Alana tersadar saat tubuhnya yang lemah dipindahkan ke brankar. Sepasang matanya mengerjap lemah, kepalanya benar-benar pusing saat dokter memeriksa kondisinya.
“Denyut jantung bayi melemah. Segera persiapkan tes, kita akan operasi darurat!" "Baik, Dok!" Percakapan dokter dengan perawat itu membuat rasa panik menjalari hati Alana tanpa bisa dicegah. Kejadian beberapa saat yang lalu menghantuinya, membuatnya ketakutan setengah mati. “Dokter, tolong selamatkan bayi saya,” kata Alana saat ia dibawa ke ruang operasi. “Kami akan melakukan yang terbaik. Banyak berdoa ya," kata dokter itu menenangkan. Proses operasi itu berjalan lancar. Namun, saat dokter mengangkat bayi Alana, bayi yang berjenis kelamin perempuan itu tak kunjung menangis. Kulitnya terlihat sudah membiru seluruh tubuh, seolah tak ada kehidupan di raga bayi itu. "Dok, anak saya baik-baik saja kan?" tanya Alana. "Dok, bagaimana ini?" tanya asisten dokter. Namun, dokter spesialis kandungan itu tak menjawab, ia menyerahkan bayi yang sangat mungil itu ke pangkuan dokter spesialis anak. Dengan cepat, dokter itu memeriksa bayi Alana. Ia memasangkan oksigen di hidung bayi mungil itu. Tak lupa dokter itu menepuk-nepuk sang bayi agar ia menangis. "Dok, anak saya baik-baik saja kan?" Bibir Alana gemetar. Ia ingin menangis sekencang-kencangnya saat melihat bayinya tak kunjung menangis. Ia hanya bisa pasrah saat melihat anaknya dibawa ke ruang observasi. Setelah perut Alana selesai dijahit, ia dimasukan ke dalam ruang pemulihan. Di sana Alana merasa seluruh tubuhnya menggigil. Tak hentinya ia terus berdoa kepada sang pencipta, memohon keselamatan atas dirinya dan sang jabang bayi. Setelah diobservasi dan keadaannya membaik, Alana dipindahkan ke ruang rawat. Di sana ia ditemani oleh Bu RT dan dua ibu-ibu lainnya, merekalah yang membawanya ke rumah sakit. "Bu, bagaimana keadaan bayi saya ya? Apa ibu sudah melihat? Oh ya, apa Mas Heri ada ke sini?" tanya Alana memberondong Bu RT dengan pertanyaan yang sulit untuk dijawab. "Ibu belum tahu bayi kamu, Nduk. Semoga dia baik-baik saja. Mengenai suami kamu, dia tidak ada ke sini, Nduk. Dia kabur…," jawab Bu RT hati-hati. Alana sudah tak terkejut lagi dengan tingkah Heri, ia cukup menyadari bahwa dirinya tak berarti bagi pria itu. Kini, hanya ada rasa marah yang tersisa di hatinya. Ia tak akan memaafkan pria itu apabila hal buruk terjadi pada bayinya. Suara ketukan sepatu yang beradu dengan lantai mengalihkan perhatiannya. Alana menatap dokter anak yang memasuki ruangan itu. "Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Alana tak sabar. Dokter spesialis itu menatap rekan dokternya, sebelum menatap Alana prihatin. "Ibu harus tabah. Putri ibu tidak bisa diselamatkan, ia meninggal karena keracunan ketuban. Kami turut berduka cita.” "Tidak, tidak mungkin….” kata Alana. “Dokter pasti bohong kan? Iya kan?" Alana menangis histeris. Hati ibu mana yang tak sakit mendengar kenyataan yang begitu menyesakan dada itu? "Ya, Allah! Bayiku, Bu!" raung Alana, tangannya menggenggam tangan Bu RT yang ada di sisinya. Alana menangis tak terkendali, hingga Bu RT ikut menenangkan Alana. Para warga yang ikut mengantar Alana, yang saat ini menunggu di luar pun ikut bersedih mendengar kabar itu. Mereka segera bahu-membahu memberikan dana seikhlasnya untuk biaya Alana di rumah sakit. Beruntung, pak RT sudah membuat surat keterangan tidak mampu yang diberikan pada pihak rumah sakit, sehingga pengobatan dan tindakan untuk Alana digratiskan. Iuran yang sudah terkumpul pun mereka berikan sebagai uang belasungkawa untuk Alana. Semua warga memang sangat menyukai Alana. Wanita itu begitu lemah lembut dan ramah. Selain wajahnya yang begitu ayu, hatinya pun lebih lagi. Tapi, sayang, sikap lembutnya itu tak bisa menyentuh hati Heri yang sudah sekeras batu. ** “Kenapa