Selesai makan malam, Helsa memutuskan untuk naik ke kamarnya. Seperti malam-malam sebelumnya, gadis itu selalu sendiri. Seharian ini Akmal tidak menghubungi Helsa, biasanya jika hari minggu seperti sekarang, Akmal akan meminta Helsa ke rumahnya.
Dering panggilan dari handphonenya mengalihkan pandangannya, Helsa segera meraih benda pipih itu dari nakas. Dari layar, nama Ando terpampang dengan jelas. Tumben sekali Ando menghubunginya.
"Hallo, An."
"Bawa pulang cowok lu sekarang," ujar Ando dari seberang sana.
" Gue nggak ngerti, maksudnya gimana?
"Akmal mabuk berat di rumah gue. Nggak tahu punya masalah apa lagi."
Helsa berdecak kesal, "kenapa lagi sih itu orang?!Gue kesana sekarang," ucap Helsa.
"Ok, kita tunggu."
Helsa memutuskan panggilan itu, dan beranjak dari ranjangnya. Gadis itu mengambil dompet, hoodie, dan keluar dari kamarnya. Sebelum dia berangkat, terlebih dahulu memberitahu mbak Ana.
"Mba Ana, Echa keluar bentar. Ada urusan," lapornya pada mbak Ana yang masih sibuk di dapur.
"Iya, tapi bawah kunci rumah kan?"
"Iya. Echa berangkat," katanya dan berlalu meninggalkan mbak Ana.
Ini sudah pukul delapan malam, jalanan masih cukup ramai. Helsa berdiri di gerbang rumah menunggu taxi online yang dia pesan.
Kenapa malam ini Helsa tidak mencurigainya? Jika tanpa kabar, kekasihnya selalu yang berbuat aneh-aneh, misalkan minum sampai mabuk seperti ini. Helsa tidak melarangnya, tapi harus tahu batasan. Tapi, malam ini pemuda itu membuat Helsa ingin mencekiknya.
"Mbak Helsa, ya?" tanya sopir online yang dipesan Helsa.
"Iya, pak."
Bapak itu tersenyum ramah padanya, segera Helsa memasuki mobil avanza putih tersebut. Mobil meninggalkan pelataran rumah. Waktu yang ditempuh menuju rumah Ando biasanya tiga puluh menit, kalau saja tidak macet. Helsa tampaknya gelisah. Sekali lagi dia mencari list panggilan Ando, dia menghubungi sahabatnya lagi.
"Hallo, An. Akmal masih disana, kan? Gue udah di jalan."
"Masih. Sebelum lo datang, dia nggak akan berhenti minum."
"Iya, iya. Udah ya, tahan dia nggak usah minum."
Sambungan telepon terputus, Helsa menggeram saat tahu Akmal masih terus menyentuh barang haram itu.
***
Mobil avanza putih itu berhenti tepat pada gerbang rumah bercat biru, Helsa segera membayar tagihan perjalanannya. Gadis itu cepat-cepat turun dari mobil, membuka gerbang dan berjalan cepat memasuki rumah Ando.
Pekarangan rumah Ando begitu padat diisi dengan motor milik anak-anak SMA Harapan, lebih tepatnya teman-temannya Akmal.
Di ruang tamu, Helsa bisa melihat begitu banyaknya mereka melingkari meja yang diatasnya banyak minuman beralkohol. Mata gadis itu jatuh pada sosok pemuda yang sedang meneguk satu gelas minuman tersebut.
Gadis itu berdehem, membuat banyak mata menatapnya penuh.
"Eh, ibu negara datang. Mau jemput, ya?" goda Kevin.
Akmal belum menyadari kehadiran kekasihnya. Bagaimana bisa, sedangkan dia mabuk berat.
"Sa, cepat lo bawah pulang. Bisa bolong lambungnya kalau dibiarin terus," sambung Ando.
"Kalian berantem?" tanya Arjun, pemuda itu bahkan tidak menyentuh minuman haram disana.
Helsa berjalan mendekati Akmal yang masih asyik dengan minumannya. Matanya berkaca-kaca mendapati Akmal yang terlihat berantakan. Helsa sudah tahu jika seperti ini, Akmal punya masalah lagi dengan orangtuanya. Meskipun jauh, papa dan mamanya bisa perang mulut dengan dia.
"Al ... Pulang," tutur Helsa dengan lembut.
