Elina baru saja terlelap dalam mimpi-mimpinya yang tenang saat tiba-tiba suara klakson mobil mengusiknya. Dengan cepat, dia terbangun, matanya masih setengah terpejam, namun suara klakson itu sudah cukup membuatnya terkejut.
"Astaga, dia sudah datang," gumamnya panik, mengenali mobil itu dari jauh. Itu adalah mobil Radit, bosnya yang selalu datang tanpa pemberitahuan. Dia bergegas bangun dan berlari ke jendela untuk melihat lebih jelas. Radit, pria itu, selalu membuatnya merasa cemas tanpa alasan yang jelas. Padahal hanya bos, tapi entah kenapa, setiap kali bertemu dengannya, Elina merasa ada ketegangan yang tak bisa dia hindari. "Sialan, kenapa harus sepagi ini," kata Elina, kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya dia bisa lebih santai, tapi pertemuan pagi ini selalu membuatnya cemas. Dia hanya bisa mengumpat sambil mengambil langkah cepat menuju kamar mandi. Pagi ini, sepertinya dia harus lebih berhati-hati, karena Radit tampaknya datang tanpa memberi amaran sebelumnya. Dia mandi dengan cepat, berusaha membersihkan dirinya secepat mungkin. Sambil berpikir, "Kenapa juga dia datang sepagi ini? Ada apa ya?" Namun, ketika dia keluar dari kamar mandi, Elina merasa sedikit lega, karena setidaknya dia sudah mempersiapkan segala sesuatu dengan baik. Tapi, saat dia berdiri di depan cermin dan menatap penampilannya, dia terkejut mendengar suara ketukan keras di pintu. Tok tok tok. "Tunggu sebentar!" serunya dengan sedikit gugup. Wajahnya yang sebelumnya rapi kini sedikit berantakan karena terburu-buru. Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum memutuskan untuk membuka pintu. Ketika pintu terbuka, mata Elina langsung tertumbuk pada Radit yang berdiri dengan ekspresi tenang namun sedikit tajam. Seperti biasa, pria itu selalu tampak sempurna, berpakaian rapi, dan ada aura yang membuat Elina merasa seolah-olah dia sedang diperhatikan lebih dari yang seharusnya. "Lama sekali," ujar Radit dengan nada yang sedikit menuntut, namun masih ada senyuman samar di wajahnya yang sulit ditafsirkan. Elina buru-buru mundur, mempersilakan bosnya masuk dengan canggung. "Pak Radit, tunggu saja di luar," ujarnya, mencoba bersikap formal meskipun hatinya berdebar-debar. "Saya belum sarapan. Jadi saya ke sini mau minta makan," jawab Radit dengan santai, seolah-olah meminta sesuatu yang biasa saja. Elina terdiam, merasa canggung. Minta makan? Pikirnya, agak terkejut. Bagaimana mungkin bos sekelas Radit, pria kaya dan sukses itu, malah meminta makan padanya yang tinggal di kontrakan kecil dan sederhana? "Pak Radit, Anda... Anda bisa makan di luar sana. Saya..." Elina merasa tidak enak. "Saya kan... hanya orang biasa. Saya tidak tahu apa yang bisa saya sajikan untuk Anda." Radit menatapnya sejenak, lalu dengan suara pelan namun pasti, dia berkata, "Jangan khawatir. Saya hanya lapar, dan saya pikir sarapan bersama kamu akan lebih menyenangkan. Lagipula, saya sudah terbiasa dengan hal-hal yang tidak terduga." Elina merasa hatinya mencelos mendengar itu. "Tapi saya..." dia terdiam, merasa bingung. Dalam pikirannya, dia berusaha menenangkan diri. "Baiklah," akhirnya Elina mengalah. "Masuklah kalau begitu. Saya juga belum sarapan." Radit hanya tersenyum tipis setelah mengetahui kalau semuanya akan jadi seperti ini. Apalagi dia tahu kalau semuanya jadi begini. Dia memang tadi langsung berangkat ke sini untuk menjemput Elina dan kebetulan sekali