Home / Romansa / ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN / BAB 1 Hari Pertama di Sarang Singa

Share

ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN
ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN
Author: Xykyut

BAB 1 Hari Pertama di Sarang Singa

Author: Xykyut
last update Huling Na-update: 2025-06-10 20:57:03

Langkah kaki Alya menggema pelan di lobi gedung pencakar langit yang menjulang angkuh di jantung kota Jakarta.

Gedung itu bagaikan monster baja dan kaca yang siap menelan siapa saja yang tak cukup kuat berdiri di dalamnya. Ia berdiri sejenak, memandangi pantulan dirinya di dinding kaca blouse putih sederhana, rok hitam formal, dan sepatu pinjaman dari sepupunya yang dua nomor lebih besar.

Telapak tangannya dingin. Nafasnya pendek-pendek. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur detak jantung yang tak beraturan.

“Hari ini dimulai, Alya. Jangan bodoh.”

Suara hatinya terdengar keras, tapi tubuhnya tetap kaku saat menaiki lift ke lantai 32 lantai eksekutif.

Pintu lift terbuka dan aroma ruang ber-AC menyambut tajam.

Lorong itu sunyi, mewah, dan intimidatif. Marmer mengilap memantulkan cahaya lampu gantung kristal, dan setiap sudut ruangan dipenuhi elemen minimalis bernuansa gelap yang terasa dingin.

Ia berjalan pelan menuju meja resepsionis. Seorang wanita muda berwajah seperti model menatapnya sekilas dari atas ke bawah.

"Nama?" tanyanya dingin tanpa senyum.

"Alya Putri. Saya… asisten pribadi baru."

Wanita itu mengangguk singkat. "Kamu sudah ditunggu. Ruang CEO di ujung kanan."

Alya sedikit gemetar ia menelan ludah. Kakinya terasa berat, tapi ia melangkah juga. Suara langkah sepatunya beradu dengan lantai, bergema seperti detik bom waktu yang menghitung mundur.

Pintu kaca otomatis terbuka. Udara dingin langsung menyergap dari dalam ruangan yang luas, elegan, dan asing.

Tidak ada suara selain deru halus pendingin ruangan. Di balik jendela setinggi langit-langit, matahari pagi Jakarta memantul pada kaca gedung lain.

Dan di tengah ruangan itu berdiri seorang pria.

Erick Alvaro. CEO. Legenda di dunia korporat.

Dikenal luas karena kejeniusannya dalam ekspansi bisnis… dan ketidaksabarannya terhadap kebodohan.

Ia berdiri membelakangi pintu, jas hitam membingkai tubuh tegapnya. Saat berbalik, tatapan matanya langsung menangkap Alya seperti radar. Wajah itu dingin, rahang tegas, dan sorot mata yang tajam seperti sedang membaca kelemahan musuh.

“waah benar-benar tampan". Batin alya.

"Kenapa kamu diam di sana? Mulai bekerja," ucapnya datar, tanpa sapaan atau basa-basi.

Alya terdiam sepersekian detik, lalu mengangguk cepat. “Siap, Pak.”

Erick tidak memberi penjelasan lebih lanjut.

Ia menunjuk meja di sudut ruangan. “Di sana ada file agenda minggu ini.

Pelajari semuanya.

Dalam satu jam, pastikan kamu tahu isi rapat dan nama-nama klien.”

“Baik, Pak.”

Tanpa bertanya lagi, Alya langsung menuju meja tersebut. Jantungnya berdebar kencang, tapi tangannya cepat membuka dokumen.

Deretan nama asing, tanggal, dan catatan singkat membuat kepalanya pening.

Tapi ia menelan panik itu dalam-dalam dan mulai mencatat.

Lima belas menit kemudian, telepon di meja Erick berdering.

Ia mengangkatnya singkat, lalu menoleh ke arah Alya.

“Kopi hitam. Dua sendok gula. Tanpa susu. Bawa ke ruang rapat. Lima menit lagi.”

“Baik, Pak.”

Alya buru-buru bergegas ke pantry. Tangannya sedikit gemetar saat menuang air panas ke dalam gelas, mengaduk perlahan tapi hati-hati.

Ia terus mengingat: dua gula, tidak lebih, tidak kurang.

Saat kembali, ruang rapat sudah terisi oleh beberapa pria berjas dan wanita dengan tablet digital di tangan.

Ia melangkah cepat, meletakkan kopi di hadapan Erick dengan penuh kehati-hatian.

Tapi tetap saja, sedikit tumpahan menetes ke tepi meja.

Alya terdiam seketika.

Erick tidak berkata sepatah kata pun. Hanya melirik dengan tajam seperti pisau yang tak perlu menggores untuk membuat lawan gemetar.

Ia tidak menyeka tumpahan itu. Ia hanya menatapnya.

Alya menunduk, wajahnya panas karena malu.

---

Lift turun perlahan. Di dalamnya hanya ada Erick dan Alya.

Keheningan menggantung di antara mereka.

"Kamu gugup?" tanyanya, masih tanpa ekspresi.