Akmal mendongak, "sayang, ngapain kesini?"
"Kamu yang ngapain disini? Ayo, pulang!" Helsa masih bisa menahan amarahnya, padahal sejak tadi emosi sudah menggebu.
Akmal merengek seperti anak kecil, mengguncang-guncang tangan kekasihnya. "Aku masih lanjut, kamu pulang aja. Nggak enak sama yang lain."
"Lo pulang aja, Al. Helsa udah jemput," ujar Ando.
"Nggak! Kamu pulang aja, aku disini."
Helsa kesal. Kesabarannya sudah diambang batas. Gadis itu meraih gelas berisi alkohol yang hendak diteguk kekasihnya dan membanting ke lantai.
"AKMAL MALIK!!"
Semua mata tertuju pada Helsa. Suara teriakan itu membuat semuanya hening, tidak pernah Helsa semarah ini pada Akmal.
"Hmm," gumam Akmal
"Pulang sekarang!" teriak Helsa.
"Iya, iya ... Bawel banget sih. Kunci vespa sama dompet mana?"
"Udah aku kantongin, sekarang pulang."
Jika Helsa sudah berteriak namanya secara lengkap, dalam kondisi mabuk sekalipun Akmal akan mengiyakan permintaan kekasih bawelnya itu. Lihat, dia sudah berdiri, bersiap untuk pulang.
"Guys, gue pamit. Ibu negara udah jemput," ujarnya dalam kondisi setengah sadar.
"Hati-hati lo berdua. Helsa, lo aja yang bawa vespanya, bahaya Akmal mabuk."
"Kita pakai taxi. An, titip vespa di rumah lo dulu. Besok dia bawa pulang." Ando mengangguk patuh, lagian anak-anak ini pasti nginap di rumahnya.
Akmal berjalan disamping Helsa, dengan langkah sempoyongan pemuda itu memeluk erat pinggang kekasihnya. Tangan Helsa menuntun jalannya agar tidak tertabrak apapun.
Sembari menunggu taxi yang sudah dipesannya, gadis itu merapikan kondisi kekasihnya yang terlihat berantakan. Helsa menyugar rambut Akmal, merapikan sedikit bajunya.
"Kamu kenapa sih kalau punya masalah selalu mabuk? Udah ngerasa paling jagoan?" tanya Helsa dengan kekesalannya.
"Kita pulang pakai vespa aja, lama banget taxinya," ujar Akmal tidak menggubris pertanyaan Helsa.
"Kamu mau bunuh aku?" tanya Helsa.
"Bunuh? Bisa gila aku tanpa kamu," kekehnya. Helsa tahu Akmal mabuk, biarkan saja dia berbicara semaunya.
"Mbak Helsa, ya?" tanya supir taxi yang baru saja tiba.
"Bapak mau goda pacar saya? Jangan main-main sama saya pak," ancamnya pada supir taxi tersebut.
"Jangan didengerin, pak. Orangnya lagi mabuk," ucap Helsa.
"Nggak apa-apa, mba."
Helsa menuntun Akmal masuk ke mobil, lalu duduk disampingnya membiarkan Akmal tidur pada pahanya.
"Jalan, pak."
Mobil kemudian meninggalkan pelataran rumah Ando, bersama dengan Akmal yang terus meracau tidak jelas.
"Pacarnya mabuk, mba?" tanya supir tersebut.
"Iya, pak. Ada acara di rumah temannya, jadi dia minum kebanyakan."
Sopir itu mengangguk paham. Anak muda memang selalu seperti itu, apalagi mereka punya masalah.
"Sa, mereka jahat banget. Mereka nggak ngerti perasaan aku." Akmal terus meracau, pelukannya semakin erat pada Helsa.
"Mereka hanya pentingin keluarga baru, nggak ingat sama anaknya disini."
Sudah jelas. Akmal seperti ini karena orangtuanya. Lagi dan lagi.
"Cuma kamu dan tante Dilah yang ngertiin aku, mereka itu orang asing."
"Kamu beruntung, sayang. Kamu beruntung punya keluarga yang utuh."
Helsa tidak banyak bicara, biarkan Akmal mengeluarkan semua kekesalannya.
Beberapa saat kemudian taxi berhenti tepat di gerbang rumah Akmal, seperti sebelumnya Helsa membayar tagihan perjalanan mereka dan turun bersama Akmal. Helsa memapah kekasihnya masuk ke rumah.
