Beranda / Romansa / ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN / BAB 3 Rahasia di Balik Dingin

Share

BAB 3 Rahasia di Balik Dingin

Penulis: Xykyut
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-10 21:22:47

Pagi itu, Alya merasa waktunya berjalan lebih cepat dari biasanya. Belum sempat ia menyesap habis kopinya, sudah ada tiga email masuk, dua memo cetak dari ruang rapat, dan tumpukan file yang harus ia siapkan sebelum pukul sembilan.

Ia bergerak cekatan, bahkan belum sempat duduk ketika Erick muncul dari balik pintu ruangannya.

“Follow up meeting jam sepuluh dengan tim legal. Pastikan semua dokumen merger dari pihak Jakarta dan Singapura sudah sinkron,” katanya tanpa basa-basi.

Alya mengangguk cepat. “Baik, Pak.”

Namun begitu Erick masuk kembali ke ruangannya, Alya menatap layar laptop sambil menahan napas. Ia belum sepenuhnya paham struktur merger itu. Bahkan beberapa istilah hukum masih membuat keningnya berkerut.

Tapi ia tahu satu hal: Ia tidak bisa mengecewakan pria itu. Bukan hanya karena ia bosnya. Tapi karena di balik semua sikap dingin itu, Alya merasa ada alasan yang jauh lebih dalam.

---

Alya menatap layar laptop dengan penuh konsentrasi, membolak-balik dokumen merger yang tampak seperti labirin kata dan istilah hukum. Ia mencatat poin-poin penting sambil membuka dua layar tambahan—satu untuk memo internal, satu lagi untuk email yang terus berdatangan.

Jam berdetak cepat. Erick belum keluar dari ruangannya lagi, tapi ia tahu itu hanya masalah waktu sebelum pria itu menanyakan perkembangan.

Tak lama, pesan masuk dari nomor kantor utama:

> “Pak Erick minta update file merger sekarang.”

Alya berdiri tergesa, membawa print-out hasil koreksi terakhir. Ia mengetuk pintu dan masuk saat diizinkan.

Erick duduk di balik meja besar dengan setumpuk berkas di depan. Ia menatap Alya singkat sebelum tangannya meraih file dari genggaman asisten mudanya.

“Ini data terakhir dari pihak Singapura, Pak. Saya sudah cocokkan dengan revisi yang dikirim Jakarta semalam,” jelas Alya dengan suara yang tetap tenang, meski jantungnya berdebar.

Erick membalik halaman, matanya menelusuri cepat, lalu berhenti pada satu lembar.

“Kamu paham ini?” tanyanya tanpa nada tinggi.

Alya menelan ludah. “Sebagian besar, Pak. Tapi bagian mengenai skema pembagian saham—saya masih mencari referensi tambahan.”

Untuk sesaat, hening. Erick meletakkan kertas, lalu bersandar di kursi.

“Jawaban jujur,” katanya, pelan. “Bagus.”

Alya tidak bisa menyembunyikan ekspresi kagetnya. Ia pikir akan dimarahi. Tapi pujian itu—meski sederhana—seperti piala kecil di tengah hari yang penuh tekanan.

Erick menatapnya sejenak sebelum kembali berbicara, “Kamu tahu, saya sudah ganti enam asisten dalam dua tahun terakhir.”

Alya mengerjap. “Enam?”

“Mereka pintar. Lulusan luar negeri. Tapi mereka semua terlalu sibuk tampil. Tidak ada yang benar-benar... mendengar.”

Kata-kata itu terasa berat. Dan ada luka di ujungnya yang tidak bisa Alya abaikan.

“Kalau saya boleh tahu, Pak... apa yang Bapak maksud dengan ‘benar-benar mendengar’?”

Erick tidak langsung menjawab. Ia memutar kursinya, menatap jendela besar yang menghadap langit kota.

“Dunia bisnis... penuh dengan suara. Tekanan. Ambisi. Tapi kadang yang dibutuhkan seseorang hanya satu orang yang mau mengerti—tanpa banyak bicara.”

Alya menunduk pelan, lalu berkata, “Saya mungkin belum pintar soal merger, tapi saya tahu cara menjadi pendengar yang baik.”

Erick menoleh sedikit. “Kita lihat nanti.”

---

Jam sepuluh pagi, ruang rapat lantai sebelas penuh dengan suara. Tim legal dari dua negara hadir dalam rapat daring lintas zona waktu. Alya duduk di samping Erick, mencatat cepat setiap pembicaraan, menyisipkan memo kecil ke layar Erick ketika perlu.

Namun sesuatu menarik perhatiannya—setiap kali nama “Dion Group” disebut, bahu Erick menegang sedikit. Tatapannya berubah. Lebih tajam. Lebih kaku.

Usai rapat, Alya memberanikan diri bertanya saat mereka kembali ke ruang utama.

