Home / Romansa / ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN / BAB 2 Rapat, Teguran, Tekanan

Share

BAB 2 Rapat, Teguran, Tekanan

Author: Xykyut
last update Last Updated: 2025-06-10 21:17:23

Keesokan paginya Alya berdiri di depan lift dengan tumpukan berkas di tangan.

Tumitnya terasa pegal, tapi tak sebanding dengan jantungnya yang berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya.

Hari ini ia akan ikut rapat dengan klien besar dan duduk di samping sang CEO yang lebih dingin dari es Antartika.

Saat pintu lift terbuka, ia hampir tersandung masuk.

Napasnya ditahan begitu melihat Erick sudah berdiri di dalam, berdasi rapi dengan jas hitam yang seperti menyatu sempurna dengan karismanya.

Tatapannya tajam menatap layar ponsel, tapi tetap saja terasa menusuk.

“Jangan terlambat,” ucapnya tanpa menoleh, seakan sudah tahu siapa yang masuk.

“Tidak, Pak,” sahut Alya cepat, menunduk sambil memeluk map di dadanya.

Perjalanan singkat di lift itu terasa seperti seabad. Erick tak berkata sepatah kata pun, dan Alya tak berani menarik napas terlalu keras.

suasana yang begitu enggan di lalui Alya.

Begitu pintu terbuka di lantai rapat, ia langsung mengikuti langkah panjang Erick, berusaha tetap terlihat tenang meski lututnya gemetar dengan tumit yang sakit.

Ruang rapat sudah penuh oleh jajaran direksi dan dua orang klien pria dari perusahaan partner.

Semuanya tampak mahal jam tangan mereka, setelan jas mereka, bahkan senyum basa-basi mereka. Alya duduk di pojok dekat Erick, mencatat cepat isi pembicaraan yang terasa seperti bahasa alien.

Erick berbicara dengan percaya diri. Tegas, to the point, dan tanpa basa-basi.

Suaranya dalam, berat, dan jelas membuat semua diam ketika ia mulai membuka pembicaraan.

Alya berusaha mengikuti, meski istilah bisnis yang dilontarkan membuat kepalanya berdenyut tak karuan.

“Catat angka itu,” bisik Erick tiba-tiba, suaranya nyaris tak terdengar, tapi nada dinginnya menancap di tulang.

Alya buru-buru mencatat angka yang disebut klien barusan.

Tapi karena gugup, ia salah menuliskan nol terakhir. Ia sadar setelahnya, tapi rapat terus berjalan dan tak ada kesempatan mengoreksi.

Setelah rapat selesai dan semua berdiri untuk bersalaman, Erick tetap duduk.

Ia menoleh ke Alya dengan ekspresi dingin yang tak terbaca.

“Kamu tahu apa yang barusan kamu catat?” tanyanya pelan.

Alya menatap catatannya. Ia ragu. “Angka penawaran investasi... dua puluh lima juta dolar?”

Erick menyeringai sinis. “Lihat baik-baik. Kamu tulis dua koma lima juta. Itu artinya kamu mengurangi nilai proyek ratusan miliar. Dalam rapat seperti ini, kesalahanmu bisa bikin kami ditertawakan.”

Alya merasa darahnya menguap dari wajahnya. Ia langsung berdiri, membungkuk sedikit. “Maafkan saya, Pak. Saya...—”

“Jangan minta maaf. Perbaiki. Dan jangan ulangi,”

potong Erick tajam.

“Kalau kamu tidak bisa mencatat angka dengan benar, kamu tidak layak berada di ruangan ini.”

Alya menunduk dalam. Suara orang-orang yang masih mengobrol di luar ruangan seakan jadi gema kosong di telinganya.

Di dalam, ia merasa seperti sedang ditelanjangi secara profesional. Pandangan Erick menusuk, dingin, dan tak memberi ruang untuk rasa kasihan.

Setelah Erick berdiri dan melangkah keluar, Alya menghela napas panjang. Pipinya panas, matanya berair, tapi ia menahan semuanya.

Tidak hari ini. Tidak di depan mereka.

Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan hati yang mulai berteriak diam-diam. Harga dirinya tercabik, tapi bukan berarti ia akan tumbang.

---

Di pantry, ia berdiri sendiri sambil menuang kopi yang hampir tumpah karena tangannya bergetar.

Suara pintu terbuka membuatnya tersentak. Ia buru-buru memalingkan wajah, menyeka ujung matanya agar tak terlihat lemah.

Erick masuk, diam-diam mengamati. “Kalau setiap kesalahan membuatmu gemetar begitu, kamu tidak akan bertahan.”

Alya menoleh pelan. Matanya masih menyimpan sisa rasa sakit yang belum sempat keluar, tapi kali ini ada nyala kecil di dalamnya semacam perlawanan yang mulai tumbuh.