dia belum sempat makan. Terlebih dia semalam tidak bisa tidur karena memikirkan Elina terus. "Pak Radit tidak tahu malu sekali, masa minta makan sama orang miskin seperti saya." Elina sengaja menyindir Radit, dia kan orang kaya, bisa sarapan di mana saja sesuai dengan kemauannya. Kenapa juga malah milih makan bersama dengan dirinya. Menurutnya juga ini sedikit aneh, laki-laki itu seolah mendekati dirinya dengan berani. "Jadi kamu tidak mau memberikan saya makan?" ujar Radit. Gawat, kalau sampai bosnya itu marah dengan dirinya. Bisa-bisa nanti dia dipecat dari kantor. Elina tidak mau kalau sampai hal itu terjadi dengan dirinya. "Cih yaudah masuk, saya juga belum sarapan." Elina tidak mempunyai pilihan lain sekarang. Akhirnya dia mempersilahkan bosnya itu untuk masuk bersama dengan dirinya. Setidaknya semuanya sudah dia atur dengan baik sekarang. "Terimakasih banyak." Radit mengatakan itu dan dia duduk sambil menunggu Elina yang akan memasak untuk dirinya. Dia diam-diam memperhatikan leher jenjang Elina. Wanita itu terlihat mengikat rambutnya dengan rapi. Wanita itu tengah masak sekarang dan dia merasa senang ketika memperhatikan Elina. Radit diam-diam mengambil ponselnya dan dia memfotonya, rasanya sangat bagus sekali ketika melihat Elina yang tengah masak sekarang. "Wanita itu terlihat cantik," puji Radit tanpa sadar. Dulu mantan istrinya tidak pernah mau masak untuk dirinya, maklum saja dulu mereka menikah bukan karena cinta. Dia dengan istrinya hanya sekedar perjanjian bisnis saja. Wanita egois yang membius dirinya karena ingin anak untuk menguasai hartanya. Tetapi sayang ketika wanita itu melahirkan anaknya, wanita itu tidak bertahan lama dan malah meminta maaf padanya. Begitu kehidupan dirinya dulu dengan mantan istrinya. Tidak ada kebahagiaan, bahkan ketertarikan sama sekali. Berbeda dengan saat dia berdekatan dengan Elina. Dia malah merasa tertarik dan tubuhnya tidak bisa membohonginya. Seolah menginginkan wanita itu, tetapi dia berusaha untuk menahannya. Dia tidak ingin membuat sesuatu yang buruk untuk dirinya. "Pak Radit melamun?" tanya Elina ketika melihat laki-laki itu malah terdiam sambil melamun. "Eh, sudah jadi?" tanya Radit terkejut ketika Elina sudah dengan cepat menyiapkan makanan untuk dirinya. Elina lantas duduk di dekat Radit. Dia merasa lega karena semuanya sudah jadi lebih baik sekarang. "Saya membuat nasi goreng saja. Semoga Pak Radit suka," ujar Elina. "Terimakasih." Radit hanya mengatakan itu dan dia mengambil sendok yang ada di meja. Dia mencoba untuk mencicipi makanan buatan Elina. Baru satu suap dia langsung terdiam sejenak, tidak menyangka kalau semuanya akan jadi lebih baik. Bahkan dia merasa lega karena bisa melihatnya dengan baik. "Bagaimana rasanya?" tanya Elina yang memang penasaran dengan Radit. Dia sendiri pun penasaran dengan rasanya. "Menurut kamu, rasanya seperti apa?" tanya Radit yang bertanya balik pada Elina. Elina malah memutar bola matanya jengah ketika mendengar hal ini. Tidak paham laki-laki itu sepertinya dengan yang dia rasakan. "Iya tentu saja masakan buatan saya itu paling enak." Elina mengatakan itu dengan percaya diri. Dia yakin kalau masakan buatan dirinya memang sangat bagus. Dia juga suka dengan makanan yang dia buat. "Berarti juga itu jawabanku," jawab Radit dengan santai. Elina malah dibuat kesal dengan tingkah dari Radit, bisa-bisanya laki-laki itu malah berpikir seperti itu