Home / Romansa / ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN / BAB 3 Wanita Itu Bernama Tania

Share

BAB 3 Wanita Itu Bernama Tania

Author: Xykyut
last update Last Updated: 2025-06-10 21:22:47

Pagi itu kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Alya datang lebih awal, berharap bisa mencuri waktu meninjau agenda hari ini sebelum Erick datang.

Ia belum sepenuhnya pulih dari teguran tajam kemarin, tapi malam panjang yang ia habiskan untuk belajar membuatnya sedikit lebih siap.

Namun, harapannya untuk memulai hari dengan tenang pupus seketika saat suara hak sepatu bergema dari arah lift pribadi.

Langkah itu bukan milik Erick. Terlalu ringan. Terlalu anggun.

Saat pintu lift terbuka, muncullah seorang wanita berpenampilan mencolok. Ia tinggi, ramping, mengenakan blazer hitam elegan yang membungkus tubuhnya dengan presisi.

Rambut panjang bergelombang mengalir indah di bahunya. Make-up nya tipis tapi presisi, menonjolkan tulang pipi dan sorot mata tajam yang langsung menyapu seluruh ruangan seperti ratu baru tiba di singgasananya.

Alya langsung berdiri reflek. Wanita itu menghampirinya perlahan, tatapannya menusuk dari ujung rambut sampai kaki.

“Kamu staf baru?” tanyanya datar, dengan senyum yang tak menyentuh matanya.

“Saya Alya. Asisten pribadi Pak Erick,” jawab Alya sopan, sedikit membungkuk.

“Oh.” Wanita itu mendecak pelan sambil tersenyum sinis. “Kamu bertahan berapa lama?”

Pertanyaan itu menghantam lebih kuat dari nada suaranya yang lembut. Alya terdiam sejenak, berusaha tidak terpancing.

“Saya masih belajar, Bu,” sahutnya pelan.

Wanita itu mendekat hingga jarak mereka hanya setengah meter. “Jangan terlalu berharap banyak. Asisten sebelumnya lebih kompeten darimu. Tapi tetap saja tidak cukup untuk memenuhi standar Erick.”

Alya menahan napas, tidak ingin menunjukkan bahwa kalimat itu baru saja menusuk ke dasar harga dirinya.

Ia hanya tersenyum tipis senyum bertahan hidup.

Tanpa menunggu tanggapan, wanita itu langsung membuka pintu ruang CEO tanpa mengetuk, seolah memiliki hak istimewa yang tak dimiliki siapa pun di kantor itu.

Beberapa detik kemudian, suara lembut tapi tegas terdengar dari dalam.

“Tania, kau datang terlalu pagi.”

Tania. Nama itu menggantung di kepala Alya seperti gema yang tak kunjung mereda.

Beberapa menit berlalu sebelum Tania keluar.

Wajahnya tetap tenang, matanya menyapu Alya dengan senyum tipis.

“Jaga meja ini baik-baik. Jangan sampai berkas tercecer. Erick sangat benci ketidakteraturan,” katanya sebelum melenggang anggun menuju lift.

Alya menatap punggung wanita itu, diam-diam mengepal jemarinya. Bukan karena takut tapi karena harga dirinya seperti diinjak tanpa ampun.

‘Tania... siapa kamu sebenarnya?’

---

Sepanjang hari, Alya menjalankan tugasnya dengan lebih hati-hati. Tapi pikirannya terus berputar.

Wajah Tania, senyum angkuhnya, dan nada suara Erick yang tiba-tiba terdengar lebih lembut... semuanya membuat dadanya sesak.

Ia memperhatikan bagaimana suasana kantor berubah setelah kedatangan wanita itu. Beberapa staf perempuan terlihat saling berbisik, seolah Tania adalah cerita lama yang kembali muncul.

Alya bahkan sempat melihat salah satu staf senior buru-buru membereskan meja saat Tania lewat tadi.

Ada semacam ketakutan yang tertanam.

Saat Alya mengantarkan laporan ke ruang CEO, ia mencoba menahan rasa ingin tahunya. Tapi pertanyaan itu sudah menari di ujung lidah.

“Pak,” ucapnya pelan, “Wanita tadi… beliau siapa?”

Erick tak mengalihkan pandangan dari laptop. “Tidak penting untuk kamu tahu.”

“Tapi—”

“Alya,” potongnya tajam. Kali ini matanya menatap langsung. “Fokus pada pekerjaanmu. Bukan urusan pribadiku.”

Kata-katanya seperti palu godam. Tidak hanya karena isinya, tapi karena tatapannya dingin, tegas, dan membuat Alya merasa seperti sekadar alat kerja, bukan manusia.

Ia hanya mengangguk. “Baik, Pak.”

Keluar dari ruangan itu, napas Alya berat. Di dadanya, perasaan kesal dan penasaran bercampur menjadi satu. Ia tahu, apa pun hubungan Tania dengan Erick, itu bukan urusannya.

Tapi… kenapa ia merasa tidak tenang?