Alya nyaris tak bisa bicara. “Iya, Pak. Maaf.”

Erick tidak melihat ke arah Alya, matanya tertuju pada panel lift. Suaranya tetap tenang, tapi penuh tekanan.

"Kalau kamu ingin bertahan, pelajari ritme kerja saya. Jangan lambat. Dan jangan buat kesalahan lagi."

Kalimat itu terdengar ringan, tapi menghantam keras. Seolah waktu diberi sedikit untuk membuktikan kelayakan, lalu langsung dicampakkan jika gagal.

Alya menarik napas, mencoba menahan diri.

"Siap, Pak. Saya akan usahakan sebaik mungkin."

Erick melirik sejenak dari sudut matanya, seolah menilai seberapa besar kemungkinan gadis itu akan tumbang di hari kedua.

"Berusaha saja tidak cukup. Saya ingin hasil."

---

Sore menjelang. Lampu-lampu kantor mulai dimatikan. Suasana sunyi, hanya tinggal suara ketikan cepat dari meja Alya. Ia masih sibuk membaca ulang file, mencatat istilah-istilah asing yang belum sempat ia pahami tadi pagi.

Erick keluar dari ruangannya. Jaket hitam tergantung di lengannya. Ia hendak melangkah ke arah lift, namun pandangannya singgah sejenak pada Alya yang masih duduk menunduk dengan pulpen dan kertas di tangan.

“Kamu belum pulang?”

“Saya masih ingin mempelajari file ini, Pak. Supaya besok bisa lebih siap.”

Untuk beberapa detik, tidak ada respons. Erick hanya memandanginya. Lalu sebuah kalimat meluncur dingin, tapi tidak setajam biasanya.

“Jangan paksakan diri. Asisten yang tumbang tidak berguna.”

“Besok pagi, siapkan ringkasan untuk presentasi investor jam sembilan.

Tampilkan statistik dengan grafik, jangan cuma angka. Jangan buat saya kecewa dua kali.”

Alya mengangguk, bibirnya tersenyum tipis meski matanya sudah pedih karena lelah.

“Baik, Pak.”

Ia tidak yakin. Tapi mungkin sekilas ia melihat sudut bibir Erick bergerak sedikit. Bukan senyum.

Hanya kilatan reaksi kecil yang entah nyata atau hanya ilusi akibat kantuk yang mulai menyerang.

“Cih dasar, percuma ganteng kalau dingin“. Batin Alya

Namun bagi Alya, itu cukup. Hari pertamanya berakhir… dan ia masih berdiri.

Itu saja sudah terasa seperti kemenangan.

---

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 9 Batas Antara Profesional Dan Perasaan

    Senin pagi, ruang kerja Erick Alvaro dipenuhi aroma kopi hitam yang masih mengepul di sisi meja. Ruangan itu selalu sunyi, dingin, dan rapi tanpa cela seperti pemiliknya. Alya berdiri di depan pintu dengan dada yang berdegup tak karuan. Ini bukan pertama kalinya ia dipanggil langsung oleh CEO, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ini bukan teguran, bukan juga rapat rutin. Ini evaluasi. Tentang proyek yang baru saja ia kerjakan dan mungkin, tentang dirinya. “Masuk,” suara Erick terdengar tegas dari balik pintu. Alya melangkah masuk, langkahnya teratur tapi hatinya tidak. Ia menunduk sedikit, menyerahkan laporan akhir proyek merger yang baru diselesaikannya. Erick menerima tanpa melihat wajahnya. Ia membuka laporan itu, membacanya sekilas sambil mengerutkan dahi. “Kamu berhasil menyelesaikan proyek ini dengan hasil yang lebih dari ekspektasi awal,” ujarnya tanpa ekspresi. “Tapi bukan berarti kamu sudah aman.” Alya menahan napas. “Saya tidak pernah menganggap posisi saya am

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 8 Ujian Terbesar Alya

    Pagi itu, suasana kantor sedikit berbeda. Alya yang baru kembali dari sakit disambut dengan tatapan campuran ada yang lega, ada yang sinis, dan ada pula yang tampak waspada. Tapi Alya tak peduli. Ia datang dengan tekad baru. Langkahnya mantap menuju ruangannya. Namun sebelum ia duduk, sebuah email masuk dari sekretaris Erick. Subject: URGENT – Project Sunrise Presentation (Assigned to: Alya) Presentasi proyek mitra asing akan dilaksanakan Jumat ini. Segera buat draft awal dan laporan lengkap, lalu sampaikan langsung ke CEO. Alya membacanya dua kali. Proyek Sunrise? Itu proyek terbesar triwulan ini. Biasanya, hanya manager atau Tania yang menangani. Wajahnya menegang. Ia merasa seperti dilempar ke kolam penuh hiu. Namun sebelum ia bisa bertanya apa pun, pintu ruang CEO terbuka. “Alya,” panggil Erick dari ambang pintu. Alya mendekat, gugup. “Ya, Pak?” “Kamu yang akan siapkan dan presentasikan proposal Sunrise. Tania akan ikut meninjau. Hasilnya akan menentukan posisimu ke de

