Home / Romansa / ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN / BAB 4 Luka yang Terbungkus Diam

Share

BAB 4 Luka yang Terbungkus Diam

Author: Xykyut
last update Last Updated: 2025-06-10 21:27:57

Sejak malam itu, Alya merasa ada yang berubah. Bukan hanya dari cara Erick berbicara padanya, tapi juga caranya memandang dunia. Tatapan pria itu tidak lagi semata-mata penuh tuntutan. Ada kelam yang tak terucap, dan ia tahu... ia sudah menyentuh sisi yang selama ini dijaga rapat.

Namun semakin ia mengenal sisi manusiawi Erick, semakin Alya menyadari bahwa pria itu menyimpan lebih dari sekadar trauma keluarga.

---

Hari Senin pagi, kantor kembali sibuk. Bunyi sepatu beradu di lantai marmer, printer berdengung, dan telepon terus berdering. Alya menyambut pagi dengan dua cangkir kopi—satu untuknya, satu untuk Erick.

“Jangan terlalu manis,” ucap Erick saat menerima cangkirnya.

Alya tersenyum kecil. “Saya sudah mulai hafal, Pak.”

Erick duduk sambil membuka laptopnya. Tapi sebelum ia mulai bekerja, ia melirik Alya. “Kamu selalu datang lima belas menit sebelum jam kantor. Kenapa?”

Alya terdiam sesaat. Ia tak menduga pertanyaan itu.

“Karena saya tidak suka terburu-buru. Dan... saya butuh waktu untuk menyiapkan mental sebelum masuk ke dunia Bapak.”

Erick mengangguk pelan, lalu kembali ke layarnya. Tapi senyum tipis di wajahnya tak luput dari mata Alya.

---

Menjelang siang, Alya dipanggil ke ruang rapat kecil di lantai dua belas. Tapi kali ini bukan untuk rapat perusahaan. Di sana, dua wanita paruh baya menunggunya—ibu-ibu yang merupakan bagian dari yayasan sosial yang bekerja sama dengan perusahaan Erick untuk CSR.

“Kamu Alya ya? Asistennya Pak Erick?” tanya salah satu dari mereka.

Alya mengangguk sopan.

“Kami diberi tahu kamu akan jadi penghubung kegiatan donasi minggu depan. Tapi... maaf ya, kami dengar Pak Erick itu orangnya menyeramkan banget. Kamu kuat kerja sama dia?”

Alya menahan senyum. “Kalau menyeramkan, sepertinya hanya di awal saja. Kalau sudah kenal, Bapak justru sangat profesional.”

Wanita itu terkekeh. “Kalau gitu, kamu hebat. Banyak yang menyerah duluan.”

Alya tidak menanggapi. Tapi di dalam hatinya, ia tahu—lebih dari sekadar profesional, ada luka dalam pria itu yang tak banyak orang mau pahami.

---

Sore harinya, saat kantor mulai sepi dan lampu mulai diredupkan, Alya masih berada di ruangannya. Ia sedang menata ulang jadwal presentasi Erick ke investor minggu depan. Tak lama, Erick muncul di pintu.

“Kamu belum pulang?”

“Saya masih menyusun agenda, Pak. Saya mau pastikan tidak ada jadwal yang bentrok.”

Erick bersandar di bingkai pintu. “Kamu selalu teliti.”

Alya berdiri dan memberanikan diri bertanya, “Pak, saya bisa bertanya sesuatu?”

Erick mengangguk. “Silakan.”

“Kenapa Bapak tidak pernah bicara tentang ibu Bapak?”

Untuk sesaat, Erick terdiam. Wajahnya menegang. Tapi kemudian ia masuk dan menutup pintu.

“Ibu saya... adalah wanita paling kuat yang pernah saya kenal. Tapi dia juga orang yang paling tersakiti.”

Alya menahan napas, tahu bahwa yang akan ia dengar bukanlah cerita ringan.

