Radit. Elina menghela napas panjang setelah dia berhasil kabur dan kembali ke tempat duduknya. Hampir saja dia melakukan hal yang tidak-tidak tadi dengan bosnya. Radit mengumpat dirinya dalam hati, bisa-bisanya dia tadi lepas kendali seperti itu. Biasanya dia tidak lepas kendali, tetapi bersama dengan asisten barunya itu, dia tiba-tiba tidak bisa mengendalikan dirinya. "Erika," panggil Radit kembali. "Iya Pak Ramon?" tanya Elina kembali dengan nada yang sedikit santai. Dia tidak mau terlihat begitu canggung ketika dekat dengan bosnya tersebut. "Nanti kamu sebelum pulang, ke rumah saya dulu." "Mau ngapain Pak?" tanya Elina dengan was-was, dia khawatir kalau Radit akan melakukan sesuatu di rumahnya. "Saya yakin kalau kamu sudah mendengar rumor tentang saya, jadi turuti keinginan saya." Elina terdiam membeku ketika teringat kembali dengan percakapan antara teman-teman kantornya yang katanya Pak CEO membutuhkan Asi. Itu memang sangat konyol, dia kira itu hanya gurauan semata dari teman-temannya. Tetapi kalau memang benar seperti itu, dia sendiri yang akan merasa malu. Kalau dia tidak menuruti keinginan bosnya, tidak lucu kalau dia tiba-tiba dipecat. "Apa kamu keberatan Elina?" Elina terkejut ketika mendengar lagi pertanyaan tegas dari Radit. Sampai akhirnya dia hanya bisa mengangguk menuruti keinginan dari bosnya. "Eh baik Pak." Elina menjawab dengan cepat karena dia sedikit gugup. Tetapi pikiran dirinya sudah menjurus kearah lain, Radit memang pria dewasa dan terlihat begitu gagah, terlebih dengan otot kekar dibalik kemeja yang dia gunakan sekarang. "Bagaimana kalau bercinta dengan pria itu?" batin Elina dalam hati, sebelum kesadarannya kembali. "Kamu seperti menatap saya dengan pandangan lapar Elina, apa kamu mau sesuatu dari saya?" tanya Radit Deg Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Dia terkejut ketika pandangan mata mereka bertemu satu sama lain. "Pak Radit mau apa?" BERSAMBUNGElina baru saja menyelesaikan semua tugasnya dengan penuh hati-hati, namun ada sesuatu yang membuat pikirannya tak tenang. Tugasnya sudah selesai, tapi ucapan Radit tadi pagi masih terngiang di telinganya."Sudah selesai?" tanya Radit sambil menyandarkan diri pada pintu ruangan Elina."Iya Pak Radit. Semuanya sudah selesai," jawab Elina, berusaha tetap tenang meskipun dalam hati ada rasa cemas yang mulai merayap."Kalau begitu, ikut dengan saya," ucap Radit, lalu melangkah ke pintu keluar dengan cepat, meninggalkan Elina yang masih terdiam beberapa detik."Baik Pak Radit," jawab Elina akhirnya, merasa bingung tetapi tak ingin terlihat ragu. Ia pun mengikutinya.Namun, langkah kaki Elina yang terburu-buru itu tak terlepas dari pandangan orang-orang di sekelilingnya. Beberapa rekan kantornya menatapnya dengan mata penuh rasa penasaran. Ada yang tersenyum simpul, ada juga yang menggelengkan kepala seolah-olah tahu sesuatu yang tak diketahui Elina. Namun, ia hanya bisa melanjutkan langkah
Radit menoleh dengan tatapan tajam yang membuat Elina terdiam sejenak. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan itu, seolah Radit sedang menguji reaksinya."Kamu tidak sedang berpikir mesum tentang saya, kan?" tanya Radit dengan nada ringan, namun matanya penuh dengan godaan yang tidak bisa disembunyikan.Elina hampir saja tersedak, merasakan darahnya mengalir cepat ke wajahnya. Ketegangan langsung mencengkeramnya. Dia merasa seperti seluruh tubuhnya terperangkap dalam pandangan Radit yang tajam. Tidak tahu harus menjawab apa, Elina hanya bisa menundukkan kepala, wajahnya memerah."Saya mohon maaf, Pak Radit," ujarnya, suara gemetar. Sekarang dia merasa begitu kecil dan tidak berdaya di hadapan Radit yang perlahan mendekat.Radit mengangkat alisnya, lalu mendekatkan tubuhnya sedikit lagi, cukup dekat untuk membuat Elina merasa semakin gugup. "Jadi, itu benar?" godanya lebih lanjut, senyum nakalnya semakin terlihat. "Bagaimana kalau kita coba lakukan apa yang kamu bayangkan tadi?"Elin