padanya. Dia jadi sedikit merasa tidak nyaman dengan ini. "Terserah deh." Elina memutar bola matanya jengah, percuma saja dia berdebat dengan bosnya itu. Toh dia tidak akan memang juga. Malah dia sendiri yang dibuat malu sekarang. Elina kembali makan dengan lahap, tanpa sadar kalau Radit diam-diam memperhatikan wanita itu yang tengah makan. Bibir yang terkena minyak karena makan nasi goreng membuat Radit malah meneguk salivanya. Dia sendiri tidak tahu harus berbuat apalagi sekarang. "Kenapa Pak Radit melihat saya terus?" tanya Elina yang habis makan tiba-tiba menjadi gugup. Radit lalu mengambil tissue yang ada di meja dan diam-diam dia langsung mengusap bibir Elina dengan lembut. Rasanya dia ingin sekali melahap bibir tersebut tetapi dia mencoba untuk menahannya sekarang. "Ada sisa nasi dekat bibirmu," ujar Radit yang tentu saja berbohong. Dia sendiri tadi tanpa sadar malah ingin mengusap bibir tersebut. "Masa sih?" ujar Elina yang memang selalu makan dengan rapi. Radit yang merasa salah dan takut dicurigai pun akhirnya memutuskan untuk langsung berdiri setelah selesai makan. "Ayo Elina, kita hampir telat. Saya gak mau kalau kita jadi terlambat ke kantor gara-gara kamu," kata Radit mengalihkan pembicaraan mereka berdua sekarang. Dia sendiri pun tidak ingin kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya. Setidaknya semuanya sudah dia atur dengan baik. "Siapa suruh Pak Radit mau menjemput saya ke sini. Salah sendiri dong," ketus Elina yang tidak mau disalahkan. Bagaimana pun semuanya gara-gara bosnya itu. "Elina jangan banyak membantah kalau tidak ingin saya pecat!" Radit mengatakan itu dan dia sudah lebih dulu keluar dari rumah kontrakan Elina. Dia berjalan menuju ke arah mobilnya yang memang terparkir di depan. "Bos sialan!" umpat Elina yang benar-benar dibuat kesal sekarang. BERSAMBUNGElina tengah berada di dalam mobil milik Radit sekarang. Ia mengumpat dalam hati, merasa jengkel karena bosnya itu begitu semena-mena dengan dirinya. Bahkan Elina merasa dirinya sudah cukup sabar, tetapi tingkah Radit yang seolah sengaja mengusiknya membuat kesabaran itu mulai terkikis."Kamu tidak mau turun, Elina?" tanya Radit dengan nada santai, seolah tidak ada yang aneh."Hah?" Elina terkejut, menyadari dia melamun begitu lama. Seketika dia melihat ke luar jendela dan baru sadar kalau mereka sudah sampai di depan kantor."Kamu nggak khawatir orang lain berpikir aneh-aneh, kan, ketika tahu kita lama berada di dalam mobil?" Radit goda dengan nada yang sedikit nakal.Tiba-tiba Elina merasa darahnya berdesir. Radit benar. Jika orang-orang tahu dia terlalu lama berada di mobil bersama bosnya, pasti akan ada banyak gosip tak jelas yang tersebar. Ia tidak mau menjadi bahan pembicaraan di kantor. Itu akan sangat memalukan.Dengan cepat, Elina membuka pintu mobil dan keluar tanpa menoleh
Elina melihat Radit sedang mengobrol dengan seseorang di seberang ruangan. Sesuatu dalam dirinya tiba-tiba terasa tidak nyaman. Ada perasaan yang sulit dijelaskan, mungkin cemburu, atau bahkan kesal, melihat Radit begitu akrab dengan orang lain."ELINA!"Elina menoleh cepat, mendengar teriakan Radit yang terdengar keras dan memecah keheningan. Dia merasa sedikit bingung dan bertanya-tanya dalam hati, Apa yang membuat dia marah seperti itu?"Sial!" umpat Elina pelan, merasa kesal."Jangan mengumpat begitu, cepat hampiri bosmu sebelum gajimu dipotong," ujar Dani yang kebetulan berada di dekatnya."Iya, Dani. Kalau begitu aku ke sana dulu," Elina berkata sambil sedikit menghela napas, lalu berpamitan dengan Dani yang selama ini banyak membantunya."Lama sekali," omel Radit dengan nada kesal."Iya, Pak Radit tahu kan tadi saya sedang mengobrol dengan Dani?" Elina membela diri, meski dia tahu ini tidak akan merubah apapun."Jangan dekat-dekat dengan dia, kamu tahu dia itu buaya darat, bany