“Ayah saya mencintai perusahaan lebih dari keluarga. Ketika Ibu sakit, dia terlalu sibuk memburu angka di laporan keuangan. Saat Ibu butuh ditemani di rumah sakit, dia sedang presentasi di luar negeri. Aku yang mendampingi Ibu sampai akhir hayatnya.”

Erick duduk, menatap tangannya sendiri sejenak.

“Sejak saat itu, saya berjanji... tidak akan menjadi seperti dia. Tapi ironisnya, lihat saya sekarang.”

Alya mendekat, duduk di kursi seberang. “Tapi Bapak berbeda. Bapak tidak mengabaikan orang. Bahkan saya, hanya seorang asisten, Bapak beri kesempatan untuk belajar dan berkembang.”

Erick memandang Alya. Matanya tidak setajam biasanya. Ada kelelahan dan kejujuran yang langka di sana.

“Kenapa kamu tetap bertahan, Alya? Padahal kamu bisa kerja di tempat lain. Tempat yang lebih... normal.”

Alya menunduk pelan. “Karena saya tahu bagaimana rasanya jadi orang yang merasa sendiri.”

---

Hari-hari berikutnya, hubungan mereka menjadi lebih hangat. Masih profesional, tentu saja, tapi sesekali mereka saling bertukar cerita. Alya menceritakan tentang adik laki-lakinya yang sedang kuliah kedokteran, tentang ibunya yang membuka warung kecil di kampung, dan tentang alasan ia bekerja keras—untuk keluarga.

Erick tak banyak bicara soal dirinya, tapi kini lebih sering tersenyum. Bahkan kadang ia menawari Alya makan siang jika ia tahu gadis itu belum sempat makan.

Namun kenyamanan itu mulai goyah ketika seseorang dari masa lalu Erick muncul di lobi kantor.

Namanya Tania. Wanita cantik dengan rambut lurus sepinggang, gaya anggun, dan parfum mahal yang menusuk hidung. Alya menyambutnya dengan sopan, tidak menunjukkan rasa gugup meski ia bisa menebak siapa wanita itu.

“Saya janji ketemu Erick. Bisa tolong kabari dia?” kata Tania santai.

Alya menekan interkom. “Pak Erick, ada tamu bernama Tania.”

Hening sejenak sebelum suara Erick terdengar dingin. “Suruh dia pulang.”

Alya menelan ludah. “Maaf, Bu Tania. Pak Erick tidak bisa ditemui saat ini.”

Tania mendesah dramatis. “Masih seperti dulu. Keras kepala. Baiklah, saya tunggu saja.”

Ia duduk di sofa lobi seperti ratu menunggu pelayannya.

Tak lama, Erick muncul dari lift. Wajahnya datar. Tania berdiri cepat, menyapa dengan senyum menggoda.

“Erick... masih seganteng dulu.”

“Apa yang kamu mau?” Erick tidak membalas senyuman itu.

“Cuma ingin bicara. Lima menit. Di mana saja,” jawab Tania manja.

Erick melirik Alya sekilas, lalu menjawab dingin, “Lima menit. Di luar.”

Alya menatap punggung Erick dan wanita itu berjalan menjauh. Entah kenapa... dadanya terasa sesak.

---

Setelah pertemuan singkat itu, Erick berubah. Ia kembali menjadi dingin, tertutup, dan tampak terganggu setiap kali Alya mencoba mendekat.

“Semuanya baik-baik saja, Pak?” tanya Alya hati-hati suatu sore.

Erick tidak menjawab langsung. Ia hanya berkata pelan, “Beberapa luka tidak pernah sembuh. Mereka hanya... tertidur.”

Alya tak tahu pasti apa yang terjadi antara Erick dan Tania. Tapi ia tahu satu hal—ia tidak ingin Erick kembali menutup diri.

“Apa yang bisa saya bantu, Pak?” tanyanya lembut.

