Share

BAB 2 Ujian Hari Kedua

Author: Xykyut
last update Last Updated: 2025-06-10 21:17:23

---

Jam tujuh pagi, Alya sudah berdiri di depan meja kerjanya. Matanya sembab karena kurang tidur. Ia menghabiskan malam mempelajari nama-nama klien dan istilah asing dalam file agenda yang bahkan tidak ia mengerti maksudnya. Namun ia tetap datang tepat waktu lebih awal dari siapa pun.

Sayangnya, ketepatan waktu saja tidak cukup.

“Laporan ini kacau.”

Suara dingin itu menggema di ruang rapat pagi itu. Erick melempar berkas ke arah meja dengan kasar. Suaranya tenang, tapi penuh tekanan yang mematikan suasana. Semua peserta rapat menunduk. Hening.

Alya berdiri terpaku, jantungnya berhenti seketika.

“Itu... laporan yang saya rekap tadi malam, Pak,” gumam Alya, nyaris tak terdengar.

Erick mengalihkan tatapan tajamnya. “Dan kamu pikir saya akan terkesan dengan data yang tidak akurat ini?”

“Saya sudah mencocokkan dengan file utama, Pak, mungkin ada...”

“Tidak ada mungkin di tempat ini!,” potong Erick, suaranya meninggi. “Kalau kamu tidak bisa membedakan antara ‘tepat’ dan ‘asal jadi’, kamu tidak punya tempat di perusahaan ini.”

Alya menggigit bibirnya. Wajahnya panas, bukan karena malu, tapi karena marah, marah pada dirinya sendiri. Ia sudah berusaha sekuat tenaga, tapi masih saja salah.

"Maaf, Pak," ucapnya lirih.

Erick berdiri, melirik sekilas ke arah peserta rapat. “Rapat selesai. Lain kali, saya tidak ingin melihat dokumen seperti ini lagi.”

Semua orang langsung bergegas keluar. Alya tetap berdiri di tempatnya, menggenggam kedua tangan erat-erat di sisi tubuh. Erick berjalan ke arahnya, dan kali ini berdiri begitu dekat hingga Alya bisa mencium aroma parfum maskulin yang dingin dan tajam.

“Kalau kamu hanya ingin bertahan tiga hari, lakukan pekerjaan seperti tadi,” katanya pelan tapi tajam. “Tapi kalau kamu ingin tetap di sini, jangan ulangi kebodohan semalam.”

Alya mengangguk cepat. “Saya mengerti, Pak. Sekali lagi maaf.” (sambil menundukan muka bukan tidak berani melihat wajah erick tapi dia juga sangat kesal)

Erick tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya berjalan pergi, meninggalkan jejak tekanan yang begitu berat hingga Alya nyaris terisak.

---

Di pantry, Alya menyendiri sejenak. Ia menunduk, memandangi cangkir kopi yang gemetar di tangannya. Bukan karena panas, tapi karena emosi yang mengendap terlalu lama. Ia ingin menangis. Tapi ia tahu, itu hanya akan membuatnya terlihat lemah.

“Apa aku memang sebodoh itu?”

Ia menarik napas panjang. Tidak. Ia tidak sebodoh itu. Ia hanya… belum terbiasa. Dan belum diberi kesempatan untuk benar-benar belajar.

Namun di kantor ini, waktu adalah kemewahan yang tidak dimiliki siapa pun terutama seorang asisten baru yang tak diinginkan.

---

Jam makan siang datang, tapi Alya masih di meja kerjanya. Perutnya kosong, tapi otaknya penuh. Ia sibuk memperbaiki laporan pagi tadi. Tak ada yang menyuruhnya, tapi ia tahu kalau tidak mengambil inisiatif, ia akan dianggap beban lagi.

Saat Erick kembali dari makan siangnya bersama klien asing, ia langsung berjalan ke meja Alya.

“Kamu belum makan?” tanyanya datar.

Alya menggeleng. “Saya masih mengedit laporan pagi tadi, Pak.”

Erick mengambil laporan di tangannya, membaca sekilas, lalu mengangguk singkat. “Lebih baik. Tapi tetap belum cukup.”

Ucapan itu membuat hati Alya terhantam. Ia menunduk, menahan desakan emosi yang nyaris tumpah.

“Baik, Pak.”

Erick mendekat, suaranya pelan namun dingin.

“Jangan kira saya akan mengapresiasi usahamu. Yang saya inginkan adalah hasil sempurna. Kamu pikir saya punya waktu untuk memuji setiap orang yang berusaha? Dunia ini tidak bekerja seperti itu, Alya.”

Alya menatapnya kali ini dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Saya tahu saya bukan yang terbaik, Pak. Tapi saya sedang mencoba.”