Elina akhirnya memutuskan untuk kembali ke ruangan dirinya bersama dengan Radit. Dia benar-benar kesal karena banyak orang yang menatap dirinya sinis. Mungkin semua orang merasa iri dengan dirinya karena dia dekat dengan bos."Pak Radit tidak mengatakan apapun, kita jadi pusat perhatian sekarang," ujar Elina dengan nada marah."Saya sih sudah terbiasa dengan banyak gosip di kantor ini, banyak orang yang mengatakan aneh-aneh tentang saya," balas Radit dengan santai, akhirnya dia membuka makanan yang memang sudah dipesan Elina."Iya, tapi saya tidak mau jadi bahan gosip, apalagi kalau sampai dituduh aneh-aneh," balas Elina dengan nada kesal, matanya melirik ke sekitar, memastikan tidak ada yang terlalu mengawasinya. Rasanya aneh sekali, seolah-olah semua mata di kantor tertuju pada mereka, menghakimi setiap gerakan.Radit hanya mengangguk ringan, seakan sudah terbiasa dengan suasana seperti ini. "Sudahlah Elina, daripada kamu terus menyalahkan saya seperti ini, lebih baik kamu temani sa
Elina berdiri di ruang kantor Radit, tangan menggenggam erat tas tangannya, mata tak lepas memandang Radit yang terkulai lemas di kursi. Hatinya berdebar cemas, meski mencoba terlihat tenang. Apakah makanan itu benar-benar mengandung sesuatu? Atau ada yang sengaja melakukan ini padanya?"Pak Radit... sabar, ya. Dokter Rian akan segera datang," ucap Elina, suaranya bergetar meskipun berusaha menyembunyikan kegelisahannya.Radit hanya mengangguk lemah, wajahnya pucat. Badannya terlihat gemetar, tak tahu harus berbuat apa lagi selain menunggu bantuan. Sesekali, dia merintih kesakitan, tubuhnya bolak-balik ke toilet, setiap kali dengan ekspresi yang semakin gelisah.Beberapa menit kemudian, Rian tiba. Mata Rian langsung tertuju pada Radit yang tampaknya semakin terpuruk. Sekilas dia memandang Elina, sedikit curiga, tetapi tidak bertanya dulu. Segera, dia menghampiri Radit."Radit, apa yang terjadi?" tanya Rian, suaranya penuh keprihatinan. "Elina, kamu tahu apa yang terjadi?"Elina cepat
Elina merasa perasaannya semakin panas. Sejak pagi tadi, segala sesuatunya terasa mengganggu, dan kini, setelah hampir keluar dari kantor, ada saja yang menghalangi. Kina yang tiba-tiba muncul dan bertanya dengan nada mencurigakan hanya menambah beban pikirannya."Hei, mau ke mana? Buru-buru sekali," kata Kina, matanya menyelidik Elina.Elina mengerutkan dahi. Rasanya sudah cukup dia diganggu pagi ini. "Aku tidak ingin mencari ribut, jadi menyingkir lah," jawabnya dengan nada dingin, langkahnya semakin cepat.Kina terkekeh, tidak terima dengan sikap Elina. "Cih, dasar sombong!" gumamnya, lalu menatap Elina dengan tatapan penuh sindiran.Elina sudah hampir mencapai pintu keluar, tetapi tiba-tiba seseorang memanggilnya. Belum sempat dia bernafas lega, suara Bela datang menyapanya dari belakang."Kamu baik-baik saja, Elina?" tanya Bela, dengan ekspresi yang sedikit khawatir, meski terlihat tidak begitu tulus.Elina menoleh, bingung dengan pertanyaan itu. Sejak kapan Bela peduli padanya?