---

Menjelang sore, sebagian besar karyawan mulai pulang.

Kantor eksekutif kembali sepi. Tapi lampu meja Alya masih menyala. Ia menolak untuk pulang sebelum pekerjaannya selesai. Ia memeriksa ulang jadwal besok, memastikan tidak ada satu pun agenda yang terlewat.

Namun pikirannya tetap mengembara. Bayangan wajah Tania, cara bicaranya yang merendahkan, dan tatapan Erick yang berubah setiap kali nama itu disebut semuanya mengganggu fokusnya.

Ia mendesah pelan dan menyandarkan punggung ke kursi. Untuk sesaat, ia memejamkan mata.

Tapi bukannya tenang, justru gambaran tadi pagi muncul kembali tatapan merendahkan, kalimat sinis, dan rasa terhina yang membuat hatinya terbakar.

“Aku bukan boneka di meja resepsionis,” gumamnya pada diri sendiri. “Dan aku pasti bisa lebih dari sekadar pelayan di kantor ini.”

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal:

“Besok jam 08.00, siapkan semua dokumen rapat akuisisi. Pastikan tidak ada kesalahan. – E”

Alya membaca ulang pesan itu. Singkat. Tegas. Tapi entah kenapa, itu cukup untuk membuatnya kembali fokus.

Ia membuka laptop, mulai merapikan semua berkas terkait rapat besok. Di layar, data perusahaan, profil klien, hingga ringkasan laporan keuangan muncul satu per satu.

Meskipun tidak sepenuhnya paham semua istilah, ia terus membaca, mencatat, dan menelusuri setiap detail dengan telaten.

Waktu terus berlalu. Jarum jam mendekati pukul delapan malam, dan hanya lampu dari ruang kerjanya yang masih menyala di lantai eksekutif. Tapi Alya tidak peduli.

“Mereka boleh meremehkanku hari ini. Tapi tidak untuk selamanya,” ucapnya dalam hati.

Ia bukan Alya yang kemarin. Hari ini ia belajar, terluka, dan tahu bahwa dunia Erick Alvaro tidak pernah lunak untuk siapa pun.

Tapi itu tidak membuatnya mundur.

Karena dalam diamnya, ia menyusun strategi.

Meskipun belum tahu pasti siapa Tania, satu hal yang jelas keberadaan wanita itu adalah peringatan.

Dan Alya tak akan membiarkan dirinya jadi korban berikutnya.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 9 Batas Antara Profesional Dan Perasaan

    Senin pagi, ruang kerja Erick Alvaro dipenuhi aroma kopi hitam yang masih mengepul di sisi meja. Ruangan itu selalu sunyi, dingin, dan rapi tanpa cela seperti pemiliknya. Alya berdiri di depan pintu dengan dada yang berdegup tak karuan. Ini bukan pertama kalinya ia dipanggil langsung oleh CEO, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ini bukan teguran, bukan juga rapat rutin. Ini evaluasi. Tentang proyek yang baru saja ia kerjakan dan mungkin, tentang dirinya. “Masuk,” suara Erick terdengar tegas dari balik pintu. Alya melangkah masuk, langkahnya teratur tapi hatinya tidak. Ia menunduk sedikit, menyerahkan laporan akhir proyek merger yang baru diselesaikannya. Erick menerima tanpa melihat wajahnya. Ia membuka laporan itu, membacanya sekilas sambil mengerutkan dahi. “Kamu berhasil menyelesaikan proyek ini dengan hasil yang lebih dari ekspektasi awal,” ujarnya tanpa ekspresi. “Tapi bukan berarti kamu sudah aman.” Alya menahan napas. “Saya tidak pernah menganggap posisi saya am

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 8 Ujian Terbesar Alya

    Pagi itu, suasana kantor sedikit berbeda. Alya yang baru kembali dari sakit disambut dengan tatapan campuran ada yang lega, ada yang sinis, dan ada pula yang tampak waspada. Tapi Alya tak peduli. Ia datang dengan tekad baru. Langkahnya mantap menuju ruangannya. Namun sebelum ia duduk, sebuah email masuk dari sekretaris Erick. Subject: URGENT – Project Sunrise Presentation (Assigned to: Alya) Presentasi proyek mitra asing akan dilaksanakan Jumat ini. Segera buat draft awal dan laporan lengkap, lalu sampaikan langsung ke CEO. Alya membacanya dua kali. Proyek Sunrise? Itu proyek terbesar triwulan ini. Biasanya, hanya manager atau Tania yang menangani. Wajahnya menegang. Ia merasa seperti dilempar ke kolam penuh hiu. Namun sebelum ia bisa bertanya apa pun, pintu ruang CEO terbuka. “Alya,” panggil Erick dari ambang pintu. Alya mendekat, gugup. “Ya, Pak?” “Kamu yang akan siapkan dan presentasikan proposal Sunrise. Tania akan ikut meninjau. Hasilnya akan menentukan posisimu ke de

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   Bab 7 Hanya Sehari Tanpa Alya