kamu hanya sebentar hidup di dunia ini?” Alana menatap kuburan yang berukuran kecil itu dengan pilu, matanya begitu bengkak karena terus menangisi anaknya yang telah meninggalkan dunia. Ia mengelus pusara anak tercintanya dengan perasaan hancur lebur. "Kenapa kamu ninggalin mama, Nak? Tak inginkah kamu menemani mama yang sebatang kara ini?" lirih Alana, ia mengecup pusara itu dengan suara tangisan yang menyayat hati. "Mama kesepian, tak ada yang menyayangi mama, Nak. Hanya kamu sumber kebahagiaan mama, tapi kamu malah memilih meninggalkan mama. Maafkan mama yang sudah lalai menjaga kamu, sayang. Ternyata Allah lebih sayang padamu, Nak…." Alana tergugu. Dadanya terasa sesak melepas kepergian anak yang sudah ia nanti-nantikan. "Kata dokter ASI pertama adalah kolostrum, katanya ASI itu yang paling bagus karena mengandung banyak protein dan sel-sel hidup. Mama pumping buat kamu, kamu bawa ke surga ya, Nak? Semoga kamu bisa minum ASI ini sampe kenyang," Alana menyiramkan ASI yang sudah ia pompa ke atas makam anaknya. "Alana, yang sabar ya? Bayimu sudah bahagia di sana. Ayo kita pulang, Nak!" Bu RT maju dan memeluk bahu Alana. Namun, wanita itu tak bergeming. "Aku masih ingin di sini, Bu. Sebentar lagi akan turun hujan, pasti bayiku kedinginan," jawab Alana lirih. Semua orang yang berada di pemakaman ikut menangis melihat kehancuran Alana. Hati mereka begitu teriris mendengar ucapan Alana yang kehilangan separuh jiwanya. "Cah Ayu, ayo kita pulang. Bayimu sudah tak kedinginan lagi, dia sudah meminum susu yang enak dan berselimut tebal di surga. Bayimu akan sedih melihat ibunya begini," Bu RT dengan sabar menenangkan Alana, mengajaknya untuk pulang karena rintik hujan sudah jatuh ke bumi. "Maaf sudah menyusahkan kalian. Terima kasih, terima kasih karena telah membantuku sejauh ini," tutur Alana kepada warga dan Bu RT. "Tidak apa-apa, kita bersaudara. Jangan merasa sungkan kepada kami. Sekarang ayo kita pulang," ajak Bu RT lagi. Alana akhirnya mengangguk, ia tak mau terus merepotkan semua warga. Matanya sesekali menyapu keadaan sekitar. Tak terlihat Heri di sana, pun dengan keluarga mertuanya. Tak seorang pun menghadiri pemakaman bayinya. Alana memang selalu direndahkan oleh mereka, karena ia adalah menantu yang paling tak punya, dan membuat mereka malu karena Alana bekerja sebagai asisten rumah tangga. Wanita itu menghela napas panjang. Hatinya getir. ‘Sekarang aku benar-benar sendirian….’Sejak kedatangan Amanda, Meri begitu mencemaskan keadaan sang cucu. Meri takut, Amanda akan berbuat nekat untuk mengambil Arga dari sisi keluarganya. Meri berjalan ke arah kamar Arga dan Alana. Wanita modis itu membuka pintu kamar Arga sedikit, ia tersenyum saat melihat Arga sedang berceloteh dan bercanda dengan Alana. Lagi-lagi hatinya menghangat karena Alana. "Alana," Panggil Meri lembut "Iya, Nyonya?" Alana menatap Meri yang sedang berjalan ke arahnya. "Terima kasih, Alana. Karena kamu telah menyayangi cucu saya sepenuh hati kamu," ucap Meri yang membuat Alana seakan tak percaya, karena Meri tak pernah mengatakan terima kasih kepada pekerjanya. "Sama-sama, Nyonya. Sudah kewajiban saya harus menjaga dan menyayangi Den Arga dengan sepenuh hati," Alana tersenyum yang membuat Meri semakin menyukai wanita cantik itu. "Saya akan membawa Arga ke taman, hanya di taman rumah ini. Saya ingin menghabiskan waktu dengan cucu saya," Meri berujar yang mirip sekali dengan meminta izin kepada