Radit meminum obat tersebut dan kini merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya. Ia merasa lega karena semuanya akhirnya berjalan dengan baik.Namun, tiba-tiba matanya menatap tajam ke arah Elina. "Kamu tidak memasukkan sesuatu ke makanan saya, kan?" tanyanya dengan nada datar, namun penuh curiga."Demi apapun, Pak Radit, saya tidak memasukkan apapun," Elina membela diri dengan tegas, merasa tidak bersalah sama sekali.Dr. Rian, yang ada di ruangan itu, segera mengambil tasnya dan berniat untuk pamit karena kondisi Radit sudah membaik."Sudah, Radit. Jangan terlalu terburu-buru menyalahkan Elina. Saya akan membantu untuk menyelidiki kasus ini," kata Dr. Rian, memberi dukungan pada Elina."Terima kasih banyak, Dr. Rian," jawab Radit dengan nada penuh rasa terima kasih.Elina merasa lega, terutama karena Dr. Rian mau membantu dirinya. Semoga saja semuanya terungkap, dan ia bisa membuktikan bahwa dia tidak salah dalam hal ini. Terlebi
Elina merasa lega karena akhirnya semua tugas di kantor selesai. Sejenak, dia membenarkan tas di bahunya dan menatap layar laptopnya yang sudah kosong. Pikirannya melayang ke rumah yang akan segera dia tempati bersama bosnya, Radit. Satu atap dengan pria itu... Elina menggigit bibir, tidak tahu harus bagaimana meresapi kenyataan ini."Pak Radit, saya pamit pulang dulu ya," ujarnya dengan suara pelan, namun yakin itu adalah keputusan yang tepat.Radit menoleh ke arahnya, matanya tetap tertuju pada layar laptop, tapi nada suaranya tetap tegas dan penuh kewibawaan. "Tunggu dulu, kamu tidak ingat akan tinggal bersama saya di rumah?" kata Radit, tanpa sedikit pun menunjukkan ekspresi berubah.Elina terdiam sesaat. Sesuatu di dalam dadanya terasa berat. Ya, dia ingat dengan jelas bagaimana Radit, setelah berbagai pertimbangan, memutuskan bahwa Elina akan tinggal bersama dengan dirinya. Namun, saat ini, apa yang ada di pikirannya tak bisa sekadar dicerna begitu saja. Apa yang akan terjadi se
Radit menghentikan mobilnya dengan perlahan ketika mereka sampai di halaman rumah besar miliknya. Rumah itu terlihat megah, dengan taman luas yang rapi dan sebuah kolam renang kecil di sudut kanan halaman. Elina yang semula tampak ragu-ragu, kini melangkah keluar dari mobil mengikuti langkah Radit, meski suasana hati sedikit berat. Perintah Radit untuk ikut ke rumahnya membuatnya terdiam, tetapi ia tahu, ini adalah bagian dari kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Radit menatapnya sekilas dan berkata dengan suara datar, "Baju-baju kamu yang sudah ada di koper tadi pagi sudah dibereskan oleh Lisa." Elina mengerutkan kening. "Apa kamu serius?" tanyanya, menatap wajah Radit penuh tanda tanya. Radit hanya mengangguk, ekspresinya tetap tenang. "Iya, saya serius. Kalau ada masalah, bisa katakan sekarang. Jangan ragu untuk berbicara," jawabnya, suaranya lebih lembut daripada yang Elina duga. Elina hanya tersenyum tipis. Ia sudah cukup lama mengenal Radit, dan meskipun ada ketegang
Akhirnya Elina keluar dari ruangan Dani dengan langkah berat. Ada kegelisahan yang tak bisa ia redam sejak pertemuan singkat itu. Bela, wanita yang tadi bersamanya, memancarkan aura yang membuat dada Elina semakin sesak. Ada yang janggal. Dan kini, hanya satu orang yang bisa ia percaya untuk membicarakan semua ini—Kina.Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghubungi sahabatnya itu."Halo, Kina?""Elina, kamu sudah lihat berita hari ini, kan?" Suara Kina terdengar cemas, bahkan sedikit bergetar."Iya... Para wartawan sudah mengepung kantor. Aku tahu kamu pasti mau membicarakan soal Radit, bukan?" ucap Elina dengan lirih, namun mantap."Benar. Aku benar-benar khawatir. Siapa yang melaporkan dia ke polisi?" tanya Kina, seolah tak percaya hal itu bisa terjadi begitu cepat."Hanya ada satu kemungkinan. Ibu mertuaku," jawab Elina, dengan suara yang menegang. "Dia belum bisa menerima kenyataan soal kematian anaknya. Dan dia yakin, Radit adalah penyebabnya.""Astaga... Jadi itu sebabnya dia
