Home / Romansa / ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN / BAB 5 Tumbuh Atau Tersingkir

Share

BAB 5 Tumbuh Atau Tersingkir

Author: Xykyut
last update Huling Na-update: 2025-06-10 21:36:00

Pagi dimulai ketika Erick masuk ke ruangannya dengan langkah cepat, tanpa melihat ke arah siapa pun.

Seperti biasa, suasana mendadak berubah hening setiap kali pria itu melintas. Semua staf menunduk, pura-pura sibuk dengan layar komputer, termasuk Alya.

Ia menyerahkan flashdisk berisi ringkasan proyek rahasia di atas meja pria itu tanpa suara.

Erick menyambutnya dengan anggukan nyaris tak terlihat, lalu mencolokkan flashdisk itu ke laptopnya dan membaca dalam diam.

Beberapa menit yang menegangkan berlalu.

Alya berdiri tegak di depan meja, menunggu reaksi.

Tapi ekspresi Erick tetap tak berubah. Matanya tajam, jemarinya bergerak cepat, dan wajahnya datar seperti batu.

Tak ada pujian, tak ada kritikan. Hanya sunyi.

“Cukup,” katanya. “Kamu tak terlalu mengecewakan.”

Kalimat itu mungkin terdengar kejam untuk orang biasa.

Tapi bagi Alya, itu seperti medali kecil di tengah peperangan yang belum berakhir. Ia hanya mengangguk.

“Saya akan terus belajar, Pak.”

Erick menutup laptopnya, lalu memandang Alya lebih lama dari biasanya.

“Aku butuh seseorang yang bisa mengelola klien asing untuk proyek joint venture. Kamu akan mewakili saya di pertemuan awal sore ini.”

Alya terperanjat. “Saya, Pak?”

“Ya. Kamu.” Nada suaranya tajam. “Ini bukan permintaan, tapi perintah.”

Alya menunduk dalam. “Baik, Pak.”

---

Sepanjang siang, Alya mempersiapkan diri dengan panik. Ia membaca ulang profil perusahaan asing yang akan menjadi mitra.

Tangannya gemetar saat membolak-balik dokumen, pikirannya berlari ke mana-mana.

Ia belum genap seminggu bekerja di kantor ini, tapi sudah dihadapkan dengan tugas-tugas yang membuat staf senior pun mundur.

Tapi ia tak bisa gagal. Ia tak boleh.

Ketika waktu rapat tiba, Alya duduk di ruang konferensi, berhadapan dengan dua eksekutif asing yang berbicara dalam bahasa Inggris lancar dan cepat.

Ia mencatat, menyimak, dan menjawab dengan hati-hati.

Sekali lagi, ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali tipis salah langkah sedikit saja, ia bisa jatuh.

Sementara itu, dari balik kaca kantor, Erick memperhatikan segalanya.

Ia tak ikut rapat, tapi berdiri jauh di dalam ruangannya, menyaksikan Alya seperti menonton eksperimen.

Ia ingin tahu sejauh mana perempuan itu bisa bertahan.

---

Sepulangnya dari pertemuan itu, Alya duduk lelah di kursinya. Tubuhnya lunglai, tapi pikirannya justru penuh gejolak.

Ia ingin tahu kenapa Erick menugaskannya? Kenapa ia terus diberi ujian demi ujian?

Jawaban itu belum datang, tapi malam ini, satu hal lain datang menghampiri.

Sebuah pesan W******p muncul dari nomor asing.

“Hati-hati, tidak semua yang terlihat tenang di kantor ini benar-benar bersih. Termasuk orang yang kamu layani.”

Alya terpaku. Jantungnya berdetak cepat.

Ia membaca ulang pesan itu berkali-kali. Siapa pengirimnya? Apa maksudnya?

Matanya menatap sekeliling ruangan. Ia merasa diperhatikan. Diintai.

Rasa lelah mendadak tergantikan oleh kegelisahan.

Erick, Tania, dan sekarang pesan misterius?

Dunia kerja yang ia kira hanya penuh deadline dan stres, ternyata lebih rumit dari itu.

