Hari berganti hari, nyatanya kehilangan seseorang pun hidup harus tetap berjalan.
Semua uang Alana sudah dibawa lari oleh suaminya. Mau tak mau, Alana harus menyimpan kesedihannya dan kembali bekerja. Ia berencana menjual rumah peninggalan rumah orang tuanya, lalu mengikuti jejak Bi Narti yang menjadi pembantu di rumah Elzaino dengan menetap di rumah itu. Alana pun sudah mendaftarkan gugatan cerai setelah dibantu oleh para warga. Jika dulu Alana bertahan karena anak yang dikandungnya, tapi tidak untuk sekarang. Tidak ada alasan lagi untuk Alana bertahan di sisi Heri yang memiliki temperamen buruk. Tak lupa wanita itu terus berterima kasih dan berpamitan pada semua warga yang tulus menolongnya tanpa pamrih. Bi Narti langsung menyambut Alana begitu ia tiba dan memeluknya dengan erat. “Turut berduka atas kehilanganmu, Alana.” Wanita itu tergugu dalam pelukan Bi Narti. Ia tidak dapat menahan kesedihan yang masih membelenggunya. Puas menangis, Bi Narti menyuruh Alana untuk beristirahat. Namun, Alana menolak. Ia langsung bekerja membantu Bi Narti mengepel rumah yang sangat luas itu. Saat mengepel di depan kamar majikannya, jantung Alana berdebar ketika mendengar suara tangisan bayi. "Bi, apakah Bibi mendengar suara tangisan bayi? Ataukah aku berhalusinasi?" tanya Alana, suaranya bergetar karena teringat dengan bayinya yang telah tiada. "Itu bayi Tuan El. Namanya Den Agra. Bayi itu siang malam menangis, sepertinya ia tengah merindukan mamanya," bisik Bi Narti tepat di telinga Alana. "Memang Nyonya Amanda ke mana, Bi?" Alana terlihat ingin tahu. Tiga minggu ia tak bekerja sampai tak tahu kabar besar yang mengejutkan semua penghuni rumah. Bi Narti memajukan tubuhnya dan berbisik, "Nyonya Amanda pergi, dia lebih memilih kembali pada mantan kekasihnya. Nyonya meninggalkan bayinya di sini." "Astaghfirullah!" Alana terperanjat, sama sekali tak menduga hal ini. Matanya seketika berkaca-kaca, tak habis pikir bagaimana ada seorang ibu yang tega meninggalkan anaknya demi seorang pria? Alana memang tahu mengenai cerita masa lalu Amanda dan Elzaino dari beberapa asisten rumah tangga yang sering bergosip. Namun, Alana tak menyangka jika Amanda memilih mantan kekasihnya dan tega meninggalkan suami serta buah hati mereka. "Kalian ini tak berguna! Buat apa saya membayar kalian jika kalian tak bisa mendiamkan bayi ini!" Suara teriakan sang majikan dari dalam ruangan membuat Alana dan Bi Narti saling berpandangan. Sepertinya suasana di dalam sana sedang kacau. "Maaf, Pak!" Ucap seorang wanita yang mungkin baby sitter yang diperkerjakan oleh Elzaino. "Saya akan coba menggendongnya, Tuan," terdengar suara Ziyan menawarkan. "Cukup! Jangan sentuh putraku! Kau belum berpengalaman mempunyai seorang bayi. Telfon saja dokter anak dan suruh mereka datang ke sini!" "Baik, Tuan." Suara pintu yang dibuka membuat Alana dan Bi Narti berjingkat. Mereka terkejut bersamaan karena melihat Ziyan—asisten pribadi Elzaino—berdiri di depan mereka. Terlihat dua orang baby sitter muda juga keluar dari dalam ruangan itu. "Ma-maaf, Tuan. Kami sedang mengepel lantai di depan kamar ini," jelas Alana yang merasa tak enak. "Tak apa-apa," jawab Ziyan singkat. Ia pun berlalu pergi sambil menelpon seseorang. Pintu terbuka sedikit, di sana Alana melihat tuannya tengah menggendong bayi yang menangis. Dengan memberanikan diri Alana mengetuk pintu, ia langsung masuk setelah pria itu memberinya izin. Alana menelan saliva, ia begitu gugup saat berhadapan dengan wajah tampan majikannya yang terlihat lelah sekali. "Tu-Tuan, apakah boleh saya menenangkan bayi anda?" tanya Alana takut-takut. Elzaino langsung menatapnya sengit. “Apa katamu? Menenangkan?” Ia tertawa sinis. “Bahkan dua babysitter yang berpengalaman pun tak bisa menenangkannya!" Pria itu mendengus, menatap Alana kesal karena sudah bersikap lancang ingin menyentuh putranya. Bi Narti yang mengekori Alana pun mencolek lengan wanita itu, mengajaknya undur diri dari sana. Ia tak mau Alana berurusan dengan El, apalagi emosi pria itu sedang tidak baik-baik saja. "Ta-tapi Tuan, sepertinya bayi Anda kolik, kemungkinan dia tidak cocok dengan susu formula," kata Alana lagi, berusaha tidak menciut meski tatapan tuannya