Share

BAB 4

Selesai makan malam, Helsa memutuskan untuk naik ke kamarnya. Seperti malam-malam sebelumnya, gadis itu selalu sendiri. Seharian ini Akmal tidak menghubungi Helsa, biasanya jika hari minggu seperti sekarang, Akmal akan meminta Helsa ke rumahnya.

Dering panggilan dari handphonenya mengalihkan pandangannya, Helsa segera meraih benda pipih itu dari nakas. Dari layar, nama Ando terpampang dengan jelas. Tumben sekali Ando menghubunginya.

"Hallo, An."

"Bawa pulang cowok lu sekarang," ujar Ando dari seberang sana.

" Gue nggak ngerti, maksudnya gimana?

"Akmal mabuk berat di rumah gue. Nggak tahu punya masalah apa lagi."

Helsa berdecak kesal, "kenapa lagi sih itu orang?!Gue kesana sekarang," ucap Helsa.

"Ok, kita tunggu."

Helsa memutuskan panggilan itu, dan beranjak dari ranjangnya. Gadis itu mengambil dompet, hoodie, dan keluar dari kamarnya. Sebelum dia berangkat, terlebih dahulu memberitahu mbak Ana.

"Mba Ana, Echa keluar bentar. Ada urusan," lapornya pada mbak Ana yang masih sibuk di dapur.

"Iya, tapi bawah kunci rumah kan?"

"Iya. Echa berangkat," katanya dan berlalu meninggalkan mbak Ana.

Ini sudah pukul delapan malam, jalanan masih cukup ramai. Helsa berdiri di gerbang rumah menunggu taxi online yang dia pesan.

Kenapa malam ini Helsa tidak mencurigainya? Jika tanpa kabar, kekasihnya selalu yang berbuat aneh-aneh, misalkan minum sampai mabuk seperti ini. Helsa tidak melarangnya, tapi harus tahu batasan. Tapi, malam ini pemuda itu membuat Helsa ingin mencekiknya.

"Mbak Helsa, ya?" tanya sopir online yang dipesan Helsa.

"Iya, pak."

Bapak itu tersenyum ramah padanya, segera Helsa memasuki mobil avanza putih tersebut. Mobil meninggalkan pelataran rumah. Waktu yang ditempuh menuju rumah Ando biasanya tiga puluh menit, kalau saja tidak macet. Helsa tampaknya gelisah. Sekali lagi dia mencari list panggilan Ando, dia menghubungi sahabatnya lagi.

"Hallo, An. Akmal masih disana, kan? Gue udah di jalan."

"Masih. Sebelum lo datang, dia nggak akan berhenti minum."

"Iya, iya. Udah ya, tahan dia nggak usah minum."

Sambungan telepon terputus, Helsa menggeram saat tahu Akmal masih terus menyentuh barang haram itu.

***

Mobil avanza putih itu berhenti tepat pada gerbang rumah bercat biru, Helsa segera membayar tagihan perjalanannya. Gadis itu cepat-cepat turun dari mobil, membuka gerbang dan berjalan cepat memasuki rumah Ando.

Pekarangan rumah Ando begitu padat diisi dengan motor milik anak-anak SMA Harapan, lebih tepatnya teman-temannya Akmal.

Di ruang tamu, Helsa bisa melihat begitu banyaknya mereka melingkari meja yang diatasnya banyak minuman beralkohol. Mata gadis itu jatuh pada sosok pemuda yang sedang meneguk satu gelas minuman tersebut.

Gadis itu berdehem, membuat banyak mata menatapnya penuh.

"Eh, ibu negara datang. Mau jemput, ya?" goda Kevin.

Akmal belum menyadari kehadiran kekasihnya. Bagaimana bisa, sedangkan dia mabuk berat.

"Sa, cepat lo bawah pulang. Bisa bolong lambungnya kalau dibiarin terus," sambung Ando.

"Kalian berantem?" tanya Arjun, pemuda itu bahkan tidak menyentuh minuman haram disana.

Helsa berjalan mendekati Akmal yang masih asyik dengan minumannya. Matanya berkaca-kaca mendapati Akmal yang terlihat berantakan. Helsa sudah tahu jika seperti ini, Akmal punya masalah lagi dengan orangtuanya. Meskipun jauh, papa dan mamanya bisa perang mulut dengan dia.

"Al ... Pulang," tutur Helsa dengan lembut.