“Saya tidak takut salah, Pak. Tapi saya takut tidak diberi kesempatan memperbaiki.”

Erick tersentak dan diam sejenak, lalu mengambil botol air dari lemari pendingin. Ia menatap Alya seperti menilai ulang, namun tetap tanpa ekspresi yang berarti.

“Kamu punya tiga hari. Gunakan baik-baik,” ucapnya pelan tapi tajam, lalu keluar begitu saja.

Tak ada kata semangat, tak ada empati. Hanya penilaian dingin dari seorang CEO yang menuntut kesempurnaan.

Alya mengepalkan tangan dengan berbagai unek-uneknya dia bergumam kesal “tcih“.

Hatinya bergemuruh antara ingin menangis dan ingin menantang pria itu secara langsung. Tapi satu hal yang pasti ia tidak akan menyerah semudah itu.

Harga dirinya terlalu tinggi untuk dibuang hanya karena satu kesalahan angka.

---

Sore itu, ia masih duduk di meja kecilnya, merevisi catatan rapat sambil membuka ulang materi yang tak ia pahami.

Kali ini, ia mencatat tiga kali lebih teliti. Ia membuka dua browser sekaligus, mencocokkan istilah keuangan dan laporan yang ia dengar tadi. Meski matanya pedih, ia bertahan.

Hampir semua karyawan sudah pulang. Lantai eksekutif mulai sepi. Tapi lampu di atas meja Alya tetap menyala.

Tangannya sudah lelah, tapi pikirannya masih menyusun strategi agar tak mengulangi kesalahan sekecil apa pun.

Ia bahkan menulis ulang seluruh catatannya dua kali dengan tinta berbeda untuk menandai poin penting.

Ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal:

“Catatan presentasi CEO hari ini. Koreksi yang kamu buat tadi sudah saya cek. Bagus. – E”

Alya menatap layar itu cukup lama. Hatinya sedikit tenang, walau ia tahu, perang sesungguhnya baru saja dimulai.

Sekecil apa pun pengakuan, ia akan jadikan itu sebagai bahan bakar untuk bertahan.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 9 Batas Antara Profesional Dan Perasaan

    Senin pagi, ruang kerja Erick Alvaro dipenuhi aroma kopi hitam yang masih mengepul di sisi meja. Ruangan itu selalu sunyi, dingin, dan rapi tanpa cela seperti pemiliknya. Alya berdiri di depan pintu dengan dada yang berdegup tak karuan. Ini bukan pertama kalinya ia dipanggil langsung oleh CEO, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ini bukan teguran, bukan juga rapat rutin. Ini evaluasi. Tentang proyek yang baru saja ia kerjakan dan mungkin, tentang dirinya. “Masuk,” suara Erick terdengar tegas dari balik pintu. Alya melangkah masuk, langkahnya teratur tapi hatinya tidak. Ia menunduk sedikit, menyerahkan laporan akhir proyek merger yang baru diselesaikannya. Erick menerima tanpa melihat wajahnya. Ia membuka laporan itu, membacanya sekilas sambil mengerutkan dahi. “Kamu berhasil menyelesaikan proyek ini dengan hasil yang lebih dari ekspektasi awal,” ujarnya tanpa ekspresi. “Tapi bukan berarti kamu sudah aman.” Alya menahan napas. “Saya tidak pernah menganggap posisi saya am

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 8 Ujian Terbesar Alya

    Pagi itu, suasana kantor sedikit berbeda. Alya yang baru kembali dari sakit disambut dengan tatapan campuran ada yang lega, ada yang sinis, dan ada pula yang tampak waspada. Tapi Alya tak peduli. Ia datang dengan tekad baru. Langkahnya mantap menuju ruangannya. Namun sebelum ia duduk, sebuah email masuk dari sekretaris Erick. Subject: URGENT – Project Sunrise Presentation (Assigned to: Alya) Presentasi proyek mitra asing akan dilaksanakan Jumat ini. Segera buat draft awal dan laporan lengkap, lalu sampaikan langsung ke CEO. Alya membacanya dua kali. Proyek Sunrise? Itu proyek terbesar triwulan ini. Biasanya, hanya manager atau Tania yang menangani. Wajahnya menegang. Ia merasa seperti dilempar ke kolam penuh hiu. Namun sebelum ia bisa bertanya apa pun, pintu ruang CEO terbuka. “Alya,” panggil Erick dari ambang pintu. Alya mendekat, gugup. “Ya, Pak?” “Kamu yang akan siapkan dan presentasikan proposal Sunrise. Tania akan ikut meninjau. Hasilnya akan menentukan posisimu ke de

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   Bab 7 Hanya Sehari Tanpa Alya