    Pagi itu kantor terasa berbeda. Tidak ada sapaan pelan dari Alya. Tidak ada langkah kecil yang menyusul masuk ke ruangan Erick membawa berkas agenda. Dan yang paling mencolok tidak ada sosok perempuan berwajah tegang tapi berusaha tenang yang biasa duduk di meja pojok lantai eksekutif. Alya tidak masuk kerja hari ini. Seketika, ritme kantor yang biasanya cepat dan terstruktur mulai terasa kacau. Beberapa laporan telat dikumpulkan, briefing pagi molor lima belas menit, dan satu klien mengeluh karena jadwal meetingnya tertukar. Erick berdiri di balik meja kerjanya, menatap layar ponsel. Tidak ada pesan dari Alya. Ia lalu menekan tombol interkom. “Nadia, kenapa asisten saya belum datang?” “Pak, barusan saya diberi kabar oleh tetangganya. Mbak Alya izin karena demam tinggi.” Erick terdiam sesaat. Tangannya mengepal di atas meja. “Kenapa tidak dari semalam dia beri kabar?” “Katanya semalam drop, Pak. Tidak sempat hubungi siapa-siapa.” Klik. Erick memutus sambungan. Wajahnya

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 6 Dibawah Sorotan Tajam

    Pagi itu, kantor kembali riuh dengan aktivitas. Suara printer, langkah kaki terburu-buru, dan dering telepon bersahutan memenuhi lantai eksekutif. Namun semua itu seketika meredup saat Erick Alvaro melangkah keluar dari ruangannya. Suasana mendadak sunyi, Seperti biasa. Alya berdiri di depan mejanya, bersiap menyerahkan berkas agenda pagi untuk rapat mingguan. Tangan kirinya menggenggam map, sementara tangan kanan menekan denyut nadi di dadanya yang berdebar terlalu keras. “Pak Erick,” sapanya pelan. Erick tidak langsung menjawab. Ia menerima map itu, membukanya sekilas, lalu menoleh padanya dengan tatapan tajam seperti biasa. “Kenapa catatan rapat kemarin belum dirapikan?” tanyanya datar, nyaris dingin. Alya tersentak. “Saya baru menerima ringkasan tambahan dari tim legal pagi ini, Pak. Saya akan lengkapi setelah—” “Jangan beri alasan. Selesaikan sekarang.” Nada suaranya terpotong dan tajam. “Saya butuh itu sebelum rapat pukul sembilan. Jangan ulangi kesalahan kecil jadi

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 5 Tumbuh Atau Tersingkir

    Pagi dimulai ketika Erick masuk ke ruangannya dengan langkah cepat, tanpa melihat ke arah siapa pun. Seperti biasa, suasana mendadak berubah hening setiap kali pria itu melintas. Semua staf menunduk, pura-pura sibuk dengan layar komputer, termasuk Alya. Ia menyerahkan flashdisk berisi ringkasan proyek rahasia di atas meja pria itu tanpa suara. Erick menyambutnya dengan anggukan nyaris tak terlihat, lalu mencolokkan flashdisk itu ke laptopnya dan membaca dalam diam. Beberapa menit yang menegangkan berlalu. Alya berdiri tegak di depan meja, menunggu reaksi. Tapi ekspresi Erick tetap tak berubah. Matanya tajam, jemarinya bergerak cepat, dan wajahnya datar seperti batu. Tak ada pujian, tak ada kritikan. Hanya sunyi. “Cukup,” katanya. “Kamu tak terlalu mengecewakan.” Kalimat itu mungkin terdengar kejam untuk orang biasa. Tapi bagi Alya, itu seperti medali kecil di tengah peperangan yang belum berakhir. Ia hanya mengangguk. “Saya akan terus belajar, Pak.” Erick menutup laptop

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 4 Tugas Rahasia Dari CEO

    Pagi itu, udara di lantai 32 terasa lebih dingin dari biasanya. Alya datang tepat pukul tujuh, jauh sebelum sebagian besar karyawan mulai berdatangan. Ia mengenakan blouse biru muda dan rok pensil hitam yang disetrika rapi. Rambutnya dikuncir simpel, memberi kesan profesional yang ia harapkan bisa menghapus bayang-bayang semalam, bayangan perempuan misterius Tania. Di meja kerja, berkas-berkas yang ia siapkan semalam telah tersusun sempurna. Ia memeriksa ulang semuanya notulensi, materi akuisisi, daftar peserta rapat. Tak boleh ada yang luput. Ini adalah hari penting, dan ia tak ingin memberi Erick satu alasan pun untuk menghancurkan kepercayaan yang baru mulai tumbuh. Pukul delapan lewat lima, pintu lift pribadi terbuka. Langkah cepat terdengar, dan seperti biasa, aura tegas itu memasuki ruangan bahkan sebelum orangnya muncul. “Berkasnya sudah siap?” tanya Erick tanpa basa-basi saat melintas ke ruangannya. “Sudah, Pak,” jawab Alya sambil menyusul masuk ke dalam membawa map do

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status