Ada permainan kekuasaan. Ada bayang-bayang masa lalu. Dan sekarang, ia terjebak di tengah semuanya.

Alya menatap layar ponselnya. Lalu, untuk pertama kalinya sejak bekerja di kantor ini, ia menghapus pesan itu.

Bukan karena takut tapi karena ia tahu, ia harus mulai bermain dengan cerdas.

Kalau ingin bertahan di dunia Erick Alvaro, ia tak bisa jadi Alya yang dulu.

Ia harus jadi lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih berani dari sebelumnya.

---

Setelah pesan misterius itu terhapus, Alya mencoba kembali fokus bekerja.

Namun pikirannya masih berkelana. Ia membuka ulang laptopnya, seolah mengecek ulang dokumen, padahal hanya mencari pelarian dari kecemasan yang tak bisa ia pahami.

Tiba-tiba suara sepatu hak berhenti di samping mejanya.

“Kerja keras sekali, Mbak Alya,” ujar seseorang dengan nada basa-basi. Suaranya perempuan, sedikit sengau.

Alya menoleh. Itu Nadia, staf HR yang duduk dua ruangan dari tempatnya.

“Oh, halo, Mbak. Iya, ini masih ada beberapa hal yang harus saya bereskan,” jawab Alya sopan.

Nadia mengangguk, tapi wajahnya menyiratkan sesuatu. Seperti ragu. Seperti ingin mengatakan lebih.

“Hati-hati ya…” ucap Nadia pelan, setengah berbisik. “Di sini kadang yang kelihatan tenang itu justru yang paling bahaya.”

Alya mengerutkan alis. “Maksud Mbak?”

Namun Nadia hanya tersenyum datar, lalu melangkah pergi tanpa menjelaskan apa pun.

Alya menatap punggungnya menjauh, merasa semakin tak nyaman. Ini kali kedua dalam sehari ia mendapat peringatan samar.

Pertama dari pesan tak dikenal, dan kini dari Nadia.

Apakah semua ini ada hubungannya dengan proyek merger yang ia kerjakan? Atau… apakah ini tentang Erick?

---

Sore hari menjelang, dan kantor mulai sepi. Alya keluar dari ruangannya untuk mencari kopi di pantry kecil di ujung koridor.

Baru beberapa langkah, ia bertemu Tania.

Wanita itu berdiri bersandar di dinding, dengan senyum menyebalkan di wajahnya.

“Wah, Alya. Kamu benar-benar menikmati peranmu, ya? Sudah merasa penting karena dikasih tugas rapat sama Pak Erick?” sindir Tania tajam.

Alya menahan napas. Ingin sekali ia menjawab pedas. Tapi ia tahu, bukan tempatnya untuk membuat keributan.

“Saya cuma menjalankan tugas,” balas Alya tenang.

Tania mendekat satu langkah. “Dengar ya, manis. Di sini, yang terlalu rajin cepat dibuang. Dan kamu… terlalu menonjol untuk ukuran anak baru.”

Alya menatap Tania lurus-lurus. Kali ini, ia tak mau mundur.

“Kalau saya dibuang karena bekerja terlalu baik, mungkin itu bukan salah saya. Tapi salah sistemnya.”

Tania terdiam sejenak, lalu tersenyum sinis. “Berani juga.”

Kemudian ia pergi begitu saja, meninggalkan aroma parfum mahal dan aura ketegangan yang masih menggantung.

---

Malamnya, Alya kembali ke meja. Lampu-lampu kantor sebagian sudah dimatikan. Hanya bagian ruangannya yang masih terang.

Ia menatap layar laptop, tapi pikirannya kembali pada semua peringatan hari ini.

Nadia. Pesan W******p. Tania.

Dan yang paling membingungkan… Erick Alvaro.

Pria itu begitu dingin, begitu tidak bisa ditebak. Tapi entah mengapa, ia merasa sedang diuji.

Seolah Erick sengaja memberinya tugas demi tugas bukan hanya untuk menguji kemampuan, tapi juga keberanian dan kesetiaannya.

Ia teringat pada masa lalu hari saat ibunya jatuh sakit dan ia kehilangan pekerjaan paruh waktu di kedai kopi hanya karena menolak permintaan tak pantas dari manajernya.