“Kamu tidak cukup cepat,” balas Erick, lalu berbalik. “Jangan kejar simpati. Kejar kemampuan.” camkan baik-baik ucapan saya.

Kalimat itu menggantung di kepala Alya cukup lama hingga ia merasa dadanya sesak.

Apakah memang tidak ada celah untuk manusia di dunia kerja seperti ini?

Haruskah semua dilakukan tanpa salah? Tanpa emosi?

Namun ia juga sadar di balik ketegasan itu, ada satu hal yang jelas: Erick tidak akan memaafkan kesalahan. Dan kalau ia tidak menguatkan diri, ia akan digilas.

---

Sore harinya, hujan mengguyur Jakarta. Sebagian besar karyawan sudah pulang. Namun Alya masih menyalin ulang jadwal klien, memastikan tidak ada kesalahan seperti tadi pagi.

Ia sedang mencetak dokumen ketika lampu ruangan Erick mati. Pintu terbuka. Erick keluar dengan jas hitam sudah terlipat di lengannya.

“Kamu masih di sini?”

Alya menoleh cepat. “Ya, Pak. Saya ingin merapikan jadwal meeting minggu depan.”

Erick menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk tipis.

“Besok pagi, siapkan ringkasan untuk presentasi investor jam sembilan. Tampilkan statistik dengan grafik, jangan cuma angka. Jangan buat saya kecewa dua kali.”

Alya mencatat di buku kecilnya. “Siap, Pak.”

Erick berjalan menuju lift. Tapi sebelum pintu menutup, ia menatap Alya lagi.

“Kamu boleh emosional. Tapi jangan biarkan emosi mengganggu pekerjaanmu.”

Kata-kata itu terdengar seperti nasihat, tapi dengan nada perintah. Dan saat pintu lift tertutup, Alya hanya bisa duduk terdiam, memandangi layar komputer yang kini penuh angka.

Untuk pertama kalinya, ia merasa hancur tapi anehnya, itu justru membuatnya ingin bertahan lebih lama. Karena ia tahu, ia tidak bisa dikalahkan hanya dengan satu hari buruk.

“Lihat saja aku akan membuktikan bahwa aku tidak selemah itu.” (gumamnya dengan kesal dan campur aduk).

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 9 Ciuman Pertama

    Hari itu, suasana kantor terasa mencekam. Isu mengenai proyek merger besar yang dijalankan oleh perusahaan Erick mulai bocor ke media. Tuduhan kolusi dan manipulasi data keuangan mencuat, mengguncang kepercayaan publik dan para investor. Alya menyaksikan langsung bagaimana wajah Erick semakin tegang dari jam ke jam, matanya menajam seperti singa yang siap menerkam siapa saja yang menghalangi jalannya. Meski tidak dilibatkan dalam urusan eksekutif, Alya bisa merasakan tekanan yang berat di pundak Erick. Dan anehnya, ia ikut merasa sesak. Sepulang kerja, saat sebagian besar karyawan sudah meninggalkan gedung, Alya masih menunggu di depan ruang kerja Erick dengan membawa secangkir kopi panas. Ia tahu, satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah tetap ada. “Masuk,” suara bariton itu terdengar ketika Alya mengetuk pintu. Erick duduk di belakang mejanya, jasnya sudah dilepas, dasi sedikit longgar, dan lengan kemejanya tergulung. Wajahnya kusut, tapi masih memancarkan kharisma yang membua

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 8 Konflik Kepentingan

    Alya menatap layar laptop di hadapannya dengan pandangan kosong. Matanya terasa panas, bukan karena kantuk atau lelah, tapi karena tekanan yang perlahan mulai menggerogoti dirinya dari dalam. Selama beberapa minggu terakhir, ritme pekerjaannya sebagai asisten pribadi Erick Alvaro semakin menggila. Jadwal rapat yang padat, revisi dokumen yang tak berkesudahan, hingga pertemuan dengan klien yang berubah-ubah menit terakhir—semuanya membuatnya nyaris kehilangan napas. Tapi bukan itu yang membuat jantung Alya berdegup lebih cepat hari ini. Bukan soal kerjaan yang menumpuk, melainkan desas-desus yang mulai beredar di kantor. "Alya itu bisa dekat sama Pak Erick pasti karena ada hubungan pribadi..." "Ssst, jangan ngomong gitu. Tapi emang aneh sih, biasanya Pak Erick tuh susah banget deket sama orang." "Dia tuh bukan siapa-siapa, cuma lulusan biasa... Kok bisa sih jadi asisten langsung CEO?" Bisikan-bisikan itu—yang awalnya hanya sayup di lorong pantry—kini semakin keras, bahkan menyusu