Kunci rumah bertautan dengan kunci vespa, Helsa membiarkan Akmal duduk di sofa teras agar dia dengan leluasa bisa membuka pintu rumah.
"Al, ayo bangun. Pintu udah kebuka," ajak Helsa.
Akmal mengangguk. Kesadarannya sudah hilang 60%.
"Sa ..." panggilnya.
"Kenapa? Ayo kita masuk!"
"Dekat sini, aku mau ngomong."
"Kan bisa dari sini," balas Helsa.
Akmal berdecak. Dia berdiri berhadapan dengan Helsa, lalu dengan cepat menggendong Helsa seperti koala dan masuk ke rumahnya.
"Akmal ... turunin aku!" pekik Helsa.
"Pintu rumah belum ditutup," kata Helsa.
Akmal segera membalikkan badannya, masih dengan menggendong kekasihnya, pemuda itu kembali ke pintu depan dan menutupnya.
"Akmal, turunin aku," pinta Helsa, namun pemuda itu seolah tidak mendengarnya, dia terus menaiki anak tangga menuju kamarnya.
"Temenin aku tidur," bisiknya. Akmal menurunkan Helsa pada sofa yang ada di kamarnya. Dia duduk disamping kekasihnya, menatap Helsa penuh..
"Kamu mabuk, aku takut."
"Aku nggak mabuk, Sa." Akmal berjalan menuju pintu, dan menutupnya dengan rapat.
"Al, kamu jangan bercanda."
"Aku bisa kontrol diri," sanggahnya.
Suasana menjadi hening. Akmal kembali duduk disamping Helsa, dengan mata yang terlihat merah akibat alkohol, pemuda itu memeluk Helsa begitu kencang.
"Sayang, kalau nanti kita punya anak, kita jangan seperti mereka. Jangan egois," ucapnya.
"Aku nggak mau nasib anak aku sama seperti papanya, nggak dapat kasih sayang dari orangtua. Cukup aku, jangan dia." Akmal terisak dalam pelukan Helsa, menuangkan segala lara yang selalu dipendam.
"Nangis aja. Jangan ditahan, Al. Tumpahin semua kekesalan kamu, aku disini."
"Ini aku, Helsa. Anak laki-laki yang tumbuh dengan kerasnya kehidupan tanpa orang tua. Kenapa kamu mau sama aku, Sa? Aku gelap, aku berandalan sama seperti yang mama kamu bilang."
"Aku nggak pandang kamu seperti itu," jawab Helsa.
"Kamu punya aku, dan tante Dilah."
"Mereka memang nggak pernah peduli sama aku. Kalau mereka peduli, nggak mungkin mereka tinggalin aku dari kecil."
"Al, nggak ada orangtua yang nggak sayang anaknya. Ini cuma masalah jarak dan waktu," kata Helsa.
"Kamu jangan pergi, disini terus sama aku."
"Iya, aku sama kamu terus," jawab Helsa.
"Ayo tidur," ajaknya. Akmal tahu Helsa cemas dengan kondisinya, dia takut Akmal menyentuhnya lebih.
"Aku bisa kontrol diri, sayang," ujar Akmal.
"Serius, kan?" Helsa harus memastikan tidak terjadi sesuatu. Akmal mabuk, bisa saja dia hilang kendali.
Akmal menarik Helsa untuk segera tidur bersamanya, dia memeluk gadis itu dengan penuh sayang. Rasanya Akmal hanya memiliki Helsa di dunia ini, Helsa selalu ada disaat seperti ini.
Gadis itu menatap Akmal dengan seksama, begitu pun Akmal juga membalas tatapannya.
"Jangan pergi, Helsa. Aku nggak bakal tahu apa yang akan terjadi kalau suatu saat nanti kita bedah arah. Aku udah terlalu bergantung sama kamu, aku nggak bisa tanpa kamu."
Setelah mengatakan demikian, Akmal mengecup lama bibir ranum Helsa, kemudian beralih pada leher jenjang gadis itu. Tanpa sadar, Akmal menyentuh payudara Helsa dari luar. "Aku boleh jahat nggak?" tanya Akmal.
Helsa tidak menjawab pertanyaan itu, matanya memejam erat merasakan bibir kekasihnya yang terus menyentuh kulit lehernya.