Dunia memang tak pernah berpihak pada perempuan lemah. Dan karena itu, ia tak ingin jadi lemah lagi.

Alya menghela napas panjang. Ia tak tahu siapa yang bisa dipercaya di kantor ini.

Tapi ia tahu satu hal pasti ia tidak boleh menyerah. Tidak sekarang.

Besok pagi, ia akan kembali dengan lebih kuat.

Karena di tempat seperti ini, hanya mereka yang punya tekad paling keras yang akan bertahan.

---

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 9 Batas Antara Profesional Dan Perasaan

    Senin pagi, ruang kerja Erick Alvaro dipenuhi aroma kopi hitam yang masih mengepul di sisi meja. Ruangan itu selalu sunyi, dingin, dan rapi tanpa cela seperti pemiliknya. Alya berdiri di depan pintu dengan dada yang berdegup tak karuan. Ini bukan pertama kalinya ia dipanggil langsung oleh CEO, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ini bukan teguran, bukan juga rapat rutin. Ini evaluasi. Tentang proyek yang baru saja ia kerjakan dan mungkin, tentang dirinya. “Masuk,” suara Erick terdengar tegas dari balik pintu. Alya melangkah masuk, langkahnya teratur tapi hatinya tidak. Ia menunduk sedikit, menyerahkan laporan akhir proyek merger yang baru diselesaikannya. Erick menerima tanpa melihat wajahnya. Ia membuka laporan itu, membacanya sekilas sambil mengerutkan dahi. “Kamu berhasil menyelesaikan proyek ini dengan hasil yang lebih dari ekspektasi awal,” ujarnya tanpa ekspresi. “Tapi bukan berarti kamu sudah aman.” Alya menahan napas. “Saya tidak pernah menganggap posisi saya am

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 8 Ujian Terbesar Alya

    Pagi itu, suasana kantor sedikit berbeda. Alya yang baru kembali dari sakit disambut dengan tatapan campuran ada yang lega, ada yang sinis, dan ada pula yang tampak waspada. Tapi Alya tak peduli. Ia datang dengan tekad baru. Langkahnya mantap menuju ruangannya. Namun sebelum ia duduk, sebuah email masuk dari sekretaris Erick. Subject: URGENT – Project Sunrise Presentation (Assigned to: Alya) Presentasi proyek mitra asing akan dilaksanakan Jumat ini. Segera buat draft awal dan laporan lengkap, lalu sampaikan langsung ke CEO. Alya membacanya dua kali. Proyek Sunrise? Itu proyek terbesar triwulan ini. Biasanya, hanya manager atau Tania yang menangani. Wajahnya menegang. Ia merasa seperti dilempar ke kolam penuh hiu. Namun sebelum ia bisa bertanya apa pun, pintu ruang CEO terbuka. “Alya,” panggil Erick dari ambang pintu. Alya mendekat, gugup. “Ya, Pak?” “Kamu yang akan siapkan dan presentasikan proposal Sunrise. Tania akan ikut meninjau. Hasilnya akan menentukan posisimu ke de

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   Bab 7 Hanya Sehari Tanpa Alya

    Pagi itu kantor terasa berbeda. Tidak ada sapaan pelan dari Alya. Tidak ada langkah kecil yang menyusul masuk ke ruangan Erick membawa berkas agenda. Dan yang paling mencolok tidak ada sosok perempuan berwajah tegang tapi berusaha tenang yang biasa duduk di meja pojok lantai eksekutif. Alya tidak masuk kerja hari ini. Seketika, ritme kantor yang biasanya cepat dan terstruktur mulai terasa kacau. Beberapa laporan telat dikumpulkan, briefing pagi molor lima belas menit, dan satu klien mengeluh karena jadwal meetingnya tertukar. Erick berdiri di balik meja kerjanya, menatap layar ponsel. Tidak ada pesan dari Alya. Ia lalu menekan tombol interkom. “Nadia, kenapa asisten saya belum datang?” “Pak, barusan saya diberi kabar oleh tetangganya. Mbak Alya izin karena demam tinggi.” Erick terdiam sesaat. Tangannya mengepal di atas meja. “Kenapa tidak dari semalam dia beri kabar?” “Katanya semalam drop, Pak. Tidak sempat hubungi siapa-siapa.” Klik. Erick memutus sambungan. Wajahnya