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   Bab 7 Hati Dalam Diam

    Alya memandangi layar laptopnya, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Sejak insiden makan malam dengan Erick dan kemunculan Tania yang mengejutkan, perasaannya tak karuan. Erick memang sudah menegaskan bahwa hubungannya dengan Tania telah lama berakhir, namun entah mengapa, bayangan wanita itu masih mengganggu. Hari-hari berlalu, dan Erick tetap menjadi dirinya yang dingin dan perfeksionis. Tapi Alya tak bisa membohongi diri. Perhatiannya kini selalu tertuju pada pria itu. Ia menangkap hal-hal kecil yang dulu tak pernah ia sadari—seperti cara Erick memperhatikan detil pekerjaannya, atau diam-diam membawakan kopi tanpa berkata sepatah kata pun saat dia lembur malam-malam. Namun, perasaan itu ia simpan rapat. Batas profesionalitas masih membentang jelas di antara mereka. Lagipula, Erick tak pernah memberi tanda bahwa ia menginginkan hubungan lebih dari sekadar atasan dan bawahan. Suatu sore, saat hujan mengguyur kota, Alya mendapati dirinya sendirian di kantor. Hampir semua kar

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 6 Tembok yang Retak

    Alya menatap liontin perak itu dalam diam. Huruf A kecil yang terukir di sana seperti menandakan sesuatu yang belum sempat diucapkan Erick secara langsung. Entah itu tanda terima kasih, atau… lebih dari itu.Pagi harinya, ia mengenakan liontin itu di balik kemejanya. Tak mencolok, namun cukup membuat hatinya terasa hangat. Entah bagaimana, itu menjadi pengingat bahwa hatinya bukan satu arah. Ada balasan, meski Erick belum sepenuhnya mengatakannya.---Hari itu, kantor kembali sibuk. Erick dijadwalkan menghadiri pertemuan penting dengan mitra internasional yang berpotensi membuka peluang besar. Alya, tentu saja, kembali menjadi bayang-bayangnya—sang asisten yang mengatur jadwal, dokumen, dan segala kebutuhan sang bos.Namun ada yang berbeda dari Erick hari ini. Tatapannya tak setajam kemarin. Beberapa kali mata mereka bertemu, dan Erick tersenyum—sedikit, tapi cukup membuat pipi Alya merona.“Alya,” panggil Erick saat mereka berada di mobil menuju hotel tempat pertemuan.Alya menoleh c

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 5 Dekat Tapi Jauh

    Hubungan Alya dan Erick seperti benang tipis yang mulai kusut. Setelah Tania muncul kembali, Erick berubah—tak lagi mudah didekati, suaranya kembali tajam, dan ekspresi dingin itu… kembali mendominasi hari-hari Alya di kantor.Tapi yang paling menyakitkan bukanlah kemarahan Erick, melainkan sikap acuhnya.---“Kopi hitam tanpa gula,” Alya menyodorkan cangkir kepada pria itu pagi ini, seperti biasa.Erick hanya mengangguk, tidak berkata sepatah pun. Tatapannya tertuju pada layar laptopnya, dan tangannya sibuk membolak-balik laporan.Alya berdiri sejenak, berharap akan ada percakapan kecil seperti sebelumnya. Tapi harapan itu hanya menjadi diam yang menggantung di udara.“Kalau begitu, saya ke meja saya dulu, Pak.”Tidak ada jawaban.Langkah Alya pelan-pelan menjauh, tapi di dalam hatinya, guncangan itu terasa seperti badai kecil. Ia tidak tahu apakah ia melakukan kesalahan, atau memang hanya karena kehadiran Tania yang telah mengembalikan Erick ke tembok-tembok masa lalunya.---Di rua

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 4 Luka yang Terbungkus Diam

    Sejak malam itu, Alya merasa ada yang berubah. Bukan hanya dari cara Erick berbicara padanya, tapi juga caranya memandang dunia. Tatapan pria itu tidak lagi semata-mata penuh tuntutan. Ada kelam yang tak terucap, dan ia tahu... ia sudah menyentuh sisi yang selama ini dijaga rapat.Namun semakin ia mengenal sisi manusiawi Erick, semakin Alya menyadari bahwa pria itu menyimpan lebih dari sekadar trauma keluarga.---Hari Senin pagi, kantor kembali sibuk. Bunyi sepatu beradu di lantai marmer, printer berdengung, dan telepon terus berdering. Alya menyambut pagi dengan dua cangkir kopi—satu untuknya, satu untuk Erick.“Jangan terlalu manis,” ucap Erick saat menerima cangkirnya.Alya tersenyum kecil. “Saya sudah mulai hafal, Pak.”Erick duduk sambil membuka laptopnya. Tapi sebelum ia mulai bekerja, ia melirik Alya. “Kamu selalu datang lima belas menit sebelum jam kantor. Kenapa?”Alya terdiam sesaat. Ia tak menduga pertanyaan itu.“Karena saya tidak suka terburu-buru. Dan... saya butuh wakt

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status