"Jadi, kamu beneran dikeluarin dari sekolah?"
"Kenapa pada diam-diaman sih?"
Dilah memperhatikan sepasang remaja yang duduk di hadapannya sekarang, hidangan makanan diatas meja makan turut menjadi saksi kebisuan mereka. Helsa tidak membuka suara sama sekali, dia masih kesal dengan kekasihnya.
Akmal membuka suara, melirik sekilas pada Helsa, "maaf."
"Helsa juga baru tahu, tante. Akmal nggak cerita sama aku, udah seminggu padahal," adu Helsa pada Dilah.
Dilah mendesah berat, "kamu udah hubungi papa sama mama?" tanya Dilah pada Akmal.
"Nggak penting! Yang mereka tahu kan cuma cetak anak, terus tinggalin gitu aja," sarkas Akmal.
"AKMAL!!!" Bukan Dilah, melainkan Helsa yang memekik nama itu. Dia tidak suka ketika Akmal harus merendahkan orang tuanya.
"Udah, udah. Sekarang kita makan, nanti tante yang ngomong sama mereka," finis Dilah.
***
Helsa yang masih mengenakan seragamnya disibukkan dengan piring kotor yang mereka gunakan tadi. Dilah melarangnya untuk tidak menyentuh semua piring kotor itu, namun gadis keras kepala ini terus melakukannya.
Helsa memang sudah menganggap rumah tante Dilah seperti rumahnya, apalagi rumahnya Akmal. Jangan ditanya, Akmal dan Helsa sudah seperti pasangan suami istri yang baru menikah. Bukan, bukan melakukan hubungan intim, tapi mereka hanya melakukan aktivitas memasak, membersihkan rumah, dan sebagainya.
"Helsa..."
"Aku masih marah, jangan dekat-dekat," ketus Helsa yang masih sibuk di wastafel dapur.
"Kamu marah, nggak aku antar balik," ancam Akmal, "kalau perlu aku kurung disini."
"Terserah!"
Akmal mendekat, berdiri tepat di samping kekasihnya. Dengan sengaja dia meniup pelan leher gadis itu. Akmal tahu leher menjadi salah satu titik sensitive Helsa.
Hal itu membuat Helsa mendesis geli.
"Akmal Malik!"
"Iya sayang," sahut Akmal.
"Jangan bercanda," tugas Helsa.
"Aku mau cium kamu, boleh?"
"Nggak boleh sentuh aku! Maju satu langkah, pisau dapur kena muka kamu," ancam Helsa.
"Psychopath kalah ya, calon istri aku?"
"Calon istri? Emang siapa yang mau nikah sama kamu?" tanya Helsa pada kekasihnya.
Mendengar pertanyaan itu, dengan kecepatan kilat Akmal memeluk Helsa dari belakang, tangannya dengan sengaja mencipratkan air dari keran ke wajah Helsa. Riuh teriakan Helsa membuat suasana semakin seru. Gadis itu membalas perbuatan kekasihnya, lantai dapur sudah dibeceki air oleh tingkah dua remaja ini. Lihat, seragam mereka sudah basah setengah.
Tawa bahagia mereka berdua membuat Dilah senyum-senyum dari balik pintu dapur, Akmal beruntung bisa mengenal Helsa. Helsa memang anak yang baik, Helsa juga bisa menerima Akmal apa adanya. Gadis itu tidak pernah menuntut apapun dari Akmal, katanya bisa terus bersama Akmal sudah sangat cukup.
***
Vespa black matte itu melaju keluar pekarangan rumah tante Dilah. Jam sudah menunjukan pukul tujuh malam, Akmal ditugaskan tantenya untuk mengantar Helsa pulang. Puas sekali seharian bisa bermain di rumah wanita paruh baya itu.
Diatas motor, dengan sangat erat dan possessive Helsa memeluk Akmal, dagunya bertengger manja pada pundak pemuda itu. Dinginnya angin malam begitu menusuk kulitnya, padahal Akmal sudah memberikan hoodie kepunyaannya pada Helsa. Akmal hanya mengenakan kaos hitam polos dan celana sekolah yang masih melekat.
"Kamu dingin nggak sih?" tanya Helsa
"Udah biasa. Lagian kamu peluk gini aja buat hangat," kata Akmal.