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 6 Dibawah Sorotan Tajam

    Pagi itu, kantor kembali riuh dengan aktivitas. Suara printer, langkah kaki terburu-buru, dan dering telepon bersahutan memenuhi lantai eksekutif. Namun semua itu seketika meredup saat Erick Alvaro melangkah keluar dari ruangannya. Suasana mendadak sunyi, Seperti biasa. Alya berdiri di depan mejanya, bersiap menyerahkan berkas agenda pagi untuk rapat mingguan. Tangan kirinya menggenggam map, sementara tangan kanan menekan denyut nadi di dadanya yang berdebar terlalu keras. “Pak Erick,” sapanya pelan. Erick tidak langsung menjawab. Ia menerima map itu, membukanya sekilas, lalu menoleh padanya dengan tatapan tajam seperti biasa. “Kenapa catatan rapat kemarin belum dirapikan?” tanyanya datar, nyaris dingin. Alya tersentak. “Saya baru menerima ringkasan tambahan dari tim legal pagi ini, Pak. Saya akan lengkapi setelah—” “Jangan beri alasan. Selesaikan sekarang.” Nada suaranya terpotong dan tajam. “Saya butuh itu sebelum rapat pukul sembilan. Jangan ulangi kesalahan kecil jadi

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 5 Tumbuh Atau Tersingkir

    Pagi dimulai ketika Erick masuk ke ruangannya dengan langkah cepat, tanpa melihat ke arah siapa pun. Seperti biasa, suasana mendadak berubah hening setiap kali pria itu melintas. Semua staf menunduk, pura-pura sibuk dengan layar komputer, termasuk Alya. Ia menyerahkan flashdisk berisi ringkasan proyek rahasia di atas meja pria itu tanpa suara. Erick menyambutnya dengan anggukan nyaris tak terlihat, lalu mencolokkan flashdisk itu ke laptopnya dan membaca dalam diam. Beberapa menit yang menegangkan berlalu. Alya berdiri tegak di depan meja, menunggu reaksi. Tapi ekspresi Erick tetap tak berubah. Matanya tajam, jemarinya bergerak cepat, dan wajahnya datar seperti batu. Tak ada pujian, tak ada kritikan. Hanya sunyi. “Cukup,” katanya. “Kamu tak terlalu mengecewakan.” Kalimat itu mungkin terdengar kejam untuk orang biasa. Tapi bagi Alya, itu seperti medali kecil di tengah peperangan yang belum berakhir. Ia hanya mengangguk. “Saya akan terus belajar, Pak.” Erick menutup laptop

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 4 Tugas Rahasia Dari CEO

    Pagi itu, udara di lantai 32 terasa lebih dingin dari biasanya. Alya datang tepat pukul tujuh, jauh sebelum sebagian besar karyawan mulai berdatangan. Ia mengenakan blouse biru muda dan rok pensil hitam yang disetrika rapi. Rambutnya dikuncir simpel, memberi kesan profesional yang ia harapkan bisa menghapus bayang-bayang semalam, bayangan perempuan misterius Tania. Di meja kerja, berkas-berkas yang ia siapkan semalam telah tersusun sempurna. Ia memeriksa ulang semuanya notulensi, materi akuisisi, daftar peserta rapat. Tak boleh ada yang luput. Ini adalah hari penting, dan ia tak ingin memberi Erick satu alasan pun untuk menghancurkan kepercayaan yang baru mulai tumbuh. Pukul delapan lewat lima, pintu lift pribadi terbuka. Langkah cepat terdengar, dan seperti biasa, aura tegas itu memasuki ruangan bahkan sebelum orangnya muncul. “Berkasnya sudah siap?” tanya Erick tanpa basa-basi saat melintas ke ruangannya. “Sudah, Pak,” jawab Alya sambil menyusul masuk ke dalam membawa map do

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status