Elzaino berencana untuk merayakan pergantian tahun di villa pribadi miliknya yang ada di kota kembang. Villa itu terletak di kawasan asri dan dikelilingi kebun teh yang luas. Elzaino memang sengaja membelinya agar ia bisa membawa keluarganya menjauh sejenak dari hiruk pikuk perkotaan. Elzaino ingin menenangkan pikirannya dari segala masalah yang akhir-akhir ini menderanya."Seriusan Kak kita mau ke villa?" Tanya Mireya dengan mata yang berbinar.Kakak beradik itu kini berada dalam ruangan pribadi milik Elzaino. Mireya sendiri diminta datang ke ruangan pribadi kakaknya untuk menyampaikan hasil rapat tadi siang dengan perusahaan dari Amerika."Seriusan. Tapi semua kerjaan kantor udah beres kan?" Elzaino memastikan. Ia tak ingin pergi berlibur sementara pekerjaan di kantor belum rampung."Kakak ini tidak tahu apa kinerjaku seperti apa?" Mireya mengerucutkan bibirnya.Memang Elzaino begitu mengenali sifat pekerja keras adiknya. Bukan karena Mireya adalah adiknya lantas El menunjuk wanita
Pagi-pagi sekali Alana sudah berjibaku dengan apron warna putihnya. Hari ini, adalah hari pertama Arga MPASI. Wanita itu sangat fokus sekali dengan masakannya, hingga tak menyadari kedatangan Meri dan Mireya yang menghampiri dirinya. "Sedang apa, Sus? Serius sekali!" Mireya yang sedang libur itu bertanya kepada Alana seraya berdiri di samping Alana. Elzaino sudah dua hari ke luar kota, ia pun tak tahu Arga akan mulai MPASI hari ini. "Saya sedang memasak untuk Den Arga. Hari ini hari pertama MPASInya," jawab Alana dengan ceria. Mireya dan Meri merasa terkejut mendengar Arga yang sudah mulai fase MPASI. Mereka sangat sibuk sampai tidak sadar jika Arga sudah genap berusia enam bulan. "Kamu masak apa saja untuk Arga, Alana?" Meri memperhatikan makanan yang ada di dalam panci anti lengket itu. Meri sebenarnya merasa tak yakin dengan Alana, apakah wanita itu tahu gizi yang dibutuhkan oleh seorang bayi? Meri menatap isi panci itu, isinya adalah nasi, daging sapi, brokoli, dan tahu.
Handoko mendapatkan informasi jika sang putri datang ke kediaman Elzaino dengan bermaksud mengambil Arga. Tangan pria itu terkepal erat. Ia tak menyangka anaknya akan setidak tahu malu itu. Sudah mengkhianati sang suami, kini Amanda tak tahu malunya datang untuk mengambil Arga. Entah dari mana sikap tak tahu malunya itu diturunkan. "Pa?" Resti mengusap tangan kekar suaminya. "Hmm!" Handoko bergumam. "Papa sudah tahu kan teror yang menimpa kediaman kita?" Tanya Resti memastikan, ia yakin jika sang suami sudah tahu dengan apa yang diperbuat oleh Darren. "Tentu saja Papa tahu. Jangan hiraukan teror remeh seperti itu!" Handoko menjawab, akan tetapi matanya masih saja memindai pemandangan luar, pemandangan malam dengan terpaan angin sepoi yang membingkai wajahnya. Resti hanya diam tak menjawab. Tentu ia sudah sangat percaya dengan suaminya. Handoko akan selalu memastikan dirinya aman. "Ma, Amanda berusaha merebut Arga dari El. Papa sudah tak tahu di mana wajah Papa saat ini d
Elzaino terus menyeret Amanda ke luar. Bahkan beberapa bodyguard membantu El karena Amanda yang kian memberontak dan menjadi-jadi. Amanda berteriak bak orang kesurupan. Dirinya tengah dikuasai emosi dan ambisi untuk bisa mendapatkan Arga sepenuhnya. "Lepaskan kamu jahat, Mas!" Teriak Amanda lagi diiringi dengan tangisan yang memilukan. Tubuhnya meronta meminta untuk dilepaskan. "Teganya kamu memisahkan ibu dan anaknya! Kamu malah mendekatkan putra kita dengan babu itu ketimbang aku sebagai ibu kandungnya!" Cicit Amanda lagi dengan penuh amarah. Meri dan Mireya yang ikut menyaksikan Amanda di seret hanya menatap wanita itu penuh dengan kebencian. Meri ingin sekali menjambak rambut Amanda lagi, ia belum puas. Para Bodyguard segera mendorong tubuh Amanda di area halaman depan. Tubuh wanita itu basah kuyup karena terkena hujan yang turun dengan lebat. "Pergi kamu, j4lang! Berhenti mengusik kehidupan putraku! Kau bukan bagian dari keluarga kami lagi," suara Meri menggelegar, menamb