"Kalau nanti keluarga kamu masih juga nggak mau restuin kita, aku mau bawah kabur kamu, Helsa."
Helsa menggeliat kecil dalam tidur, kelopak matanya perlahan terbuka. Pemandangan di depan ini membuatnya tersenyum kecil, wajah Akmal terlihat damai dalam tidur. Dengan jemari lentiknya, dia meraba rahang tegas itu. Akmal mirip seperti mamanya, mata dan juga bentuk wajahnya sama persis.Akmal sudah mulai terganggu dengan aksi Helsa yang terus menangkup wajahnya. Lihat bagaimana netra keduanya bertemu, Helsa tampak memperhatikannya dengan seksama. Akmal tersenyum samar, tangannya mempererat pelukannya pada pinggang kekasihnya. Lebih dekat, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Pemuda itu mengerjap mata berulang kali, kepalanya terasa pusing akibat alkohol semalam."Mau aku buatkan mie instan?" tawar Helsa. Gadis itu cukup tahu bahwa biasanya orang yang baru sadar dari mabuk akan lebih nikmat jika memakan sesuatu pedas, misalkan mie instan."Boleh," jawabnya senang."Tapi masih pagi banget, Al," keluh Helsa. Ya, jam baru menunjukkan pukul lima
Dua minggu setelah pertengkaran hebat antara Akmal dan Billy, Helsa sama sekali tidak menunjukkan wajahnya pada Akmal. Pembicaraan mengenai masa lalu Akmall dan Sheren membuatnya bingung harus apa.Helsa ingin bertanya, namun enggan sakit hati.Sekarang dia menjaga jarak dari Akmal, dia tidak keluar kelas sama sekali. Masih terlalu banyak yang disembunyikan oleh Akmal.Selama dua minggu ini Akmal terus mendatangi rumah Helsa, meminta maaf pada kekasihnya, namun kebungkaman yang dia dapati."Sa, dicariin sama Akmal. Temuin dia, jangan kayak gini," ujar Citra penuh ibah.Helsa menggeleng keras, "nggak Cit."Belum sempat Citra membalasnya, mereka dikagetkan dengan Akmal yang datang dan duduk tepat pada kursi milik Ranaya yang sekarang sedang asyik jajan diluar."Citra, gue mau ngomong sama Helsa," kata Akmal seolah meminta Citra untuk meninggalkan keduanya.Citra paham, dan segera beranjak dari sana. Ruang kelas itu tampak s
Hubungan Akmal dan Helsa semakin hari membuat banyak orang iri dan cemburu, semenjak mendapat izin dari Yuda, Akmal benar-benar memegang amanah itu. Walaupun Renata tidak menyukainya, Akmal tetap pada pendiriannya untuk terus bersama gadis itu.Waktu terus berlalu, dan sampailah pada hari yang sangat tidak disukai Helsa. Dilihat dari pelukan yang begitu erat seakan tidak ingin melepas, hari ini Akmal resmi dikeluarkan dari sekolah. Gadis bersurai panjang itu tampak sedih. Hari-hari di sekolah akan terasa berbeda bagi Helsa dengan tidak adanya Akmal."Nggak usah sedih." Akmal mengusap wajah murung Helsa, mencapit hidung mancung yang menjadi favoritnya.Helsa mengurai pelukan, "Kenapa nggak minta di skors aja sih?!""Kan aku udah bilang ini emang udah jalannya," pungkas Akmal.Dia menarik Helsa ke dalam pelukannya, lalu dikecupnya kening gadis itu. Seakan tidak peduli dengan banyaknya murid di parkiran sekolah, Akmal terus melakukan itu berulang kali
Helsa memandang jalanan rumahnya dari atas balkon kamar, ditemani segelas coklat hangat gadis itu menikmati dinginnya hujan malam ini.Satu bulan sudah Akmal pindah ke SMA Diaksa, dan selama itu juga Akmal tidak pernah menjemputnya. Akmal juga hanya membalas sangat singkat chat darinya.Apa mungkin Akmal sedang sakit?Helsa mendengus pelan, dia merindukan kekasihnya. Bahkan untuk berbicara via ponsel saja susah. Memang selama satu bulan ini pemuda itu disibukkan dengan latihan futsal karena September nanti akan ada pertandingan antar sekolah Menengah Atas.Entah bagaimana bisa kekasihnya sudah tergabung dalam team futsal sekolah barunya.Saat hendak masuk kembali ke kamarnya, suara klakson motor yang sangat dikenali menyeruak ke telinganya. Helsa memandang ke arah gerbang rumah, dan benar saja pemuda itu disana.Akmal basah-basahan diluar sana. Apa dia tidak memiliki mantel hujan?Terlihat pemuda itu melambaikan tangan pada Helsa. Den