"Gombal...." tanda Helsa, tangannya itu tidak bisa tenang jika kekasihnya sudah memberi gombalan. Perut Akmal akan menjadi sasaran empuk dari Helsa.
"Al..." panggil Helsa.
"Kenapa?"
"Kamu rencananya mau pindah kemana?" tanya Helsa mulai serius.
"Kemana aja yang pastinya nggak jauh dari kamu," jawab Akmal.
"Aku serius," sinis Helsa.
"SMA Diaksa, sayang."
"Udah yakin mau kesana? Nggak mau buat surat permohonan gitu?" tanya Helsa.
Akmal menggeleng, "mungkin jalannya udah kayak gini."
"Aku takut,"pungkas Helsa.
Pernyataan Helsa mampu membuat Akmal menghentikan motor di tepi trotoar jalan. Wajah gadisnya tampak sendu, Akmal bisa membaca bahwa sebentar lagi Helsa pasti menangis.
"Apa yang kamu takuti?" tanya Akmal.
Dibawah terangnya lampu jalan itu, Helsa memandang lekat Akmal. Setitik air mata lolos dari matanya, banyak yang dia takuti terjadi pada Akmal.
Perubahan pada Akmal adalah hal yang paling ditakuti Helsa. Apalagi dengan masa lalu Akmal yang selalu mempermainkan perasaan perempuan, Akmal yang terkenal suka mabuk-mabukan.
"Kamu takut aku suka sama cewek lain?" tanya Akmal.
Helsa tidak membalas pertanyaannya.
"Sa... Kamu selalu dengar kan aku sebut kamu itu siapanya aku?"
"Calon istri. Iya, aku hanya mau kamu. Aku bakal lakuin apa aja demi kamu, aku nggak akan ulangi kesalahan yang sama. Kamu tahu gimana kita," terang Akmal.
"Kamu tahu, sejauh apapun aku pergi, kamu tetap pulang terbaikku. Kamu itu rumah buat aku."
"Jangan nangis, aku nggak suka lihat kamu sedih."
Helsa mengangguk, perkataan Akmal seolah bisa menenangkannya. Sejak siang tadi pikiran nya memang sudah diserang ribuan ketakutan dan kekecewaan.
"Kita pulang, ya?"
"Iya,"jawab Helsa
"Mau aku gendong ke motor?" goda Akmal.
"Apaan sih!"
Sebelum naik motor, Akmal mengusap wajah Helsa, memberi lengkungan pada sudut bibir gadis itu menggunakan jempolnya. "Aku lebih suka kamu marah-marah dibanding kamu nangis atau diemin aku," jujur Akmal.
"Makasih, Al."
"Untuk apa?" tanya Akmal.
"Kamu selalu ada buat aku. Aku mikirnya kenapa kamu nggak jadi kakak aku aja sih?"
"Lalu terjadi skandal," tambah Akmal, "pikiran kamu random banget."
Helsa tertawa mendengar penuturan Akmal.
"Udah yuk, balik."
Mereka sama-sama naik keatas motor, meninggalkan tempat itu. Akmal mengantar Helsa ke rumahnya dan langsung kembali ke rumahnya. Pemuda itu memang tidak tinggal bersama tante Dilah ataupun neneknya, dia memilih tinggal di rumah milik papanya.
***
Helsa masuk ke rumah dengan santai, dengan ranselnya itu dia terus naik ke tangga menuju kamarnya. Ketika sudah hampir menginjak lantai dua, suara baritone dari bawah tangga menghentikan langkahnya.
Dilihatnya Yuda yang berdiri berkacak pinggang di bawah sana, wajah pria itu sangat tidak bersahabat.
"Dari mana, Cha?"
"Papa kapan balik?" Helsa balik bertanya
"Dari mana kamu?" tanyanya sekali lagi.
"Dari rumah teman," jawab Helsa santai.
"Teman yang cium di kening itu?"
Helsa mendelik kaget, rupanya Yuda melihat saat Akmal menciumnya di depan gerbang rumah tadi. Sekarang gadis itu terlihat sangat canggung.dan malu.
"Itu yang namanya Akmal?" tanya Yuda.
Helsa tidak menjawab pertanyaan itu. Diamnya adalah jawaban itu sendiri.
"Papa mau ketemu dia."