Erick memandangnya, dan untuk pertama kalinya dalam seminggu, matanya melembut.

“Jangan pergi. Itu saja.”

Alya terdiam. Tapi dalam hatinya, ia tahu... ia akan tetap di sana. Sampai Erick siap membuka lembar baru.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 9 Ciuman Pertama

    Hari itu, suasana kantor terasa mencekam. Isu mengenai proyek merger besar yang dijalankan oleh perusahaan Erick mulai bocor ke media. Tuduhan kolusi dan manipulasi data keuangan mencuat, mengguncang kepercayaan publik dan para investor. Alya menyaksikan langsung bagaimana wajah Erick semakin tegang dari jam ke jam, matanya menajam seperti singa yang siap menerkam siapa saja yang menghalangi jalannya. Meski tidak dilibatkan dalam urusan eksekutif, Alya bisa merasakan tekanan yang berat di pundak Erick. Dan anehnya, ia ikut merasa sesak. Sepulang kerja, saat sebagian besar karyawan sudah meninggalkan gedung, Alya masih menunggu di depan ruang kerja Erick dengan membawa secangkir kopi panas. Ia tahu, satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah tetap ada. “Masuk,” suara bariton itu terdengar ketika Alya mengetuk pintu. Erick duduk di belakang mejanya, jasnya sudah dilepas, dasi sedikit longgar, dan lengan kemejanya tergulung. Wajahnya kusut, tapi masih memancarkan kharisma yang membua

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 8 Konflik Kepentingan

    Alya menatap layar laptop di hadapannya dengan pandangan kosong. Matanya terasa panas, bukan karena kantuk atau lelah, tapi karena tekanan yang perlahan mulai menggerogoti dirinya dari dalam. Selama beberapa minggu terakhir, ritme pekerjaannya sebagai asisten pribadi Erick Alvaro semakin menggila. Jadwal rapat yang padat, revisi dokumen yang tak berkesudahan, hingga pertemuan dengan klien yang berubah-ubah menit terakhir—semuanya membuatnya nyaris kehilangan napas. Tapi bukan itu yang membuat jantung Alya berdegup lebih cepat hari ini. Bukan soal kerjaan yang menumpuk, melainkan desas-desus yang mulai beredar di kantor. "Alya itu bisa dekat sama Pak Erick pasti karena ada hubungan pribadi..." "Ssst, jangan ngomong gitu. Tapi emang aneh sih, biasanya Pak Erick tuh susah banget deket sama orang." "Dia tuh bukan siapa-siapa, cuma lulusan biasa... Kok bisa sih jadi asisten langsung CEO?" Bisikan-bisikan itu—yang awalnya hanya sayup di lorong pantry—kini semakin keras, bahkan menyusu

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   Bab 7 Hati Dalam Diam

    Alya memandangi layar laptopnya, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Sejak insiden makan malam dengan Erick dan kemunculan Tania yang mengejutkan, perasaannya tak karuan. Erick memang sudah menegaskan bahwa hubungannya dengan Tania telah lama berakhir, namun entah mengapa, bayangan wanita itu masih mengganggu. Hari-hari berlalu, dan Erick tetap menjadi dirinya yang dingin dan perfeksionis. Tapi Alya tak bisa membohongi diri. Perhatiannya kini selalu tertuju pada pria itu. Ia menangkap hal-hal kecil yang dulu tak pernah ia sadari—seperti cara Erick memperhatikan detil pekerjaannya, atau diam-diam membawakan kopi tanpa berkata sepatah kata pun saat dia lembur malam-malam. Namun, perasaan itu ia simpan rapat. Batas profesionalitas masih membentang jelas di antara mereka. Lagipula, Erick tak pernah memberi tanda bahwa ia menginginkan hubungan lebih dari sekadar atasan dan bawahan. Suatu sore, saat hujan mengguyur kota, Alya mendapati dirinya sendirian di kantor. Hampir semua kar