“Pak, saya perhatikan tadi... Bapak sedikit tegang saat nama Dion Group dibahas. Apakah ada sesuatu?”

Erick memandangnya cukup lama. Lalu menjawab lirih, “Mereka adalah alasan saya menjadi seperti sekarang.”

Alya menunggu penjelasan, tapi Erick sudah melangkah pergi ke ruangannya. Pintu tertutup dengan bunyi lembut, meninggalkan Alya dengan sejuta tanya.

---

Malam harinya, Alya belum pulang. Ia memilih lembur menyusun laporan tambahan untuk presentasi esok. Kantor sudah sunyi. Tapi lampu di ruang Erick masih menyala.

Rasa penasaran menguasainya. Ia mengetuk pelan.

“Masuk,” terdengar suara yang sedikit serak.

Erick duduk dengan jas terlepas, kemeja tergulung ke siku, dan segelas kopi dingin di meja. Matanya lelah.

“Bapak belum pulang?” tanya Alya.

Erick menggeleng pelan. “Kadang kantor lebih menenangkan daripada rumah.”

Ada kesepian yang terungkap dalam kalimat itu. Alya berdiri diam, tak tahu harus berkata apa.

Lalu, tiba-tiba Erick berkata, “Ayah saya meninggal lima tahun lalu. Ia pendiri Dion Group. Dan saya... pewaris yang menolak warisan.”

Alya terkejut. Ia belum pernah mendengar itu dari siapapun. Tak satu pun berita mencantumkan sisi pribadi itu.

“Kenapa Bapak menolak?” tanyanya pelan.

“Karena saya melihat bagaimana kekuasaan mengubah keluarga saya. Uang merusak. Ambisi menghancurkan. Saya memilih membangun dari nol.”

Alya merasa ada batu yang pecah dalam dirinya. Dingin Erick selama ini... bukan tanpa sebab. Ia menolak kenyamanan demi integritas. Dan luka itu—masih nyata.

“Saya mengerti sekarang,” ucap Alya lembut.

Erick menatapnya, mata tajam itu kini penuh bayangan masa lalu. “Jangan terlalu dekat, Alya. Orang-orang yang mendekat... biasanya pergi dengan luka.”

Alya menunduk. Tapi dalam hatinya, ia tahu—ia tak akan pergi. Ia tidak seperti yang lain.

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 9 Ciuman Pertama

    Hari itu, suasana kantor terasa mencekam. Isu mengenai proyek merger besar yang dijalankan oleh perusahaan Erick mulai bocor ke media. Tuduhan kolusi dan manipulasi data keuangan mencuat, mengguncang kepercayaan publik dan para investor. Alya menyaksikan langsung bagaimana wajah Erick semakin tegang dari jam ke jam, matanya menajam seperti singa yang siap menerkam siapa saja yang menghalangi jalannya. Meski tidak dilibatkan dalam urusan eksekutif, Alya bisa merasakan tekanan yang berat di pundak Erick. Dan anehnya, ia ikut merasa sesak. Sepulang kerja, saat sebagian besar karyawan sudah meninggalkan gedung, Alya masih menunggu di depan ruang kerja Erick dengan membawa secangkir kopi panas. Ia tahu, satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah tetap ada. “Masuk,” suara bariton itu terdengar ketika Alya mengetuk pintu. Erick duduk di belakang mejanya, jasnya sudah dilepas, dasi sedikit longgar, dan lengan kemejanya tergulung. Wajahnya kusut, tapi masih memancarkan kharisma yang membua

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 8 Konflik Kepentingan

    Alya menatap layar laptop di hadapannya dengan pandangan kosong. Matanya terasa panas, bukan karena kantuk atau lelah, tapi karena tekanan yang perlahan mulai menggerogoti dirinya dari dalam. Selama beberapa minggu terakhir, ritme pekerjaannya sebagai asisten pribadi Erick Alvaro semakin menggila. Jadwal rapat yang padat, revisi dokumen yang tak berkesudahan, hingga pertemuan dengan klien yang berubah-ubah menit terakhir—semuanya membuatnya nyaris kehilangan napas. Tapi bukan itu yang membuat jantung Alya berdegup lebih cepat hari ini. Bukan soal kerjaan yang menumpuk, melainkan desas-desus yang mulai beredar di kantor. "Alya itu bisa dekat sama Pak Erick pasti karena ada hubungan pribadi..." "Ssst, jangan ngomong gitu. Tapi emang aneh sih, biasanya Pak Erick tuh susah banget deket sama orang." "Dia tuh bukan siapa-siapa, cuma lulusan biasa... Kok bisa sih jadi asisten langsung CEO?" Bisikan-bisikan itu—yang awalnya hanya sayup di lorong pantry—kini semakin keras, bahkan menyusu