Darmi, Dani dan Annida mengalami hari-hari yang sulit di rumah Ratmi, adik dari Dani. Keluarga dari Heri itu hanya mengandalkan makan dari emas yang dijual oleh Darmi. Beruntung ada gelang dan cincin yang menempel di badannya sehingga barang itu tak disita oleh Arman, si bandar judi."Gimana ini Pak, uang kita sebentar lagi habis," ucap Darmi sembari menghitung uang pecahan dua puluh ribu rupiahan. Dani menoleh ke arah uang yang dipegang oleh istrinya. Ia menghembuskan nafasnya kasar, merasa tak berdaya dengan keadaan sulit yang tengah membelenggu keluarganya. Kemudian netra pria yang sudah senja itu menatap pada putri bungsunya yang tengah rebahan sembari tertawa melihat gadgetnya. Dani kemudian bangkit dan menghampiri sang putri yang sudah lulus sarjana itu. "Nida, apa kamu tidak ingin bekerja membantu perekonomian keluarga kita yang tengah carut marut?" Tanya Dani dengan mata tajam.Seumur hidup Annida memang gadis itu kerap dimanjakan oleh Dani dan Darmi. Annida belum pernah ke
Heri mengelap keringat yang mengucur deras di dahinya dengan sebuah sapu tangan kecil. Pria itu baru saja beristirahat. Ia memang diterima di tempat Fauzan bekerja karena teman dari Heri itu memohon agar Heri diterima bekerja walau pria itu belum mempunyai pengalaman menjadi seorang kuli bangunan. Untungnya mandor yang sudah dekat dengan Fauzan itu menerima Heri bekerja di proyek pembangunan sebuah gedung ini. Pekerjaannya sebagai kuli bangunan amat membuat Heri kesusahan. Maklum saja, saat bekerja di rumah Elzaino, pekerjaan itu cenderung ringan karena hanya merawat kebun yang sudah ditata rapi oleh ahlinya. Heri tak perlu kerja keras banting tulang seperti ini saat di rumah Elzaino. Pria itu juga bisa pulang dengan sesuka hati jika pekerjaannya sudah selesai dilaksanakan. Heri mengambil kotak makanan bagiannya, bermaksud untum menghilangkan lapar dan dahaga yang sedari tadi mengganggu dirinya. Pria itu membuka kotak nasi yang diberikan oleh seorang ibu paruh baya yang di tunjuk o
Amanda manut. Ia duduk di sofa. Berhadapan dengan El, Meri, dan Mireya. Mireya memilih menutup mulutnya rapat-rapat. Banyak sekali uneg-uneg yang ingin ia sampaikan, bahkan Mireya ingin sekali menjambak wanita yang ada di hadapannya ini. Hanya saja, Mireya menghormati sang kakak. Ia memberikan kesempatan kepada El untuk berbicara. "Selama ini aku baru sadar. Aku menyesal, aku telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan," Amanda mengawali pembicaraan. "Sesalmu itu tak akan mengubah semua yang telah terjadi!" Sinis Meri angkuh. "Aku tahu, Ma! Aku sangat tak layak dimaafkan oleh keluarga kalian. Hanya saja setiap malam aku tersiksa, Ma. Bayangan wajah putraku mengganggu tidurku. Bahkan ia menyadarkan aku dari kesalahanku selama ini. Tidurku tak nyenyak, makanku tak enak. Aku benar-benar merindukannya!" Tutur Amanda, air matanya terus berderai membasahi pipinya yang merona. "Ketika kamu pergi, anakmu itu selalu menangis. Dia rewel karena tak cocok susu formula. Kami masih berhar
Amanda yang merasakan rasa rindunya semakin membuncah pada Arga tak kuasa lagi membendungnya. Amanda menguatkan hati, ia akan bertandang ke rumah Elzaino. Tak peduli apa respon Elzaino dan keluarganya. Lambat laun Amanda memang harus mendatangi Arga. Amanda sadar ia adalah ibu kandung Arga, dan tak ada yang bisa memutuskan ikatan darah itu. Amanda merasa jauh lebih berhak untuk merawat Arga bukan Alana. Amanda mengendarai mobilnya. Ia melajukan mobilnya di gelapnya malam. Malam ini mendung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Amanda pun menambah laju kecepatan, tak sabar bisa melihat Arga. Namun, hati tak bisa dibohongi. Ada perasaan cemas dan gugup yang bercokol di hatinya. Demi Arga, ia akan menebalkan wajahnya dari rasa malu. Mobil yang dikendarai Amanda kini sudah sampai di depan gerbang rumah mewah milik Elzaino. Wanita yang resmi menyandang status janda itu menatap nanar ke arah gerbang. Rumah ini adalah saksi kehidupannya bersama Elzaino. Rasa penyesalan itu hadir ke