“Aku enggak pernah takut bercerai dari kamu, Ta,” kata Bhumi seraya mendekat pada sosok wanita yang masih berstatus istrinya itu. “Tapi aku minta kamu nikah dulu di depan Ibu. Seenggaknya, kalaupun kita berpisah seperti yang kamu mau,” Bhumi menyeringai seolah-olah bisa kembali menyetir Tata lewat kata-katanya. “Ibu harus tahu.”
Mendengar ucapan Bhumi, membuat Tata makin lekat menatap mata suaminya itu. Tanpa sadar, ia tarik ujung bibirnya sedikit.
“Mari ... kita selesaikan di depan ibumu, Bhumi.”
Tata tahu, alasan kedatangan Bhumi bukan sebatas untuk mendengar ocehannya. Namun, persidangan utama selain di depan pengadilan agama nantinya.
Sejak ia datang ke rumah itu, tak ada yang menyambutnya dengan senyum. Baik Nilam j
Jagad tak tahu harus mengatakan apa. Ia sungguh merasa tak enak hatinya karena tingkah sang putri. Bagaimana bisa Echa mengamuk sejadi-jadinya saat tahu kalau Tata tak akan satu mobil dengannya. Beruntung rekan kerjanya seperti memahami kalausang putritak bisa hanya dibujuk sekadar kata. Apalagi ia tagih janji mainnya bersama Tata.“Saya benar-benar minta maaf, Ta,” kata Jagad sesaat setelah mobil yang mereka kendarai berhenti di depan rumah dua lantai yang Tata arahkan alamatnya.“Enggak apa, Pak.” Tata tersenyum. “Saya hitung sudah tiga kali Bapak minta maaf karena hal ini aja.” Ia bersiap untuk turun. “Saya juga berterima kasih sudah diantar pulang.”“Sudah keharusan saya kalau itu.”Jagad melepaskan diri dari tautan seat be
Tata sekali lagi memeriksa berkas jalannya proses pembangunan gedung.Meski bukan kuasanya,tetapi gedung ini nantinya akan dijadikan kantor yang mengepalai area marketing di wilayah Sumatra. Juga server cadangan untuk membagi kapasitas layanan mengingat beban di Jakarta cukup berat. Makanya BoD meminta mereka berdua untuk mengecek bagaimana pembangunan di sana.“Pak Jimmy enggak terima alasan seperti ini, sih,” kata Tata pelan sembari membenahi kacamatanya. “Pak Jagad tahu sendiri, kan, Pak Jimmy bagaimana.”“Saya paham, Ta.” Jagad menggosok tangannya pelan. Matanya menatap tegas pada dua orang yang bertanggung jawab atas pembangunan gedung berlantai sepuluh ini dengan tajamnya. “Bu Ratih kami percayakan untuk proyek ini, tapi kenapa molornya terlalu lama?”“Seperti yang saya jelaskan,
Tata menarik napas pelan. Memastikan barang bawaannya tak ada yang tertinggal, terutama ponsel dan dompet. Agak ragu juga ia untuk turun ke lobi,tetapi mau bagaimana lagi? Dirinya telanjur menyetujui ajakan Jagad makan malam di luar sekaligus menjajal kuliner di sekitar hotel.Belum Tata lupa bagaimana pembicaraan yang belum ada tiga jam berlalu.“Saya harap ajakan ini enggak ada penolakan, Ta. Anggap saja ucapan terima kasih karena semalam mau direpoti Echa.”Wanita itu meringis jadinya. Padahal ia tak melakukan banyak hal; hanya membujuk Echa agar tak menangis, menjanjikan bermain bersama ketika ia kembali nanti, juga sedikit mendongeng sampai sang bocah terlelap tidur.Sepanjang pagi hingga siang, tak ada kendala berarti selama jalannya meeting dan bertemu pihak Jiayi. Semuanya berjalan lancar dan sesuai deng
“Semoga dinasmu menyenangkan,” kata Jenni sembari tersenyum semringah, juga tak lupa tangannya melambai penuh semangat sebelum Tata benar-benar menaiki taksi pesanannya.“Apaan, sih, kamu,” sungut Tata,tetapi tak bisa membuat dirinya kesal diperlakukan seperti itu oleh Jenni.“Nanti aku kasih rekomendasi tempat yang seru untuk refreshing meski singkat.”“Aku kerja, Jen.”“Aku tahu,” sela Jenni tak kalah cepat. “Sudah sana masuk. Jangan sampai ketinggalan pesawat. Semuanya sudah kamu bawa, kan? Jangan sampai ada yang tertinggal, Ta.”Ah ... memiliki Jenni di sekitar hidup Tata yang mengenaskan ternyata bisa membuatnya tak henti-henti bersyukur.“A
“Astaga, Tuhan!” Jenni memekik begitu Tata keluar dari mobilnya. “Kamu kena badai di mana, Ta?”Tata bingung mendengar sambutan Jenni. “Mana ada.”Jenni terkekeh. “Badai rumah tangga, Ta.”Bibir Tata jadi mencebik. “Sembarangan.”“Sudah-sudah, ayo kita masuk! Aku baru selesai masak makan malam.” Jenni segera menggamit tangan Tata agarwanita itumengikuti langkahnya.[d1]Rumah yang kadang Tata kunjungi masih tampak sama dari terakhir kunjungannya ke sini. Dominasi broken white menyambut mereka saat memasuki ruang makan.“Kamarmu sudah aku siapkan, Ta. Nanti biar Pak Har yang angkut barang kamu.”
Tata:Jen, sementara waktu aku tinggal di rumah kamu, ya. Senin aku pindah ke kos dekat kantor.Jenni:Ada apa memangnya? Kamu di mana? Jangan bikin aku khawatir, Ta.Tata:Nanti aku kabari.Jenni:Keep contact terus, Ta. Rumahku selalu terbuka untuk kamu.Setelah membaca pesan terakhir dari Jenni, ia kembali memasukkan ponselnya ke saku. Mobil yang sejak tadi ia kendarai sudah terhenti tepat di depan gerbang rumahnya. Gerbang hitam yang cukup tinggi sudah ia buka lebar. Sengaja mobilnya tak ia masukkan dalam garasi. Baginya segala hal yang ada di rumah ini sud