Helsa menggeliat kecil dalam tidur, kelopak matanya perlahan terbuka. Pemandangan di depan ini membuatnya tersenyum kecil, wajah Akmal terlihat damai dalam tidur. Dengan jemari lentiknya, dia meraba rahang tegas itu. Akmal mirip seperti mamanya, mata dan juga bentuk wajahnya sama persis.
Akmal sudah mulai terganggu dengan aksi Helsa yang terus menangkup wajahnya. Lihat bagaimana netra keduanya bertemu, Helsa tampak memperhatikannya dengan seksama. Akmal tersenyum samar, tangannya mempererat pelukannya pada pinggang kekasihnya. Lebih dekat, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.
Pemuda itu mengerjap mata berulang kali, kepalanya terasa pusing akibat alkohol semalam.
"Mau aku buatkan mie instan?" tawar Helsa. Gadis itu cukup tahu bahwa biasanya orang yang baru sadar dari mabuk akan lebih nikmat jika memakan sesuatu pedas, misalkan mie instan.
"Boleh," jawabnya senang.
"Tapi masih pagi banget, Al," keluh Helsa. Ya, jam baru menunjukkan pukul lima pagi. Entah mengapa keduanya bangun secepat ini.
"Ya udah."
"Ya udah apa?" tanya Helsa bingung.
"Lanjut tidur."
"Nggak, udah pagi," sergah Helsa.
"Aku mau nanya, boleh?" tambah Helsa.
"Apa sayang?"
"Kenapa segala sesuatu kamu harus pakai alkohol? Maksud aku apa nggak ada cara yang bisa atasi masalah kamu?" tanya Helsa.
"Maaf, sayang."
"Al, alkohol nggak bisa selesaikan masalah sekecil apapun itu. Kamu bisa cerita ke aku," tutur Helsa lembut.
"Apa nanti aku masih bisa cerita ke kamu, kalau penyebabnya adalah kamu sendiri?" Akmal bertanya, tatapannya begitu sendu.
Helsa tidak mengerti apa maksud lelaki itu, dia mengubah posisi bersandar pada kepala ranjang.
"Sa, jawab!" desak Akmal.
"Al, kamu ngomong apa sih!"
"Kamu tahu aku selalu takut. Setiap aku terbangun dari tidur aku selalu memastikan keberadaan kamu, aku ngeliat chat terakhir kita, apa baik-baik saja?"
Akmal memejamkan matanya, "kamu cuma milik aku."
"Kamu bisa janji nggak bakal pergi kan, sayang?" Akmal terus memastikan.
"Iya, kita bakal sama-sama terus," ucap Helsa bersungguh-sungguh.
Begitulah Akmal. Ketakutan akan kepergian Helsa selalu menghantuinya. Setiap hari dia akan selalu bertanya mengenai perasaan gadisnya itu, apakah Helsa bosan padanya? Apakah Helsa masih mencintainya?
***
Suasana SMA Harapan pagi itu sangat ramai. Kepala sekolah dan guru sedang mengadakan rapat persiapan ujian akhir semester nanti. Para muridnya berhamburan memenuhi halaman sekolah, ada yang ke kantin, bermain futsal, berpacaran, dan masih banyak lagi.
Sepasang remaja baru memasuki gerbang sekolah, vespa black matte itu melaju pelan masuk parkiran sekolah. Hari ini memang bebas. Akmal dan Helsa sengaja datang agak siang.
Baru hendak menanggalkan helm, Kevin datang terburu-buru dari arah lapangan basket, lelaki itu terlihat panik.
"Lo kenapa?" tanya Akmal
"Billy," sebut Kevin.
"Kenapa lagi si brengsek itu?"
"Dia nyariin lo, Al. Katanya kalau lo nggak datang sekarang, dia bakal serang sekolah," terang Kevin.
"Al..." Helsa mencekal lengan kekasihnya, menggeleng keras agar dia tidak kemana-mana. Helsa takut akan berakhir baku hantam.