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 6 Tembok yang Retak

    Alya menatap liontin perak itu dalam diam. Huruf A kecil yang terukir di sana seperti menandakan sesuatu yang belum sempat diucapkan Erick secara langsung. Entah itu tanda terima kasih, atau… lebih dari itu.Pagi harinya, ia mengenakan liontin itu di balik kemejanya. Tak mencolok, namun cukup membuat hatinya terasa hangat. Entah bagaimana, itu menjadi pengingat bahwa hatinya bukan satu arah. Ada balasan, meski Erick belum sepenuhnya mengatakannya.---Hari itu, kantor kembali sibuk. Erick dijadwalkan menghadiri pertemuan penting dengan mitra internasional yang berpotensi membuka peluang besar. Alya, tentu saja, kembali menjadi bayang-bayangnya—sang asisten yang mengatur jadwal, dokumen, dan segala kebutuhan sang bos.Namun ada yang berbeda dari Erick hari ini. Tatapannya tak setajam kemarin. Beberapa kali mata mereka bertemu, dan Erick tersenyum—sedikit, tapi cukup membuat pipi Alya merona.“Alya,” panggil Erick saat mereka berada di mobil menuju hotel tempat pertemuan.Alya menoleh c

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 5 Dekat Tapi Jauh

    Hubungan Alya dan Erick seperti benang tipis yang mulai kusut. Setelah Tania muncul kembali, Erick berubah—tak lagi mudah didekati, suaranya kembali tajam, dan ekspresi dingin itu… kembali mendominasi hari-hari Alya di kantor.Tapi yang paling menyakitkan bukanlah kemarahan Erick, melainkan sikap acuhnya.---“Kopi hitam tanpa gula,” Alya menyodorkan cangkir kepada pria itu pagi ini, seperti biasa.Erick hanya mengangguk, tidak berkata sepatah pun. Tatapannya tertuju pada layar laptopnya, dan tangannya sibuk membolak-balik laporan.Alya berdiri sejenak, berharap akan ada percakapan kecil seperti sebelumnya. Tapi harapan itu hanya menjadi diam yang menggantung di udara.“Kalau begitu, saya ke meja saya dulu, Pak.”Tidak ada jawaban.Langkah Alya pelan-pelan menjauh, tapi di dalam hatinya, guncangan itu terasa seperti badai kecil. Ia tidak tahu apakah ia melakukan kesalahan, atau memang hanya karena kehadiran Tania yang telah mengembalikan Erick ke tembok-tembok masa lalunya.---Di rua

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 4 Luka yang Terbungkus Diam

    Sejak malam itu, Alya merasa ada yang berubah. Bukan hanya dari cara Erick berbicara padanya, tapi juga caranya memandang dunia. Tatapan pria itu tidak lagi semata-mata penuh tuntutan. Ada kelam yang tak terucap, dan ia tahu... ia sudah menyentuh sisi yang selama ini dijaga rapat.Namun semakin ia mengenal sisi manusiawi Erick, semakin Alya menyadari bahwa pria itu menyimpan lebih dari sekadar trauma keluarga.---Hari Senin pagi, kantor kembali sibuk. Bunyi sepatu beradu di lantai marmer, printer berdengung, dan telepon terus berdering. Alya menyambut pagi dengan dua cangkir kopi—satu untuknya, satu untuk Erick.“Jangan terlalu manis,” ucap Erick saat menerima cangkirnya.Alya tersenyum kecil. “Saya sudah mulai hafal, Pak.”Erick duduk sambil membuka laptopnya. Tapi sebelum ia mulai bekerja, ia melirik Alya. “Kamu selalu datang lima belas menit sebelum jam kantor. Kenapa?”Alya terdiam sesaat. Ia tak menduga pertanyaan itu.“Karena saya tidak suka terburu-buru. Dan... saya butuh wakt

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status