Suasana pagi itu terlalu hening untuk sebuah kompleks elit. Langit sedikit mendung, seolah ikut menahan napas menanti sesuatu pecah. Dan benar saja—suara sepatu berat memecah keheningan.Dua pria berpakaian sipil, dengan lencana hukum tergantung di dada mereka, berdiri di depan pintu rumah Radit. Tatapan mereka tajam, tak mengenal basa-basi.Radit membuka pintu. Jas rumah masih melekat di tubuhnya, rambutnya sedikit acak. Tapi matanya—matanya tajam, penuh tanya dan kewaspadaan."Ada apa ini?" suaranya datar, tapi otot rahangnya menegang.Salah satu petugas maju selangkah. “Pak Radit, Anda ditangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap saudara Dimas.” Ia menyodorkan surat penangkapan.Darah Radit seperti berhenti mengalir. Tangannya mengepal, kuku-kukunya menancap di telapak. “Apa?” gumamnya. “Saya tidak bersalah. Saya punya bukti…”“Kami tidak bisa debat di sini, Pak. Anda bisa jelaskan di kantor. Ikuti kami dengan tenang.”Radit menatap surat itu sekilas, lalu mata polisi itu. Jantungnya
Radit mengantar Elina pulang ke rumah kontrakannya. Sepanjang perjalanan, suasana di antara mereka terasa sunyi namun nyaman. Hanya suara angin dari jendela mobil yang terbuka sedikit, mengisi ruang di antara kata-kata yang tak terucap.Sebelum Elina turun, Radit sempat melirik ke arah wanita itu—matanya masih terlihat sedikit sembap setelah berziarah ke makam suami dan anaknya."Kamu nggak mau mampir dulu ke rumahku?" tawar Radit, suaranya pelan tapi penuh harap.Elina menggeleng halus. "Tidak, Radit."Radit menghela napas pendek, lalu berkata dengan nada tenang tapi sedikit penasaran, "Memangnya kamu nggak rindu dengan Jio?"Pertanyaan itu seperti paku kecil yang mengetuk hatinya. Elina tak langsung menjawab. Ia hanya menatap keluar jendela mobil, memperhatikan angin yang menggoyangkan ranting pohon. Diamnya bukan karena tidak ingin menjawab, tapi karena emosinya masih terlalu campur aduk."Lain kali, aku akan datang ke sana," jawabnya akhirnya."Baiklah. Aku tunggu kamu datang ke s
Elina bersama dengan Radit kini sudah berada di pekarangan rumah yang sedikit agak mewah namun terlihat sederhana.Elina menggenggam tangan Radit untuk memberikan kekuatan agar bisa masuk ke dalam rumah tersebut."Ayo kita masuk ke dalam."Radit hanya mengangguk saja, dia berjalan bersama dengan Elina menuju ke arah rumah mantan ibu mertuanya."Permisi," ujar Elina dengan sopan.Sampai muncul Sari membuka pintu rumah ini. Dia yang memang sudah tahu tentang Elina pun langsung tersenyum tipis dan menyambutnya."Iya, Nona Elina.""Apa Bunda ada dalam?" tanya Elina dengan sopan."Ada non," jawab Bi Sari sambil mempersilakan Elina untuk masuk ke dalam rumah mewah itu.Elina tersenyum tipis sambil melirik ke arah Radit yang ada di sampingnya. "Ayo kita masuk."Radit hanya mengangguk dan mereka berdua akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah tersebut.Baru juga di ambang pintu, Winda sudah menatap tajam ke arah Elina dan Radit."Kamu sudah berani membawa pembunuh ini ke rumahku, Elina?
Acara pesta penyambutan untuk Lisa baru saja usai. Malam itu terasa panjang dan melelahkan, tapi juga penuh kelegaan. Radit kini duduk di balik kemudi, mengantar Elina kembali ke kontrakan lamanya. Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam. Hanya suara mesin dan gemuruh hujan tipis di kaca mobil yang menemani.Padahal, Radit sudah beberapa kali memintanya tinggal bersama. Tapi Elina masih belum bisa sepenuhnya membuka hatinya, luka masa lalu masih membekas—dan malam ini, segalanya belum benar-benar selesai.“Aku nggak nyangka akhirnya Lisa ditangkap juga,” ucap Radit, memecah keheningan, suaranya terdengar hati-hati. “Kamu senang sekarang?”Elina hanya mengangguk. Tatapannya tertuju pada jalanan gelap di luar jendela.“Aku senang,” jawabnya pelan. “Jangan bilang kamu nggak senang? Bukannya selama ini kamu selalu ada di pihak dia?”Nada suaranya terdengar getir. Radit menoleh sejenak, dan tersenyum tipis ketika menyadari—itu bukan kemarahan. Itu cemburu. Hal yang jarang sekali Elina tunju