"Sa, kali ini aja," pinta Kevin, "gue jamin Akmal nggak berantem."
Helsa beralih memandang Akmal, mencari kepastian bahwa Akmal tidak akan adu otot dengan musuhnya itu.
"Kamu ikut aku," kata Akmal. Helsa mengiyakan saja, lebih baik juga jika dia turut serta bertemu Billy. Akmal tidak akan berani macam-macam jika ada dia disana.
Mereka melangkah ke arah gerbang belakang sekolah, dengan Akmal yang terus menggenggam tangan Helsa. Disana ada beberapa anak Bunga Bangsa yang datang bersama si pengecut Billy, lelaki itu menyeringai tajam ketika mendapati Akmal datang.
"Langsung ke inti, lo mau apa dari gue?" tanya Akmal pada Billy.
Billy tertawa mendapati Helsa yang terus disamping musuhnya itu.
"Lo cewek ngapain kesini? Mau melindungi cowok lo yang banci ini?"
Merasa tidak ditanggapi Helsa, Billy melempar pandangan pada Akmal. "Gue denger lo dikeluarin dari sekolah?"
"Bukan urusan lo!" ketus Akmal.
"Helsa, hati-hati kalau Akmal pindah sekolah," peringat Billy.
"Lo mau mencoba racuni pikiran cewek gue? Lo salah!" tukas Akmal.
"Siapa yang nggak tahu Akmal Malik? Cowok brengsek, penjahat selangkangan," ujar Billy.
Akmal menggeram tertahan, Helsa terus mencekalnya.
"Waktu gue cuma buat Helsa. Gue nggak punya waktu buat ladenin SAMPAH kayak lo! " tukas Akmal.
"Oh ya? Gimana kalau misalnya gue panggil Sheren kesini, dan ceritakan semua tentang lo berdua. Apa waktu untuk kekasih sialan lo ini masih ada?"
Billy mendekat pada Helsa, dan berbisik pelan dekat telinga gadis itu. "Cowok lo player, hati-hati." Belum selesai, Billy memandang Helsa dari ujung sepatu hingga rambutnya. "Atau mungkin Akmal udah nyentuh lo lebih?"
PLAK!!!
Semua mata memandang Helsa, termasuk Akmal yang tidak menyangka Helsa akan melakukan itu pada musuhnya. Satu tamparan, ehm ralat, lebih tepatnya Helsa membogem wajah Billy. Lelaki itu tertawa, memegang pipinya yang terasa sakit.
"Mulut sampah lo itu harus dikasih pelajaran!" teriak Helsa.
"BERANI LO SAMA GUE?" Billy berteriak kencang di wajah Helsa.
"BRENGSEK!" Akmal memukul Billy dengan brutal, meskipun Billy membalasnya, namun tenaga lelaki itu terkalahkan. Akmal mendominasinya.
Lihat bagaimana teman-temannya mundur satu persatu dari sana, meninggalkan Billy yang terus dihajar Akmal habis-habisan.
"BERANI LO TERIAKIN CEWEK GUE?"
Semakin kencang, Akmal tidak membiarkan Helsa menahannya.
"AKMAL, UDAH!! STOP!! BILLY BISA MATI!!"
Akmal tidak menghiraukan kekasihnya, dia tidak mengampuni lelaki brengsek itu. Pukulan demi pukulan diterima Billy, lelaki dengan seragam pramuka itu hampir hilang kesadaran kalau saja Helsa tidak menghalangi tubuhnya.
"AWAS, HELSA!"
"NGGAK, AKMAL! BILLY BISA MATI, STOP!!"
"KALAU DIA KENAPA-KENAPA, KAMU YANG BAKAL DISERET KE TAHANAN!"