Selesai makan malam, Helsa memutuskan untuk naik ke kamarnya. Seperti malam-malam sebelumnya, gadis itu selalu sendiri. Seharian ini Akmal tidak menghubungi Helsa, biasanya jika hari minggu seperti sekarang, Akmal akan meminta Helsa ke rumahnya. Dering panggilan dari handphonenya mengalihkan pandangannya, Helsa segera meraih benda pipih itu dari nakas. Dari layar, nama Ando terpampang dengan jelas. Tumben sekali Ando menghubunginya. "Hallo, An." "Bawa pulang cowok lu sekarang," ujar Ando dari seberang sana. " Gue nggak ngerti, maksudnya gimana? "Akmal mabuk berat di rumah gue. Nggak tahu punya masalah apa lagi." Helsa berdecak kesal, "kenapa lagi sih itu orang?!Gue kesana sekarang," ucap Helsa. "Ok, kita tunggu." Helsa memutuskan panggilan itu, dan beranjak dari ranjangnya. Gadis itu mengambil dompet, hoodie, dan keluar dari kamarnya. Sebelum dia berangkat, terlebih dahulu memberitahu mbak Ana
Helsa menggeliat kecil dalam tidur, kelopak matanya perlahan terbuka. Pemandangan di depan ini membuatnya tersenyum kecil, wajah Akmal terlihat damai dalam tidur. Dengan jemari lentiknya, dia meraba rahang tegas itu. Akmal mirip seperti mamanya, mata dan juga bentuk wajahnya sama persis.Akmal sudah mulai terganggu dengan aksi Helsa yang terus menangkup wajahnya. Lihat bagaimana netra keduanya bertemu, Helsa tampak memperhatikannya dengan seksama. Akmal tersenyum samar, tangannya mempererat pelukannya pada pinggang kekasihnya. Lebih dekat, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Pemuda itu mengerjap mata berulang kali, kepalanya terasa pusing akibat alkohol semalam."Mau aku buatkan mie instan?" tawar Helsa. Gadis itu cukup tahu bahwa biasanya orang yang baru sadar dari mabuk akan lebih nikmat jika memakan sesuatu pedas, misalkan mie instan."Boleh," jawabnya senang."Tapi masih pagi banget, Al," keluh Helsa. Ya, jam baru menunjukkan pukul lima
Dua minggu setelah pertengkaran hebat antara Akmal dan Billy, Helsa sama sekali tidak menunjukkan wajahnya pada Akmal. Pembicaraan mengenai masa lalu Akmall dan Sheren membuatnya bingung harus apa.Helsa ingin bertanya, namun enggan sakit hati.Sekarang dia menjaga jarak dari Akmal, dia tidak keluar kelas sama sekali. Masih terlalu banyak yang disembunyikan oleh Akmal.Selama dua minggu ini Akmal terus mendatangi rumah Helsa, meminta maaf pada kekasihnya, namun kebungkaman yang dia dapati."Sa, dicariin sama Akmal. Temuin dia, jangan kayak gini," ujar Citra penuh ibah.Helsa menggeleng keras, "nggak Cit."Belum sempat Citra membalasnya, mereka dikagetkan dengan Akmal yang datang dan duduk tepat pada kursi milik Ranaya yang sekarang sedang asyik jajan diluar."Citra, gue mau ngomong sama Helsa," kata Akmal seolah meminta Citra untuk meninggalkan keduanya.Citra paham, dan segera beranjak dari sana. Ruang kelas itu tampak s
Hubungan Akmal dan Helsa semakin hari membuat banyak orang iri dan cemburu, semenjak mendapat izin dari Yuda, Akmal benar-benar memegang amanah itu. Walaupun Renata tidak menyukainya, Akmal tetap pada pendiriannya untuk terus bersama gadis itu.Waktu terus berlalu, dan sampailah pada hari yang sangat tidak disukai Helsa. Dilihat dari pelukan yang begitu erat seakan tidak ingin melepas, hari ini Akmal resmi dikeluarkan dari sekolah. Gadis bersurai panjang itu tampak sedih. Hari-hari di sekolah akan terasa berbeda bagi Helsa dengan tidak adanya Akmal."Nggak usah sedih." Akmal mengusap wajah murung Helsa, mencapit hidung mancung yang menjadi favoritnya.Helsa mengurai pelukan, "Kenapa nggak minta di skors aja sih?!""Kan aku udah bilang ini emang udah jalannya," pungkas Akmal.Dia menarik Helsa ke dalam pelukannya, lalu dikecupnya kening gadis itu. Seakan tidak peduli dengan banyaknya murid di parkiran sekolah, Akmal terus melakukan itu berulang kali