Pak Bambang berdiri mematung di tengah ruangan, wajahnya pias. Seluruh tubuhnya bergetar menahan amarah yang nyaris meledak."Aku kecewa denganmu, Lisa…" suaranya berat, teredam luka dan rasa malu yang menghantam harga dirinya di depan para tamu penting.Lisa mencoba melangkah mendekat. "Ayah… dengar dulu penjelasanku—""Cukup!" bentak Pak Bambang dengan suara lantang yang memotong seluruh kegaduhan. "Aku sudah cukup malu hari ini. Sudahi saja pestanya!"Tanpa menunggu reaksi siapa pun, ia membalikkan badan dan pergi, meninggalkan bayangan kebesaran nama keluarga yang kini ternoda oleh darah dan dusta.Lisa berdiri di tengah ruangan. Seluruh mata tertuju padanya, bukan lagi dengan rasa kagum, tapi penuh cemoohan dan bisik-bisik sinis.Matanya menatap dua sosok yang berdiri tak jauh—Radit dan Elina. Sorotnya membara."Kalian… Ini pasti ulah kalian berdua!" pekik Lisa, telunjuknya menuding tajam.Elina menatapnya datar, satu alis terangkat. "Aku bahkan nggak tahu soal video itu. Jangan
Elina menoleh tajam ke arah Radit yang kini berjalan mendekatinya, terlihat santai seolah tidak terjadi apa-apa. Ia menyilangkan tangan di depan dada, ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekesalan."Habis dari mana? Lama sekali," sindir Elina, nada suaranya dingin tapi tajam.Radit hanya menanggapi dengan senyuman kecil. Ia sudah cukup mengenal Elina untuk tahu bahwa wanita itu sedang menahan amarah."Aku tadi ngobrol sebentar sama Rian. Hanya bahas hal kecil," jawab Radit ringan, seolah ingin meredam suasana.Elina menaikkan alis, pandangannya tajam menelisik. "Hal kecil? Sepertinya bukan gaya kamu bicara seperti itu. Kamu merencanakan sesuatu, kan?"Radit menatapnya sejenak, lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Elina. "Rahasia," bisiknya pelan, membuat bulu kuduk Elina meremang, entah karena kesal atau karena detak jantung yang tiba-tiba melonjak.Elina menghela napas pelan sambil tersenyum miring. Tunggu saja, Kina pasti bakal bocorin semuanya nanti malam, batinnya.Baru saja ia he
Elina berdiri di depan cermin, memperhatikan refleksi dirinya yang tampak sempurna malam itu. Gaun elegan berwarna merah marun membalut tubuhnya dengan anggun, rambutnya disanggul rapi, dan sentuhan makeup di wajahnya menambah kesan menawan. Setelah memastikan semuanya terlihat sempurna, ia mengambil tas branded favoritnya dan melangkah keluar dari kamar.Di luar, mobil hitam milik Radit sudah terparkir di halaman. Elina hanya melirik sekilas, namun jantungnya berdetak sedikit lebih cepat—ia tahu, malam ini akan menjadi malam yang panjang.Tak lama, pintu mobil terbuka dan Radit keluar dengan penampilan rapi mengenakan jas hitam. Dia menatap Elina seolah melihat sesuatu yang langka.“Cantik,” ucapnya dalam hati, nyaris terucap di bibir.Elina menyadari tatapan Radit yang tak biasa. Ia menautkan alis, merasa aneh dengan cara lelaki itu memandangnya.“Heh, Radit,” tegurnya sambil tersenyum kecil, sedikit menggoda.Radit tersentak dari lamunannya. “Ah, maaf… ayo, kita berangkat,” ucapnya
Elina kini tinggal sendiri di kontrakan barunya. Rumah sederhana yang ia pilih bukan karena nyaman, tapi karena jauh dari Radit—seseorang yang dulu pernah begitu dekat, tapi kini justru menjadi alasan utama ia menghindar dari masa lalu.Angin sore berembus pelan, menerpa tirai jendela yang setengah terbuka. Hening, sampai sebuah ketukan pintu tiba-tiba memecah keheningan.Tok… tok… tok…"Sebentar!" serunya.Langkah Elina cepat tapi hati-hati. Ia membuka pintu dan mendapati seorang kurir berdiri dengan sebuah paket berbungkus rapi di tangan."Maaf Bu. Mohon terima ini, dan jangan lupa tandatangani."Elina mengernyit. "Paket dari siapa? Saya tidak merasa pesan apa-apa."Kurir itu hanya mengangkat bahu. "Dari seseorang. Saya tidak tahu, maaf. Saya harus lanjut, permisi."Tanpa sempat menolak, Elina menerima paket itu. Pintu ditutup kembali, tapi pikirannya justru terbuka lebar oleh rasa penasaran yang mengganggu."Siapa yang kirim ini?" gumamnya, menatap bungkusan itu seakan bisa menjawa