Emosinya meredah, Akmal menahan kepalan tangannya ketika Helsa menyebut nasibnya jika terjadi sesuatu pada Billy. Bahkan sekarang bisa saja dia dilaporkan atas tuduhan penganiayaan. Benar kata Helsa, dia bisa menjadi tahanan polisi jika Billy mati atau sekarat.
Melihat Akmal yang sudah mulai tenang, dengan cepat Helsa berbalik menghadap Billy. Raut wajah terlihat panik melihat lelaki itu sudah tidak berdaya.
"Gue anterin lo ke rumah sakit."
Lima hari sudah Adryan tidak kembali ke rumah. Kata Bunda, pria itu sedang berada di apartemen. Bunda sudah memberikan kotak berisi testpack padanya. Entah kenapa, tidak ada reaksi apapun dari pria itu.Setelah pulang mengantarkan Devan ke sekolah, wanita yang kini berbadan dua itu mampir kesana. Kebetulan letak Cafe itu tak jauh dari sekolahan anaknya.Helsa hanya ingin menikmati cheesecake. Lagian di rumah hanya dia sendiri. Oh ya, dia dan Devan tetap di rumah mereka. Bunda melarang ia pulang ke rumah Mamanya.Helsa menceritakan kesalahpahaman yang terjadi pada mertuanya.Pandangannya keluar kaca jendela. Kebetulan macam apa yang harus membuatnya bertemu dengan mantan kekasihnya. Akmal lengkap dengan seragamnya.Helsa bercedak pelan, seharusnya dia tidak bertemu lagi dengan pria itu."Helsa, kamu disini juga?"Helsa meraih tas, ingin beranjak dari sana, namun dicegah pria itu. "Cake kamu belum habis. Mubazir," sebut Akmal."Gue boleh duduk disini?" tanya Akmal."Silahkan," kata Helsa
BMW hitam memasuki pekarangan rumah berlantai tiga itu tepat pukul lima sore. Setelah memarkirkan mobil, sang empunya keluar dari sana. Disambut baik istri dan juga anaknya. Helsa mencium punggung tangan kekar itu, lalu dibalas kecupan singkat pada dahinya."Bagaimana harinya?" tanya Adryan.Helsa tersenyum menerima satu buket bunga mawar putih kesukaannya. Buket bunga kelima, di hari kelima cuti."Papi nanya Devan dong, Mami aja yang ditanya," protes Devan yang kini duduk pada kursi piano.Nggak mau kalah ini bocah satu.Adryan mendekatinya. "Bagaimana hari ini Singa kecilnya Papi?" Ia mencium gemas anaknya, tak lupa Devan pun mencium punggung tangan Papinya."Baik dong, hari ini Devan langsung pulang ke rumah. Om Jefry sama tante Vio yang nganterin," jawab Devan, semangat.Helsa berlalu meninggalkan percakapan Ayah dan anak tersebut. Tak lupa membawa serta tas dan juga jas milik Adryan. Akan panjang jika ia harus menunggu keduanya selesai dengan perbincangan, mulai dari yang penting
Siang itu kantor pusat Perusahaan Andrean Corp dibuat panik pada lantai sepuluh, tepatnya di dalam ruangan meeting. Renata memberi perintah untuk mengangkat tubuh lemah tak berdaya putrinya yang jatuh di depan ruangan tersebut setelah hampir dua jam melakukan pertemuan dengan salah satu investor asal Rusia. Beberapa hari ini Helsa terlihat kelelahan karena menyiapkan persentase dan semua laporan untuk melakukan pertemuan ini. Dan pada akhirnya, ia tumbang sesaat setelah investor tersebut menandatangani kontrak kerja sama. "Helsa...," panggil Renata. Wanita paru baya itu menepuk-nepuk pelan pipi putrinya, namun hasilnya nihil, Helsa sama sekali tidak sadarkan diri.Renata segera menghubungi Adryan. Untuk beberapa saat belum ada jawaban, sampai pada panggilan keempat barulah pria itu menjawabnya."Hallo, Ma...,"Renata menarik nafas sebentar. "Rumah sakit Mitra Husada, sekarang Adryan." *** Langkah kakinya dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit Mitra Husada. Adryan tidak mengh