Helsa memandang jalanan rumahnya dari atas balkon kamar, ditemani segelas coklat hangat gadis itu menikmati dinginnya hujan malam ini.Satu bulan sudah Akmal pindah ke SMA Diaksa, dan selama itu juga Akmal tidak pernah menjemputnya. Akmal juga hanya membalas sangat singkat chat darinya.Apa mungkin Akmal sedang sakit?Helsa mendengus pelan, dia merindukan kekasihnya. Bahkan untuk berbicara via ponsel saja susah. Memang selama satu bulan ini pemuda itu disibukkan dengan latihan futsal karena September nanti akan ada pertandingan antar sekolah Menengah Atas.Entah bagaimana bisa kekasihnya sudah tergabung dalam team futsal sekolah barunya.Saat hendak masuk kembali ke kamarnya, suara klakson motor yang sangat dikenali menyeruak ke telinganya. Helsa memandang ke arah gerbang rumah, dan benar saja pemuda itu disana.Akmal basah-basahan diluar sana. Apa dia tidak memiliki mantel hujan?Terlihat pemuda itu melambaikan tangan pada Helsa. Den
Hari senin adalah hari malas-malasan bagi kebanyakan orang. Salah satunya adalah Helsa. Hari ini juga ia harus terlambat masuk sekolah dikarenakan pacarnya yang menjemput terlambat. Tidak mengikuti apel bendera, dan sebagai imbasnya tidak mengikuti jam pertama pelajaran. Helsa harus kemana jika seperti ini? Oh jelas saja ia harus ke perpustakaan, untuk apa berkeliaran di halaman sekolah disaat jam pelajaran seperti ini. Apalagi guru piket hari ini adalah pak Darwin. Perpustakaan sangat sepi, hanya ada salah satu stafnya yang sedang berjaga. Gadis itu berjalan menyusuri setiap baris rak buku yang menjulang tinggi, mencari novel yang bagus untuk dibaca. Helsa memang suka membaca novel. Satu novel bergenre fantasi sudah ada ditangannya, Helsa mengambil tempat dekat sudut perpustakaan. Gadis itu tampak sekali larut dalam bacaannya, sampai sebuah tangan menyodorkan coklat diatas lembaran novel. Dia cukup terkejut mendapati siapa pemilik coklat tersebut. Ja
Benci. Satu kata yang menggambarkan perasaannya beberapa tahun ini. Pandangan itu tidak luput dari gadis dihadapannya, seolah ingin menerkam sekarang juga. Senyum itu bukan yang diinginkannya, kebahagian tidak boleh gadis itu rasakan. Selalu berdecih jijik dalam diam setiap kali melihat kemesraan mereka.Suasana kantin SMA Harapan hari ini jauh dari kata ramai, jam istirahat sudah berjalan lima menit. Helsa dan kelima sahabatnya sudah asyik bercanda di kantin sembari menunggu bakmi pesanan mereka."Semalam Akmal ke rumah gue, Sa," ujar Bella."Ngapain?" dahinya mengkerut, Helsa ingin tahu."Dia mau jemput lo, cuma datangnya telat.""Oh gitu. Nggak sekolah dia hari ini," kata Helsa sembari menyeruput orange jus milik Ranaya.
Semenjak hari kemarin saat Helsa kehujanan di jalan, Akmal tidak pernah absen untuk pergi dan pulang bersama pacarnya, meskipun jam pulang dua sekolah itu sedikit berbeda, tidak pernah cowok itu melewati tugasnya.SMA Diaksa masih sepi, beberapa murid baru berdatangan. Parkiran sekolah pun sama sepinya seperti hati author. Saat hendak keluar dari sana, tangan halus mencekal pergelangan tangannya. Akmal tersentak saat mendapati Rania di belakangnya."Gue minta nomor ponsel lo," kata Rania dengan gaya angkuhnya."Mau ngapain?" sikap Akmal sangat dingin, dia tidak suka dengan perempuan agresif seperti Rania. Sejak malam pertemuan pertama mereka, Akmal selalu berjaga-jaga.Rania tersenyum jenaka, "mau pacaran.""Sinting." Akmal m