Hari senin adalah hari malas-malasan bagi kebanyakan orang. Salah satunya adalah Helsa. Hari ini juga ia harus terlambat masuk sekolah dikarenakan pacarnya yang menjemput terlambat. Tidak mengikuti apel bendera, dan sebagai imbasnya tidak mengikuti jam pertama pelajaran. Helsa harus kemana jika seperti ini? Oh jelas saja ia harus ke perpustakaan, untuk apa berkeliaran di halaman sekolah disaat jam pelajaran seperti ini. Apalagi guru piket hari ini adalah pak Darwin. Perpustakaan sangat sepi, hanya ada salah satu stafnya yang sedang berjaga. Gadis itu berjalan menyusuri setiap baris rak buku yang menjulang tinggi, mencari novel yang bagus untuk dibaca. Helsa memang suka membaca novel. Satu novel bergenre fantasi sudah ada ditangannya, Helsa mengambil tempat dekat sudut perpustakaan. Gadis itu tampak sekali larut dalam bacaannya, sampai sebuah tangan menyodorkan coklat diatas lembaran novel. Dia cukup terkejut mendapati siapa pemilik coklat tersebut. Ja
Benci. Satu kata yang menggambarkan perasaannya beberapa tahun ini. Pandangan itu tidak luput dari gadis dihadapannya, seolah ingin menerkam sekarang juga. Senyum itu bukan yang diinginkannya, kebahagian tidak boleh gadis itu rasakan. Selalu berdecih jijik dalam diam setiap kali melihat kemesraan mereka.Suasana kantin SMA Harapan hari ini jauh dari kata ramai, jam istirahat sudah berjalan lima menit. Helsa dan kelima sahabatnya sudah asyik bercanda di kantin sembari menunggu bakmi pesanan mereka."Semalam Akmal ke rumah gue, Sa," ujar Bella."Ngapain?" dahinya mengkerut, Helsa ingin tahu."Dia mau jemput lo, cuma datangnya telat.""Oh gitu. Nggak sekolah dia hari ini," kata Helsa sembari menyeruput orange jus milik Ranaya.
Semenjak hari kemarin saat Helsa kehujanan di jalan, Akmal tidak pernah absen untuk pergi dan pulang bersama pacarnya, meskipun jam pulang dua sekolah itu sedikit berbeda, tidak pernah cowok itu melewati tugasnya.SMA Diaksa masih sepi, beberapa murid baru berdatangan. Parkiran sekolah pun sama sepinya seperti hati author. Saat hendak keluar dari sana, tangan halus mencekal pergelangan tangannya. Akmal tersentak saat mendapati Rania di belakangnya."Gue minta nomor ponsel lo," kata Rania dengan gaya angkuhnya."Mau ngapain?" sikap Akmal sangat dingin, dia tidak suka dengan perempuan agresif seperti Rania. Sejak malam pertemuan pertama mereka, Akmal selalu berjaga-jaga.Rania tersenyum jenaka, "mau pacaran.""Sinting." Akmal m
Perpustakaan SMA Harapan siang itu sangat sepi. Biasanya akan sangat ramai saat jam istirahat seperti ini. Setelah selesai makan, Helsa berpamitan pada sahabat-sahabatnya untuk ke sini. Seperti biasa, novel yang ia baca tempo hari belum selesai. Di setiap lorong yang disekat rak buku itu Helsa tidak menjumpai novel itu, padahal sudah disimpan pada tempatnya. Dengan berat hati, gadis itu membatalkan acar bacanya. Namun seseorang datang dan memberikan novel itu. "Lo suka novel bergenre fantasi?" tanya Dito. Ardito. Kenapa Helsa harus berhadapan lagi dengan dia? Dua hari yang lalu, Dito menitipkan tas Helsa pada Bella. Meskipun satu sekolah, Helsa tidak ingin bertemu dengan sosok yang satu ini. Gadis itu takut kalau sewaktu-waktu Akmal mengetahui keberadaan mantan pacarnya ini, apalagi Helsa tidak pernah menceritaka