"Devan..., tante Diandra kangen," seru Diandra sembari memeluk bocah tersebut."Tante Andra cantik deh," puji Devan."Makasih, Sayang," balas Diandra.Devan menyodorkan tangan, "bagi duit merah tante Andra, kan Devan udah bilang tante cantik."Diandra memelototkan matanya, bisa-bisanya bocah ini meminta imbalan padanya. Duh, ajaran siapa sih bocah satu ini."Jangan gitu dong, kita kan temenan," rayu Diandra."Tante Andra tuh temannya Mami, bukan Devan," balas Devan. Ia kemudian sibuk melihat-lihat beberapa pajangan di dalam caffe tersebut.Helsa dan Citra terkikik mendengar percakapan Diandra dan Devan. Pas banget Devan ketemu sama aunty yang lemot nya nggak hilang-hilang."Sa, anak lo ngeselin banget, sumpah!""Devan lo ajak bicara," celetuk Citra.Sore itu mereka tidak sengaja bertemu di Cafe yang ada di rumah sakit Mawar Medika. Citra dan Diandra akan menjenguk Ando yang sakit. Guru olahraga itu mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu."Kalian kenapa nggak bilang sama gue kala
Acara reuni sudah selesai. Helsa pikir dia tidak akan bertemu Akmal lagi setelah itu, tapi hari ini mereka dipertemukan kembali.Seperti saat ini, lagi-lagi dia bersama Akmal di pinggir jalan yang tidak jauh dari markas TNI. Akmal yang baru saja akan menjemput kekasihnya pun bertemu Helsa yang sedang meratapi ban mobilnya yang pecah."Pakai derek aja ke bengkelnya, aku antar kamu pulang," ujar Akmal. Pria itu lengkap dengan seragam lorengnya.Entah sudah berapa kali Akmal menawarinya, tapi Helsa tetap menolak. Hari sudah semakin gelap."Gue nggak mau terjadi salah paham," jujur Helsa."Aku yang tanggung jawab di depan suami kamu," sahut Akmal, "ponsel kamu aja mati total."Tertegun. Mungkin lebih baik Helsa pulang bersama Akmal, lagian setelah dipikir-pikir dia tak ada apa-apanya dengan tentara satu ini."Mau, kan?" Akmal bertanya lagi, memastikan Helsa mau pulang bersamanya."Antar gue di depan perumahan aja," jawab Helsa.Dia tidak ingin Akmal tahu dimana rumahnya sekarang, karena j
Weekend adalah hari bermalas-malasan Adryan untuk berangkat ke rumah sakit. Bagaimana tidak, istri dan anaknya asyik di rumah, sedangkan ia harus bekerja. Padahal kan, dia juga ingin berlibur.Ya, setiap sabtu Helsa dan Devan memang libur.Pukul lima pagi Helsa sudah terjaga. Mandi, menyiapkan sarapan, dan juga pakaian kerja suaminya. Helsa juga sempat mengintip Devan di kamar, anaknya masih tertidur, sama seperti Adryan.Sudah selesai dengan semuanya, wanita tersebut kembali ke kamar untuk membangunkan bayi besarnya.Bayi besar? Itu karena Adryan berlaku manja sejak Helsa kembali dari Kanada.Helsa duduk pada bibir ranjang, ia usap lengan suaminya, "Mas, Helsa udah sejam berkutat di dapur, masih aja tidur,"Hanya sedikit erangan yang terdengar, sekali lagi Helsa membangunkannya. Menarik selimut yang menutup sebatas pinggang."Good morning, babe," ucap Adryan. Ia menarik tangan Helsa dan mengecupnya. Aish, jantung aman?Helsa hanya bergumam, ia beranjak dari sana membuka gorden jendel