Share

BAB 3

"Jadi, kamu beneran dikeluarin dari sekolah?"

"Kenapa pada diam-diaman sih?"

Dilah memperhatikan sepasang remaja yang duduk di hadapannya sekarang, hidangan makanan diatas meja makan turut menjadi saksi kebisuan mereka. Helsa tidak membuka suara sama sekali, dia masih kesal dengan kekasihnya.

Akmal membuka suara, melirik sekilas pada Helsa, "maaf."

"Helsa juga baru tahu, tante. Akmal nggak cerita sama aku, udah seminggu padahal," adu Helsa pada Dilah.

Dilah mendesah berat, "kamu udah hubungi papa sama mama?" tanya Dilah pada Akmal.

"Nggak penting! Yang mereka tahu kan cuma cetak anak, terus tinggalin gitu aja," sarkas Akmal.

"AKMAL!!!" Bukan Dilah, melainkan Helsa yang memekik nama itu. Dia tidak suka ketika Akmal harus merendahkan orang tuanya.

"Udah, udah. Sekarang kita makan, nanti tante yang ngomong sama mereka," finis Dilah.

***

Helsa yang masih mengenakan seragamnya disibukkan dengan piring kotor yang mereka gunakan tadi. Dilah melarangnya untuk tidak menyentuh semua piring kotor itu, namun gadis keras kepala ini terus melakukannya.

Helsa memang sudah menganggap rumah tante Dilah seperti rumahnya, apalagi rumahnya Akmal. Jangan ditanya, Akmal dan Helsa sudah seperti pasangan suami istri yang baru menikah. Bukan, bukan melakukan hubungan intim, tapi mereka hanya melakukan aktivitas memasak, membersihkan rumah, dan sebagainya.

"Helsa..."

"Aku masih marah, jangan dekat-dekat," ketus Helsa yang masih sibuk di wastafel dapur.

"Kamu marah, nggak aku antar balik," ancam Akmal, "kalau perlu aku kurung disini."

"Terserah!"

Akmal mendekat, berdiri tepat di samping kekasihnya. Dengan sengaja dia meniup pelan leher gadis itu. Akmal tahu leher menjadi salah satu titik sensitive Helsa.

Hal itu membuat Helsa mendesis geli.

"Akmal Malik!"

"Iya sayang," sahut Akmal.

"Jangan bercanda," tugas Helsa.

"Aku mau cium kamu, boleh?"

"Nggak boleh sentuh aku! Maju satu langkah, pisau dapur kena muka kamu," ancam Helsa.

"Psychopath kalah ya, calon istri aku?"

"Calon istri? Emang siapa yang mau nikah sama kamu?" tanya Helsa pada kekasihnya.

Mendengar pertanyaan itu, dengan kecepatan kilat Akmal memeluk Helsa dari belakang, tangannya dengan sengaja mencipratkan air dari keran ke wajah Helsa. Riuh teriakan Helsa membuat suasana semakin seru. Gadis itu membalas perbuatan kekasihnya, lantai dapur sudah dibeceki air oleh tingkah dua remaja ini. Lihat, seragam mereka sudah basah setengah.

Tawa bahagia mereka berdua membuat Dilah senyum-senyum dari balik pintu dapur, Akmal beruntung bisa mengenal Helsa. Helsa memang anak yang baik, Helsa juga bisa menerima Akmal apa adanya. Gadis itu tidak pernah menuntut apapun dari Akmal, katanya bisa terus bersama Akmal sudah sangat cukup.

***

Vespa black matte itu melaju keluar pekarangan rumah tante Dilah. Jam sudah menunjukan pukul tujuh malam, Akmal ditugaskan tantenya untuk mengantar Helsa pulang. Puas sekali seharian bisa bermain di rumah wanita paruh baya itu.

Diatas motor, dengan sangat erat dan possessive Helsa memeluk Akmal, dagunya bertengger manja pada pundak pemuda itu. Dinginnya angin malam begitu menusuk kulitnya, padahal Akmal sudah memberikan hoodie kepunyaannya pada Helsa. Akmal hanya mengenakan kaos hitam polos dan celana sekolah yang masih melekat.

"Kamu dingin nggak sih?" tanya Helsa

"Udah biasa. Lagian kamu peluk gini aja buat hangat," kata Akmal.