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   Bab 7 Hati Dalam Diam

    Alya memandangi layar laptopnya, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Sejak insiden makan malam dengan Erick dan kemunculan Tania yang mengejutkan, perasaannya tak karuan. Erick memang sudah menegaskan bahwa hubungannya dengan Tania telah lama berakhir, namun entah mengapa, bayangan wanita itu masih mengganggu. Hari-hari berlalu, dan Erick tetap menjadi dirinya yang dingin dan perfeksionis. Tapi Alya tak bisa membohongi diri. Perhatiannya kini selalu tertuju pada pria itu. Ia menangkap hal-hal kecil yang dulu tak pernah ia sadari—seperti cara Erick memperhatikan detil pekerjaannya, atau diam-diam membawakan kopi tanpa berkata sepatah kata pun saat dia lembur malam-malam. Namun, perasaan itu ia simpan rapat. Batas profesionalitas masih membentang jelas di antara mereka. Lagipula, Erick tak pernah memberi tanda bahwa ia menginginkan hubungan lebih dari sekadar atasan dan bawahan. Suatu sore, saat hujan mengguyur kota, Alya mendapati dirinya sendirian di kantor. Hampir semua kar

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 6 Tembok yang Retak

    Alya menatap liontin perak itu dalam diam. Huruf A kecil yang terukir di sana seperti menandakan sesuatu yang belum sempat diucapkan Erick secara langsung. Entah itu tanda terima kasih, atau… lebih dari itu.Pagi harinya, ia mengenakan liontin itu di balik kemejanya. Tak mencolok, namun cukup membuat hatinya terasa hangat. Entah bagaimana, itu menjadi pengingat bahwa hatinya bukan satu arah. Ada balasan, meski Erick belum sepenuhnya mengatakannya.---Hari itu, kantor kembali sibuk. Erick dijadwalkan menghadiri pertemuan penting dengan mitra internasional yang berpotensi membuka peluang besar. Alya, tentu saja, kembali menjadi bayang-bayangnya—sang asisten yang mengatur jadwal, dokumen, dan segala kebutuhan sang bos.Namun ada yang berbeda dari Erick hari ini. Tatapannya tak setajam kemarin. Beberapa kali mata mereka bertemu, dan Erick tersenyum—sedikit, tapi cukup membuat pipi Alya merona.“Alya,” panggil Erick saat mereka berada di mobil menuju hotel tempat pertemuan.Alya menoleh c

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 5 Dekat Tapi Jauh

    Hubungan Alya dan Erick seperti benang tipis yang mulai kusut. Setelah Tania muncul kembali, Erick berubah—tak lagi mudah didekati, suaranya kembali tajam, dan ekspresi dingin itu… kembali mendominasi hari-hari Alya di kantor.Tapi yang paling menyakitkan bukanlah kemarahan Erick, melainkan sikap acuhnya.---“Kopi hitam tanpa gula,” Alya menyodorkan cangkir kepada pria itu pagi ini, seperti biasa.Erick hanya mengangguk, tidak berkata sepatah pun. Tatapannya tertuju pada layar laptopnya, dan tangannya sibuk membolak-balik laporan.Alya berdiri sejenak, berharap akan ada percakapan kecil seperti sebelumnya. Tapi harapan itu hanya menjadi diam yang menggantung di udara.“Kalau begitu, saya ke meja saya dulu, Pak.”Tidak ada jawaban.Langkah Alya pelan-pelan menjauh, tapi di dalam hatinya, guncangan itu terasa seperti badai kecil. Ia tidak tahu apakah ia melakukan kesalahan, atau memang hanya karena kehadiran Tania yang telah mengembalikan Erick ke tembok-tembok masa lalunya.---Di rua

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 4 Luka yang Terbungkus Diam

    Sejak malam itu, Alya merasa ada yang berubah. Bukan hanya dari cara Erick berbicara padanya, tapi juga caranya memandang dunia. Tatapan pria itu tidak lagi semata-mata penuh tuntutan. Ada kelam yang tak terucap, dan ia tahu... ia sudah menyentuh sisi yang selama ini dijaga rapat.Namun semakin ia mengenal sisi manusiawi Erick, semakin Alya menyadari bahwa pria itu menyimpan lebih dari sekadar trauma keluarga.---Hari Senin pagi, kantor kembali sibuk. Bunyi sepatu beradu di lantai marmer, printer berdengung, dan telepon terus berdering. Alya menyambut pagi dengan dua cangkir kopi—satu untuknya, satu untuk Erick.“Jangan terlalu manis,” ucap Erick saat menerima cangkirnya.Alya tersenyum kecil. “Saya sudah mulai hafal, Pak.”Erick duduk sambil membuka laptopnya. Tapi sebelum ia mulai bekerja, ia melirik Alya. “Kamu selalu datang lima belas menit sebelum jam kantor. Kenapa?”Alya terdiam sesaat. Ia tak menduga pertanyaan itu.“Karena saya tidak suka terburu-buru. Dan... saya butuh wakt

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status