Akmal mendongak, "sayang, ngapain kesini?"

"Kamu yang ngapain disini? Ayo, pulang!" Helsa masih bisa menahan amarahnya, padahal sejak tadi emosi sudah menggebu.

Akmal merengek seperti anak kecil, mengguncang-guncang tangan kekasihnya. "Aku masih lanjut, kamu pulang aja. Nggak enak sama yang lain."

"Lo pulang aja, Al. Helsa udah jemput," ujar Ando.

"Nggak! Kamu pulang aja, aku disini."

Helsa kesal. Kesabarannya sudah diambang batas. Gadis itu meraih gelas berisi alkohol yang hendak diteguk kekasihnya dan membanting ke lantai.

"AKMAL MALIK!!"

Semua mata tertuju pada Helsa. Suara teriakan itu membuat semuanya hening, tidak pernah Helsa semarah ini pada Akmal.

"Hmm," gumam Akmal

"Pulang sekarang!" teriak Helsa.

"Iya, iya ... Bawel banget sih. Kunci vespa sama dompet mana?"

"Udah aku kantongin, sekarang pulang."

Jika Helsa sudah berteriak namanya secara lengkap, dalam kondisi mabuk sekalipun Akmal akan mengiyakan permintaan kekasih bawelnya itu. Lihat, dia sudah berdiri, bersiap untuk pulang.

"Guys, gue pamit. Ibu negara udah jemput," ujarnya dalam kondisi setengah sadar.

"Hati-hati lo berdua. Helsa, lo aja yang bawa vespanya, bahaya Akmal mabuk."

"Kita pakai taxi. An, titip vespa di rumah lo dulu. Besok dia bawa pulang." Ando mengangguk patuh, lagian anak-anak ini pasti nginap di rumahnya.

Akmal berjalan disamping Helsa, dengan langkah sempoyongan pemuda itu memeluk erat pinggang kekasihnya. Tangan Helsa menuntun jalannya agar tidak tertabrak apapun.

Sembari menunggu taxi yang sudah dipesannya, gadis itu merapikan kondisi kekasihnya yang terlihat berantakan. Helsa menyugar rambut Akmal, merapikan sedikit bajunya.

"Kamu kenapa sih kalau punya masalah selalu mabuk? Udah ngerasa paling jagoan?" tanya Helsa dengan kekesalannya.

"Kita pulang pakai vespa aja, lama banget taxinya," ujar Akmal tidak menggubris pertanyaan Helsa.

"Kamu mau bunuh aku?" tanya Helsa.

"Bunuh? Bisa gila aku tanpa kamu," kekehnya. Helsa tahu Akmal mabuk, biarkan saja dia berbicara semaunya.

"Mbak Helsa, ya?" tanya supir taxi yang baru saja tiba.

"Bapak mau goda pacar saya? Jangan main-main sama saya pak," ancamnya pada supir taxi tersebut.

"Jangan didengerin, pak. Orangnya lagi mabuk," ucap Helsa.

"Nggak apa-apa, mba."

Helsa menuntun Akmal masuk ke mobil, lalu duduk disampingnya membiarkan Akmal tidur pada pahanya.

"Jalan, pak."

Mobil kemudian meninggalkan pelataran rumah Ando, bersama dengan Akmal yang terus meracau tidak jelas.

"Pacarnya mabuk, mba?" tanya supir tersebut.

"Iya, pak. Ada acara di rumah temannya, jadi dia minum kebanyakan."

Sopir itu mengangguk paham. Anak muda memang selalu seperti itu, apalagi mereka punya masalah.

"Sa, mereka jahat banget. Mereka nggak ngerti perasaan aku." Akmal terus meracau, pelukannya semakin erat pada Helsa.

"Mereka hanya pentingin keluarga baru, nggak ingat sama anaknya disini."

Sudah jelas. Akmal seperti ini karena orangtuanya. Lagi dan lagi.

"Cuma kamu dan tante Dilah yang ngertiin aku, mereka itu orang asing."

"Kamu beruntung, sayang. Kamu beruntung punya keluarga yang utuh."

Helsa tidak banyak bicara, biarkan Akmal mengeluarkan semua kekesalannya.

Beberapa saat kemudian taxi berhenti tepat di gerbang rumah Akmal, seperti sebelumnya Helsa membayar tagihan perjalanan mereka dan turun bersama Akmal. Helsa memapah kekasihnya masuk ke rumah.