Radit mandi air dingin untuk meredakan pikiran mesumnya tentang Elina, semuanya gara-gara dirinya yang nekat ingin melihat Elina. Terpaksa dia harus seperti ini sekarang. Bahkan dia menyadari kesalahannya sekarang. "Ah sialan Elina," umpat Radit yang memainkan adiknya sendiri sampai puas.Membayangkan tubuh Elina yang memang sangat membuat dia mengubah seleranya. Dia benar-benar ingin bermain dengan wanita itu. Tetapi dia memikirkan cara yang baik untuk dia lakukan.Setelah Radit bermain dengan puas, dia mengambil handuk dan membersihkan semuanya. Sampai dia keluar dari kamar mandi.Dia merasa terkejut ketika melihat Elina yang ada di dalam kamarnya."Kenapa kamu ada di sini?" tanya Radit dengan tajam.Elina meneguk salivanya ketika dia melihat perut kotak-kotak milik Radit yang memang sangat menggugah selera dirinya.Dia tidak menyangka kalau akan melihat lekuk tubuh dari bosnya yang begitu sangat kekar. Membayangkan tubuh itu mengukung dirinya dengan begitu kasar. Membuat pikiranny
Elina menghela napas lega begitu berhasil keluar dari kamar Radit. Rasa takut dan cemas yang tadi menyelimuti dirinya kini sedikit mereda, meskipun tetap ada perasaan aneh yang mengganjal. Dia merasa seperti baru saja terlepas dari situasi yang bisa berakhir sangat buruk. Tapi, ada satu hal yang terus menghantui pikirannya. Apa maksud wanita itu menyuruhnya masuk ke kamar Radit?"Kenapa Lisa suruh aku masuk tadi?" batin Elina, matanya menatap kosong ke depan. Semua ini terasa seperti sebuah teka-teki yang belum terpecahkan, dan Elina tahu dia harus mencari jawaban.Baru beberapa langkah keluar, matanya bertemu dengan Lisa. Wanita itu berdiri di ujung koridor, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Sepertinya, Lisa tahu lebih banyak dari yang Elina kira, dan itu membuatnya semakin penasaran."Ah, kamu sudah keluar?" tanya Lisa dengan nada yang agak terkejut, meskipun Elina bisa melihat sedikit kelegaan di wajahnya.Elina langsung menatap Lisa dengan sorot mata tajam. Dia mer
Elina baru saja terlelap dalam mimpi-mimpinya yang tenang saat tiba-tiba suara klakson mobil mengusiknya. Dengan cepat, dia terbangun, matanya masih setengah terpejam, namun suara klakson itu sudah cukup membuatnya terkejut."Astaga, dia sudah datang," gumamnya panik, mengenali mobil itu dari jauh. Itu adalah mobil Radit, bosnya yang selalu datang tanpa pemberitahuan.Dia bergegas bangun dan berlari ke jendela untuk melihat lebih jelas. Radit, pria itu, selalu membuatnya merasa cemas tanpa alasan yang jelas. Padahal hanya bos, tapi entah kenapa, setiap kali bertemu dengannya, Elina merasa ada ketegangan yang tak bisa dia hindari."Sialan, kenapa harus sepagi ini," kata Elina, kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya dia bisa lebih santai, tapi pertemuan pagi ini selalu membuatnya cemas. Dia hanya bisa mengumpat sambil mengambil langkah cepat menuju kamar mandi. Pagi ini, sepertinya dia harus lebih berhati-hati, karena Radit tampaknya datang tanpa memberi amaran sebelumnya.Dia mandi den
Elina tengah berada di dalam mobil milik Radit sekarang. Ia mengumpat dalam hati, merasa jengkel karena bosnya itu begitu semena-mena dengan dirinya. Bahkan Elina merasa dirinya sudah cukup sabar, tetapi tingkah Radit yang seolah sengaja mengusiknya membuat kesabaran itu mulai terkikis."Kamu tidak mau turun, Elina?" tanya Radit dengan nada santai, seolah tidak ada yang aneh."Hah?" Elina terkejut, menyadari dia melamun begitu lama. Seketika dia melihat ke luar jendela dan baru sadar kalau mereka sudah sampai di depan kantor."Kamu nggak khawatir orang lain berpikir aneh-aneh, kan, ketika tahu kita lama berada di dalam mobil?" Radit goda dengan nada yang sedikit nakal.Tiba-tiba Elina merasa darahnya berdesir. Radit benar. Jika orang-orang tahu dia terlalu lama berada di mobil bersama bosnya, pasti akan ada banyak gosip tak jelas yang tersebar. Ia tidak mau menjadi bahan pembicaraan di kantor. Itu akan sangat memalukan.Dengan cepat, Elina membuka pintu mobil dan keluar tanpa menoleh