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   Bab 7 Hanya Sehari Tanpa Alya

    Pagi itu kantor terasa berbeda. Tidak ada sapaan pelan dari Alya. Tidak ada langkah kecil yang menyusul masuk ke ruangan Erick membawa berkas agenda. Dan yang paling mencolok tidak ada sosok perempuan berwajah tegang tapi berusaha tenang yang biasa duduk di meja pojok lantai eksekutif. Alya tidak masuk kerja hari ini. Seketika, ritme kantor yang biasanya cepat dan terstruktur mulai terasa kacau. Beberapa laporan telat dikumpulkan, briefing pagi molor lima belas menit, dan satu klien mengeluh karena jadwal meetingnya tertukar. Erick berdiri di balik meja kerjanya, menatap layar ponsel. Tidak ada pesan dari Alya. Ia lalu menekan tombol interkom. “Nadia, kenapa asisten saya belum datang?” “Pak, barusan saya diberi kabar oleh tetangganya. Mbak Alya izin karena demam tinggi.” Erick terdiam sesaat. Tangannya mengepal di atas meja. “Kenapa tidak dari semalam dia beri kabar?” “Katanya semalam drop, Pak. Tidak sempat hubungi siapa-siapa.” Klik. Erick memutus sambungan. Wajahnya

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 6 Dibawah Sorotan Tajam

    Pagi itu, kantor kembali riuh dengan aktivitas. Suara printer, langkah kaki terburu-buru, dan dering telepon bersahutan memenuhi lantai eksekutif. Namun semua itu seketika meredup saat Erick Alvaro melangkah keluar dari ruangannya. Suasana mendadak sunyi, Seperti biasa. Alya berdiri di depan mejanya, bersiap menyerahkan berkas agenda pagi untuk rapat mingguan. Tangan kirinya menggenggam map, sementara tangan kanan menekan denyut nadi di dadanya yang berdebar terlalu keras. “Pak Erick,” sapanya pelan. Erick tidak langsung menjawab. Ia menerima map itu, membukanya sekilas, lalu menoleh padanya dengan tatapan tajam seperti biasa. “Kenapa catatan rapat kemarin belum dirapikan?” tanyanya datar, nyaris dingin. Alya tersentak. “Saya baru menerima ringkasan tambahan dari tim legal pagi ini, Pak. Saya akan lengkapi setelah—” “Jangan beri alasan. Selesaikan sekarang.” Nada suaranya terpotong dan tajam. “Saya butuh itu sebelum rapat pukul sembilan. Jangan ulangi kesalahan kecil jadi

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 5 Tumbuh Atau Tersingkir

    Pagi dimulai ketika Erick masuk ke ruangannya dengan langkah cepat, tanpa melihat ke arah siapa pun. Seperti biasa, suasana mendadak berubah hening setiap kali pria itu melintas. Semua staf menunduk, pura-pura sibuk dengan layar komputer, termasuk Alya. Ia menyerahkan flashdisk berisi ringkasan proyek rahasia di atas meja pria itu tanpa suara. Erick menyambutnya dengan anggukan nyaris tak terlihat, lalu mencolokkan flashdisk itu ke laptopnya dan membaca dalam diam. Beberapa menit yang menegangkan berlalu. Alya berdiri tegak di depan meja, menunggu reaksi. Tapi ekspresi Erick tetap tak berubah. Matanya tajam, jemarinya bergerak cepat, dan wajahnya datar seperti batu. Tak ada pujian, tak ada kritikan. Hanya sunyi. “Cukup,” katanya. “Kamu tak terlalu mengecewakan.” Kalimat itu mungkin terdengar kejam untuk orang biasa. Tapi bagi Alya, itu seperti medali kecil di tengah peperangan yang belum berakhir. Ia hanya mengangguk. “Saya akan terus belajar, Pak.” Erick menutup laptop

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 4 Tugas Rahasia Dari CEO

    Pagi itu, udara di lantai 32 terasa lebih dingin dari biasanya. Alya datang tepat pukul tujuh, jauh sebelum sebagian besar karyawan mulai berdatangan. Ia mengenakan blouse biru muda dan rok pensil hitam yang disetrika rapi. Rambutnya dikuncir simpel, memberi kesan profesional yang ia harapkan bisa menghapus bayang-bayang semalam, bayangan perempuan misterius Tania. Di meja kerja, berkas-berkas yang ia siapkan semalam telah tersusun sempurna. Ia memeriksa ulang semuanya notulensi, materi akuisisi, daftar peserta rapat. Tak boleh ada yang luput. Ini adalah hari penting, dan ia tak ingin memberi Erick satu alasan pun untuk menghancurkan kepercayaan yang baru mulai tumbuh. Pukul delapan lewat lima, pintu lift pribadi terbuka. Langkah cepat terdengar, dan seperti biasa, aura tegas itu memasuki ruangan bahkan sebelum orangnya muncul. “Berkasnya sudah siap?” tanya Erick tanpa basa-basi saat melintas ke ruangannya. “Sudah, Pak,” jawab Alya sambil menyusul masuk ke dalam membawa map do

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status