"Gombal...." tanda Helsa, tangannya itu tidak bisa tenang jika kekasihnya sudah memberi gombalan. Perut Akmal akan menjadi sasaran empuk dari Helsa.

"Al..." panggil Helsa.

"Kenapa?"

"Kamu rencananya mau pindah kemana?" tanya Helsa mulai serius.

"Kemana aja yang pastinya nggak jauh dari kamu," jawab Akmal.

"Aku serius," sinis Helsa.

"SMA Diaksa, sayang."

"Udah yakin mau kesana? Nggak mau buat surat permohonan gitu?" tanya Helsa.

Akmal menggeleng, "mungkin jalannya udah kayak gini."

"Aku takut,"pungkas Helsa.

Pernyataan Helsa mampu membuat Akmal menghentikan motor di tepi trotoar jalan. Wajah gadisnya tampak sendu, Akmal bisa membaca bahwa sebentar lagi Helsa pasti menangis.

"Apa yang kamu takuti?" tanya Akmal.

Dibawah terangnya lampu jalan itu, Helsa memandang lekat Akmal. Setitik air mata lolos dari matanya, banyak yang dia takuti terjadi pada Akmal.

Perubahan pada Akmal adalah hal yang paling ditakuti Helsa. Apalagi dengan masa lalu Akmal yang selalu mempermainkan perasaan perempuan, Akmal yang terkenal suka mabuk-mabukan.

"Kamu takut aku suka sama cewek lain?" tanya Akmal.

Helsa tidak membalas pertanyaannya.

"Sa... Kamu selalu dengar kan aku sebut kamu itu siapanya aku?"

"Calon istri. Iya, aku hanya mau kamu. Aku bakal lakuin apa aja demi kamu, aku nggak akan ulangi kesalahan yang sama. Kamu tahu gimana kita," terang Akmal.

"Kamu tahu, sejauh apapun aku pergi, kamu tetap pulang terbaikku. Kamu itu rumah buat aku."

"Jangan nangis, aku nggak suka lihat kamu sedih."

Helsa mengangguk, perkataan Akmal seolah bisa menenangkannya. Sejak siang tadi pikiran nya memang sudah diserang ribuan ketakutan dan kekecewaan.

"Kita pulang, ya?"

"Iya,"jawab Helsa

"Mau aku gendong ke motor?" goda Akmal.

"Apaan sih!"

Sebelum naik motor, Akmal mengusap wajah Helsa, memberi lengkungan pada sudut bibir gadis itu menggunakan jempolnya. "Aku lebih suka kamu marah-marah dibanding kamu nangis atau diemin aku," jujur Akmal.

"Makasih, Al."

"Untuk apa?" tanya Akmal.

"Kamu selalu ada buat aku. Aku mikirnya kenapa kamu nggak jadi kakak aku aja sih?"

"Lalu terjadi skandal," tambah Akmal, "pikiran kamu random banget."

Helsa tertawa mendengar penuturan Akmal.

"Udah yuk, balik."

Mereka sama-sama naik keatas motor, meninggalkan tempat itu. Akmal mengantar Helsa ke rumahnya dan langsung kembali ke rumahnya. Pemuda itu memang tidak tinggal bersama tante Dilah ataupun neneknya, dia memilih tinggal di rumah milik papanya.

***

Helsa masuk ke rumah dengan santai, dengan ranselnya itu dia terus naik ke tangga menuju kamarnya. Ketika sudah hampir menginjak lantai dua, suara baritone dari bawah tangga menghentikan langkahnya.

Dilihatnya Yuda yang berdiri berkacak pinggang di bawah sana, wajah pria itu sangat tidak bersahabat.

"Dari mana, Cha?"

"Papa kapan balik?" Helsa balik bertanya

"Dari mana kamu?" tanyanya sekali lagi.

"Dari rumah teman," jawab Helsa santai.

"Teman yang cium di kening itu?"

Helsa mendelik kaget, rupanya Yuda melihat saat Akmal menciumnya di depan gerbang rumah tadi. Sekarang gadis itu terlihat sangat canggung.dan malu.

"Itu yang namanya Akmal?" tanya Yuda.

Helsa tidak menjawab pertanyaan itu. Diamnya adalah jawaban itu sendiri.

"Papa mau ketemu dia."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status