    Pagi itu kantor terasa berbeda. Tidak ada sapaan pelan dari Alya. Tidak ada langkah kecil yang menyusul masuk ke ruangan Erick membawa berkas agenda. Dan yang paling mencolok tidak ada sosok perempuan berwajah tegang tapi berusaha tenang yang biasa duduk di meja pojok lantai eksekutif. Alya tidak masuk kerja hari ini. Seketika, ritme kantor yang biasanya cepat dan terstruktur mulai terasa kacau. Beberapa laporan telat dikumpulkan, briefing pagi molor lima belas menit, dan satu klien mengeluh karena jadwal meetingnya tertukar. Erick berdiri di balik meja kerjanya, menatap layar ponsel. Tidak ada pesan dari Alya. Ia lalu menekan tombol interkom. “Nadia, kenapa asisten saya belum datang?” “Pak, barusan saya diberi kabar oleh tetangganya. Mbak Alya izin karena demam tinggi.” Erick terdiam sesaat. Tangannya mengepal di atas meja. “Kenapa tidak dari semalam dia beri kabar?” “Katanya semalam drop, Pak. Tidak sempat hubungi siapa-siapa.” Klik. Erick memutus sambungan. Wajahnya

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 6 Dibawah Sorotan Tajam

    Pagi itu, kantor kembali riuh dengan aktivitas. Suara printer, langkah kaki terburu-buru, dan dering telepon bersahutan memenuhi lantai eksekutif. Namun semua itu seketika meredup saat Erick Alvaro melangkah keluar dari ruangannya. Suasana mendadak sunyi, Seperti biasa. Alya berdiri di depan mejanya, bersiap menyerahkan berkas agenda pagi untuk rapat mingguan. Tangan kirinya menggenggam map, sementara tangan kanan menekan denyut nadi di dadanya yang berdebar terlalu keras. “Pak Erick,” sapanya pelan. Erick tidak langsung menjawab. Ia menerima map itu, membukanya sekilas, lalu menoleh padanya dengan tatapan tajam seperti biasa. “Kenapa catatan rapat kemarin belum dirapikan?” tanyanya datar, nyaris dingin. Alya tersentak. “Saya baru menerima ringkasan tambahan dari tim legal pagi ini, Pak. Saya akan lengkapi setelah—” “Jangan beri alasan. Selesaikan sekarang.” Nada suaranya terpotong dan tajam. “Saya butuh itu sebelum rapat pukul sembilan. Jangan ulangi kesalahan kecil jadi

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 5 Tumbuh Atau Tersingkir

    Pagi dimulai ketika Erick masuk ke ruangannya dengan langkah cepat, tanpa melihat ke arah siapa pun. Seperti biasa, suasana mendadak berubah hening setiap kali pria itu melintas. Semua staf menunduk, pura-pura sibuk dengan layar komputer, termasuk Alya. Ia menyerahkan flashdisk berisi ringkasan proyek rahasia di atas meja pria itu tanpa suara. Erick menyambutnya dengan anggukan nyaris tak terlihat, lalu mencolokkan flashdisk itu ke laptopnya dan membaca dalam diam. Beberapa menit yang menegangkan berlalu. Alya berdiri tegak di depan meja, menunggu reaksi. Tapi ekspresi Erick tetap tak berubah. Matanya tajam, jemarinya bergerak cepat, dan wajahnya datar seperti batu. Tak ada pujian, tak ada kritikan. Hanya sunyi. “Cukup,” katanya. “Kamu tak terlalu mengecewakan.” Kalimat itu mungkin terdengar kejam untuk orang biasa. Tapi bagi Alya, itu seperti medali kecil di tengah peperangan yang belum berakhir. Ia hanya mengangguk. “Saya akan terus belajar, Pak.” Erick menutup laptop

  • ASISTEN PRIBADI SANG BOS DINGIN   BAB 4 Tugas Rahasia Dari CEO

    Pagi itu, udara di lantai 32 terasa lebih dingin dari biasanya. Alya datang tepat pukul tujuh, jauh sebelum sebagian besar karyawan mulai berdatangan. Ia mengenakan blouse biru muda dan rok pensil hitam yang disetrika rapi. Rambutnya dikuncir simpel, memberi kesan profesional yang ia harapkan bisa menghapus bayang-bayang semalam, bayangan perempuan misterius Tania. Di meja kerja, berkas-berkas yang ia siapkan semalam telah tersusun sempurna. Ia memeriksa ulang semuanya notulensi, materi akuisisi, daftar peserta rapat. Tak boleh ada yang luput. Ini adalah hari penting, dan ia tak ingin memberi Erick satu alasan pun untuk menghancurkan kepercayaan yang baru mulai tumbuh. Pukul delapan lewat lima, pintu lift pribadi terbuka. Langkah cepat terdengar, dan seperti biasa, aura tegas itu memasuki ruangan bahkan sebelum orangnya muncul. “Berkasnya sudah siap?” tanya Erick tanpa basa-basi saat melintas ke ruangannya. “Sudah, Pak,” jawab Alya sambil menyusul masuk ke dalam membawa map do

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status