begitu mengintimidasi. Sebagai seorang ibu yang baru saja kehilangan bayi, ia merasa tak tega jika bayi itu terus menangis. Hatinya terus menjerit ingin menggendong bayi tampan bernama Arga itu. "Kolik? Kamu ini dokter spesialis anak? Jangan sok tahu!" cecar El tak suka. "Tuan, biarkan saya menggendongnya. Saya hanya—” "Jangan kurang ajar kamu!" sela El dengan wajah keras dan memerah. Alana pun tertunduk, terkejut dengan bentakan dari sang majikan. Selama ini Alana menilai El adalah pribadi yang hangat. Apalagi ia sering melihat kasih sayang pria itu pada istrinya. Tapi hari ini, Alana seolah melihat orang lain. Pria itu terlihat dingin sekali. Seolah ada bagian hatinya yang sudah membeku karena dicampakan oleh sang istri. Arga semakin menangis histeris di dalam dekapan ayahnya, membuat El kewalahan. "Tuan, jangan takut. Alana berpengalaman, dia juga pernah memiliki anak," Bi Narti akhirnya bersuara. Alana menatap tuannya penuh harap karena kasihan mendengar tangisan bayi itu yang tak kunjung mereda. El yang kebingungan harus melakukan apa kini terlihat menimbang-nimbang. "Baiklah,” katanya kemudian. Ia menatap Alana tajam. “Tapi kalau sampai kamu gagal, aku tidak akan tinggal diam!”Sejak kedatangan Amanda, Meri begitu mencemaskan keadaan sang cucu. Meri takut, Amanda akan berbuat nekat untuk mengambil Arga dari sisi keluarganya. Meri berjalan ke arah kamar Arga dan Alana. Wanita modis itu membuka pintu kamar Arga sedikit, ia tersenyum saat melihat Arga sedang berceloteh dan bercanda dengan Alana. Lagi-lagi hatinya menghangat karena Alana. "Alana," Panggil Meri lembut "Iya, Nyonya?" Alana menatap Meri yang sedang berjalan ke arahnya. "Terima kasih, Alana. Karena kamu telah menyayangi cucu saya sepenuh hati kamu," ucap Meri yang membuat Alana seakan tak percaya, karena Meri tak pernah mengatakan terima kasih kepada pekerjanya. "Sama-sama, Nyonya. Sudah kewajiban saya harus menjaga dan menyayangi Den Arga dengan sepenuh hati," Alana tersenyum yang membuat Meri semakin menyukai wanita cantik itu. "Saya akan membawa Arga ke taman, hanya di taman rumah ini. Saya ingin menghabiskan waktu dengan cucu saya," Meri berujar yang mirip sekali dengan meminta izin kepada
Elzaino berencana untuk merayakan pergantian tahun di villa pribadi miliknya yang ada di kota kembang. Villa itu terletak di kawasan asri dan dikelilingi kebun teh yang luas. Elzaino memang sengaja membelinya agar ia bisa membawa keluarganya menjauh sejenak dari hiruk pikuk perkotaan. Elzaino ingin menenangkan pikirannya dari segala masalah yang akhir-akhir ini menderanya."Seriusan Kak kita mau ke villa?" Tanya Mireya dengan mata yang berbinar.Kakak beradik itu kini berada dalam ruangan pribadi milik Elzaino. Mireya sendiri diminta datang ke ruangan pribadi kakaknya untuk menyampaikan hasil rapat tadi siang dengan perusahaan dari Amerika."Seriusan. Tapi semua kerjaan kantor udah beres kan?" Elzaino memastikan. Ia tak ingin pergi berlibur sementara pekerjaan di kantor belum rampung."Kakak ini tidak tahu apa kinerjaku seperti apa?" Mireya mengerucutkan bibirnya.Memang Elzaino begitu mengenali sifat pekerja keras adiknya. Bukan karena Mireya adalah adiknya lantas El menunjuk wanita
Pagi-pagi sekali Alana sudah berjibaku dengan apron warna putihnya. Hari ini, adalah hari pertama Arga MPASI. Wanita itu sangat fokus sekali dengan masakannya, hingga tak menyadari kedatangan Meri dan Mireya yang menghampiri dirinya. "Sedang apa, Sus? Serius sekali!" Mireya yang sedang libur itu bertanya kepada Alana seraya berdiri di samping Alana. Elzaino sudah dua hari ke luar kota, ia pun tak tahu Arga akan mulai MPASI hari ini. "Saya sedang memasak untuk Den Arga. Hari ini hari pertama MPASInya," jawab Alana dengan ceria. Mireya dan Meri merasa terkejut mendengar Arga yang sudah mulai fase MPASI. Mereka sangat sibuk sampai tidak sadar jika Arga sudah genap berusia enam bulan. "Kamu masak apa saja untuk Arga, Alana?" Meri memperhatikan makanan yang ada di dalam panci anti lengket itu. Meri sebenarnya merasa tak yakin dengan Alana, apakah wanita itu tahu gizi yang dibutuhkan oleh seorang bayi? Meri menatap isi panci itu, isinya adalah nasi, daging sapi, brokoli, dan tahu.