Elina melihat Radit sedang mengobrol dengan seseorang di seberang ruangan. Sesuatu dalam dirinya tiba-tiba terasa tidak nyaman. Ada perasaan yang sulit dijelaskan, mungkin cemburu, atau bahkan kesal, melihat Radit begitu akrab dengan orang lain."ELINA!"Elina menoleh cepat, mendengar teriakan Radit yang terdengar keras dan memecah keheningan. Dia merasa sedikit bingung dan bertanya-tanya dalam hati, Apa yang membuat dia marah seperti itu?"Sial!" umpat Elina pelan, merasa kesal."Jangan mengumpat begitu, cepat hampiri bosmu sebelum gajimu dipotong," ujar Dani yang kebetulan berada di dekatnya."Iya, Dani. Kalau begitu aku ke sana dulu," Elina berkata sambil sedikit menghela napas, lalu berpamitan dengan Dani yang selama ini banyak membantunya."Lama sekali," omel Radit dengan nada kesal."Iya, Pak Radit tahu kan tadi saya sedang mengobrol dengan Dani?" Elina membela diri, meski dia tahu ini tidak akan merubah apapun."Jangan dekat-dekat dengan dia, kamu tahu dia itu buaya darat, bany
Elina akhirnya memutuskan untuk kembali ke ruangan dirinya bersama dengan Radit. Dia benar-benar kesal karena banyak orang yang menatap dirinya sinis. Mungkin semua orang merasa iri dengan dirinya karena dia dekat dengan bos."Pak Radit tidak mengatakan apapun, kita jadi pusat perhatian sekarang," ujar Elina dengan nada marah."Saya sih sudah terbiasa dengan banyak gosip di kantor ini, banyak orang yang mengatakan aneh-aneh tentang saya," balas Radit dengan santai, akhirnya dia membuka makanan yang memang sudah dipesan Elina."Iya, tapi saya tidak mau jadi bahan gosip, apalagi kalau sampai dituduh aneh-aneh," balas Elina dengan nada kesal, matanya melirik ke sekitar, memastikan tidak ada yang terlalu mengawasinya. Rasanya aneh sekali, seolah-olah semua mata di kantor tertuju pada mereka, menghakimi setiap gerakan.Radit hanya mengangguk ringan, seakan sudah terbiasa dengan suasana seperti ini. "Sudahlah Elina, daripada kamu terus menyalahkan saya seperti ini, lebih baik kamu temani sa
Akhirnya Elina keluar dari ruangan Dani dengan langkah berat. Ada kegelisahan yang tak bisa ia redam sejak pertemuan singkat itu. Bela, wanita yang tadi bersamanya, memancarkan aura yang membuat dada Elina semakin sesak. Ada yang janggal. Dan kini, hanya satu orang yang bisa ia percaya untuk membicarakan semua ini—Kina.Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghubungi sahabatnya itu."Halo, Kina?""Elina, kamu sudah lihat berita hari ini, kan?" Suara Kina terdengar cemas, bahkan sedikit bergetar."Iya... Para wartawan sudah mengepung kantor. Aku tahu kamu pasti mau membicarakan soal Radit, bukan?" ucap Elina dengan lirih, namun mantap."Benar. Aku benar-benar khawatir. Siapa yang melaporkan dia ke polisi?" tanya Kina, seolah tak percaya hal itu bisa terjadi begitu cepat."Hanya ada satu kemungkinan. Ibu mertuaku," jawab Elina, dengan suara yang menegang. "Dia belum bisa menerima kenyataan soal kematian anaknya. Dan dia yakin, Radit adalah penyebabnya.""Astaga... Jadi itu sebabnya dia