Kunci rumah bertautan dengan kunci vespa, Helsa membiarkan Akmal duduk di sofa teras agar dia dengan leluasa bisa membuka pintu rumah.

"Al, ayo bangun. Pintu udah kebuka," ajak Helsa.

Akmal mengangguk. Kesadarannya sudah hilang 60%.

"Sa ..." panggilnya.

"Kenapa? Ayo kita masuk!"

"Dekat sini, aku mau ngomong."

"Kan bisa dari sini," balas Helsa.

Akmal berdecak. Dia berdiri berhadapan dengan Helsa, lalu dengan cepat menggendong Helsa seperti koala dan masuk ke rumahnya.

"Akmal ... turunin aku!" pekik Helsa.

"Pintu rumah belum ditutup," kata Helsa.

Akmal segera membalikkan badannya, masih dengan menggendong kekasihnya, pemuda itu kembali ke pintu depan dan menutupnya.

"Akmal, turunin aku," pinta Helsa, namun pemuda itu seolah tidak mendengarnya, dia terus menaiki anak tangga menuju kamarnya.

"Temenin aku tidur," bisiknya. Akmal menurunkan Helsa pada sofa yang ada di kamarnya. Dia duduk disamping kekasihnya, menatap Helsa penuh..

"Kamu mabuk, aku takut."

"Aku nggak mabuk, Sa." Akmal berjalan menuju pintu, dan menutupnya dengan rapat.

"Al, kamu jangan bercanda."

"Aku bisa kontrol diri," sanggahnya.

Suasana menjadi hening. Akmal kembali duduk disamping Helsa, dengan mata yang terlihat merah akibat alkohol, pemuda itu memeluk Helsa begitu kencang.

"Sayang, kalau nanti kita punya anak, kita jangan seperti mereka. Jangan egois," ucapnya.

"Aku nggak mau nasib anak aku sama seperti papanya, nggak dapat kasih sayang dari orangtua. Cukup aku, jangan dia." Akmal terisak dalam pelukan Helsa, menuangkan segala lara yang selalu dipendam.

"Nangis aja. Jangan ditahan, Al. Tumpahin semua kekesalan kamu, aku disini."

"Ini aku, Helsa. Anak laki-laki yang tumbuh dengan kerasnya kehidupan tanpa orang tua. Kenapa kamu mau sama aku, Sa? Aku gelap, aku berandalan sama seperti yang mama kamu bilang."

"Aku nggak pandang kamu seperti itu," jawab Helsa.

"Kamu punya aku, dan tante Dilah."

"Mereka memang nggak pernah peduli sama aku. Kalau mereka peduli, nggak mungkin mereka tinggalin aku dari kecil."

"Al, nggak ada orangtua yang nggak sayang anaknya. Ini cuma masalah jarak dan waktu," kata Helsa.

"Kamu jangan pergi, disini terus sama aku."

"Iya, aku sama kamu terus," jawab Helsa.

"Ayo tidur," ajaknya. Akmal tahu Helsa cemas dengan kondisinya, dia takut Akmal menyentuhnya lebih.

"Aku bisa kontrol diri, sayang," ujar Akmal.

"Serius, kan?" Helsa harus memastikan tidak terjadi sesuatu. Akmal mabuk, bisa saja dia hilang kendali.

Akmal menarik Helsa untuk segera tidur bersamanya, dia memeluk gadis itu dengan penuh sayang. Rasanya Akmal hanya memiliki Helsa di dunia ini, Helsa selalu ada disaat seperti ini.

Gadis itu menatap Akmal dengan seksama, begitu pun Akmal juga membalas tatapannya.

"Jangan pergi, Helsa. Aku nggak bakal tahu apa yang akan terjadi kalau suatu saat nanti kita bedah arah. Aku udah terlalu bergantung sama kamu, aku nggak bisa tanpa kamu."

Setelah mengatakan demikian, Akmal mengecup lama bibir ranum Helsa, kemudian beralih pada leher jenjang gadis itu. Tanpa sadar, Akmal menyentuh payudara Helsa dari luar. "Aku boleh jahat nggak?" tanya Akmal.

Helsa tidak menjawab pertanyaan itu, matanya memejam erat merasakan bibir kekasihnya yang terus menyentuh kulit lehernya.

"Kalau nanti keluarga kamu masih juga nggak mau restuin kita, aku mau bawah kabur kamu, Helsa."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status