Handoko mendapatkan informasi jika sang putri datang ke kediaman Elzaino dengan bermaksud mengambil Arga. Tangan pria itu terkepal erat. Ia tak menyangka anaknya akan setidak tahu malu itu. Sudah mengkhianati sang suami, kini Amanda tak tahu malunya datang untuk mengambil Arga. Entah dari mana sikap tak tahu malunya itu diturunkan. "Pa?" Resti mengusap tangan kekar suaminya. "Hmm!" Handoko bergumam. "Papa sudah tahu kan teror yang menimpa kediaman kita?" Tanya Resti memastikan, ia yakin jika sang suami sudah tahu dengan apa yang diperbuat oleh Darren. "Tentu saja Papa tahu. Jangan hiraukan teror remeh seperti itu!" Handoko menjawab, akan tetapi matanya masih saja memindai pemandangan luar, pemandangan malam dengan terpaan angin sepoi yang membingkai wajahnya. Resti hanya diam tak menjawab. Tentu ia sudah sangat percaya dengan suaminya. Handoko akan selalu memastikan dirinya aman. "Ma, Amanda berusaha merebut Arga dari El. Papa sudah tak tahu di mana wajah Papa saat ini d
Elzaino terus menyeret Amanda ke luar. Bahkan beberapa bodyguard membantu El karena Amanda yang kian memberontak dan menjadi-jadi. Amanda berteriak bak orang kesurupan. Dirinya tengah dikuasai emosi dan ambisi untuk bisa mendapatkan Arga sepenuhnya. "Lepaskan kamu jahat, Mas!" Teriak Amanda lagi diiringi dengan tangisan yang memilukan. Tubuhnya meronta meminta untuk dilepaskan. "Teganya kamu memisahkan ibu dan anaknya! Kamu malah mendekatkan putra kita dengan babu itu ketimbang aku sebagai ibu kandungnya!" Cicit Amanda lagi dengan penuh amarah. Meri dan Mireya yang ikut menyaksikan Amanda di seret hanya menatap wanita itu penuh dengan kebencian. Meri ingin sekali menjambak rambut Amanda lagi, ia belum puas. Para Bodyguard segera mendorong tubuh Amanda di area halaman depan. Tubuh wanita itu basah kuyup karena terkena hujan yang turun dengan lebat. "Pergi kamu, j4lang! Berhenti mengusik kehidupan putraku! Kau bukan bagian dari keluarga kami lagi," suara Meri menggelegar, menamb
Darmi, Dani dan Annida mengalami hari-hari yang sulit di rumah Ratmi, adik dari Dani. Keluarga dari Heri itu hanya mengandalkan makan dari emas yang dijual oleh Darmi. Beruntung ada gelang dan cincin yang menempel di badannya sehingga barang itu tak disita oleh Arman, si bandar judi."Gimana ini Pak, uang kita sebentar lagi habis," ucap Darmi sembari menghitung uang pecahan dua puluh ribu rupiahan. Dani menoleh ke arah uang yang dipegang oleh istrinya. Ia menghembuskan nafasnya kasar, merasa tak berdaya dengan keadaan sulit yang tengah membelenggu keluarganya. Kemudian netra pria yang sudah senja itu menatap pada putri bungsunya yang tengah rebahan sembari tertawa melihat gadgetnya. Dani kemudian bangkit dan menghampiri sang putri yang sudah lulus sarjana itu. "Nida, apa kamu tidak ingin bekerja membantu perekonomian keluarga kita yang tengah carut marut?" Tanya Dani dengan mata tajam.Seumur hidup Annida memang gadis itu kerap dimanjakan oleh Dani dan Darmi. Annida belum pernah ke