Suasana pagi itu terlalu hening untuk sebuah kompleks elit. Langit sedikit mendung, seolah ikut menahan napas menanti sesuatu pecah. Dan benar saja—suara sepatu berat memecah keheningan.Dua pria berpakaian sipil, dengan lencana hukum tergantung di dada mereka, berdiri di depan pintu rumah Radit. Tatapan mereka tajam, tak mengenal basa-basi.Radit membuka pintu. Jas rumah masih melekat di tubuhnya, rambutnya sedikit acak. Tapi matanya—matanya tajam, penuh tanya dan kewaspadaan."Ada apa ini?" suaranya datar, tapi otot rahangnya menegang.Salah satu petugas maju selangkah. “Pak Radit, Anda ditangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap saudara Dimas.” Ia menyodorkan surat penangkapan.Darah Radit seperti berhenti mengalir. Tangannya mengepal, kuku-kukunya menancap di telapak. “Apa?” gumamnya. “Saya tidak bersalah. Saya punya bukti…”“Kami tidak bisa debat di sini, Pak. Anda bisa jelaskan di kantor. Ikuti kami dengan tenang.”Radit menatap surat itu sekilas, lalu mata polisi itu. Jantungnya
Radit mengantar Elina pulang ke rumah kontrakannya. Sepanjang perjalanan, suasana di antara mereka terasa sunyi namun nyaman. Hanya suara angin dari jendela mobil yang terbuka sedikit, mengisi ruang di antara kata-kata yang tak terucap.Sebelum Elina turun, Radit sempat melirik ke arah wanita itu—matanya masih terlihat sedikit sembap setelah berziarah ke makam suami dan anaknya."Kamu nggak mau mampir dulu ke rumahku?" tawar Radit, suaranya pelan tapi penuh harap.Elina menggeleng halus. "Tidak, Radit."Radit menghela napas pendek, lalu berkata dengan nada tenang tapi sedikit penasaran, "Memangnya kamu nggak rindu dengan Jio?"Pertanyaan itu seperti paku kecil yang mengetuk hatinya. Elina tak langsung menjawab. Ia hanya menatap keluar jendela mobil, memperhatikan angin yang menggoyangkan ranting pohon. Diamnya bukan karena tidak ingin menjawab, tapi karena emosinya masih terlalu campur aduk."Lain kali, aku akan datang ke sana," jawabnya akhirnya."Baiklah. Aku tunggu kamu datang ke s
Elina bersama dengan Radit kini sudah berada di pekarangan rumah yang sedikit agak mewah namun terlihat sederhana.Elina menggenggam tangan Radit untuk memberikan kekuatan agar bisa masuk ke dalam rumah tersebut."Ayo kita masuk ke dalam."Radit hanya mengangguk saja, dia berjalan bersama dengan Elina menuju ke arah rumah mantan ibu mertuanya."Permisi," ujar Elina dengan sopan.Sampai muncul Sari membuka pintu rumah ini. Dia yang memang sudah tahu tentang Elina pun langsung tersenyum tipis dan menyambutnya."Iya, Nona Elina.""Apa Bunda ada dalam?" tanya Elina dengan sopan."Ada non," jawab Bi Sari sambil mempersilakan Elina untuk masuk ke dalam rumah mewah itu.Elina tersenyum tipis sambil melirik ke arah Radit yang ada di sampingnya. "Ayo kita masuk."Radit hanya mengangguk dan mereka berdua akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah tersebut.Baru juga di ambang pintu, Winda sudah menatap tajam ke arah Elina dan Radit."Kamu sudah berani membawa pembunuh ini ke rumahku, Elina?
Acara pesta penyambutan untuk Lisa baru saja usai. Malam itu terasa panjang dan melelahkan, tapi juga penuh kelegaan. Radit kini duduk di balik kemudi, mengantar Elina kembali ke kontrakan lamanya. Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam. Hanya suara mesin dan gemuruh hujan tipis di kaca mobil yang menemani.Padahal, Radit sudah beberapa kali memintanya tinggal bersama. Tapi Elina masih belum bisa sepenuhnya membuka hatinya, luka masa lalu masih membekas—dan malam ini, segalanya belum benar-benar selesai.“Aku nggak nyangka akhirnya Lisa ditangkap juga,” ucap Radit, memecah keheningan, suaranya terdengar hati-hati. “Kamu senang sekarang?”Elina hanya mengangguk. Tatapannya tertuju pada jalanan gelap di luar jendela.“Aku senang,” jawabnya pelan. “Jangan bilang kamu nggak senang? Bukannya selama ini kamu selalu ada di pihak dia?”Nada suaranya terdengar getir. Radit menoleh sejenak, dan tersenyum tipis ketika menyadari—itu bukan kemarahan. Itu cemburu. Hal yang jarang sekali Elina tunju
Pak Bambang berdiri mematung di tengah ruangan, wajahnya pias. Seluruh tubuhnya bergetar menahan amarah yang nyaris meledak."Aku kecewa denganmu, Lisa…" suaranya berat, teredam luka dan rasa malu yang menghantam harga dirinya di depan para tamu penting.Lisa mencoba melangkah mendekat. "Ayah… dengar dulu penjelasanku—""Cukup!" bentak Pak Bambang dengan suara lantang yang memotong seluruh kegaduhan. "Aku sudah cukup malu hari ini. Sudahi saja pestanya!"Tanpa menunggu reaksi siapa pun, ia membalikkan badan dan pergi, meninggalkan bayangan kebesaran nama keluarga yang kini ternoda oleh darah dan dusta.Lisa berdiri di tengah ruangan. Seluruh mata tertuju padanya, bukan lagi dengan rasa kagum, tapi penuh cemoohan dan bisik-bisik sinis.Matanya menatap dua sosok yang berdiri tak jauh—Radit dan Elina. Sorotnya membara."Kalian… Ini pasti ulah kalian berdua!" pekik Lisa, telunjuknya menuding tajam.Elina menatapnya datar, satu alis terangkat. "Aku bahkan nggak tahu soal video itu. Jangan
Elina menoleh tajam ke arah Radit yang kini berjalan mendekatinya, terlihat santai seolah tidak terjadi apa-apa. Ia menyilangkan tangan di depan dada, ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekesalan."Habis dari mana? Lama sekali," sindir Elina, nada suaranya dingin tapi tajam.Radit hanya menanggapi dengan senyuman kecil. Ia sudah cukup mengenal Elina untuk tahu bahwa wanita itu sedang menahan amarah."Aku tadi ngobrol sebentar sama Rian. Hanya bahas hal kecil," jawab Radit ringan, seolah ingin meredam suasana.Elina menaikkan alis, pandangannya tajam menelisik. "Hal kecil? Sepertinya bukan gaya kamu bicara seperti itu. Kamu merencanakan sesuatu, kan?"Radit menatapnya sejenak, lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Elina. "Rahasia," bisiknya pelan, membuat bulu kuduk Elina meremang, entah karena kesal atau karena detak jantung yang tiba-tiba melonjak.Elina menghela napas pelan sambil tersenyum miring. Tunggu saja, Kina pasti bakal bocorin semuanya nanti malam, batinnya.Baru saja ia he
Elina berdiri di depan cermin, memperhatikan refleksi dirinya yang tampak sempurna malam itu. Gaun elegan berwarna merah marun membalut tubuhnya dengan anggun, rambutnya disanggul rapi, dan sentuhan makeup di wajahnya menambah kesan menawan. Setelah memastikan semuanya terlihat sempurna, ia mengambil tas branded favoritnya dan melangkah keluar dari kamar.Di luar, mobil hitam milik Radit sudah terparkir di halaman. Elina hanya melirik sekilas, namun jantungnya berdetak sedikit lebih cepat—ia tahu, malam ini akan menjadi malam yang panjang.Tak lama, pintu mobil terbuka dan Radit keluar dengan penampilan rapi mengenakan jas hitam. Dia menatap Elina seolah melihat sesuatu yang langka.“Cantik,” ucapnya dalam hati, nyaris terucap di bibir.Elina menyadari tatapan Radit yang tak biasa. Ia menautkan alis, merasa aneh dengan cara lelaki itu memandangnya.“Heh, Radit,” tegurnya sambil tersenyum kecil, sedikit menggoda.Radit tersentak dari lamunannya. “Ah, maaf… ayo, kita berangkat,” ucapnya
Elina kini tinggal sendiri di kontrakan barunya. Rumah sederhana yang ia pilih bukan karena nyaman, tapi karena jauh dari Radit—seseorang yang dulu pernah begitu dekat, tapi kini justru menjadi alasan utama ia menghindar dari masa lalu.Angin sore berembus pelan, menerpa tirai jendela yang setengah terbuka. Hening, sampai sebuah ketukan pintu tiba-tiba memecah keheningan.Tok… tok… tok…"Sebentar!" serunya.Langkah Elina cepat tapi hati-hati. Ia membuka pintu dan mendapati seorang kurir berdiri dengan sebuah paket berbungkus rapi di tangan."Maaf Bu. Mohon terima ini, dan jangan lupa tandatangani."Elina mengernyit. "Paket dari siapa? Saya tidak merasa pesan apa-apa."Kurir itu hanya mengangkat bahu. "Dari seseorang. Saya tidak tahu, maaf. Saya harus lanjut, permisi."Tanpa sempat menolak, Elina menerima paket itu. Pintu ditutup kembali, tapi pikirannya justru terbuka lebar oleh rasa penasaran yang mengganggu."Siapa yang kirim ini?" gumamnya, menatap bungkusan itu seakan bisa menjawa